Love & Death

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Goo Eunna lagi-lagi melirik layar handphone digenggamannya. Hampir 1 jam gadis itu menunggu kedatangan sabahatnya yang meminta bantuan untuk pengumpulan bahan majalah bertema sejarah, terkait museum perjuangan yang saat ini ada didepan Eunna.

Sebuah getar notifikasi membuat gadis berambut pendek itu membuka pesan dari Nam Hye.

Kau dimana? :EN

NH : Eunna-ya ~ maaf baru mengabarimu..T.T..

Sedari tadi, perutku tidak bersahabat.

Maaf, tapi bisakah kau berkeliling museum

sendiri tanpaku..T.T..?

Eunna menarik napas panjang dan melangkahkan kakinya memasuki museum yang mulai tampak sepi.

Gadis itu memutari museum tempat peninggalan sejarah hingga sampai kebagian ruang yang bertuliskan; Revolusioner Pemuda-Pemudi Kemerdekaan Korea 1932.

Entah kenapa, setiap Eunna menatap benda-benda dari sejarah perjuangan pemuda-pemudi dalam masa pergolakan perjuangan penjajahan jepang itu, membuat jantungnya berdebar.

Langkah kaki Eunna berhenti pada sebuah mobil yang tampak hancur dengan kaca depan dipenuhi lubang seperti bekas tembusan peluru.

"Kau tau, itu adalah mobil hasil curian milik penjajahan jepang."

Seorang nenek tiba-tiba muncul membuat Eunna kaget.

"Pemuda-pemudi zaman itu benar-benar berani mempertaruhkan nyawanya." Lanjutnya.

"Sangat menyedihkan, pria itu terjebak dalam linimasa kehidupan tanpa akhir karena rasa bersalah, hingga menjual jiwanya untuk melindungi gadis malang itu. Tapi entah kenapa, gadis itu seperti dikutuk berumur pendek."

"Pria? Gadis malang?" Tanya Eunna bingung.

Nenek itu tersenyum, telunjuknya mengarah ke mobil antik didepannya. "Pemuda itu kehilangan kekasihnya saat pengejaran karena tembakan peluru yang tepat bersarang dijantungnya."

Eunna menatap mobil itu kembali, lebih tepatnya kearah lubang-lubang yang menembus kaca depan mobil itu. "Ah, begitu. Nenek mengetahui sejarah sangat dalam. Terima kasih telah menceritakan kisah itu kepadaku."

"Sepertinya kau lelah mendengar kisah yang selalu kuceritakan berulang kali ini."

"Ah, tidak, Nek. Aku baru pertama kali kesini dan mendengarnya. Itu sungguh kisah yang memilukan." Sangkal gadis itu dengan kikuk.

"Jiwamu tidak bisa menyangkalnya, Nak."

Perkataan itu menimbulkan perasaan tak nyaman bagi Eunna. Gadis itu membungkuk pamit dan pergi menghindar.

"Sampai jumpa lagi di masa berikutnya, Nak." Bisik Nenek itu menatap kepergian Eunna penuh arti.

***

'Ikatan belenggu merantai kaki yang lugu. Seolah menahan dari kecap yang berbahaya. Bagi beberapa orang itu terlihat keamanan. Tapi, itu menyedihkan. Terikat dalam dunia tanpa kebebasan atau bermain dalam pusaran kegilaan. Akhirnya, selalu kematian yang menanti. Dikenang atau dilupakan. Itu hanyalah pilihan.'

"Kalimat yang indah."

Sahutan itu membuat Eunna mengangkat pandangannya dari secarik kertas yang baru saja ia tulis. Entah sejak kapan sosok pria tampan bersetelan coklat yang tampak kuno, duduk tepat di sebelahnya dan mengintip tulisannya.

"Terima kasih." Sahut Eunna dingin. Pria itu tersenyum memaklumi.

"Apa kini kau seorang sastrawan?" Tanyanya lagi.

Eunna menghembuskan napas lelah. "Maaf, aku tidak mengenalmu dan aku tidak punya keharusan menjawabnya."

Entah apa yang lucu dari perkataannya, pria tampan dengan tampilan kuno itu tertawa.

"Kau benar-benar seperti wanita yang kukenal. Ah, aku begitu merindukan senyumannya. Sayang aku tidak melihatnya kini." Jelasnya.

"Kenapa tidak bisa?"

"Karena dia yang mengenalku sudah tiada."

Eunna tidak tahu harus merespon bagaimana. Entah kenapa ia merasa sedih mendengarnya. Kesedihan yang jauh berbeda dari sekedar simpati belaka.

"Dia wanita yang cantik dan pintar, seorang motivator handal yang selalu mengobarkan semangat juang dalam setiap bait tulisannya. Saat bersamanya, aku bisa selalu menikmati tawa dan keceriaannya." Lanjutnya bercerita.

"Kukira bila bersamaku, dia akan menjadi gadis yang berbahagia, nyatanya tidak. Hidupnya hancur karena bersamaku." Tambah pria itu.

Dahi Eunna berkerut. Ia menatap pria itu dengan mata yang menyipit. "Atas dasar apa kau menilai ia tidak bahagia? Jangan menilai semaumu. Aku pernah mendengar, seseorang hanya perlu tiga hal untuk benar-benar bahagia di dunia ini; seseorang untuk dicintai, sesuatu untuk dilakukan, dan sesuatu untuk diharapkan. Bila itu tidak ada padamu, sedari awal ia tak akan melangkah bersamamu."

Pria itu menatap Eunna dengan pandangan yang sulit diartikan. Tanpa bisa menahan, pria itu mengalihkan pandangannya. Punggung tangannya tampak mengusap wajahnya dengan cepat.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Eunna khawatir.

"Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya sedih karena sebentar lagi waktunya tiba."

Eunna tidak mengerti apa maksut dari ucapannya. Sebelum ia bertanya lebih lanjut, suara pemberitahuan kedatangan kereta menggema.

Dari arah ruang tunggu diseberang mereka, tampak beberapa orang dengan setelah jas hitam yang mencurigakan siap berdiri menunggu kereta.

Pria disampingnya-pun tiba-tiba ikut berdiri dan perlahan mundur menjauhi Eunna beberapa langkah. Bibirnya tampak mengucapkan sesuatu yang tidak bisa Eunna dengar karena kebisingan kedatangan kereta.

"Aku tidak bisa mendengarmu!" Teriak Eunna.

Seolah memang mengharapkannya, pria itu tetap bicara dalam kebisingan, membuat Eunna berfokus memerhatikan gerak bibirnya.

'....Tak ada berubahan apapun, baik dulu hingga kini..'

'Sebuah ketidakberuntungan kau bertemu denganku..'

' Entah ini adalah hukuman karena kejahatanku atau takdir yang kejam..'

' Tapi aku berjanji, akan selalu melindungimu...'

Kebisingan diantara merekapun perlahan berkurang saat kereta berhenti dengan sempurna. Eunna hanya bisa memantung mencoba mencerna arti dari gerak bibir pria yang tengah menatapnya sendu.

"Hey, Mengenai ucapanmu tadi, walau aku telah mendengarnya berulang kali, aku selalu merasa bahagia. Terima kasih dan maafkan aku." Ucapnya sebelum berbalik dan pergi menjauh dari pandangan Eunna.

***

Suara tembakan saling beruntun, begitu memekakan telinga.

Kecepatan mobil yang tinggi, meliuk tajam menghindari bidikan peluru yang menggema. Pria dibalik kemudi itu mempererat genggamannya pada jari-jari kecilnya. Iapun juga balas menggenggamnya dengan erat.

Bagai menikmati permainan yang menantang, tawa penuh kesedihan mereka memenuhi indra pendengaran. Tapi, pria itu menangis dalam tawa candunya. Menatapnya dengan sorot kebahagiaan bercampur keputus-asaan.

Gadis itu seolah merasakan sebuah bisikan dari hati kecilnya; bahwa ia rela menempuh kematian, asal bisa bersama pria disampingnya.

Sumber kebahagiaannya.

Sebelum peluru itu menghujam jantungnya, sebuah ucap yang terselip dari bibir pria itu membuat hatinya hancur.

'Boemni, maaf.. maaf aku mencintaimu. Dikehidupanmu selanjutnya, tolong jangan mengingatku. aku akan selalu menjagamu.'

***

Benturan yang menyakitkan di kepala Eunna membuatnya bangun dari mimpi. Keringatnya mengalir deras mengikuti irama jantungnya yang berdetak kencang. Gadis itu menyentuh daerah jantungnya, seolah memeriksa apakah sebuah peluru benar-benar bersemayam disana sembari melayangkan pandangan disekitar dengan waspada.

Sebuah tangan menyentuh pundak Eunna dari arah belakang membuat gadis itu hampir menjerit. Seorang wanita dengan tubuh yang bergetar, meletakkan telunjuknya didepan bibir.

"Ssstt! Kereta ini dibajak. Jangan bersuara." Bisiknya memandang Eunna dengan sorot ketakutan.

Tak selang beberapa detik, suara pecahan kaca, tembakan peluru, dan teriakkan dari gerbong didepan mereka menggema memekakkan telinga. Eunna dan perempuan itu bersembunyi, melipat badan di bawah sela antara deretan kursi kereta. Walau mereka masih terlihat, setidaknya mereka tidak terkena sasaran peluru.

Derap langkah kaki terdengar mendekat. Mereka semakin diam, mencoba berkomunikasi lewat tatapan mata. Eunna menerka jumlah orang dari suara langkah kakinya. Ada satu orang—tidak, tiga orang.

"Apa yang kalian lakukan di sana?"

Mereka ketahuan. Seorang pria menarik mereka keluar dengan kasar dan memaksa mereka untuk berlutut dengan kedua tangan dicengkeram kuat. Mata Eunna menyiratkan keputusasaan ketika seorang pria lain menodongkan senjata api pada ia berdua.

"Lebih banyak korban, lebih bagus, bukan?" Pria itu tersenyum iblis. "Berkorbanlah untukku."

Rasanya, baru tadi Eunna merasakan bagaimana sebuah peluru bersarang di dadanya dalam mimpi dan sekarang ia kembali di hadapkan pada situasi yang sama. Ia tidak tahu harus bertindak apa selain menatap pistol itu dengan ngeri. Melihat si pria bersiaga untuk menembaknya, Eunna tidak bisa berpikir apa pun kecuali pikiran aku akan mati karena hal yang sama dua kali.

Letusan pistol terdengar, membuat Eunna menutup mata. Ia menunggu detik-detik kedatangan peluru padanya. Namun, beberapa detik menunggu, ia malah masih hidup.

Eunna membuka mata, perempuan di sampingnya juga selamat. Kemudian ia menyadari seorang lelaki dengan dada bersimbah darah tergeletak di hadapannya. Tatapan Eunna membesar. Kenapa pria di peron tadi menyelamatkannya?

"Cih, pahlawan kesiangan."

Sebuah peluru kembali diletuskan, kali ini mengarah pada pria yang tergeletak itu. Eunna tak dapat memejamkan mata melihat peristiwa tragis itu. Entah mengapa, kelebatan memori lama justru berlalu-lalang dalam benaknya. Wajah pria itu, suara letusan pistol, simbahan darah, sasaran peluru, semuanya terasa familiar.

Air mata membasahi pipi tanpa Eunna sadari. Di letusan peluru berikutnya, ia mengingat siapa pria yang tergeletak di hadapannya kini. Sebuah nama lolos dari bibirnya, Eunna meneriakkan nama pria itu sebelum tiba-tiba sebuah peluru lain menyasar betisnya.

Eunna memberontak sekuat tenaga untuk menolong pria itu. Namun, pria yang menahannya jauh lebih kuat meskipun Eunna telah memberontak sekuat tenaga. Sebuah kain terulur, membekap mulutnya. Hal yang terakhir Eunna lihat adalah sang pria yang bermandikan darah sebelum kesadarannya pergi menghilang.

***

Mimpi buruk membangunkan Eunna dalam satu sentakkan. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Hanya butuh sepersekian detik baginya untuk menyadari bahwa ia telah berada di bangsal rumah sakit dengan kedua orangtuanya yang tampak sangat terkejut.

"Astaga, Eunna." Ibunya menghampiri. "Beristirahatlah sebentar, akan ibu panggilkan—"

"Di mana Yoonsung?"

"Yoon ... sung?"

Ayahnya yang sejak tadi terfokus pada ponsel genggamnya pun ikut mendongak, ada kerutan heran di dahinya. "Maksudmu lelaki yang menyelamatkanmu?"

Kedua pandang Eunna teralih pada ayahnya. "Di mana Yoonsung?"

"Dia masih dirawat di ruang IC—"

Tanpa mendengar ayahnya menyelesaikan kalimatnya, mendadak Eunna turun dari ranjang usai melepas infus di tangannya dengan kasar. Ibunya terlalu terkejut dengan sikap Eunna sampai ia menyadari bahwa anak semata wayangnya itu berlari keluar ruang rawat.

"Eunna!"

Eunna sendiri baru menyadari kakinya yang terasa sangat sakit untuk sekadar berjalan. Pembajakkan kereta itu bukan mimpi, ia bahkan melihat beritanya dari televisi di ruang tunggu. Semua korban selamat dilarikan ke rumah sakit ini. Itu berarti Eunna bisa menemui Yoonsung.

Usai bertanya-tanya dengan suster yang keheranan melihatnya, Eunna menemukan ruangan yang ia cari. Lewat jendela kaca sempit, Eunna melihat Yoonsung terbaring lesu di sana. Ada banyak perawat di sekitarnya, tetapi lelaki itu belum juga terbangun sejak Eunna terakhir kali melihatnya.

Nyeri di kakinya memaksa Eunna untuk duduk di bangku terdekat. Tak berselang lama, kedua orang tuanya datang. Sang ayah menyempatkan diri melongok ke dalam ruangan, sementara sang ibu tampak khawatir melihat Eunna yang kesakitan.

"Jangan terlalu banyak bergerak, lukamu belum sembuh total!"

"Ayah akan ambilkan kursi roda. Kita akan pulang hari ini."

Eunna membelalak. "Aku mau menunggunya di sini!"

Bukan tanpa alasan Eunna bersikeras. Jika saja ia masuk, dan Yoonsung terbangun, ia ingin sekali memberitahu lelaki itu semua hal yang telah diingatnya. Siapa mereka di masa lalu, namanya dahulu, dan peristiwa yang memisahkan mereka. Belum lagi, janji yang ia ucapkan dahulu ....

"Aku tahu dia telah menyelamatkanmu, tetapi kesehatanmu juga penting Eunna. Kita pulang—"

Eunna menolak mentah-mentah.

Melihat suasana yang tak kondusif, ibu Eunna juga bingung harus membujuk anaknya bagaimana. "Kita pulang dulu, ya, Eunna? Nanti kau bisa ke sini lagi kapanpun kau mau bila sudah sembuh."

Eunna diam, benaknya mempertimbangkan banyak hal. Kakinya semakin sakit, tetapi ia juga ingin menemani Yoonsung. Pada akhirnya, Eunna menyetuju ucapan ibunya.

***

Eunna terbangun kala sebuah tangan mengusap kepalanya dengan lembut. Ia mendongak, dan mendapati Yoonsung tersenyum menatapnya.

"Aku ketiduran, ya?"

Sudah tiga bulan sejak Eunna keluar dari rumah sakit dulu, kakinya sudah sembuh sekarang. Yoonsung juga sudah terbangun beberapa minggu lalu. Itu sebuah kejadian yang sangat mengharukan. Eunna menceritakan semua yang telah diingatnya dan Yoonsung senang sekali gadisnya masih mengingat tentang dirinya.

"Kau tidak pulang?" Suara Yoonsung terdengar lirih.

Eunna menggeleng. "Aku sedang dalam aksi mogok dengan orang tuaku."

"Kenapa?"

"Aku mau makan siang di kantin, akan kubawakan sesuatu untukmu." Eunna mengalihkan pembicaraan. Ia meninggalkan Yoonsung dari ruang inap sambil tersenyum sebelum pergi ke luar.

Aksi merajuk yang dilakukannya pada orangtuanya tentu sangat kekanakkan, Eunna sendiri mengakui itu. Namun, mau bagaimana lagi. Ia tidak mungkin melanggar janjinya kepada Yoonsung dahulu untuk kedua kalinya, tetapi ia malah tidak mendapat restu dari orang tuanya.

Eunna ingin menikah.

Walau tak begitu lapar, Eunna memaksakan diri untuk makan, setidaknya agar perutnya terisi. Wanita itu tengah melamun entah apa, pandangannya menerawang jauh ke depan, menatap orang yang berlalu-lalang dengan tatapan kosong. Sampai kemudian, sebuah notif pesan masuk, menyadarkan lamunan.

Eunna berdecak sebal menyadari pesan itu berasal dari ibunya, tetapi ia tetap membacanya. Senyum Eunna seketika merekah, seketika ia bangkit sambil menahan jeritan kebahagiaannya.

Ibu: Bukan hal mudah bagi kami untuk memikirkannya, Eunna. Namun sekarang, pulanglah bersama Yoonsung. Ayahmu bilang, ada beberapa hal yang harus dibicarakan, dan dia akan mempertimbangkannya.

Eunna memasukkan ponselnya dalam kantung, lantas bergegas menuju ruangan Yoonsung dengan berlari kecil. Wajahnya cerah sekali.

Baiklah, hari ini ia akan pulang bersama Yoonsung. Janjinya di masa lalu pada pria itu akan segera terpenuhi.

***END***
Ditulis oleh HIriudiumSeagull & fadilairaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro