Profesor Hansen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di bawah penerangan lampu yang menyorotinya, seorang Pria Tua berjubah putih dengan kacamata bertengger di hidung tengah sibuk menekuri benda persegi empat di depannya. Sesekali dia membetulkan posisi kacamatanya, berdecak, kemudian marah. Terkadang raut wajahnya tampak sedih, lalu setelahnya berubah sangat serius. Penuh konsentrasi.

Ruang kerjanya, terletak di lantai dasar, tepatnya di bawah tanah. Tersembunyi.

Beberapa bulan belakangan, Profesor Hansen memang lebih banyak menghabiskan waktunya di ruangan bawah tanah. Ruangan yang dilengkapi dengan lemari berisi berbagai buku, komputer, sofa tunggal dan lampu-lampu besar yang menjadi sumber penerangan. Namun, saat diamati dengan saksama, maka akan terlihat kabel-kabel besar yang menjuntai di langit-langit ruangan. Melintang di lantai dan di setiap sisi saling terhubung satu sama lain.

Di usia yang telah menyentuh separuh abad lebih, Pria Tua itu terbilang memiliki jiwa anak muda. Pantang menyerah. Meskipun kerutan di wajah dan tubuhnya tidak dapat disembunyikan, apalagi belakangan ini kesehatannya makin memburuk setelah dokter memvonisnya mengidap kanker otak stadium lanjut. Sedih, sudah pasti, tetapi ia tidak ingin berlarut-larut.

Sebagai seorang ilmuwan, sudah tak terhitung benda yang Profesor Hansen ciptakan demi memudahkan pekerjaan manusia di era teknologi saat ini. Namun, di sisi lain ia merasa gagal karena sampai detik ini, Profesor Hansen belum mampu mewujudkan impian sang istri.

Terjaga dan ditemani dengan secangkir teh hangat mampu mengusir rasa lelahnya untuk sesaat. Ia hanya beristirahat dengan menyandarkan tubuhnya ke kursi putar. Beranjak ke dapur untuk membuat makanan sederhana, mandi, kemudian kembali menatap komputer sampai berjam-jam lamanya.

Dua jam sudah ia terpaku dengan wajah tak terbaca. Akhirnya, senyuman terpatri dan berseri, tersungging lebar kemudian tertawa nyaring tanpa peduli dengan tetangga yang mungkin saja tidurnya terganggu.

"Akhirnya selesai!" ucapnya penuh optimisme sembari mengangkat kedua tangan.

"Aku yakin kali ini berhasil!"

Itulah ucapan yang sering terlontar. Keyakinan bahwa kali ini ia berhasil menanamkan memori yang tepat pada kedua benda berwujud manusia, yang kini tengah berdiri di salah satu sisi ruangan.

"Natalia, kamu selalu yakin, kan, kalau aku berhasil?" tanyanya sembari berdiri di depan dua benda yang menatapnya tanpa suara.

Setelah mengatakan hal itu, sudut matanya menghangat, basah, lalu semua tiba-tiba menggelap. Ya, Profesor Hansen kehilangan kesadaran akibat kelelahan.

Keesokan harinya, pria beruban itu terbangun di ranjangnya. Gorden sudah terbuka, tercium aroma makanan dari arah dapur. Ia berjalan dan memperhatikan seseorang yang sedang memunggunginya tengah memanggang roti.

"Hansen, kau begadang lagi! Sudah kukatakan jangan paksa tubuhmu! Lihatlah kau pingsan lagi, 'kan?" keluh gadis itu tanpa menatap lawan bicaranya.

"Kau sangat cerewet, Mary. Lebih cerewet dibanding istriku dulu."

"Aku hanya mengkhawatirkanmu," ucap si gadis, nyaris tak terdengar.

Suasana hening sejenak.

Profesor Hansen berjalan ke sisi jendela. Pandangannya lurus ke depan. "Kali ini aku yakin akan berhasil, Mary. Mimpi yang belum sempat aku wujudkan dengan Natalia, akan mereka wujudkan."

Ya, semoga saja, batin pria itu penuh harap.

***

Dua bulan berjalan tanpa terasa. Suasana hati Profesor Hansen sedang cerah belakangan ini. Ia menjadi sering bercakap-cakap dengan kedua benda yang ia berhasil buat untuk mewujudkan mimpinya dengan Natalia, istri tercintanya.

"Hansen! Sarapanmu sudah siap!" Mary berteriak di depan ruang bawah tanah tempat Hansen biasa bekerja sampai lupa waktu.

Mary sebenarnya tahu tentang kebiasaan baru suaminya itu. Ia beberapa kali mendengar pria beruban itu seperti berbicara sendiri di ruang kerjanya. Awalnya Mary pikir Profesor Hansen sudah kehilangan akal karena kepergian istri pertamanya, lalu ia ingat akan kedua robot buatannya itu. Dua benda canggih yang sedang membuat Profesor Hansen asyik sendiri sampai lupa waktu. Ya, Mary juga mendengar semua ucapan suaminya kepada dua robot itu.

Setelah tiga menit ia menunggu dan tidak ada jawaban dari dalam ruang bawah tanah, ia memutuskan untuk mencari Profesor Hansen di tempat lain. Mary berjalan sembari membawakan roti bakar yang masih hangat untuk suaminya. Indra penglihatannya menangkap keberadaan Profesor Hansen yang sedang duduk bersama dua robotnya di taman belakang. Seperti biasa, mereka sedang bercakap-cakap.

"Di sini kau rupanya. Ini, makanlah sarapanmu," ucap Mary datar sambil menaruh piring di atas meja kecil, "sekarang kau bahkan tidak mengucapkan terima kasih kepadaku?" lanjut Mary setelah melihat suaminya yang sama sekali tidak menoleh kepadanya.

"Mary, aku baru ingin bilang terima kasih kepadamu," balas Profesor Hansen, ia menatap Mary dengan senyum tipis.

"Begitu? Sepertinya aku mengerti. Kau selalu berkutat dengan dua robot ini sampai kau lupa memperhatikan sekitar, termasuk aku. Baiklah, silahkan lanjutkan obrolan mu."

Profesor Hansen terkejut akan apa yang dikatakan Mary. Ia baru saja ingin membalas ucapan Mary, tapi gadis itu langsung pergi dari hadapannya. Ia menghembuskan napas berat.

"Papa tidak apa-apa?" ucap Nia, si robot perempuan. Suara desingan terdengar saat tangannya bergerak untuk mengusap punggung Profesor Hansen.

"Papa baik-baik saja," Profesor Hansen menjawab dengan suara pelan.

Ingatannya terlempar pada saat Natalia masih berada di sampingnya. Cara Natalia menenangkan Profesor Hansen persis seperti yang telah ia programkan kepada Nia. Kala itu Profesor Hansen dan Natalia menjalani hidup dengan bahagia karena mereka selalu bersama dan saling mengandalkan. Sampai pada hari dimana petir menyambar di siang hari bolong, Natalia didiagnosis tidak bisa mengandung anak oleh seorang dokter. Mimpi yang selalu mereka harapkan tiap malam lenyap begitu saja.

Hari-hari menjadi begitu kelam setelah mereka mendengar kabar itu. Profesor Hansen berusaha untuk menenangkan istrinya, tapi justru malah ia yang menitikkan air mata. Dengan tegar Natalia tetap berusaha untuk tersenyum, ia menenangkan suami tercintanya sambil mengusap punggungnya dengan lembut. Natalia selalu berkata bahwa ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan terus bersama Profesor Hansen, begitu pun sebaliknya. Tapi takdir bisa membelokkan jalan hidup seseorang secara tiba-tiba. Natalia pergi meninggalkan Profesor Hansen lebih dulu. Pria itu sangat terpukul. Hatinya sakit seperti dihunuskan belati tajam, merobek segalanya dan meninggalkan luka mendalam.

Tapi lihatlah sekarang. Profesor Hansen berhasil bangkit dan bahkan mewujudkan mimpinya dan mimpi Natalia dengan dua robot canggih berbentuk manusia. Wajahnya, sifatnya, semua ia program semirip mungkin dengannya dan Natalia. Profesor Hansen tersenyum haru dan bahagia sembari menatap ke langit. Natalia akan bangga melihat semua kerja kerasnya dan dua "buah hatinya".

"Pa? Kenapa Papa melamun?" Hary, si robot laki-laki mengayunkan telapak tangannya di depan wajah Profesor Hansen. Mata kameranya menatap pria beruban itu dengan dalam.

Profesor Hansen tersadar. Ia mengerjapkan mata yang hampir meneteskan air mata. Sedetik kemudian ia tersenyum, Profesor Hansen memberikan pelukan hangat kepada Hary dan Nia tercintanya.

Malam harinya, Profesor Hansen tengah membaca buku di meja makan. Kedua robotnya telah dinonaktifkan untuk istirahat malam. Di balik halaman buku yang sedang ia baca, Profesor Hansen mencuri-curi pandang akan Mary yang sedang menyiapkan makan malam. Ia belum berbicara lagi dengannya semenjak tadi pagi.

"Makan malam sudah siap." Mary menaruh sayur dan lauk lengkap di atas meja makan. Selera makan Profesor Hansen pun langsung muncul seketika.

"Terima kasih banyak, Mary," ucap Profesor Hansen cepat, "hei, kau mau kemana?" lanjut Profesor Hansen saat melihat Mary yang beranjak pergi sembari membawa makan malamnya.

"Aku ingin makan di kamarku."

"Kau ini kenapa, Mary? Duduklah di sini, kita makan bersama-sama," bujuk Profesor Hansen. Ia kebingungan melihat tingkah Mary yang aneh.

"Kukira kau akan makan bersama dua robotmu itu," balas Mary sambil berbalik menghadap arah Profesor Hansen.

"Mereka sudah tidur dari tadi. Kenapa kau bertingkah aneh belakangan ini, Mary? Kau marah padaku?"

Mary berjalan mendekat ke arah meja makan. Ia menaruh piringnya dengan kasar. "Justru kau yang aneh, Hansen! Aku berusaha untuk memperhatikanmu dari awal kita tinggal di sini tapi justru kau yang selalu mengacuhkanku. Aku tahu aku hanyalah orang yang tak pernah berarti untukmu!" sentak Mary terbawa emosi. Tangannya mengepal dan peluh bercucuran di pelipisnya.

"Mary..."

"Ma... maaf. Maafkan aku telah berteriak di depanmu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyayangimu," ucap Mary sambil terisak. Ia berlari menuju kamarnya dan membanting pintu dengan keras.

Profesor Hansen yang mendengarnya benar-benar bingung akan apa yang terjadi. Tapi di sisi lain ia merasa bersalah. Ia merasa telah menyakiti hati Mary yang tidak tahu apa-apa. Selera makannya tiba-tiba menguap entah kemana.

***

Jam dinding putih yang tergantung di tembok menunjukkan pukul sembilan pagi. Profesor Hansen baru saja bangun dari tidurnya. Ia bangun agak terlambat karena tidak dibangunkan oleh Mary. Ia baru tersadar, kemana perginya Mary? Profesor Hansen memutuskan untuk mencarinya di dapur. Mungkin saja ia belum selesai membuat sarapan.

Betapa terkejutnya Profesor Hansen setelah melihat ada seorang balita yang tengah duduk tenang di sofa ruang tamunya sambil minum susu di dot nya. Anak siapakah itu? Namun indra penglihatannya menangkap keberadaan tumpukan berkas dan sepucuk surat di samping anak itu. Tangannya lebih dulu membuka surat yang membuat rasa penasarannya meninggi. Ternyata itu adalah surat dari Mary.

Hansen, aku telah melakukan hal yang salah. Aku juga tahu bahwa sebenarnya posisiku dari awal untuk mendampingimu memang salah. Aku ingin keberadaanku tidak memberatkanmu. Aku sangat menghargai cintamu yang begitu tulus kepada Natalia. Aku pamit dengan meninggalkan hadiah untukmu. Tolong rawat anak ini sebagai permintaan terakhir dariku. Anak manusia yang benar-benar bisa memberikan cinta kepadamu sebagai seorang ayah. Aku tahu semua mimpimu dengan Natalia saat kau mengobrol dengan dua anak robotmu. Sekarang, rawatlah anak manusia ini dengan penuh cinta. Aku yakin cintamu yang begitu dalam untuk Natalia juga bisa mencintai anak manusia ini. Satu hal yang perlu kau ingat dariku, aku menyayangimu, Hansen.

Penuh cinta,

Mary.

Seketika itu juga, Profesor Hansen meneteskan air matanya. Pandangannya perlahan menggelap karena buliran air mata yang semakin banyak. Kedua tangannya memegang kepalanya dan hampir saja ia menjambak rambut putihnya. Namun ia menyadari kehadiran balita itu di depannya. Ia masih duduk dengan tenang dengan dot di tangan. Profesor Hansen menatap balita itu yang tiba-tiba tertawa melihat penampilannya yang berantakan.

***END***
Ditulis A_Ogies & jhounebam

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro