Love Censor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bapak satpam yang berjaga di depan gedung kantor menyambut kedatangan Leon dengan senyum sumringah.

"Selamat pagi, Pak Leon! Selamat datang kembali!" sapanya ramah sambil melambaikan tangan.

"Selamat pagi juga," balas Leon dengan senyum.

Leon melanjutkan langkahnya menuju gedung putih besar yang berdiri kokoh di depannya. Sebuah gedung yang telah bersamanya selama lima tahun, menjadi saksi bisu perjuangan hidupnya. Senyumnya mengembang saat ia dapat kembali bekerja.

Leon adalah seorang ahli robot di perusahaan Elovien Group. Namun pada suatu hari, klien Leon kecewa akan hasil kerjanya karena robot buatannya tidak sesuai dengan apa yang dipesan. Leon mendapat peringatan pertamanya semenjak ia pertama kali masuk ke perusahaan itu. Atasannya memberikan skors tiga bulan kepadanya. Padahal Leon adalah seorang ahli robot yang cukup berkompeten dan disukai banyak orang. Tidak disangka, hari buruk itu datang kepada Leon dan membuatnya sempat terpuruk. Ia menjalani skors nya dengan belajar dan banyak bereksperimen.

Hari ini, Leon telah selesai menjalani skors nya. Ia senang karena bisa kembali bekerja di lab kesayangannya. Rumah petak yang menjadi tempat tinggalnya terlalu sempit untuknya melakukan eksperimen besar. Belum lagi jika eksperimennya menimbulkan ledakan. Leon tidak mau mengambil resiko, sehingga ia hanya melakukan eksperimen kecil saat menjalani skors nya di rumah.

"Selamat datang kembali, Pak Leon. Aku harap kau telah banyak merenung selama menjalani skors." Leon tetap tersenyum menanggapi sapaan dingin dari Hayden, atasannya sendiri.

"Selamat pagi, Pak Hayden. Saya akan berusaha sebaik mungkin setelah ini," balas Leon optimis. Hayden hanya menganggukkan kepala dan pergi dari hadapan Leon.

"Wah! Akhirnya kau kembali!" seru Julian, teman kerja yang sangat akrab dengan Leon. Ia merangkul sahabatnya itu penuh suka cita.

"Julian! Bagaimana kabarmu? Bagaimana keadaan kantor tanpa aku?" Leon bertanya sembari menyikut Julian. Mereka berjalan berdampingan menuju lab kerja Leon.

"Kami seperti kehilangan sosok pahlawan," ucap Julian dengan nada dramatis.

"Ah, kau terlalu berlebihan!" Mereka berdua tertawa dalam canda.

"Sepertinya keadaan kantor sama saja. Tapi ada beberapa klien yang membatalkan kerjasamanya karena mereka mau kau yang membuatkan robot untuk mereka."

"Benarkah?"

"Serius! Aku tidak berbohong," balas Julian sembari mengambil air mineral di kulkas mini yang terletak di pojok ruangan.

Tok tok tok! Terdengar ketukan pintu yang menginterupsi obrolan Leon dan Julian. Sang pemilik lab mempersilahkan masuk orang yang mengetuk pintu tadi.

"Permisi, Pak Leon. Saya membawa klien yang ingin bertemu dengan Anda," ucap seorang wanita yang bekerja di bagian administrasi.

"Baik, silahkan masuk."

Wanita itu membawa seorang pria berdarah Jepang dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi dan memakai kacamata berbingkai kotak. Julian menaikkan kedua alisnya ke arah Leon sambil tersenyum dan langsung pergi meninggalkan lab bersama wanita tadi.

"Selamat pagi, Pak Leon. Perkenalkan, saya Nakamura Hiroshi. Anda bisa memanggil saya Pak Hiro," sapa Hiro dengan menjabat tangan Leon.

"Selamat pagi, Pak Hiro. Silahkan duduk," balas Leon sopan dan mempersilahkan duduk.

Terdapat sekat yang memisahkan antara tempat Leon membuat robot dan ruang yang biasa digunakan untuk bercakap-cakap dengan klien. Ruangan kerja Leon yang luas ini juga menjadi bukti dari hasil kerja keras Leon di perusahaan Elovien Group.

"Saya adalah pemilik toko kelontong di Jepang yang merupakan warisan ayah saya. Saya ingin Anda membuatkan robot AI dengan penampilan laki-laki dan perempuan yang akan mengelola toko saya, sekaligus menjadi maskot toko. Oh ya, saya ingin robotnya tidak berbentuk persis seperti manusia agar terkesan lebih futuristik," jelas Pak Hiro.

Leon mendengarkan dengan seksama sambil mencatat penjelasan Hiro di bukunya. Hiro pun menyerahkan beberapa berkas yang berkaitan dengan tokonya. Kemudian mereka melanjutkan percakapan hingga sampai pada kata 'setuju'. Hiro meminta agar Leon dapat mengerjakannya selama dua bulan. Permintaan mendesak itu tetap diterima Leon. Apapun yang berbau soal robot adalah keahliannya. Lagi pula, ini adalah klien pertamanya setelah tiga bulan skors, jadi, Leon dengan senang hati menerimanya.

***

"Leon, ikut ke lab saya sekarang," perintah Hayden tegas. Ucapan atasannya itu membuat Leon yang tidak tahu apa-apa kebingungan. Ia mengikuti langkah Hayden di belakangnya dengan takut-takut. Baru dua bulan ia kembali, tapi apakah ia akan mendapat masalah baru? Leon yakin betul ia telah mengerjakan proyek pertamanya setelah tiga bulan skors dengan sangat teliti. Atau karena sikap Hayden saja yang masih merendahkan dirinya karena kesalahannya waktu itu? Benar-benar menjengkelkan.

"Lihat ini. Saya baru saja menguji coba robot buatanmu untuk klien pertama mu setelah menjalani skors. Apa yang telah kau perbuat?!" sentak Hayden sedikit keras.

"Saya yakin saya telah mengerjakannya dengan baik, Pak," ucap Leon sambil mengusap punggung tangannya. Hayden menatap Leon dengan sangsi.

Menurut Leon, tidak ada yang aneh dengan kedua robot AI buatannya. Semuanya terlihat sempurna mulai dari desain penampilan hingga program canggih untuk standar toko tanpa pekerja manusia. Leon memperhatikan Hayden yang mulai mencoba mengoperasikan sepasang robot itu.

Hayden, sebagai kepala penguji coba perangkat keras, mengaktifkan kedua robot yang telah dibuat Leon. Tapi anehnya, hanya robot laki-laki yang merespon kendali remote control yang dipegang Hayden. Tapi, setelah Hayden mengarahkan robot laki-laki itu menyentuh tangan robot perempuan, barulah robot perempuan itu merespon. Robot perempuan itu baru bisa melakukan perintah asalkan tangannya bersentuhan dengan tangan robot laki-laki.

Leon terkejut akan apa yang baru saja dilihatnya. Ini aneh sekali, padahal ia sudah memastikan bahwa pekerjaannya sudah sempurna.

"Kau harus segera memperbaiki ini, Pak Leon. Aku tidak mau kau membuat kesalahan lagi," ucap Hayden tegas dengan suara beratnya. "Atau kau harus meninggalkan perusahaan ini."

***

Leon menghembuskan napasnya kasar dengan kedua tangan yang kini menyentuh kepalanya frustasi. Ia sudah sangat yakin robot buatannya tidak memiliki kekurangan. Leon adalah orang yang perfeksionis, rasanya mustahil kalau dirinya bisa melakukan kesalahan sekecil apapun. Sebelum diuji oleh Hayden pun Leon sendiri sudah mengujinya dan semuanya normal.

Lalu kenapa bisa ada yang tidak beres begitu Hayden yang mengujinya?

"Kenapa membuat Hayden marah lagi?" tanya Julian yang langsung masuk ke ruangan Leon tanpa dipersilahkan.

Berita tentang bagaiamana robot yang Leon kerjakan tidak beres selalu bisa menyebar dengan cepat ke perusahaan. Ini bukan pertama kali jadi Julian sudah tidak kaget lagi mendengarnya. Tetapi berbeda dengan Leon yang selalu terlihat tidak terima dan merasa frustasi.

"Aku membuat kesalahan lagi," ujar Leon lemas.

Pria dengan rambut golden brown itu menyenderkan tubuhnya di kursi. Netra hangatnya yang berubah sendu itu bertabrakan dengan mata Julian yang tampak jengah.

"Kau sadar tidak kalau robotmu tidak beres setelah masuk ke lab Hayden?"

Julian bukannya bermaksud untuk mencurigai Hayden, tetapi kenyatannya memang seperti itu. Sebagai teman dekat Leon, Julian tahu persis jika teman lugunya itu tidak akan melakukan kesalahan apapun karena sikap perfeksionisnya.

Leon yang sama sekali tidak memiliki pikiran buruk pada Hayden berdecak. "Mungkin memang aku saja yang kurang teliti."

Julian menggeram kesal. Leon yang selalu berpikiran positif memang mudah sekali dicurangi oleh orang lain.

"Kau selalu mengujinya berkali-kali sebelum diuji oleh Hayden, Leon. Jadi mana mungkin itu kesalahanmu. Kau lupa kalau ini bukan pertama kalinya robotmu bermasalah sewaktu ditangan Hayden?"

Yang dikatakan Julian ada benarnya. Semuanya memang terasa janggal dan tidak masuk akal setelah robotnya diuji oleh Hayden. Leon berdiri dari duduknya, berjalan keluar ruangan melewati Julian yang menatapnya tak terima karena merasa diabaikan. Tujuan utamanya adalah ruangan Hayden.

Leon mungkin memang gila karena daripada menyelidiki ia lebih memilih bertanya langsung pada Hayden. Tetapi baru saja Leon ingin mengetuk pintu ruangan Hayden, seorang wanita yang ia kenal keluar. Tatapan mereka bertabrakan sesaat sebelum si wanita memalingkan wajah.

"Liora?" sapa Leon dengan suara pelan tapi cukup keras untuk didengar Liora, kekasihnya. "Ada perlu apa kau kesini?"

Liora meneguk ludah, mata cantiknya mengerjap beberapa kali sebelum Hayden keluar dari ruangannya sendiri. Raut wajah atasannya sempat menunjukkan keterkejutan sesaat sebelum berubah kembali menjadi datar.

"Ada apa, Pak Leon? Kalau bukan hal penting sebaiknya besok saja, saya ada janji fitting baju pernikahan dengan tunangan saya sekarang," kata Hayden santai dengan tangan yang melingkar posesif di pinggang Liora.

Liora nampak ingin menjauh tapi Hayden tidak mengizinkan. Leon yang sempat terdiam beberapa saat menyadari kebodohannya. Liora yang selama ini jarang menghubunginya bisa ia maklumi karena wanita itu bilang sedang sibuk. Tapi ternyata kesibukan wanita itu adalah sedang mempersiapkan pernikahan dengan atasannya sendiri.

Leon terkekeh. Matanya tiba-tiba terasa panas tapi sekuat tenaga ia menahan untuk tidak menangis. Liora dan Hayden tidak pantas mendapatkan air matanya. Sekarang semuanya tampak masuk akal kenapa Hayden selalu saja membuatnya dalam masalah.

Atasannya itu pasti juga mengetahui hubungannya dengan Liora.

"Saya ingin mengundurkan diri."

***

Lima tahun kemudian.

"Lily mau pesan apa?" tanya wanita itu menunduk, memandangi putri kecilnya yang tampak kebingungan ditanya seperti itu. Anak kecil itu kemudian menunjuk satu gambar ice cream strawberry yang menurutnya menarik.

Liora tersenyum lalu memanggil robot pelayan yang melintas di depannya.

"Iced coffe satu dan ice cream strawberry, ya. Satu cruffle dan cheese cake juga," kata Liora ramah.

Robot pelayan itu membalas dengan ramah juga lalu meminta Liora menunggu.

Nuansa yang hangat, pelayanan yang ramah, dan menu yang menarik membuat Liora mengerti kenapa cafe ini menjadi populer akhir-akhir ini. Pelayanannya yang menggunakan robot membuat kesan unik pada cafe ini. Sebagai seorang blogger sukses, Liora berencana mengulas seputar cafe ini di website miliknya.

"Oh, Liora?"

Liora mendongak ketika ada yang memanggil namanya. Wanita itu mendelik kaget dan reflek berdiri melihat sosok Leon di depannya.

"Leon? Kau disini juga?"

Si pria dengan surai golden brown itu mengangguk. "Iya. Ini putrimu?"

Liora melihat Lily sekilas lalu mengangguk.

"Putrimu dengan Hayden?" tanya Leon santai.

Lagi-lagi Liora mengangguk tapi ada rasa bersalah kali ini. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian lima tahun yang lalu. Dimana Liora ingin menjelaskan pada Leon tapi pria itu malah menghilang tanpa jejak.

"Aku ingin minta maaf," kata Liora. "Aku ingin menjelaskan lima tahun yang lalu tapi kau menghilang begitu saja. Aku benar-benar minta maaf, Leon."

Leon hanya mengangguk sebagai jawaban. Kejadian lima tahun yang lalu sudah ia maafkan. Leon tidak ingin jadi satu-satunya yang stuck di masa lalu.

"It's okay, Liora."

"Tolong maafkan Hayden juga," balas Liora lagi.

Leon lagi-lagi kembali mengangguk. Ia benar-benar sudah memaafkan semuanya meski belum melupakan.

"Leon sayang?"

Leon dan Liora menoleh pada satu wanita yang melambaikan tangan pada Leon di depan kasir. Seorang wanita cantik yang sedang menggendong bayi di tangannya itu membuat Leon balas tersenyum.

"Itu istriku, dia baru melahirkan lima bulan yang lalu." Leon kemudian menepuk pundak Liora pelan. "Nikmati harimu, Liora." 

***END***
Ditulis oleh jhounebam & liliay07

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro