Kiss and Kill

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tatapan lembut serta senyuman wanita yang baru saja datang dan duduk di sampingku membuat kedua sudut bibirku terangkat. Untuk pertama kalinya, aku merasakan getaran aneh yang ada di dalam dada saat melihatnya.

Ya, aku bisa merasakan getaran aneh disertai debaran jantung yang menggila hanya dengan mengingat namanya. Apakah ini yang orang-orang sebut dengan cinta?

Mencintai adalah sesuatu yang belum pernah aku lakukan sebelumnya, ini kali pertama aku memiliki perasaan itu untuk seorang wanita yang kutemui saat menjalankan misi. Rasa ingin menjaga, melindungi serta rasa ingin memiliki itu hadir dan bercampur menjadi satu dalam dada.

Misi menghilangkan nyawa seseorang adalah hal yang sangat buruk, tentu saja. Namun, pekerjaan itu terpaksa aku jalani untuk bertahan dari kerasnya dunia ini.

Tidak ada yang tahu apa pekerjaanku, karena aku tidak banyak bergaul dengan orang-orang.

Sentuhan halus dari tangan Gabriella membuatku tersadar dari lamunanku, tatapan lembut serta senyumnya yang manis membuatku ikut tersenyum.

“Kau sulit dihubungi,” keluhnya.

Aku mengangguk setuju dengan ucapannya, aku hanya mengaktifkan ponsel khusus saat menjalankan misi. “Maaf, aku sulit fokus jika tidak menonaktifkan ponsel.”

Dia merengut, tetapi malah terlihat sangat menggemaskan. Dia sangat cantik, tidak pernah aku temui wanita secantik dan sebaik dia. Hubunganku dengan Gabriella sudah berjalan sekitar dua bulan, hal itu juga yang membuatku ingin segera lepas dari pekerjaan yang sekarang.

Aku ingin menikahi wanita itu.

“Entahlah, aku merasa hanya aku yang ingin membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih tinggi,” katanya dengan nada lirih.

“Gab-“

“Tidak, tidak ... Aku hanya bercanda Ax, jangan dibawa serius begitu,” katanya seraya tertawa kecil, tawanya begitu merdu hingga membuatku ikut tersenyum.

“Kau sangat senang membuatku panik,” ujarku yang ikut tersenyum.

Dia tertawa kecil dan mengangguk mengiyakan ucapanku. “Aku suka wajahmu saat serius, itu berkali-kali lipat lebih tampan,” katanya memujiku membuatku tak henti-hentinya tersenyum. “Bagaimana denganku?”

“Kau meledekku, Gab? Aku tidak pandai berkata-kata manis,” kataku dengan jujur, ya aku bukan pria romantis yang bisa melempar rayuan maut untuk seorang wanita.

“Harusnya kau belajar, Axel. Agar yang menjadi istrimu nanti bahagia setiap hari,” ujarnya, aku hanya diam saja karena tidak bisa membalasnya.

Setelah bertemu dengannya, membuatku lupa siapa diriku dan bagaimana latar belakang keluarga Gabriella. Aku dibutakan oleh perasaan, untuk pertama kalinya aku ingin memiliki seorang wanita untuk menjadi pendamping hidupku.

“Kau tahu? Semua kata-kata manis yang ada di dunia ini selalu kalah dengan senyumanmu,” bisikku tepat di telinganya dan membubuhi kecupan manis yang singkat di bibir merah ranumnya.

Gabriella memelukku dengan erat, menyembunyikan wajah meronanya di dalam dadaku. Aku tentu saja membalas pelukan hangat itu, sebelum aku menyadari ada seseorang yang mengintai, mengarahkan pistol ke arahku.

Dor!

Suara itu begitu menggema, orang-orang termasuk Gabriella berteriak dengan nyaring. Untung saja aku tepat waktu menarik tubuh Gabriella agar menyingkir dari tempat itu, ada yang mengincar nyawaku?

Aku menenangkannya, hingga akhirnya dia bisa menghela napas lega. Aku sendiri tidak tahu siapa yang sedang mereka incar, pihak restoran tampaknya sudah menghubungi pihak yang berwajib.

Aku mengambilkan Gabriella air mineral agar wanita itu tenang, ia juga melirik ke arah jendela lain dan melihat orang-orang itu mengarahkan pistol ke arah wanita pujaannya.

Shit, mereka mengincar nyawa Gabriella!

Lagi-lagi aku menarik tubuh wanita itu, tembakan meleset dan mengenai gelas yang kupegang. Aku segera membawa Gabriella keluar dari restoran hotel ini, aku harus meninggalkan tempat ini sesegera mungkin.

Setelah aku berhasil membawa Gabriella kembali pulang dengan selamat, atasanku menghubungiku untuk bertemu besok, membahas sebuah misi. Aku sedikit bingung, bukankah kemarin misi terakhirku tahun ini?

***

Aku mengetuk pintu ruangan khusus, tidak lama kemudian seseorang membukakan pintu untukku. Aku melihat seorang pria yang sudah berumur duduk di kursinya.

“Kau menginginkan kebebasan bukan? Aku setuju, asal kau dapat menjalankan misi terakhirmu ini,” katanya langsung tanpa basa-basi, dia juga menyerahkan selembar foto perempuan yang belum  kulihat dengan jelas. “Setelah itu, kau akan bebas.”

Aku mengambil kertas berbentuk persegi panjang dan terdiam cukup lama mengamati siapa yang menjadi targetnya kali ini. Apa mataku masih berfungsi dengan baik, ini- Gabriella?

***

Sialan! Bajingan  siapa yang berani menargetkan Gabriella?!

Tidak.

Aku harus tenang. Tidak ada gunanya bila pikiranku kacau disaat seperti ini.

“Siapa yang menargetkan gadis malang ini?” Tanyaku dengan santai sembari melemparkan foto tersebut keperapian yang menyala.

Atasanku itu memiringkan kepalanya dengan raut bingung.

“Sejak kapan kau penasaran dengan mangsamu?”

“Mungkin karena dia spesial? Dengan membunuhnya, aku bisa mendapat kebabasan, bukan?” Ujarku.

Tawa pria tua itu langsung memenuhi ruangan.

“Kau tau Axel, aku menyukai dirimu! Sayang sekali bila harus melepaskan bajingan iblis sepertimu!” Sahutnya yang lagi-lagi tertawa menjijikan. “Baiklah, anggap ini hadiah perpisahan dariku, yang menargetkan wanita itu adalah salah satu dari tangan kanan Boss besar kita.” Sambungnya dengan sorot mata menajam.

“Dia adalah, Elector-mu.”

****

Elector.

Mereka adalah pemilih dan manipulator yang handal. Ia mencari dan memilih seseorang, lalu memanipulasi mereka sebagai alat kotor dengan iming-imingnya.

Tidak ada yang tahu seperti apa wajah masing-masing elector-nya. Begitupun aku.

Jika dunia ini tidak sekejam yang kurasakan, jika saja dulu aku tidak menyambut uluran tangan Elector dan termanipulasi, mungkin aku tidak akan terjebak dan tenggelam dalam pekerjaan kotor ini.

Sialan!

Lagi-lagi pikiran buruk menghantuiku. Apakah Elector menargetkan Gabriella karena mengetahui hubunganku dengannya? Mengingat insiden penembakan kemarin, kemungkinan itu amatlah besar.

Semua karenaku.

Karenaku Gabriella dalam bahaya.

Kuinjak gas mobil sedalam-dalamnya, memacu lintasan malam dengan pikiran kalut. Ucapan atasanku itu, masih terngiang dibenakku.

Kau hanya perlu membuatnya mati ditempat saja, mungkin menembaknya tepat dijantung? Ngomong-ngomong, aku sudah mengirim orang yang mungkin bisa membantumu untuk mempercepat eksekusi target. Mungkin dia sudah berada dikediaman wanita itu saat ini.

Benar-benar bedebah sialan!

Aku memandang perkarang luas dengan pagar yang menjulang tinggi jauh dihadapanku. Tidak ada yang menduga rumah semegah ini hanya dihuni oleh seorang wanita. Membayangkan betapa beradanya keluarga Gabriella, membuatku merasa tidak pantas mendapatkan cintanya.

Sadarlah Axel! Ini bukan waktunya memikirkan hal itu. Nyawa Gabriella dalam bahaya!

Aku memarkirkan mobil jauh dari gerbang utama dan menyusup mendekati gerbang samping. Gerbang dengan sistem alarm itu, berhasil terbuka tanpa bunyian dengan Lockpick Gun yang kugunakan.

Aku mengendap dan memandang ke segala arah mencari titik koordinat tempat seseorang yang harus kulenyapkan berada.

Disana. Aku menemukannya.

Diatas paviliun timur yang tampak gelap, sebuah garis merah lurus mengarah kebangunan utama dilantai dua. Bisa kuduga bahwa itu adalah kamar Gabriella.

Kupanjat dinding lalu bergelantungan disisi bagian yang menonjol dengan buku jariku. Aku terus bergelantungan hingga mencapai atap paviliun tersebut.

Dalam keheningan yang gelap, sosok hitam tengah mengawasi dari teropong senapan anginnya.

Aku mendekatinya.

Sedetik kemudian, arah senapan itu berganti membidikku.

“Ah, ternyata patnerku.” Sergahnya sambil menurunkan senjata. Suara perempuan dibalik setelan hitam itu membuatku bersyukur sembari mengatakan kata maaf berkali-kali didalam hati.

Kukeluarkan pistol dilengkapi peredam suara dari balik jaket hitamku, lalu menembaknya tepat dijantung.

Dor!

***

Aku mengaktifkan ponselku dan menekan kontak Gabriella. Suara dibalik ponsel itu membuatku bernapas lega.

“ Halo, Ax?”

“Gab, kau dimana?”

“Ada apa dengan nada suaramu? Kau seperti tegang.”

Aku menghela napas pelan. “Kau di rumahmu?”

“Uhm.”

“Apa kau bisa membuka pintu untukku?”

Keheningan beberapa detik menyambutku. Aku harap Gabriella tidak salah paham dengan tindakanku saat ini.

“Okay. Tunggu aku.” Sahutnya sebelum panggilan berakhir.

Selang beberapa menit pintu utama itu terbuka lebar dan sosok cantiknya menyambutku dengan gaun putih malam yang berkibar sangat indah, tak lupa dengan senyumnya yang menawan.

“Kau seperti pencuri saja dengan pakaian hitam itu.” Sahutnya bercanda.

“Kalau aku pencuri, gadis secantikmu haruslah berhati-hati jika tidak mau diculik.”

Gabriella tertawa, sedetik sebelum ia hampir menyentuh tanganku yang memakai sarung hitam, aku mengelak cepat.

Jangan sampai darah yang meresap pada sarung ini menempel di tubuhnya.

“Wait. Mungkin sebaiknya kau harus memakai sesuatu untuk menutupi bahumu, jika kau tidak ingin seorang serigala memangsamu.” Tegurku dengan senyum kikuk.

Gabriella lagi-lagi tertawa. “Baiklah, kalau begitu aku akan ke kamar dahulu, Tuan serigala. Silahkan masuk.” Jawabnya sebelum ia berlari menaiki tangga.

Saat bayangannya menghilang, aku menyeret sebuah kantong hitam besar memasuki rumahnya.

***

“Aku tidak menduga, kau akan mengunjungiku malam ini. Karena insiden kemarin, apa kau mengkhawatikan ak—”

Sial, aku tertangkap basah.

Aku menoleh, memandangi wajah pucatnya yang berubah semakin pucat hingga nyaris membiru. Ada sorot keterkejutan yang amat sangat dalam pandangannya.

“Axel, apa itu?” Bisik Gabriella.

“Tidak ada waktu untuk menjelaskannya, Gab.” Ujarku seraya mengeluarkan itu. Aku mulai mengeluarkan rambut panjang dari mayat tersebut hingga menarik tubuh bagian atasnya hingga akhir, dan menyeretnya kebelakang meja dapur.

Aku membalikkan tubuh dan menatap wanitaku.

“Gab, aku akan menjelaskannya padamu nanti, tapi ayo pergi dari sini terlebih dahulu.” Sahutku menjangkau tangannya. Tapi Gabriella menepis.

“Apa kau...membunuhnya?”

“Gab-”

“Jawab.” Suaranya bergetar. Matanya seolah menatapku asing.

Dengan berat hati, aku memutuskan untuk mengatakannya. “Seseorang menjadikanmu target. Nyawamu dalam bahaya. Maaf, tapi aku melakukannya untuk melindungimu.”

***

Rumah megah itu kini dilalap api.

Aku merasa bersalah melihat pemandangan itu. Terlebih pada wanita yang kini duduk disebelah kemudiku.

Rencana pemalsuan kematian Gabriella mungkin dapat mengalihkan pandangan Elector sejenak, tapi bukan untuk waktu yang lama.

Dalam diam aku mengemudi tanpa adanya pembicaraan.

“Ax, didepan! Berhenti!” Teriakan Gabriella membuatku menyentakkan rem sedalam-dalamnya.

“Maxim! Astaga, Itu maxim!”

“Gab, tunggu jangan kelu– ”

Tanpa sempat kucegah Gabriella keluar dan mengejar seekor kucing yang tengah terbaring  dijalanan.

Sebelum aku sempat menyusulnya, sinar silau dari samping membutakan mataku dan sebuah mobil van hitam menderu kencang kearahku.

Sedetik sebelum tubuhku terpental jauh, pemikiran aneh melitas dibenakku.

Bahwa, rencanaku telah gagal sedari awal.

***

Kepalaku terasa sakit luar biasa. Sesuatu yang lembab dan basah terasa mengalir disana. Sepertinya kepalaku berdarah. Tangan dan kakiku juga terikat di kursi.

“Kau sudah sadar?”

Suara merdu dan lembut yang sangat kukenal, membuatku tersentak. Seolah sel-sel otakku yang menumpul kembali menajam, pandanganku ikut menjadi jelas.

Didepanku, wajah cantik Gabriella yang tengah duduk dikursi, menatapku dalam tangisnya.

“Gabriella! Apa kau baik-baik saja?! Apa mereka melukaimu?!” Tanyaku khawatir. Ingin sekali aku memeluk dan menenangkannya dalam dekapanku. Tapi, tali sialan ini mengikatku kuat.

“Ya, aku baik-baik saja, Ax.” Ujarnya sendu.

Sebatas mataku memandang, tidak tampak luka apapun pada dirinya. Bahkan ia tidak terikat sepertiku. Aku menatap ke segala pejuru rooftop bangunan tertinggal ini. Sepertinya kami berada di puncak ketinggian, melihat angin malam sangat menusuk tulang.

Aku menghembuskan napas kecewa. Kini semuanya tampak jelas.

“Apa yang kau tunggu? Segeralah pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini.” Ujarku menatapnya dengan senyuman.

“Kenapa kau sampai melakukan hal seperti ini?” Ucapnya dengan isak tangis. Aku kembali menatap Gabriella dengan heran. “Apa maksudmu?”

“Apa kau benar-benar mencintaiku? Kau mengorbankan hidupmu hanya untukku?”

Aku diam mematung memerhatikan wajah wanita yang kucintai itu. Hatiku sakit. Seolah terbuai, aku mengikuti alurnya.

“Ya, aku sangat mencintaimu. Hingga aku melupakan satu hal..” mataku memanas saat mengucapkan kata simbolis elector-ku.

Aut Aeternus, Aut Mori.” Sambungku berbisik.

“Abadi atau mati.” Sambung Gabriella yang tersenyum dalam tangisnya. Senyum yang seketika menjadi tawa yang tragis.

“Kau benar-benar pria bodoh, Axel! Apa otakmu dibutakan oleh cinta sampai tidak menyadari semua ini adalah jebakan untukmu? Melihat dirimu yang tidak bisa menkontrol diri, aku terpaksa harus menyingkirkanmu.”

Gabriella mengacungkan pistolnya tepat dikepalaku. Wajahnya yang datar dengan jejak tangis tampak kejam dan dingin, Layaknya tatapan benci yang tak pernah ia perlihatkan kepadaku.

“Benar. Aku ingin hidup tenang dengan wanita yang kucintai. Aku berusaha keluar dari dunia yang membuatku kotor, agar pantas untuk sosoknya. Bahkan setelah aku tahu siapa dia sebenarnya, aku tetap mencintainya.” Aku tersenyum memandangnya. Memandang wanita yang sangat kucintai.

“Sudah kubilang aku hanya bercanda, jangan dibawa serius. Tapi kau melangkah terlalu jauh, sampai-sampai mengharapkan kebebasan hingga para Tetua ingin mengeksekusimu.” Sahutnya murung.

Ia menurunkan bidikannya dan berbalik membelakangiku. “Setidaknya aku senang, kau benar-benar belajar utuk mengucapkan kata-kata yang manis.”

Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Ia berbalik menatapku tepat diujung pembatas balkon.

“Hey, salah satu dari kita harus mati. Itu adalah ketentuannya.” Gabriella menatapku tajam.

Aku membalas tatapan itu dengan nyalang. “Hentikan.”

“Berjanjilah untuk bahagia disetiap harimu.”

“Hentikan! Bunuh saja aku!” Teriakku penuh makian.

“Aah, Bisa-bisanya aku gagal menjadi Elector.” Gabriella menggerutu seolah ia tidak mendengar bentakanku.

“Kumohon berhenti Gabriella!”

Ia meletakkan pelatuk pistol dibawah dagunya. Menatapku dengan tatapan seorang Gabriella yang selama ini kukenal.

Tatapan dari wanita yang mencintaiku.

“Ini bukan salahmu, Ax. Ini salahku, karena mencintai sebuah ‘alat’ pilihanku sendiri. Biarkan aku menebus perbuatanku untukmu.”

Aku membeku saat peluru menembus kepala Gabriella yang tengah tersenyum. Tubuhnya tersentak jatuh kebelakang dan hilang bagai ditelan malam dalam sekejap mataku.

***END***
Ditulis oleh venavee_ & HIriudiumSeagull

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro