Cinta Sebatas Layar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ruang gelap di bawah tanah itu menjadi tempat persembunyian seorang gadis pecinta pemrograman. Kabel panjang berserakan bak ular yang melilit tubuhnya sendiri. Dua layar monitor menyala, menampilkan baris-baris algoritma yang tak ada ujungnya. Suara mesin tiknya terus beradu dengan jam dinding yang berdetak.

"Ah, Sialan!" umpatnya kesal sembari membanting tubuhnya pada sandaran kursi.

Sebaris kata berwarna merah menyala tampil di layar monitornya. 'FAILED!'

Hanya satu kata, tetapi membuat pikirannya berantakan. Ia mendengus kesal dan mengacak rambutnya.

Ditatapnya sekali lagi tulisan itu, kemudian ia memulai kembali apa yang sudah sempat dikerjakan. Dia tidak akan menyerah. Dia adalah salah satu lulusan mahasiswi terbaik jurusan teknik informatika di universitas ternama, tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya.

Terlebih lagi setelah semua hinaan yang pernah orang-orang lontarkan padanya. Perempuan gendut, berkacamata tebal, banyak bekas jerawat, terlalu ambisius, dan hanya berteman dengan komputer. Tidak akan ada laki-laki yang mau padanya. Katanya dia tidak akan pernah bisa merasakan cinta. Namun ia akan membuktikan, bahwa dia bisa merasakan cinta seperti apa yang mereka katakan. Dia pasti bisa.

"Seharusnya tadi bisa, tetapi program yang tadi pasti ada yang salah makanya gagal lagi," gumamnya, "enggak apa-apa, walau aku harus mencoba seratus kali pun, aku pasti tetap bakal perjuangin. Ingat, Bandung Bondowoso aja bangun seribu candi buat dapetin hati Roro Jonggrang, masa aku yang lebih jago gak bisa?"

Gadis itu terus membakar semangatnya dengan berbagai kata motivasi lainnya. Tak lupa jari-jemarinya yang terus menari begitu indah di atas keyboard membentuk suatu bahasa pemrograman yang sulit dipahami oleh orang biasa. Dari pemrograman itu, ia harap akan menjadi suatu aplikasi jodoh yang bisa membuatnya merasakan cinta.

Begitu selesai, gadis itu menekan tombol enter sekali lagi. Hasil yang muncul rupanya masih sama. Dia menyenderkan punggungnya dengan keras dan menghela napasnya kasar.

"Ayo dong, kenapa gagal terus sih?" erangnya frustrasi,"bagian mana yang salah?"

Gadis itu mengulangnya lagi dan lagi, tetapi hasilnya nihil. Hingga pada percobaan yang ke seratus, rasanya dia benar-benar ingin memakan layar monitor di depannya.

"Terserah deh! Kalau gagal lagi, kumakan juga ini komputer...."

'The program is on process'.

Mata gadis itu seketika membola. Mulutnya terbuka lebar bersamaan dengan suaranya yang terkejut.

'Your couple is ready now'.

"Finally, I did it!" serunya girang.

Sebuah bubble chat anonym tampil di layar, memunculkan pesan bertulisan 'halo!'. Sebelum melanjutkan pesan, gadis itu memasukkan nama pada aplikasi itu terlebih dulu.

"Feliz," ejanya, "cakep juga. Sekarang giliran aku masukin namaku, Vega." Tak lama setelahnya muncul pesan lagi.

Halo Vega, aku Feliz. Senang berkenalan dengan perempuan cantik sepertimu.

Pipi Vega memerah setelah membacanya. Gelenyar hangat mengalir di dalam peredaran darahnya. Lalu Vega mengetikkan sebuah balasan, "Hai Feliz, terima kasih sudah menjadi pasanganku."

Tentu saja. Tidak baik gadis cantik sepertimu sendiri.

Apa kamu sudah makan?

"Belum, bahkan aku menghabiskan seluruh waktuku di ruang bawah tanah ini," keluh Vega.

Jangan lupa makan dan pergi istirahatlah.

Senyum Vega merekah sempurna. "Baiklah. Aku akan tidur secepatnya."

Jangan lupa mimpiin aku, Vega.

Vega tertawa kecil membacanya. Lihatkan, Vega juga bisa merasakan cinta. Dasar orang-orang tak beradab, mereka hanya suka asal bicara. Vega akan menunjukkannya suatu saat nanti.

***

Hari demi hari terlewati. Vega semakin sering mendekam di ruangan rahasianya. Ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk bertukar pesan dengan Feliz layaknya pasangan pada umumnya. Sesekali Vega tersenyum malu-malu, terkadang juga salah tingkah.

Sampai hari ini, suatu hal aneh terjadi. Vega terkejut saat membuka aplikasinya, dia sudah mendapat banyak pesan dari Feliz.

Aku selalu memantaumu.

Aku akan datang dan menangkapmu

Tangan Vega yang bergetar mengerahkan kursor untuk menutup aplikasi. Namun, notifikasi itu kembali muncul di layar monitor.

Tunggu aku.

Mata Vega terbelalak sambil menutupi mulutnya tak percaya saat membaca notifikasi itu. Hah maksudnya apa? batinnya bingung. Tak lama kemudian terdengar suara wanita berumur tiga puluhan—yang tak lain halnya adalah ibunya—berteriak dari luar kamar.

"Vega, dicariin temennya."

Mendengar hal itu, buru-buru Vega menutup laptop lalu berlari ke arah kamar—yang kebetulan ruang bawah tanah terletak di bawah kamarnya—sambil menoleh ke arah pintu. "Siapa?"

"Nggak tau. Cepet keluar, kasihan dia nungguin di luar nggak mau diajak masuk ke rumah!"

Apa jangan-jangan Feliz?

"Oke, sebentar!" Kemudian Vega berlari cepat ke arah cermin. Menampilkan pantulan bayangannya sendiri dan memutuskan untuk mengganti beberapa pakaian hingga pilihannya jatuh pada dress berwarna merah polos selutut.

Melepas kacamata lalu memakainya lagi hingga Vega memutuskan untuk melepas kacamata. Bodoamat meskipun tidak kelihatan dari jarak jauh yang penting first impreesion harus berkesan. Itulah yang Vega pelajari dari internet. Kemudian memoles bedak lengkap dengan lipstik kepunyaan ibunya—yang ia ambil beberapa hari yang lalu saat ingin mencoba menggunakan make up karena ingin menunjukkan kepada teman-temannya bahwa Vega bisa mempunyai pacar sehingga sebisa mungkin ia mengubah penampilan dirinya.

Vega berputar. "Sempurna!"

Gadis itu berlari menyelusuri anak tangga dengan bersemangat. Ia tak menyangka momen ini bakalan tiba. Momen Vega akan bertemu secara nyata cinta dibalik layarnya. Perjuangan menciptakan aplikasi itu akhirnya terbayar juga.

"Feliz?"

Laki-laki itu membalikkan badan saat Vega baru saja membuka pintu rumahnya.

"Mohon maaf mengganggu waktunya, Nyonya."

Kening Vega mengernyit saat laki-laki itu memanggil namanya dengan sebutan demikian dan sedikit membungkuk.

"Nyonya?"

"Saya Petra." Ada sorot kekecewaan saat laki-laki yang berada di hadapannya bukan sosok yang sedang ia cari. Bukannya membalas uluran tangan Petra, Vega malah menatap kanan dan kiri memanggil-manggil nama Feliz.

"Feliz mana?" Vega mengguncangkan tubuh laki-laki itu. "Kamu siapa?"

"Tenang, Nyonya. Saya disuruh Tuan Feliz untuk membawakan kabar ini."

Vega masih belum bisa mengerti tentang ini semua.

Sebuah tablet ia terima kemudian menampilkan wajah seseorang. Seakan mengerti ekspresi Vega yang kebingungan, Petra menjawab, "Iya, itu adalah Tuan Feliz."

Terdengar suara helaan napas yang berat, Vega menutup mulutnya. "Akhir-akhir ini kondisi Tuan Feliz mulai drop, ia kesulitan mengetik keyboard sehingga mengirimkan saya ke sini untuk mengabarkan pesan ini."

Dalam video call itu terpampang jelas laki-laki berumur sekitar lima puluhan tahun(?) Entahlah—jika dilihat dari wajahnya saja laki-laki itu seperti seumuran dengan ayah Vega—sedang terlihat lemas tak berdaya di tempat tidur.

"Apakah dia sakit?"

Petra mengangguk.

"Dia jatuh miskin demi membiayai pengobatan dirinya, sehingga memutuskan untuk pulang dan dirawat di rumah."

Mata Vega membulat, sulit dipercaya. "Lalu jika dia miskin, mengapa mengirimmu ke sini? Jika dilihat dari penampilanmu saja aku bisa tahu bahwa kamu adalah orang kaya. Oh, ya. Jangan lupakan harga tablet yang sedang kubawa ini, pasti mahal!" seruku mencoba untuk menyangkal.

"Iya, karena saya sudah bekerja lama dengannya dan sudah berjanji agar selalu berada di sisinya sampai akhir hayat. Tablet ini dan komputer yang berada di Tuan Feliz sekarang adalah hasil dari pinjaman ke tetangga. Umurnya sudah tidak lama lagi, makanya sebelum meninggalkan dunia Tuan Feliz ingin merasakan cinta dan ia menemukan aplikasi ini."

Mata Vega melebar, ia tampak terkejut. "Aku masih belum bisa memahami ini semua. Jika Feliz sedang sakit separah itu, lalu siapa sosok yang setiap hari menghubungiku melalui aplikasi ini?"

"Tentu saja Tuan Feliz sendiri dengan bantuan saya ... sebenarnya ia ingin kemari tapi sebelum berangkat tiba-tiba saja penyakitnya drop sehingga saya sendiri yang kemari untuk menjelaskan ini secara langsung kepada Anda, Nyonya, karena Tuan Feliz tidak bisa menemui Anda."

Ma-maafkan aku, Ve-Vega.

A-aku mencintaimu.

Mata Vega kembali menatap ke arah layar, menampilkan sosok dibaliknya sedang mengembuskan napas terakhirnya.

Terima kasih sudah menjadi cinta sebatas layarku sebelum pergi meninggalkan dunia.

Melihat hal itu, Vega langsung berteriak saat melihat Feliz menutup kelopak matanya. Air mata Vega tak henti-hentinya merembes membasahi pipi saat beberapa detik yang lalu sempat tertahan.

"Oh, iya. Nama asli dia adalah Roma," ucap Petra kemudian mengambil tablet dan meninggalkan Vega yang sedang terduduk lemas tak berdaya di lantai dengan tangisnya.

***END***
Ditulis oleh fikaea & Niiflaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro