Murder Project for Love

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karin dan Karen. Mereka dua anak manis yang lahir dari rahim Miana, perempuan yang senantiasa mengganti identitas tiap kali melakukan penipuan online. Tak beda jauh darinya, sang suami yang bernama Jorgi tak kalah kriminalnya. Pria itu suka mencuri barang-barang yang sekiranya mudah diambil. Baju, perkakas, makanan, apa pun diambilnya demi bisa bertahan hidup. Kalau sampai ketahuan, ia tak akan segan membunuh orang-orang yang melihat aksinya. Hal itu membuat ia dan keluarganya ditakuti, sekaligus tak terendus keberadaannya oleh polisi.

Keluarga kecil ini bertempat tinggal di sudut desa, menjadi keluarga kriminal yang harmonis. Seiring bertambahnya usia, Karin dan Karen tumbuh menjadi remaja yang rupawan. Karin, dengan tubuh montoknya bisa dengan gampang memikat hati laki-laki di mana pun dan kapan pun. Remaja umur 14 tahun itu mirip ayahnya. Ia akan mengambil barang-barang lelaki yang dipikatnya ketika tidur. Maka dari itu, Karin selalu membawa obat tidur ke mana-mana. Selain untuk melancarkan aksinya, juga untuk melindungi dirinya sendiri yang tak akan sudi tubuhnya dijamah dengan mudah oleh para lelaki hidung belang.

Tak seperti saudarinya, Karen lebih kalem. Ia lebih suka membajak sistem keamanan bank atau instansi pemerintah untuk mengambil uang dari sana. Tak seperti ketiga anggota keluarganya yang mencuri barang-barang remeh atau uang berjumlah kecil, Karen akan mencuri uang dengan tak tanggung-tanggung. Satu kali bajak, uang yang masuk rekeningnya bisa mencapai ratusan juta. Tentu saja, ia harus pintar-pintar mengolah identitasnya.

Suatu malam, Karin menuju kamar kakaknya. Lelaki tampan itu bergadang di depan layar komputer dengan lampu dimatikan. Saat Karin menghampiri untuk bertanya, Karen cuma menjawab, "Bukan urusan bocah kecil." Namun, tentu saja hal itu tak membuat Karin pergi begitu saja. Biar bagaimanapun, usianya dan sang kakak cuma selisih dua tahun. Akhirnya, Karin menarik salah satu kursi, dan duduk di samping kakaknya. Karin ikut menatap layar komputer, yang menampilkan ....

"Wah, film biru!" seru Karin, dan Karen kelonjotan karenanya. Spontan Karen mengalihan tab lain yang berisikan profil bank yang sedang dibajaknya.

"Kamu mau apa?" Karen menatap mata bulat adiknya.

"Aku mau punya pacar," jawab Karin polos. Karen lantas mengerutkan dahi. Biar masih 14 tahun, Karin sudah sering menghadapi berbagai macam buaya darat. Jadi, ia pikir adiknya tak akan mungkin ada keinginan menjalin hubungan pacaran seperti itu.

"Buat apa? Pacar itu nggak guna, kecuali untuk dimanfaatin," balas Karen datar, yang sebenarnya mulai berdebar. Adiknya itu mendekatkan tubuhnya pada dada Karen.

"Aku udah biasa manfaatin orang. Aku mau dimanfaatin. Kakak nggak mau manfaatin aku gitu?" tanya Karin dengan sangat gila.

Karen mematikan komputernya, lalu menyalakan lampu belajar sebagai penerangan remang-remang. Ia menghela napas, menatap adik cantik di hadapannya. "Sebisa mungkin Abang yang jaga kamu. Bang Karen nggak mau sampai ada yang nyakitin kamu, termasuk Abang sendiri. Kamu jangan aneh-aneh, Karin."

Namun, dicegat bagaimanapun, yang namanya perasaan juga butuh diutarakan.

"Aku sayang Abang, lebih dari seorang kakak. Bang Karen pikir, tidur bareng sama Abang dari kecil sampai lulus SD nggak bikin Karin suka?"

Lagi-lagi, Karen hanya bisa menghela napas. Sama seperti adiknya, tidur berdua selama bertahun-tahun lalu kemudian pisah kamar membuat ia jatuh hati pada adiknya sendiri. "Tapi kita bersaudara, kamu harus normal, Dek."

"Ah, kita juga hidup nggak pernah normal, Bang. Kenapa nggak totalitas aja sih?"

Tak ada yang sanggup menolak Karin, termasuk kakaknya sendiri. Setelah pertempuran batin di pikiran Karen, akhirnya ia mengaku kalau ia juga menyukai adiknya. Sejak saat itu, mereka kembali meminta untuk tidur di kamar yang sama, dan orang tua mereka mengizinkan.

Semula, hubungan mereka baik-baik saja. Sampai saat Karin berulang tahun yang ke-17, ada teman sekelas yang menembak perempuan itu. Mulanya, Karin menolak. Namun, Karin tak menyangka kalau teman sekelasnya itu tahu jika dirinya dan keluarganya adalah keluarga kriminal tersembunyi. Teman sekelas yang bernama Nando itu juga tahu data-data pribadi kakaknya yang suka meretas sistem keamanan bank. Karin diancam. Kalau Karin tak menuruti permintaan Nando, lelaki itu akan melaporkan keluarganya ke polisi. Lebih parah lagi, Karin takut dengan nasib Karen sebagai pelaku kriminal paling jahat di antara seluruh anggota keluarganya.

Pada saat itulah, Karin mengadu pada kakaknya. Karen geram, dan berencana memusnahkan teman sekelas Karin itu. Atas didikan Jorgi ayahnya, Karin dan Karen merencanakan pembunuhan. Segala skenario telah dirancang, dan tinggal direalisasikan.

Mulanya, Karin mengajak Nando ke sebuah hotel yang telah dipesannya jauh-jauh hari. Karin membawa pacar terpaksanya itu masuk ke sebuah kamar. Saat Karin izin ke toilet, Karin kabur lewat jendela. Ia sudah mengintrupsikan ayahnya untuk mengunci seluruh akses keluar dari kamar hotel. Di sisi lain, Karen sedari tadi sudah berhasil menguasai sistem keamanan hotel, sehingga tak ada CCTV yang merekam kejahatan mereka.

Kini, tinggal eksekusi kematian Nando, orang yang mengancam ketentraman keluarga kriminal itu. Namun terdapat sebuah keanehan, begitu memasuki ruangan tempat Nando berada, Karen malah tidak menemukan siapapun di sana. Ranjang yang seharusnya sudah ditiduri Nando masih rapi, seperti tidak pernah tersentuh sedikitpun. Dengan tetap waspada, laki-laki yang sudah memakai tudung dan penutup wajah serba hitam itu melangkahkan pelan ke arah ranjang. Ia mengendus layaknya hewan yang sedang mencari keberadaan mangsanya.

"Sial! Kemana perginya berengsek itu?" geram Karen meletakkan pisau yang sejak tadi ia pegang ke atas nakas. Ia meliarkan pandangannya, kembali mencari jejak Nando yang mungkin tertinggal. Berbagai macam pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di kepalanya. Apa Nando kabur? Tapi semua akses keluar sudah dikunci oleh ayah. Karen bingung sendiri.

Karena tidak menemukan jawaban atas pertanyaan itu, Karen mengambil pisau tadi lalu membungkusnya, dan menyelipkan benda tajam tersebut di balik punggungnya. Karen sudah bersiap untuk keluar menemui Jorgi yang ada di luar untuk memberitahukan kejadian ini, sekaligus meminta bantuan dari ayahnya. Namun, ketika akan membuka pintu, tiba-tiba ada yang menyuntikkan sesuatu di lehernya. Laki-laki itu berbalik dan terkejut dengan sosok yang berdiri di depannya. Belum sempat menusuk sosok itu, tubuh Karen sudah ambruk duluan.

"Ternyata, kau lebih cerdas dari dugaanku," gumam sosok itu mengangkat wajah Karen. "Tapi sayang, tidak ada yang bisa menembus kecerdasan seorang Nando."

Setelah mengatakan itu, sosok laki-laki yang tidak lain adalah Nando meletakkan kembali kepala Karen seraya tersenyum miring. Ia mengambil pisau yang terselip di punggung Karen lalu meletakkan sesuatu di dalamnya, sebuah benda yang sangat kecil yang tertempel sempurna di ujung gagangnya. Setelah melakukan hal itu, Nando merogoh sesuatu yang terletak di kantong celana Karen dan mencari apapun yang sekiranya bisa membantu untuk misi berikutnya. Ya, Nando sudah merencanakan sesuatu sebelum menjalani hubungan dengan keluarga kriminal ini.

"Beres," kata Nando pada lawan bicaranya di ujung telepon. Ia segera menutup panggilannya sebelum membuang banyak waktu dan tentu akan membuat orang-orang yang terlibat dalam perencanaan pembunuhan ini curiga. Laki-laki berkacamata minus dan beranting sebelah itu kembali menyuntikkan sesuatu ke leher Karen. Menit ke tujuh, saudara kandung dari gadis yang ia taksir itu terbangun.

"Akhirnya bangun juga," sapa Nando ketika Karen membuka matanya.

"Aku dimana? Kamu siapa?" balas Karen yang langsung bangun dan menatap Nando penuh selidik.

"Aku hanya pengunjung di sini, dan tanpa sengaja melihatmu pingsan di lantai."

Karen bergeming, mencoba mengingat bagaimana dia bisa sampai di tempat ini dan apa tujuannya. Sekian detik menggali ingatan, Karen tidak menemukan apapun yang bisa menjawab pertanyaannya. Ia tidak ingat apapun. Hal terakhir yang diingat adalah ketika Karin—adiknya— menelpon untuk menjalankan misi, tapi Karen lupa misi apa yang sedang mereka rencanakan.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Suara Nando memecah konsentrasinya. "Wajahmu, tidak asing."

Sebelum identitasnya terbongkar, Karen segera berdiri dan pergi meninggalkan tempat itu. Sesampainya di luar, Karin yang sudah lama menunggu di dalam mobil lanats menghampirinya. "Bagaimana, Kak? Cowok itu sudah mati, kan?" tanya Karin bersemangat.

Alih-alih menjawab pertanyaan adeknya, Karen malah menarik tangan Karin agar masuk mobil dan pergi. Meskipun sang kakak tidak menjawab pertanyaannya, Karin yakin kalau saudaranya itu sudah berhasil melenyapkan Nando. Karin tersenyum senang.

...

Hari kian berganti. Seminggu sejak kejadian malam itu, Karin belum juga mendapat jawaban dari saudaranya, tentang kematian Nando. Cowok sekelasnya itu pun juga menghilang sejak malam itu dan tidak ada kabarnya sampai sekarang. Awalnya, berita itu cukup membuat Karin lega karena mungkin Nando sudah berhasil dibunuh. Akan tetapi, jasad Nando belum ditemukan sampai sekarang. Ketika ia bertanya kepada Karen tentang hal itu, saudaranya malah diam dan pergi meninggalkannya.

Meski sudah paham dengan sikap Karen yang seperti itu, Karin merasa ada yang berbeda dan ia merasa aneh dengan sikap saudaranya. Untuk mencari jawaban dari semua pertanyaan itu, Karin berniat untuk mengajak Karen ke hotel itu lagi malam ini.

Keduanya pun pergi ke ruangan yang Karin pesan bersama Nando. Begitu masuk ruangan tersebut, Karin dibuat kaget dengan sosok Nando yang sudah duduk manis di sofa, seakan tengah menunggu kedatangan mereka.

"Nando? Bagaimana mungkin?" tanya Karin tak percaya.

Cowok yang sedang memegang gelas berisi jus merah itu beranjak dari tempatnya. Dengan sikap yang begitu tenang, ia melangkah ke arah dua saudara yang sedang mematung itu. "Akhirnya kamu datang juga, aku sudah lama menunggu," ujar Nando tersenyum pada Karin.

"Kamu ke sini lagi rupanya." Kini, Nando beralih menatap wajah Karen. "Kau masih mengingatku, kan?" Karen mengangguk, membuat Nando tersenyum miring.

Melihat hal itu, Karin menjadi bingung. Apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Kenapa Karen tidak jadi membunuh Nando? Sebelum menjawab pertanyaan itu, Karin menarik tangan Karen untuk pergi karena ia merasa ada yang tidak beres. Nando tidak mencegah kepergian mereka, karena misinya akan terwujud malam ini.

"Kak, kenapa Kakak tidak membunuh Nando?" tanya Karin dengan langkah yang dipercepat.

"Apa kita berencana membunuhnya?" Karen bertanya balik. Kini, Karin paham mengapa saudaranya tidak pernah memberi jawaban terkait pembunuhan Nando. Cowok itu pasti sudah melakukan sesuatu yang membuat ingatan Karen hilang. Di tempat lain, Nando sedang menyaksikan setiap gerak langkah mereka lewat layar ponselnya.

"Sejauh apapun kalian pergi, kesalahan harus tetap dipertanggungjawabkan," gumam Nando.

***END***
Ditulis oleh darulh27 & AlmayNadia15

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro