Cinta Buatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pagi, sayang."

Melissa nyaris melompat dari kursi ketika mendengar suara tak asing yang keluar dari komputernya. Pertama, sekarang pukul tiga pagi dan ia tidak mendengar siapapun memasuki lab. Kedua, ia baru bangun dan tidak ingat sama sekali kalau kemarin mengutak-atik proyek sampingan; sebuah aplikasi kecerdasan buatan yang menganalisis individu dan membuat simulasi pasangan ideal untuk mereka. Ketiga, suara yang barusan muncul itu mirip sekali dengan suara si...

Napas panjang diembuskan perlahan. Melissa mengacak-acak rambut hitam selehernya, berusaha menyembunyikan wajah yang sedikit memerah entah dari siapa. Ia pasti sedang mengantuk sampai bertingkah seperti ini. Yang benar saja, peneliti macam apa yang tersipu karena dipanggil "sayang" oleh temuannya sendiri? Perempuan berjas putih tersebut meraih cangkir besar berisi kopi yang sudah dingin. Baru saja cairan pahit tersebut menyentuh lidah Melissa, pengeras suara di samping keyboard mulai bergetar kembali.

"Temperatur kopi terdeteksi pada suhu 32 derajat celcius. Mau kuhangatkan, sayang?"

Melissa hampir menumpahkan kopi pada jasnya. Ia terbatuk-batuk sebentar sebelum menyentil pengeras suara dengan gemas. "Berisik. Jangan panggil aku 'sayang'."

"Perintah dimengerti. Selamat pagi, jantung hatiku"

"Enggak gitu jugaaa."

***

"Halo, Profesor? Sekarang sudah pukul enam. Di jadwal Anda ada penanda untuk pukul delapan bertuliskan 'Deadline data farmasi'. Profesor yakin ingin lanjut tidur?"

Melissa menggumamkan sebaris kalimat tidak jelas sebelum menekan tombol merah pada pengeras suara. "Hih, berisik. Dokumennya sudah kuunggah pagi tadi. Biarkan aku tidur."

"Anu... Profesor?"

Melissa sontak berdiri dari kursinya ketika sadar bahwa suara yang barusan tidak keluar dari pengeras suara. Seorang pria berpakaian klimis berdiri kebingungan di sampingnya. Mata mereka bertemu dalam diam dan atmosfer lab kecil ini seketika menjadi canggung. "Ah, maksud saya... Anu... Tolong cek ulang data yang saya kirim dengan tabel di meja yang penuh tabung percobaan. Terima kasih. Saya ada urusan sebentar."

Melissa terburu-buru berlari ke ruang kerja pribadinya sebelum menutup pintu lebih keras dari biasanya. Sudah tiga bulan berlalu sejak ia mengangkat asisten untuk membantu urusan laboratorium dan masih bisa-bisanya dia kelepasan bicara. Namanya Sam, mahasiswa tahun ketiga yang selalu ceria dan rajin bertanya. Wangi, tidak jelek, dan tidak pernah absen menanyakan apakah ada urusan yang bisa dibantu. Jangan salahkan Melissa yang dulu menempuh pendidikan di sekolah khusus perempuan kalau jantungnya berdegup tak keruan ketika Sam mendekatkan wajahnya untuk membaca angka kecil-kecil pada monitor. Sejak kecil, Melissa tidak punya banyak teman. Ia sungguh tidak terbiasa sama sekali dengan manusia, terutama laki-laki.

Pintu dibuka sedikit, Melissa mengintip dari celah kecil. Sam terlihat sedang berkutat dengan monitor dan tabung percobaan.

"Detak jantung terdeteksi meningkat dua puluh persen. Tarik napas dalam-dalam lalu keluarkan."

Suara maskulin muncul lagi dari ponselnya. Melissa cepat-cepat menekan tombol pengurang volume. Suara tersebut sungguh mirip dengan suara Sam, entah kenapa. Yang ia tahu, algoritmanya mempelajari jenis suara pasangan ideal yang paling cocok untuk pengguna. Ia membuka opsi pengaturan. Sebenarnya bisa saja Melissa menggantinya ke suara bawaan pabrik, tetapi...

Jarinya urung menekan opsi mengganti suara. Melissa mendekap ponsel bersampul kelinci erat-erat.

"Detak jantung terdeteksi meningkat tiga puluh persen. Silakan istirahat, jantung hatiku."

***

Melissa enggan untuk mengakui hal ini, tetapi ia mulai terbiasa dengan suara "Sam" yang keluar dari ponselnya setiap beberapa saat. Performa kerjanya malah semakin meningkat dan ia kemarin mendengar koleganya berkata bahwa dirinya terlihat lebih ceria akhir-akhir ini.

Bagaimana tidak, sekarang ada suara favorit yang mengingatkan untuk makan, tidur, dan bahkan menyeduh kopi untuknya (walaupun bukan manusia). Melissa kini sering menemukan dirinya berbicara sendiri di laboratorium pada malam hari, membalas suara mesra dari headset yang dipakai. Orang lain mungkin akan menganggapnya senewen, tetapi ia tidak peduli. Toh, apa yang diperbuatnya tidak menyakiti siapapun.

"Konsumsi kalori hari ini tercatat seribu dua ratus kalori. Dua jam tersisa hingga hari berakhir. Silakan makan kudapan, jantung hatiku."

"Iya, sayang." Melissa mengelus lembut mikrofonnya. Sayang. Baru pertama kali ini ia mengucapkan kata itu ke seseorang! Sesuatu, sih, lebih tepatnya. Terserah. Barangkali ia memang tidak berbicara pada manusia asli, tetapi sensasi kupu-kupu berterbangan dalam perutnya tidak bisa dibohongi.

Pekerjaan untuk hari ini sudah selesai. Sebuah ide muncul di benaknya. Ia melihat sekeliling. Tidak ada orang sama sekali, tetapi hatinya masih belum tenang. Ia berdiri, membuka pintu laboratorium, dan memeriksa lorong panjang yang menghubungkannya ke halaman kampus. Kosong.

Setelah mengunci pintu dan mengeceknya tiga kali, Melissa duduk kembali di kursi empuknya. Ia mendekatkan bibir ke mikrofon.

"Hei, Sam. Katakan 'Aku cinta kamu, Melissa'."

"Perintah dimengerti. Aku cinta kamu, Melissa."

Senyumnya meledak menjadi tawa kecil yang tidak bisa ditahan. Melissa mengubur wajahnya dalam-dalam pada bantal kecil. Ia tidak punya cermin di sini, tetapi ia yakin kalau wajahnya pasti semerah tomat sekarang. Jantungnya berdegup kencang, kencang sekali sampai ia merasa perlu untuk mengecek bahwa tidak ada orang di lorong yang bisa mendengarnya.

***

Sekarang pukul enam kurang lima. Sam menyusuri lorong panjang menuju laboratorium. Hak sepatu pantofelnya bertemu dengan lantai porselen, membuat suara ketukan yang menggema di seisi lorong sepi tiap kali ia mengambil langkah. Ia merogoh kunci dalam tas. Profesor yang mendiami laboratorium ini mengizinkannya untuk membuka lab dan membangunkannya sewaktu-waktu. Sam sungguh kagum kepada beliau. Usia Profesor Melissa hanyalah beberapa tahun di atasnya, tetapi beliau mampu mendapat berbagai penghargaan dan kontrak kerja perusahaan terkenal dari berbagai negara.

Ia mengangkat alis ketika mendapati bahwa pintu pagi ini benar-benar dikunci. Biasanya Professor Melissa hanya menutup pintu tanpa mengunci. Daun pintu didorong, Sam mendapati idolanya sedang tertidur di kursi kerja dengan wajah terkubur pada bantal kecil. Ia memeriksa kalender yang selalu ada di sebelah monitor untuk jadwal beliau hari ini. Ada seminar pukul dua belas nanti. Barangkali ia akan membiarkan beliau tidur sedikit lebih lama.

Ruangan ini dingin sekali. Sam baru sadar ketika melihat remote AC yang menunjukkan angka tujuh belas. Ia mengambil selimut dalam laci. Tidak lucu kalau pengisi seminar nanti undur diri karena demam, kan?

Ketika ia menutupi tubuh profesornya dengan selimut bermotif kelinci, pengeras suara di sebelahnya berbunyi.

"Sekarang pukul enam pagi. Bangun, sayang."

"Iya, iya. Aku bangun, sayang." Melissa perlahan membuka mata. Ia mengangkat alis ketika menyadari tubuhnya tertutupi selimut. Melissa melirik ujung headset yang lepas ketika ia tidur. Matanya bertemu dengan Sam yang membeku di tempat, tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.

"Aku tidak salah dengar, kan? Kenapa suaranya persis seperti suaraku?" Batin Sam yang merasa sedikit aneh ketika mendengar suara yang keluar dari ponsel Melissa terdengar persis dengan suaranya. Keduanya merasa canggung, apalagi Melissa yang benar-benar merasa malu dengan perbuatan temuannya yang seenaknya berbicara tanpa peduli situasi. Ya, namanya juga buatan. Jelas dia tidak punya perasaan.

"Profesor, i-itu?"

Melissa menghela nafasnya berat. Dia tidak punya pilihan lain selain menjelaskan semuanya pada Sam. Dan mungkin, juga tentang perasaannya. Perasaan kagum yang membuat seorang profesor besar seperti Melissa memiliki ide gila untuk membuat Sam versi lain.

"Aku minta maaf, karena menjadikan suaramu sebagai objek buatanku tanpa sepengetahuanmu. Awalnya, aku tidak tau kenapa program suaranya bisa sama persis seperti suaramu. Kalau kau keberatan, aku bisa menggantinya."

Sam merasa tersipu mendengar penjelasan Melissa. Dia benar-benar tidak menyangka kalau dugaannya benar. Mungkin saja, Sam akan tambah tersipu ketika dia tau bahwa suaranya bisa sama persis berdasarkan algoritma pasangan spesial yang Melissa inginkan.

"Tidak perlu, Prof. Aku merasa beruntung jika Profesor tetap menggunakan suaraku sebagai pengingat kegiatan Profesor. Bukankah itu sama seperti yang sering kulakukan?"

"Benarkah? Syukurlah." Melissa bertanya dengan wajah penuh senyuman membuat laki-laki di depannya tambah gelagapan.

Apa Sam memiliki perasaan lebih terhadap profesornya? Tetapi, bisakah mereka bersama? Bahkan Sam masih merasa rendah jika berdiri di samping Melissa. Dia bukan siapa-siapa, selain asisten dari seorang Profesor besar. Memiliki kesempatan sebagai asisten saja, sudah membuatnya sangat bahagia. Bagaimana bisa dia berharap lebih dari itu?

***

"Sayang, bangun."

"Berisik!"

Melissa berbalik memunggungi Sam yang sudah dari tadi membangunkannya. Beberapa detik kemudian, wanita itu langsung bangun dan mengucek matanya tak percaya. Ini bukan mimpi, kan? Suara tadi bukan suara dari ponselnya?

"Kamu kebiasaan. Ini aku, suamimu." Ucap Sam duduk dipinggiran kasur lalu menepuk lembut kepala Melissa.

"K-kamu? Sam, suamiku?"

Sam hanya tersenyum. Dia merasa gemas melihat tingkah Melissa yang entah sudah keberapa kali seperti ini. Istrinya itu memang sering kali lupa, kalau mereka sudah menikah dua tahun lalu. Bahkan, Sam berulang kali memperingatkannya bahwa dia bukan lagi asisten Melissa, melainkan suaminya.

Memori Melissa seperti berhenti di dua tahun sebelum mereka menikah. Bahkan, wanita itu melupakan kalau saat ini dia sedang mengandung anak dari laki-laki yang menjadi alasannya membuat penemuan luar biasa.

"I-ini perutku kenapa?" tanya Melisa panik ketika melihat perutnya yang bengkak. Wajar saja, usia kandungannya memasuki 9 bulan dan tinggal menunggu persalinan.

"Sayang, kamu, kan lagi hamil. Kamu lupa, ya?"

Dengan sabar, Sam berusaha untuk memperingatkan Melissa atas memori-memori dua tahun yang hilang. Melissa mendapat diagnosa dari dokter bahwa dia mengalami Functional Cognitive Impairment (FCI) yang memiliki gejala hampir serupa dengan penderita Alzheimer. FCI sering terjadi pada orang usia produktif dengan pekerjaan yang menantang. Akumulasi dari berbagai stres menurunkan kapasitas fungsi otak. Semakin berusaha untuk fokus mengerjakan sesuatu, justru semakin kacau hasilnya. Ini bisa disertai dengan gangguan mood seperti depresi – maupun tidak.

"Aw! Sam, perutku saki," jerit Melissa sambil memegangi perutnya.

"Sayang!" pekik Sam. "Kita ke rumah sakit sekarang. Kamu tahan, ya."

Sam langsung mengangkat tubuh Melissa menuju parkiran. Rasa khawatir membuat lelaki itu tidak lagi merasakan berat tubuh sang istri. Dia membawa Melissa ke rumah sakit. Selama perjalanan, Melissa terus meraung kesakitan. Sesekali, dia memegang lengan Sam yang sedang menyetir.

"Sam! Sakit!"

"Sabar, Sayang. Sebentar lagi kita sampai."

Sam tau, perkataannya memang tidak mudah untuk direalisasikan. Meskipun, tidak merasakan sakit yang Melissa rasakan, tetapi Sam bisa melihat bahwa kesakitan itu nyata. Wajah Melissa yang memerah menahan sakit dengan tangannya yang terus-menerus mengelus perutnya, membuat Sam sangat kasihan. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain berusaha mempercepat laju mobil dan mengatakan kata-kata penyemangat untuk sang istri.

"Tolong! Tolong, istri saya mau melahirkan!"

Sam berlari ke dalam rumah sakit meminta bantuan siapa saja yang ada di sana.

"Di mana istri Bapak?" Seorang perawat menghampirinya.

"Di mobil. Ayo cepat!"

Beberapa petugas langsung bergegas membawa brankar rumah sakit. Mereka memindahkan tubuh Melissa yang sedari tadi meraung-raung kesakitan.

"Sabar, ya. Kamu pasti kuat, sayang." Ucap Sam mendorong tubuh Melissa bersama petugas medis menuju ruang persalinan.

"Bapak tunggu di luar, ya."

"Tapi saya mau menemani persalinan istri saya."

"Tidak bisa, Pak. Bapak tunggu diluar."

Sam tidak punya pilihan. Dia terpaksa membiarkan perawat menutup pintu rruanan persalinan. Dengan perasaan cemas, Sam mondar-mandir di depan pintu berharap istri dan anaknya selamat.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara tangis bayi dari dalam. Sam merasa lega mendengarnya. Namun, dia masih perlu menunggu petugas medis keluar untuk memastikan bahwa sang istri baik-baik saja.

Seorang wanita yang diperkirakan berusia sekitar empat puluh tahunan, keluar dari ruang bersalin menggunakan pakaian operasi. Dia menghampiri Sam yang sejak tadi sudah tidak sabar menunggu informasi.

"Bagaimana keadaan istri dan anak saya, Dokter?" tanya Sam tidak sabar.

"Selamat Pak, putri Anda lahir dengan selamat, tidak kekurangan apapun."

Sam menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, merasa bersyukur dengan berita bahagia ini. "Lalu istri saya?"

Kali ini, senyuman yang mengembang dari wajah dokter wanita itu memudar. Dia menarik nafas berat.

"Sayangnya, Ibu bayi tidak bisa diselamatkan. Ibu bayi mengalami pendarahan saat proses persalinan."

"T-tidak mungkin. Dokter pasti bercanda, kan?"

"Kami mohon maaf sebesar-besarnya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Ibu bayi berpesan untuk menyelamatkan bayinya alih-alih meminta dia yang diselamatkan."

"T-tidak. Tidak mungkin."

Sam merasa kakinya tiba-tiba lemas. Seluruh tubunya terasa tak bersambung mendengar berita buruk tentang Melissa. Dia bersimpuh di depan ruang persalinan.

"Bapak bisa ikut saya ke dalam. Untuk mengucapkan salam perpisahan sekaligus melihat keadaan putri Bapak."

Denggan perasaan sedih luar biasa, Sam berdiri dan memaksa langkahnya memasuki ruangan yang sudah merenggut nyawa sang istri. Terdengar suara tangisan bayi yang seperti merintih tidak mengizinkan ibunya pergi.

Seorang perawat mendekati Sam dengan membawa putrinya yang sudah dibersihkan dan diberi kain. Sam menggendong bayinya dan berdiri di samping tempat Melissa terbaring.

"Sayang, kamu lihat. Putrimu sangat cantik. Sama sepertimu," ucap Sam berusaha menyunggingkan senyum.

"Terima kasih, Sayang. Sudah memberiku putri secantik ini. Selamat jalan, istriku."

Air matanya menetes saat mengucapkan ucapan perpisahan. Sam mengecup kening Melissa. Mengikhlaskan kepergiannya.

Setelahnya, dia menatap wajah sang putri yang tampak sangat tenang setelah berada dalam gendongannya. Tidak ada suara tangis seperti sebelumnya.

"Selamat datang ke dunia, Putri kecil Ayah." Sam tersenyum.

***END***
Ditulis oleh abixiv & Aksaraa013

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro