Me and Her Addict

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditulias oleh ProjectRuby & iluvplumtea

Aku tak pernah tau sifat apa itu
Hingga aku bertemu dengannya
Yang mengikat hatiku layaknya sebuah jangkar
Menahanku agar tak terbawa arus
Namun tanpa kusadari
Aku tenggelam bersamanya

Sore itu jalanan kota Madya penuh sesak oleh para pekerja yang dilanda rasa lelah. Rindu akan istirahat yang mereka dambakan setelah seharian bekerja untuk menghidupi diri mereka maupun orang yang mereka sayangi. Aku memperhatikan setiap pengendara motor yang lewat dengan penasaran apa yang ada dalam pikiran mereka sekarang.

Aku menyeruput kopi sembari menatap langit sore dari rooftop cafe langgananku. Menunggu seseorang yang telah menyerobot tanpa izin dalam hidupku, memberi rasa nyaman yang aneh serta sesuatu yang aku tidak paham. Aku melirik minuman di depanku, red velvet ukuran medium less ice. Memastikan minuman itu dalam kondisi baik-baik saja hingga ia datang.

Aku menyeruput kopiku sekali lagi, berharap ia segera muncul dari ujung jalan.

"Hey, Arven. Masih menunggu dia?" Seseorang mengejutkanku. Ia berbicara selagi membersihkan meja di sekelilingku. Aku mengganguk. Memuji betapa nikmatnya kopi yang ia tawarkan untuk pelanggan.

"Tentu saja, aku sekolah terlalu tinggi untuk sekedar kopi sachet." Ia mengambil duduk di depanku. Tanpa sadar kami membicarakan segalanya. Politik, bisnis, hingga sesuatu yang mistis. Waktu berlalu sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Ia berbicara panjang lebar mengenai rencana perluasan yang akan memakan banyak biaya, hingga pada satu titik ia berhenti bicara. Menatap tajam sesuatu di belakangku.

"Ah, Sayang. Bagaimana perjalananmu?"

Kawanku beranjak dari tempatnya, sempat berbisik sesuatu yang tak sepenuhnya kutangkap dan meninggalkan kami berdua. Aku melambai padanya. Kembali menatap kekasihku yang tanpa kusadari menatapku dingin.

"Duduklah, Sayang. Kau pasti lelah, aku sudah memesankanmu minuman."

Ia duduk. Tanpa menjawabku ia mengambil red velvet-nya, mengecap sebentar lalu meletakkan gelas itu dengan sedikit kasar. "Hambar," ucapnya singkat.

Aku terkejut. Menyadari bahwa minuman itu terlalu lama menunggu hingga es yang sedikit itu mencair membuat rasanya hambar.

"Maaf, Sayang. Seharusnya aku tidak membiarkannya terlalu lama menunggu. Akan kupesankan la ...."

"Jadi kau keberatan menunggu?"

Eh, aku menyadari kesalahanku!

"Bukan begitu, Sayang. Aku tidak keberatan, aku kan memang selalu datang lebih awal." Kucoba menjelaskan agar ia tidak salah paham, tapi tampaknya ia tidak tertarik dengan penjelasanku.

Tak lama berselang red velvet yang baru pun datang. Setelah ekspresinya melunak aku memberanikan diri untuk bertanya, "Bagaimana harimu, Sayang?"

Ia menatapku sekilas, membuang wajahnya lalu menatap jalanan yang semakin padat. "Buruk, dan jangan kau perburuk dengan basa-basi tidak berguna itu!"

Aku mengangguk. Berusaha untuk menjaga perasaannya.

Hening untuk berberapa saat. Ia fokus dengan ponselnya, aku fokus menatap dirinya dalam diam. Aku tak pernah paham mengapa aku jatuh hati padanya, tapi ketika berada dekat dengan dirinya, aku merasa tak berdaya. Meleleh dalam tatapannya yang entah bagaimana menyihirku untuk selalu ada untuknya.

"Tadi pagi Ian datang dengan motor barunya," celetuknya.

Aku mengganguk. Aku juga melihat itu tadi pagi.

Ia meletakkan ponselnya. Menatapku sejenak sebelum memulai ceritanya tentang hari ini. Aku tersenyum. Moodnya membaik.

"Jadi aku kesal dengan tingkah laku orang itu!" Ia bersungut-sungut. Menatapku meminta tatapan belas kasihan.

Waktu berlalu tanpa kusadari. Bersamanya membuatku melupakan segala hal. Berbicara dengannya walau hanya sekadar menjadi pendengar mampu mengusir rasa kesepian yang selama ini datang. Aku membutuhkan kehadirannya, entah mengapa.

Drtt ... drtt ... drtt ....

Ponselku berdering. Tertera nama salah seorang sahabatku di sana. Aku berniat mengangkatnya, tapi ia menatapku dingin.

"Siapa itu?" tanyanya dingin.

"Dito. Boleh aku mengangkatnya?"

Ia dengan tegas menggeleng. "Kau tau ini adalah waktu untuk kita berdua?" ucapnya ketus.

Aku menggangguk, membiarkan panggilan itu berlalu. Hening sesaat hingga panggilan kedua masuk memecah keheningan. Aku hanya menatap ponsel itu berdering dan mati.

"Ada keperluan apa hingga ia bersikeras seperti itu?"

"Sebenarnya aku ada latihan hari ini. Kau tau kan turnamen basket minggu depan? Aku terpilih untuk memperkuat tim sekolah, ak ...."

"Kenapa kau tidak bilang?" Ia menuduhku

"Kau tidak membaca pesanku?"

"Kau tau aku sibuk," sergahnya. Hening kembali. Ia tampak geram.

"Tidak boleh, kau tidak boleh ikut turnamen itu"

Aku terperanjat. "Apa? Tapi, Sayang. Aku mewakili sekolah, aku tidak bisa membatalkan sepihak."

"Tidak, kau bisa. Aku tidak mau tau, kau tidak boleh ikut!" Ia menatapku tajam.

Aku tidak suka melihatnya seperti ini, seolah-olah ia ingin memakanku, mengoyakku seperti hewan buas. Untuk sesaat aku mempertanyakan kembali keputusanku untuk bersamanya. Mengapa? Apa alasanku hingga aku ingin bersamanya?

Aku menghela napas, membuang pandanganku sejenak.

Hiruk pikuk kota Madya tidak padam walau hari telah usai. Lampu jalanan dan gedung menghiasi setiap sudut kota, memberi warna pada malam hari yang cukup cerah ini. Angin malam pula berembus menerbangkan anak rambutnya selagi ia menatapku tajam menunggu kepastian. Aku merasakan tekad yang kuat dari tatapan itu.

"Baiklah, aku tak akan ikut turnamen itu."

Tatapannya melunak. Ia meremas jemariku, kehangatan yang menggetarkan hati.

"Terima kasih," bisiknya.

Rasa bersalah yang melandaku sebelumnya mendadak tergantikan oleh perasaan tenang yang aneh. Namun, ia menatapku dengan perasaan bersalah.

"Sebenarnya ...."

"BAJINGAN KAU, PEREMPUAN!"

Teriakan lantang itu memecah malam, membuat kami terperanjat. Di sisi lain _cafe_ berdiri sahabatku Dito yang tengah ditahan oleh pemilik cafe. "KAU TAK BERHAK MEMERINTAH ARVEN SESUKAMU!"

Kami berdiri. Kekasihku berhadapan dengan Dito yang terlihat siap menghabisi dirinya. Mereka bersitatap saling berteriak. Aku dan pemilik _cafe_ berusaha melerai keduanya.

"KAU SIAPA HAH?!" bentak Dito

"KAU YANG SIAPA, BAJINGAN! KAU HANYALAH TEMANNYA!"

Wajah Dito semakin memerah. "KAU YANG SIAPA HAH! KAU BARU SAJA DATANG DAN MEMBERINYA KENYAMANAN SESAAT. AKU SUDAH LEBIH DULU ADA, PEREMPUAN! AKU SUDAH MERASAKAN SEGALANYA. KAU YANG HARUS TAU TEMPATMU DI MANA!"

Kekasihku terdiam. Suasana yang tadi panas mendadak sunyi. Aku dan pemilik cafe bertukar pandang. Harga diri kekasihku terluka. Ia menunduk, air mata jatuh selagi ia mengambil tas dan berlari meninggalkan kami. Aku mencoba mengejar, tapi Dito menahanku. Ia menggeleng.

"Berikan dia waktu."

***

Berapa lama waktu yang harus kuberikan untuk kekasihku sebelum aku bisa menghubunginya kembali? Sehari? Seminggu? Sebulan?

"Selamanya." Dito memberiku saran tanpa kuminta. "Kau sadar apa yang sudah dia lakukan kepadamu?"

"Aku mencintainya."

"Cinta t*i kucing. Itu bukan cinta."

Aku menatap Dito tanpa mengatakan apapun. Percuma saja. Dito atau teman-temanku yang lain tidak pernah menyukai kekasihku. Mereka selalu berkata negatif tentangnya. Meski aku sudah sering meminta agar mereka tidak melakukannya, tetapi setiap kali kekasihku marah kepadaku, mereka akan kembali mencelanya habis-habisan.

Sungguh melelahkan.

Aku merindukan kekasihku. Ia tidak akan pernah memaafkanku jika aku mendiamkannya terlalu lama. Aku merogoh gawai pintar dari dalam saku; hendak mengirim pesan kepadanya.

Dito merebut ponselku.

"Kembalikan," pintaku.

"Arven, di mana harga dirimu sebagai seorang lelaki? Apa kau mau terus menerus diinjak-injak oleh perempuan yang kau jadikan pacar itu?" Dito mengacak rambutnya kesal.

"Tapi aku bahagia bersamanya."

"Dengan dikekang dan ditekan terus menerus seperti itu? Kau itu pacar atau budaknya? Oh, atau kau memang budak. Budak cinta! Sampai-sampai matamu buta oleh cinta."

Dito melemparkan ponselku ke meja. "Kalau kau menghubunginya, jangan pernah bicara padaku lagi."

Tanpa pamit, Dito meninggalkanku sendirian di kamarku. Kepergiannya begitu terasa.

Bukannya aku tidak mengerti kenapa Dito bisa marah seperti itu. Bahkan aku sendiri sering berpikir kenapa aku mau saja diperlakukan seperti itu oleh kekasihku, tetapi apa yang bisa kulakukan jika aku sudah terlanjur mencintainya. Aku tidak bisa hidup tanpanya.

Kuambil ponselku dan mencari nomor kontaknya. Mendengarkan dering telepon membuat jantungku berdebar-debar. Rasa takut, cemas dan pengharapan semua melebur menjadi satu. Mataku menatap jarum detik di jam dinding yang seolah bergerak dengan lambat. Panggilanku tidak kunjung diangkat.

Kekasihku sepertinya benar-benar marah kepadaku. Kututup telepon dan tidak menghubunginya kembali; alih-alih, aku mengambil kunci motor. Sebaiknya aku mendatangi rumahnya langsung.

Jalanan macet tak menghambat tekadku. Hujan gerimis juga tak memadamkan api semangatku. Meskipun aku tahu, bisa saja kekasihku tidak membukakan pintu untukku. Meskipun aku tahu, bisa saja aku langsung diusir sebelum sempat mengucap salam.

Aku menghela napas.

Pelatih basket memarahiku habis-habisan di sekolah tadi saat aku mengatakan tidak bisa ikut turnamen. Mau bagaimana lagi? Aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak bisa membuat kekasihku marah hanya karena hal sepele seperti itu.

Menjelang senja, tinggal satu belokan lagi aku akan sampai ke rumahnya. Ponsel di sakuku berdering. Aku menepikan motor dan melihat siapa yang memanggil. Kulihat nama pelatih basket tertera di sana.

Aku menatap layar ponselku gamang. Menggigit bibir, aku akhirnya menerima panggilan itu.

"Arif cedera. Patah tangan. Kamu mau tidak mau harus bertanding. Besok temui saya di sekolah."

"Baik, Pak." Aku mengiakan permintaan beliau, meski di dalam hati aku gelisah.

Setelah menerima panggilan aku malah galau. Haruskah kuteruskan perjalan? Atau lebih baik aku pulang?

Jika aku menemuinya sekarang dan kekasihku itu masih melarangku ikut turnamen basket bagaimana? Sekarang aku harus bertanding. Akankah ia mengerti? Sudah pasti tidak. Mungkin ini kesempatan terakhirku untuk berbaikan dengannya. Haruskah kusia-siakan?

Mengembuskan napas, aku menyalakan kembali motorku. Tanpa banyak pertimbangan aku berbalik. Pulang ke rumah.

***

Tidak ada pesan ataupun panggilan dari kekasihku. Sebanyak apapun pesan yang kukirimkan kepadanya, jangankan dijawab, dibaca pun tidak. Sering kutanyakan pada diri sendiri. Kenapa aku masih bersamanya? Benarkah aku mencintainya? Apa dia mencintaiku? Apa arti kebersamaan kami untuknya?

Sehari sebelum pertandingan aku melihatnya. Aku berusaha untuk menyapanya, tetapi kekasihku itu malah menghindariku. Tatapan matanya kepadaku tidak lagi dipenuhi oleh marah, melainkan rasa dingin yang penuh dengan ketidakpedulian. Sebagaimana menatap orang yang sama sekali tidak dikenal.

Semudah itukah ia melupakan aku?

Aku bahkan tidak memiliki teman untuk mencurahkan perasaanku sekarang. Dito juga masih menghindariku. Walau selama kami berada dilapangan basket, ia akan mengoper bola kepadaku. Dan terkadang ia juga akan mengajakku melakukan high five. Di luar lapangan, Dito menganggapku sebagai orang asing.

Dalam kesepian, aku selalu mencoba untuk menghubungi kekasihku. Aku meneleponnya tanpa henti, tetapi aku belum bisa berbicara kepadanya.

Ah. Aku mengacak rambutku frustasi. Kenapa semuanya harus rumit seperti ini? Tidak bisakah aku memiliki hubungan percintaan yang mulus? Tidak bisakah aku memiliki hubungan pertemanan yang solid?

Mengapa rasanya aku sedang berdiri di sebuah persimpangan? Antara cinta atau persahabatan. Jalan mana yang harus kutempuh?

Aku berbisik pada dinding kamarku. Bertanya, tetapi selain suara cicak, aku tidak mendengar suara apapun lagi.

***

Ketika peluit panjang ditiup menandakan pertandingan berakhir. Dito merangkulku dengan senyuman lebar di wajahnya. Aku balas tersenyum. Dalam sekejap kami sudah berpelukan dengan teman-teman satu tim yang lain.

"Kerja bagus, Tim. Sebagai hadiah karena kalian menang pertandingan, kita akan makan bersama nanti."

"Ayam goreng, Pak!" Seru seorang temanku, lantas ia menyebut nama tempat yang dia inginkan. Pada akhirnya kami setuju untuk merayakan kemenangan kami di restoran cepat saji tersebut.

Saat kami akan berangkat ke franchise tersebut, aku merasa ada seseorang memanggilku. Suara yang sangat aku kenal. Suara yang kurindukan. Suara yang beberapa hari ini begitu ingin kudengar.

Kekasihku ada di hadapanku, memanggil namaku. Secara otomatis, senyum terpasang di wajahku saat melihatnya. Hanya karena kami berada di tempat umumlah aku tidak serta-merta menghambur memeluknya.

"Arven, ayok!" Dito sudah berdiri di sampingku.

"Dito, tolong bilang ke pelatih kalau aku nyusul nanti ke sana."

"Ngapain?" Suara Dito berubah ketus. Pandangan matanya tertuju ke arah kekasihku. "Denger, ya, Arven. Aku yakin, kalau hidupmu lebih baik jika dia tidak ada di dalamnya."

Aku menggelengkan kepalaku.

"Sekarang kesempatanmu untuk memutuskan hubunganmu dengannya."

Aku mengabaikan perkataan Dito dan menghampiri kekasihku, tetapi tatapannya yang dingin membuatku membeku di tempat.

"Sayang." Aku mencoba untuk mengajaknya bicara. "Kau datang ke pertandingan untuk menontonku?"

Aku berharap ia bilang iya. Aku berharap ia akan mengatakan bahwa ia merindukan aku. Kemudian kami akan berbaikan.

"Untuk apa aku melihatmu? Aku hanya kemari untuk mengakhiri hubungan kita. Aku tidak butuh kekasih yang hanya bisa menyakitiku dan membuatku kecewa."

Bagai petir di siang bolong. Suara kekasihku yang dingin mampu untuk mematahkan hatiku. Patah menjadi dua bagian, yang satu terbakar dan yang satu lagi bagai ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Apa yang aku harapkan? Selama ini aku tidak berusaha agar ia memaafkanku dan aku tahu ia bukan pemaaf.

Haruskah aku pasrah menerima keputusannya? Atau haruskah aku berlutut meminta maaf agar ia menerimaku kembali?

"Selamat tinggal Arven." Kekasihku berjalan melewatiku begitu saja. Tidak ada air mata, hanya amarah yang kulihat di wajahnya.

Berakhir sudah.

Aku menundukkan kepala, membiarkan air mata jatuh.

Berakhir sudah semuanya.

"Arven!" Dito mengguncang tubuhku. "Pacarmu kecelakaan! Barusan. Dia ditabrak truk saat hendak menyebrang."

Aku menatap Dito. Aku merasa tulang di tubuhku lenyap dan aku ambruk. Kubiarkan kegelapan menelanku.

Rasa sedih berganti dengan penyesalan. Jika saja tadi aku mengejarnya, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Mungkin kekasihku masih akan bersamaku.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro