From a Distance

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Flavia tersenyum puas saat hadiah valentine yang ia pesan untuk kekasihnya sudah berada di genggaman. Sejak beberapa hari yang lalu, ia tidak sabar menunggu hari valentine tiba. Akhirnya penantiannya akan berakhir nanti malam. Tentu saja, ia akan bertemu dengan Anton, kekasihnya yang pulang ke Indonesia.

Flavia terpaksa menjalani hubungan jarak jauh dengan Anton, karena laki-laki itu diterima bekerja di sebuah perusahaan yang berada di London. Sudah tiga bulan lamanya mereka tidak bertemu, mereka juga jarang berkomunikasi karena kesibukan juga perbedaan waktu yang cukup lama. Namun, Flavia bersyukur, hubungan mereka masih terjalin hingga detik ini.

"Ada apa Mas Jeff?" tanya Flavia begitu mengangkat telepon.

"Lama banget. Gue jamuran nih nungguin lo. Buruan!"

Flavia mendengus kesal. Mengapa kakaknya itu sangat tidak sabaran? Padahal mereka baru berpisah beberapa menit karena ia harus mengambil pesanan. "Sabar. Gue baru keluar dari toko. Lo anteng aja di sana. Nggak ada lima menit gue sampai."

Setelah menutup sambungan telepon secara sepihak, Flavia berjalan cepat menuju Pepper Lunch, tempat Jeffry menunggunya. Perempuan itu kembali menyunggingkan senyum, tidak bisa menutupi kebahagiaan yang ia rasakan hari ini.

Flavia memeluk paper bag erat-erat, seolah melindungi isi yang berada di dalamnya. Tentu saja ia harus menjaga isinya dengan baik. Ia sudah memesan patung kecil berbahan keramik berbetuk wajah Anton sejak sebulan yang lalu. Ia berencana memberikan itu sebagai hadiah valentine untuk Anton saat mereka bertemu nanti malam. Ah, ia benar-benar tidak sabar ingin bertemu dengan sang kekasih.

Dari kejauhan, Flavia melihat Jeffry sedang berbicara dengan seorang laki-laki dan perempuan. Siapa mereka? Mengapa ia sangat mengenal postur tubuh laki-laki tersebut? Dan juga, mengapa wajah Jeffry terlihat sangat tidak bersahabat?

"Mas Jeff," panggil Flavia saat sudah berada di dekat sang kakak.

Jeffry tersentak begitu mendengar suara Flavia. "Fla ..."

Kini, tatapan Flavia beralih pada dua orang yang berada di hadapan Jeffry. Tak hanya Flavia yang terkejut. Laki-laki itu juga menunjukkan respons yang sama.

"Anton?" panggil Flavia saat melihat sang kekasih berada tepat di hadapannya.

"Fla ...," lirih Anton dengan susah payah.

"Kamu kok nggak kasih kabar kalau udah sampai?" tanya Flavia heran. Lalu, tatapannya beralih pada seorang wanita yang berdiri di samping Anton.

Flavia mengernyitkan dahi. Mungkinkah wanita tersebut merupakan ibu dari kekasihnya? Karena sejak menjalin hubungan, Anton belum pernah mengenalkan dirinya kepada keluarga. Namun, aneh. Perut wanita itu terlihat buncit seperti ibu yang sedang mengandung. Tidak mungkin ....

"Siapa ini, Ton?"

Tubuh Anton menegang. Sementara wanita itu tersenyum lebar seraya mengulurkan tangan pada Flavia.

"Hai, saya Riana. Calon istrinya Anton."

"Calon istri?" bingung Flavia saat menyambut uluran tangan itu.

"Ah, maaf. Saya sedang mengandung anaknya Anton. Kami berencana menikah setelah anak kami lahir," jawabnya seraya mengusap perut buncitnya.

Satu kalimat yang membuat dada Flavia berdenyut ngilu. Sesaat ia lupa caranya bernapas. Calon istri? Anak Anton? Flavia kembali melirik perut besar itu. Wanita bernama Riana itu terlihat sangat bahagia saat mengusap perut buncitnya, sementara lengan kanannya menggamit lengan Anton erat. Jika mereka tidak sedang berada di dalam mal, Flavia bisa memastikan dirinya sudah terduduk lemas di lantai.

Kini, Flavia berusaha menyunggingkan senyum di hadapan Anton dan Riana. Bahkan, ia menarik napas dalam agar bisa mengeluarkan suara yang ceria dan menyembunyikan suaranya yang bergetar.

"Ah, halo Riana. Saya Flavia, teman Anton," sapa Flavia. "Dan kenalkan, ini Jeffry, pacar saya," lanjutnya seraya menggamit lengan sang kakak.

Jeffry menoleh, menatap adiknya dengan tatapan tak percaya dengan apa yang Flavia ucapkan. Bagaimana bisa adiknya terlihat baik-baik saja saat mengetahui fakta seperti ini? Jika saja Flavia tak mencengkeram lengannya erat seolah menahan agar emosinya tidak meledak, ia bersumpah akan menghabisi Anton di tempat ini.

"Udah berapa bulan?" tanya Flavia dengan suara tercekat.

"Tujuh bulan," jawab Riana.

Flavia menutup kedua matanya seketika. Tujuh bulan? Ia baru menjalin hubungan dengan Anton empat bulan ini. Jika usia kandungan Riana sudah tujuh bulan, itu artinya ...

"Fla," panggil Jeffry lirih. Kali ini ia merengkuh bahu adiknya, takut Flavia akan tumbang.

Mendengar panggilan lembut dari Jeffry, Flavia membuka mata lalu menoleh ke arah sang kakak. Ia tersenyum tipis lalu kembali menatap Anton dan Riana. "Selamat ya, buat kabar baiknya. Anyway, aku sama Jeff duluan," pamit Flavia.

"Fla, aku mau ngomong sebentar," sela Anton dengan wajah pucat.

Flavia tersenyum. "Maaf, Ton. Aku ada acara sama Jeff. Kalau ada yang mau diomongin, nanti hubungi aku aja, ya?"

***

Sumpah serapah yang terlontar dari mulut Jeffry tidak membuat keadaan Flavia membaik. Sepanjang perjalanan pulang, Flavia bungkam. Perempuan itu hanya menatap keluar jendela mobil dengan tatapan kosong. Hatinya sakit, seolah ada peluru yang menembus hatinya. Bahkan, untuk menghirup oksigen saja rasanya berat.

Sesampainya di rumah, Flavia segera berlari menuju kamar. Jeffry ingin membiarkan adiknya sendiri, tetapi niat itu terpaksa diurungkan saat mendengar suara pecahan kaca dari kamar sang adik.

Begitu membuka pintu kamar, tubuh Jeffry membeku. Flavia menangis keras di atas tempat tidur. Patung pesanan yang baru diambil tadi sudah pecah berserakan di lantai. Jeffry melangkahkan kaki dengan hati-hati agar kakinya tidak mengenai pecahan keramik tersebut.

"Fla ...," panggil Jeffry seraya menyentuh punggung Flavia. Namun, begitu tangan Jeffry mendarat lembut di punggung Flavia, tangis perempuan itu makin keras.

"Gue ... gue ... nggak nyangka. Anton tega sama gue," isaknya.

"Udah, Fla. Cowok kayak gitu nggak perlu lo tangisin."

Flavia menggeleng. "Gue kecewa. Lo tahu sendiri gimana awal gue deket sama dia. Dia baik, Mas. Dia bilang mau serius sama gue. Katanya, gue mau dibawa ketemu keluarganya setelah dia pulang dari London. Tapi ... tapi ternyata ... gue bukan satu-satunya perempuan di hidupnya. Gue cuma selingan ...."

Jeffry terperenyak. Ada emosi dan kepasrahan dalam suara Flavia. Jujur, ia juga tidak menyangka Anton tega berbuat seperti itu. Seperti kata Flavia, dari awal mengenal Anton, ia mengenal Anton sebagai laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Tidak menyangka sama sekali akan seperti ini akhirnya. Namun, dalam hati ia bersyukur bisa mengetahui kebusukan Anton secepat ini, sebelum adiknya jatuh terlalu dalam.

Mendengar tangis Flavia yang semakin keras, Jeffry sontak menarik Flavia ke dalam pelukannya. Diusapnya punggung sang adik perlahan, berusaha menenangkan. Ia tahu, hati Flavia pasti terasa sakit sekali.

"Keluarin aja, Fla. Keluarin semuanya biar lo ngerasa lebih baik."

***

Satu minggu berlalu, kini Flavia tengah berada diperjalanan menuju rumah, ia baru saja pulang dari kantor tempatnya bekerja dengan mengendarai mobil. Melodi musik terputar menemani sepanjang jalannya, sampai akhirnya suara dering telepon menghentikan melodi indah tersebut. Tanpa pikir panjang Flavia langsung mengangkat telponnya.

"Fla," Suara bariton dari seberang sana memanggil namanya. Namun Flavia hanya menjawab dengan deheman.

"Lo udah deket dari rumah?" Tanya seseorang itu lagi dari seberang sana.

"Belum, ini masih dijalan Ganesa." Jawab Flavia dengan sedikit melirik luar jendela mobil.

"Tolong lo ambilin berkas dikantor, tempat yang biasanya map warna biru. Disana ada 5 berkas, Lo bawa aja semuanya."

"Ogah! Lagian kantor lo itu gak se-arah sama jalan pulang, gue capek!" elak Flavia dengan nada kesal.

"Please, penting banget itu. Besok buat meeting, gue beliin roti red velvet deh gimana?"

"Mas Jeff gak bohong? Pokoknya entar malem harus dibeliin!" Ucap Flavia dengan girang.

"Iya, buruan dah."

Telepon pun dimatikan sepihak oleh Flavia, ia segera putar balik menuju kantor yang jaraknya sekitar 1 kilo dari jalan Ganesa. Ia menancap gas dengan kecepatan sedikit melebihi rata rata sembari menikmati suara deruman mobilnya yang membelah jalan raya kota Bandung.

Setelah sampai dikantor sang kakak, ia segera mengambil berkas tersebut dan pergi dari sana. Namun apa yang ia perkirakan tak semulus itu, saat menuju mobilnya dari jauh terlihat laki-laki yang beberapa hari ini selalu ia hindari. Flavia mengumpati dirinya sendiri, kenapa bisa ada orang itu disini. Ia mempercepat langkahnya sembari menutupi mukanya dengan berkas tersebut.

"Flavia!" Tiba-tiba suara yang dari tadi ia cemaskan, memanggilnya. Ah, kenapa jadi seperti ini.

Derap langkah itu terdengar mengejar langkah Flavia. Detik kemudian laki laki tersebut telah berdiri didepan Flavia.

"Tunggu, Fla. Kenapa kamu selalu menghindar dari aku?" Tersirat sedikit emosi diperkataan laki-laki tersebut. Namun detik berikutnya, ia menatap lembut Flavia.

"Soal kejadian kemarin? Aku bisa jelasin, tapi jangan menghindar kayak gini." Lanjutnya dengan memegang tangan Flavia. Flavia pun menatap lekat manik mata laki laki itu.

"Kita udah ngga ada keperluan lagi, jadi menyingkirlah dari jalanku," ucap Flavia sembari menarik tangannya yang digenggam oleh Anton. Ya, laki-laki yang sedari tadi mencegahnya adalah sang mantan kekasih.

"Dengerin bentar aja Fla," cegah Anton lagi, seraya memegang bahu Flavia.

"Kenapa? Kamu udah janji sama aku, kalau kamu mau ngenalin aku ke-keluarga kamu. Tapi apa? Bulshit! Kamu masih sama, gk berubah." lanjut Flavia dengan menyunggingkan senyum tipis.

"Maafin aku, Fla... aku beneran gak bermaksud buat nyakitin kamu, aku cuman..." ucap Anton terpotong,

"Cuman nggak sengaja, dan diluar perkiraan kamu?" ucap Flavia penuh penekanan disetiap katanya.

Saat itulah Flavia benar benar kacau, ia pergi begitu saja meninggalkan Anton yang tak mampu lagi mencegahnya. Ia segera masuk kedalam mobil, menginjak pedal gas dan pergi dari sana. Tanpa ia sadari dengan kondisi kacau ia menginjak gas terlalu kencang, ditambah kondisi hujan yang membuat jalanan lebih licin. Kondisi ini membuatnya kalang kabut, ia pun meminggirkan mobilnya sebentar sembari menunggu hujan reda. Menetralkan nafasnya dan menahan tangis yang mulai menerobos tembok pertahanannya.

Flavia hanyut dalam keheningan hujan dan perkataannya tadi yang terus berputar dikepalanya. Entah kebetulan atau kejanggalan yang disengaja, deruman keras mobil dari belakangnya seperti bersiap untuk menabrak dirinya. Ia pun menghadap belakang, dan yang benar saja... Mobil itu tancap gas kearahnya dengan kecepatan tinggi. Dengan cepat Flavia juga menginjak pedal gasnya, mobil tersebut benar-benar sedang mengincar Flavia. Flavia tidak memikirkan apapun selain melarikan diri dari mobil asing tersebut. Sampai ia tak sadar jika telah menerobos lampu lalu lintas yang menyala terang berwarna merah. Terlihat juga sebuah bus yang melaju dari sebelah kanan, membuat Flavia terkejut dan banting setir.

BRAKK...

***

Dua bulan berlalu, semua terasa sangatlah lama bagi Flavia yang harus menunggu diruangan serba putih ini. Kecelakaan yang menimpanya kemarin, adalah hal terburuk yang pernah Flavia alami. Ia sudah tak bersemangat untuk melakukan apapun, putus asa itu yang ia rasakan. Entahlah, rasa itu benar-benar menggerogoti dirinya. ia mengalami patah tulang kering yang membuatnya harus melakukan operasi.

"Jangan ngelamun terus," suara khas yang selalu menemaninya saat di rumah sakit tiba-tiba saja terdengar sangat dekat disampingnya.

"Mas Jeff," panggil Flavia masih dengan tatapan kosong yang menghadap balkon ruang rawat inapnya. Jeffry berdehem untuk menanggapi Flavia, ia menatap tulus Flavia yang masih saja melamun.

"Kalo Flavia loncat dari sana, kira kira Fla mati gak ya?" Tatapan Flavia masih tak beralih dari balkon tersebut.

"Kamu mau bunuh diri?! Udah jelas ini lantai 7, siapa orang yang gak mati kalo terjun dari ketinggian segitu?" Geram Jeffry, sembari mengusap kepala sang adik.

"Dari pada harus ngerepotin Mas Jeff terus," Flavia menunduk, tak terasa air matanya pun ikut menetes.

Jeffry sangat kesal dengan dirinya sendiri, ia merasa gagal menjadi seorang kakak, sampai membuat sang adik berada dikondisi seperti ini. Ia pun menangkup pipi Flavia dan menatap mata sang adik dengan tatapan hangat.

"Lihat, Fla. Gue selalu disini, gue selalu ada disisi lo, lo bisa luapin semua emosi lo ke gue tapi jangan ngelakuin hal sebodoh itu," ucap Jeffry menyatukan keningnya dengan Flavia.

"Peri kecil ini juga berharak bahagia" Jeffry menarik kedua sudut bibir Flavia agar tersenyum.

"Gue tinggal dulu ya, gue ambilin makanan sama obat lo" ucap Jeffry lalu pergi dari sana.

Entah apa yang Flavia pikirkan, ia turun dari ranjangnya sedikit tertatih-tatih. Ia berjalan menuju balkon kamar rawat inapnya, dan merasakan hembusan angin malam yang menyisir rambutnya.

Ia menelan ludahnya kasar, "Maaf mas Jeff. Fla, ingkar janji..." air mata yang terus turun dari matanya tak mampu lagi ia bendung, menikmati masa terakhirnya di balkon rumah sakit ini.

"Makasih mas Jeff udah selalu ada buat, Fla. Makasih, Anton udah isi hidup Fla walau berakhir kelabu. Fla emang gila sampai ngelakuin hal bodoh ini, tapi ini pilihan Fla," isakan Flavia tidak terlalu terdengar karena tersapu angin malam yang begitu kencang. Ia tampak menyunggingkan senyum dan berdiri ditepi pagar balkon. Ia berada tepat diluar pembatas dengan tangan memegang pagar, sekali ia melepas tangannya maka ia benar-benar akan terjatuh dari atas ketinggian lantai 7.

"Maafin Fla, untuk yang terakhir kalinya" suara lembut Fla terdengar parau.

Ia melepas kedua tangannya, bersamaan dengan Jeffry yang berlari kearahnya dan disusul oleh Anton. Nihil, Jeffry tak dapat menggapai tangan sang adik. Flavia menutup matanya dan tersenyum. Suara tubuh Flavia yang membentur jalanan membuat siapapun terkejut. Jeffry tak kuasa lagi menahan tubuhnya, ia terduduk lemas dan hanya mampu menangisi kepergian Flavia.

***END***
Ditulis oleh ichaaurahmaa & vanillakies_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro