Mas Crush

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditulis oleh fikaea & ProjectRuby

Gemercik air terdengar syahdu memasuki pendengaranku. Satu per satu, rintiknya jatuh menciptakan percikan yang membasahi tanah lapang. Tetes demi tetes mengalir di atas dedaunan bunga pucuk merah besar yang tertanam di depan kelasku. Begitu pula rintik air dari atap gedung, berkat tarikan gravitasi bumi yang begitu kuat, satu per satu air tersebut jatuh hingga mengenai lantai selasar kelasku. Kutarik napas begitu dalam, aroma khas petrikor semerbak menggelitik indra penciumanku. Sambil memejamkan mata, Kusandarkan kepala pada dinding di belakangku.

Di sinilah aku berada. Dengan sepatu hitam yang sudah terkena percikan air hujan berkali-kali, duduk di kursi berkeramik putih selasar kelas. Bersama lima orang temanku yang lain, yang saat ini kulihat mereka sedang sibuk berceloteh ria. Sedangkan aku hanya menikmati suasana yang sangat kusukai ini. Ditambah adanya seseorang yang belakangan ini menarik perhatianku.
Seperti saat ini, kulihat orang itu bermain sepak bola di tengah derasnya hujan yang mengguyur lapangan sekolah kami. Dia tidak sendiri. Bersama sembilan orang lainnya –entah dari kelas mana saja karena ada beberapa wajah yang tidak aku kenali– berlarian ke sana ke mari memperebutkan bola plastik. Dia terlihat sangat bersemangat, meskipun air hujan telah membasahi seragam batik sekolahnya.

Seseorang di sebelahku menyikutku, membuatku gelagapan karena ketahuan sedang memperhatikannya, Dia tersenyum mengejek sembari berkata, “idih, yang di mulut bilangnya selalu saingan, tapi ternyata sering diperhatiin juga.”

Aku menegang setelah mendengarnya. Seseorang di sisi lainku turut berucap, “Biasa cewek memang gitu, ya? Gengsinya ngalahin ketinggian Gunung Everest.”

“Lebay kamu, mah,” sahutku sembari menepuk lengannya cukup keras.

“Gebet aja kali. Lagian gak ada yang bisa saingin kamu kalau kamu mau sama dia, Si paling ranking satu dan si paling favorit guru,” goda sahabatku itu, membuat pipiku bersemu merah.

“Hahaha, mampus! Mereka ditegur guru, tuh!” pekik salah satu temanku yang lain.

Kualihkan pandanganku pada mereka. Benar saja, regu sepak bola dadakan itu bubar dan berlarian kembali ke kelas. Termasuk dia, yang saat ini terlihat sangat menarik dengan air hujan mengalir di wajahnya.

Aku melihatnya hendak memasuki kelas dengan keadaan basah kuyup. Buru-buru aku menahan dan melarangnya masuk agar tidak membasahi kelas.

“Stop! Kamu sadar gak, sih, kalau kamu itu basah kuyup?” tanyaku yang menghadangnya di depan pintu.

“Minggir, Kal, ini dingin banget!” usirnya dengan mata yang mengintimidasi.
Ditatap seperti itu membuatku sedikit gemetar. Aku tidak suka tatapan yang seperti itu. “Gak usah marah-marah juga kali,” cicitku pelan.

“Aku gak marah,” ujarnya ikut melunak.

Kini tatapannya berubah jadi memelas.
“Buruan minggir, Kal.”

“Nanti lantainya jadi basah, Re,” balasku.

“Kalau gitu, mana jaket kelas kamu? Aku pinjam dulu, aku gak bawa ganti.”

“Kalau gak bawa ganti kenapa hujan-hujanan, Re?!” tanyaku agak kesal mendengar permintaannya itu.

“Ssst, buruan ambil. Dingin banget ini,” serunya, membuatku buru-buru berlari ke mejaku dan mengambil jaket yang tersampir di kursi.

Kelas kami memiliki jaket yang sama untuk satu kelas, dengan nama masing-masing di dada kanan. Seharusnya ukuran jaketku juga lebih kecil dari miliknya, tetapi karena dia terlihat sangat kedinginan, akhirnya kuputuskan untuk meminjamkannya saja. Sejujurnya perasaan empatiku selalu lebih dominan, sehingga membuatku mudah merasa kasihan atau tersentuh pada hal-hal kecil.

Setelah menerima jaketku, dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih. Aku terpaku saja melihatnya berlarian di selasar kelas bersama beberapa laki-laki lainnya. Kebetulan saat ini kelas kami sedang kosong karena guru-guru sedang sibuk membersihkan ruang guru yang kebanjiran. Jangan heran dengan kejadian itu, posisi ruang guru lebih rendah dari kelasku serta beberapa kelas lain.

Namun rupanya guru biologiku yang tercinta itu tidak suka melihat anak-anaknya memiliki jam kosong. Hal itu dibuktikan dengan keberadaannya di ujung lorong yang sedang berjalan ke kelasku. Teman-temanku langsung berhamburan masuk ke kelas. Aku sedikit cemas dengan keadaan laki-laki tadi.

Begitu guru Biologiku tiba di kelas, kami langsung membahas materi dan beberapa hal lainnya. Sampai saat itu juga, dia belum kembali. Dia baru memunculkan batang hidungnya saat kelas kami hanya tersisa lima belas menit lagi. Kurasa dia sengaja melakukannya.

Meskipun mendapat tatapan sinis dan cibiran dari sang guru, dia hanya mengeles untuk membalasnya. Justru dia sangat tenang. Ah, semua orang juga tahu kalau dia memiliki otak yang pintar, jadi membolos seharian pun tak akan membuatnya berada di peringkat terakhir.

“Baik, anak-anak, untuk tugas kalian minggu ini adalah proyek membuat replika virus. Untuk teman sekelompoknya, akan ibu tunjuk.”
Setelah mendengar ucapan beliau, langsung saja kelas menjadi ricuh. Banyak yang merasa panik karena takut mendapat teman sekelompok yang tidak bisa diajak bekerja sama.

Beberapa nama sudah disebut. Bahkan semua sahabatku sudah mendapat pasangan masing-masing. Aku menunggunya dengan harap-harap cemas.

“Kalista!” panggil beliau.

“Saya, Bu!” sahutku.

“Kalista sama Kalista, ya,” ucapnya membuatku bingung karena di kelas hanya ada satu Kalista.

“Maaf, Bu, Kalista cuma satu di kelas ini.”

“Itu yang pakai jaket namanya Kalista, Ibu kira namanya juga Kalista,” sindir Beliau dengan halus. Aku langsung melirik ke arah laki-laki itu. Dia hanya cengengesan tak berdosa.

“Nama saya Regal, Bu. Sama kaya nama biskuit,” sahutnya.

Jujur saja, separuh dari hatiku senang tak terkira. Mungkin jika di dalam drama, wajahku sudah diberi efek bunga bertebaran. Tapi setengah lagi merasa gelisah karena ini adalah pertama kalinya kami satu kelompok dan hanya berdua. Sedangkan teman-temanku yang lain, sudah sibuk menggodaku sedari tadi.

Sepulang sekolah tiba-tiba saja dia sudah berdiri di sebelah mejaku dan menahanku untuk tidak pulang.

“Duh, asiknya berduaan sama saingan sendiri,” goda teman-temanku.

“Hati-hati, Kal, berduaan di tempat sepi nanti yang ketiganya setan.”

“Cintaku bersemi di putih abu-abu,” ujar salah satu temanku sambil bersenandung.

Ingin rasanya aku melempar buku yang sedang kurapikan ini pada wajah mereka. Menutup mulutnya dengan lem tikus agar tidak berbicara sembarangan. Tapi dari yang kulihat, Regal tidak menanggapi mereka. Dia hanya cengengesan tidak jelas.

“Memang susah, ya, jadi orang ganteng,” ucapnya percaya diri.

Aku menundukkan kepala, entah untuk menutupi perasaan salah tingkahku atau karena merasa kesal dengan kepercayaan dirinya.

“Jadi, di proyek ini kamu mau buat apa?” tanya dia mengawali pembicaraan kami.

“Belum kepikirkan, tetapi aku tertarik untuk buat replika virus ebola. Soalnya itu lucu,” jawabku sekenanya.

“Kaya kamu?”

Aku mematung setelah mendengarnya. Menahan senyum agar tidak terbit di wajahku. Sebelum akhirnya melemparkan buku pada lengannya.

“Jadi mau ngerjain dimana?” Tanyaku untuk menutupi rasa ingin tersenyum itu, ia tampak berfikir sejenak.

“Mau dikerjain langsung sekarang ya? Gak nanti aja kah?” Balasnya sembari menggaruk kepala, aku baru sadar jika bajunya basah kuyup dan ia tampak menahan untuk tidak menggigil didepanku.

“Iya deh ganti baju dulu sana, ntar jangan lupa jaketku”

“Siap!” Ia berlagak hormat seperti tentara pada ajudannya.

“Jadi nanti dimana?” Aku berfikir sejenak

“Kalo dikantin? Soalnya udh pulang semua jadi kan sepi” Ia mengganguk mantap, menyambar tasnya dan berlari keluar kelas, kupikir ia akan langsung menghilang tapi tak kusangka ia berhenti didepan pintu, melambai padaku dan melempar senyumnya yang paling manis yang pernah kulihat, belum sempat aku membalas lambaiannya ia sudah berlari meninggalkan kelas.

Tanpa sadar aku membalas lambaian nya dengan pipi yang bersemu merah, astaga ketiban apa aku hari ini.

“CIEEEE, mau ngedate donk... hati-hati, berduaan di tempat sepi ketiganya setan lho” Aku baru sadar bahwa kelas belum sepenuhnya sepi, segelintir teman teman yang sedang piket menggodaiku, pipi ku semakin memerah, aku mempercepat langkah segera beranjak dari kelas sembari meneriaki mereka dengan kata kata mutiara.

Kantin tidak begitu ramai, aku mengambil tempat di pojokan, meja favoritku karena aku dapat memantau apa saja yang terjadi di kantin tanpa terlihat dengan jelas, aku meletakkan tas ku dan meluncur kepada Kang bakso langgananku.

“Dua porsi ya pak” Kang Bakso menggaruk kepala.

“Neng kelaparan banget kayaknya?” Aku menelengkan kepala, tidak paham dengan maksud Kang Bakso, butuh berberapa saat hingga aku menangkap apa yang Pak Bakso herankan.

“Oh iya... satunya bukan buat saya Kang, buat temen”

“Ealah Neng... kirain mau makan sendiri” Kang bakso terkekeh sembari menyajikan baksonya, aku kembali pada mejaku, mengeluarkan buku dan alat tulis sembari mencari referensi gambar virus di mbah segala umat, mbah google.

Rumah Regal tak begitu jauh dari sekolah, mungkin sekitar 10 menit jika mengendarai motor, aku tau motor Regal itu bukan motor kaleng kaleng, jadi kemungkinan sekitar 30 menit lagi Regal datang, aku agak khawatir sebenarnya, dalam berberapa kesempatan aku sempat melihat Regal senang kebut kebutan jika sudah bertemu dengan jalan sepi, pernah suatu ketika ia hampir menabrakku ketika aku pergi belanja.

Entah mengapa waktu berjalan begitu lambat, aku tidak bisa fokus mencari refrensi, senyum Regal terngiang dikepalaku, pipiku terasa panas membayangkan ia akan berduaan dengan ku, aku menutup wajah, mengusap usap pipiku untuk menghilangkan semu merah, apa yang akan Rgal katakan jika ia melihat ini

Aku menocba mengalihkan pikiranku, menatap tempias air yang jatuh dari atap sekolah, harmoni rintik hujan yang memenangkan, aku menghela nafas, menenangkan pikiran yang semrawut gegara senyum itu, ah lagi lagi senyum, aku mengusap wajah sekali lagi, menyantap bakso untuk menghilangkan fikiran itu.

Begitu selesai aku fokus mencatat apa yang kudapatkan dari mbah google.

Hingga tanpa kusadari sudah 1 jam berlalu, aku mendongak melihat jam dinding yang menunjukkan jam 4 sore, sekolah sudah sepi, kang bakso yang sedari tadi menunggu mangkok yang juga sudah menyerah, ia berpesan untuk meletakkan mangkok di gerobaknya tidak usah dicuci, tapi entah mengapa Regal tidak segera muncul, tiba tiba fikiran itu muncul.

“Aku siapa?” Bisikku, naif sekali aku mengharapkan orang sepopuler Regal akan datang untukku, aku berusaha mengenyahkan fikiran itu, berharap Regal segera datang, tapi hingga jam dinding menunjukan pukul 5 ia tak kunjung muncul batang hidungnya.

Tanpa kusadari air mataku jatuh membasahi pipiku, betapa bodohnya aku berharap ia mau berduaan bersamaku, aku segera membereskan mangkok Kang bakso dan berlari meninggalkan kantin dengan hati yang pertama kali merasakan patah hati, ekspetasi menghancurkan mu.

Esoknya Regal tidak masuk sekolah, begitu juga hari berikutnya, aku sempat mendengar teman teman bergosip tentang Regal, aku menutup telinga berusaha tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, ajaibnya mereka pun tidak menggangguku dengan ocehan mereka sebelumnya, kuarasa hidup akan kembali seperti sedia kala.

Pagi itu aku terbangun dengan mata sembab, baru saja Regal menyusup kedalam mimpiku, dan aku melihat ia begitu jauh, mustahil didapat, semua hanyalah ilusi yang ia permainkan untuk mendapat perhatian, aku bergelung menangis sesaat sebelum bersiap untuk berangkat sekolah.

Hari itu lagi lagi hujan, pagi yang diawali dengan gerimis memberi kesan suram dan dingin, aku menggigil karena jaket yang diizinkan untuk dibawa ke sekolah ada di laki laki itu, yang tak terdengar kabarnya, entah mengapa ia memutuskan untuk menghilang, aku tidak peduli, kuharap ia menghilang selamanya.

Aku menatap sepatu hitamku. Berjalan lesu karena hari ini harusnya aku presentasi dengan dia, tapi Regal tak pernah muncul, sudahlah, ingat kata Mama “kenapa kamu rela menghabiskan waktu untuk galau? apakah yang kamu galaukan itu adalah sesuatu yang sangat penting di hidupmu? atau bahkan tidak sama sekali? mungkin bisa dialihkan atau kamu bisa mempertanyakan apakah hal tersebut perlu kamu galaukan atau tidak terlalu dipedulikan adalah jalan yang terbaik, demi kelangsungan hidup yang lebih damai dan tenang” Ucap Mama ketika aku ketahuan menangis.

Langkahku tiba di depan pintu kelas, dan aku tidak mempercayai apa yang aku lihat, itu Regal, duduk dibangkunya, mengobrol dengan temanku dengan keadaan yang baik-baik saja, perasaan ku campur aduk, marah,senang, sedih, entahlah aku tidak paham, emosiku meluap luap, aku mengahampiri mejanya dan memukul meja itu sekuat tenaga.

“KEMANA SAJA KAU HAH?! MENGAPA HARI ITU KAU TIDAK DATANG?! APA KAU TIDAK TAU LELAHNYA MENGERJAKAN SEMUA SENDIRIAN, KEMANA SAJA KAU HAH?!” Regal terkejut dengan bentakan ku, tapi anehnya ia menatapku kebingungan, ada apa dengan ekspresi itu.

“Maaf, tapi kamu siapa ya?” Seketika hatiku mencelos, ia benar, siapa aku?, aku tidak berhak untuk berteriak seperti itu padanya, aku bukan siapa-siapa baginya, aku melempar tasku padanya dan berlari keluar kelas.

“KALISTA TUNGGU!” Salah seorang temanku mengejar, aku tidak peduli, aku benar benar hancur, aku merasa  seperti baru dihantam mobil, dicabik cabik, diremukan, entahlah, fikiranku melayang, aku tak mampu lagi berkata kata, aku hanya dapat meringkuk, mengunci diri dalam kamar mandi  dan menangis, aku tak sanggup menahan ini.

“KALISTA BUKA PINTUNYA!” Temanku menggedor gedor pintu kamar mandi, aku tak peduli.

“ADA SESUATU YANG HARUS KAU KETAHUI!” Aku tetap terdiam, tidak peduli

“AKU TAU APA YANG TERJADI HARI ITU, HARUSNYA REGAL MENEMUIMU, TAPI IA KECELAKAAN KETIKA MENUJU SEKOLAH”

Deg...

“Ia terbentur cukup keras hingga Regal amnesia, itu mengapa ia tak mengingatmu, Kumohon jangan sakiti dirimu Kalista, ini bukan salahmu” Aku membuka pintu kamar mandi, temanku menyambar bahuku memelukku sangat erat, aku menangis dalam dekapanya.

“Sudahlah... “ Butuh waktu hingga akhirnya aku berhenti menangis meski sedikit sesenggukan, temanku merangkul ku hingga kelas, Regal tampak merasa bersalah ketika ia melihatku masuk.

“Maaf Kalista, aku nggak bermaksud begitu, aku...”

“Shhh... aku tau kok, aku yang salah, maaf ya” Ia memberikan jaket ku dengan canggung, aku tersenyum padanya.

“Aku Kalista, kuharap kita bisa berteman dengan baik” Aku mengulurkan tangan ku, ia menatapku, lalu melemparkan senyum itu lagi, senyum yang tak dapat kulupakan.

“Aku Regal, senang mengenalmu Kalista.”

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro