Dansa Pertama Melia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam itu diadakan pesta besar untuk penobatan ratu baru penguasa ke-3 Dinding. Pintu terbuka besar bersamaan suara para penjaga yang lantang mengabarkan jika sang ratu telah tiba, semua orang yang berada di ruangan itu memberi hormat pada sang ratu muda.

Di antara tamu undangan terlihat seorang gadis memakai gaun indah berwarna biru yang selaras dengan iris mata indahnya. Gadis bersurai cokelat panjang tersenyum melihat para prajurit pengintai yang kini tampak bersantai.

"Ya, akhirnya mereka bisa istirahat sejenak."

Tak lama seorang bangsawan mendekatinya. "Nona Amelia, perkenalkan saya Jean Crinson, bolehkah saya menjadi partner dansa Anda, Nona?"

Melia mengangkat sedikit gaunnya dan memberi salam. "Senang bertemu dengan Anda, Tuan Crinson. Tapi maaf saya sedang menunggu partner dansa saya"

"Baiklah, tapi bolehkah saya tau siapa partner dansa, Nona?"

Amelia tersenyum sebelum menjawab "Dia adalah...."

Tiba tiba pintu utama terbuka dan nampak para prajurit pengintai berseru dengan senang "Kapten Levi sudah datang bersama Eren!" seru gadis berkaca mata.

Melia menatap pria berambut hitam yang berjalan ke arahnya dengan tatapan lurus tidak teralihkan.

"Kau terlambat Levi," ujar Melia bersedekap dengan wajah mengerucut.

Pria yang memiliki julukan manusia terkuat di dalam dinding itu menyeringai lalu membungkuk. "Maaf, meski terlambat maukah kau berdansa denganku, Nona?"

Melia menatap mata Levi sebelum memberikan tangannya dan tersenyum. "Tentu saja, aku akan terus menunggumu meski acara ini sudah selesai."

Levi membawa Melia ke tengah ruangan di mana semua orang telah bersiap berdansa saat musik telah dimulai, Levi menggenggam tangan Melia dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memeluk pinggang Melia. Levi menatap wajah cantik Melia hal itu membuat gadis itu merona.

"Wajahku akan berlubang jika kau menatap seperti itu," cicit Melia menunduk.

Levi memeluk Melia dan berbisik, "Kau terlalu memukau hingga banyak serangga terpikat"

Mata dingin Levi menatap tajam para bangsawan muda yang menatap kagum miliknya.

Jantung Melia berdegup kencang, ia fokus menyamakan

langkahnya dengan Levi yang memiliki tinggi sepertinya.

"Jadi apa kau ikut terpesona, Levi?" tanya Melia menatap mata pria yang ia kagumi sejak lama.

Levi tersenyum dan mencium kening Melia sebagai jawaban.

"Banyak singa lapar yang seperti ingin memangsamu, termasuk Pangeran George," ucap Levi.

Terlalu banyak yang ia khawatirkan setelah sang raja wafat dan digantikan oleh sang putri yang dinobatkan sebagai ratu saat ini.

Melia tersipu malu. "Apa kau sedang cemburu?"

Levi menghela napas berat. Melia terlalu lugu untuk hidup di lingkungan kerajaan yang begitu keras dan penuh tipu daya. Terlebih saat Levi mengetahui kebenaran bahwa gadis yang kini menjadi kekasihnya tak lain adalah anak dari seorang pemberontak yang diam-diam sang raja besarkan karena rasa cintanya kepada ibu gadis itu. Terdengar gila, sekaligus bijaksana.

Sebelum kepergian sang raja, Melia dipercaya untuk memegang wilayah barat dan memiliki kendali atas wilayah tersebut. Tak heran jika para lelaki bangsawan mana pun mendambakan dirinya. Selain karena kekuasaan, tentu saja karena kecantikan Melia yang tiada duanya di kerajaan.

"Kenapa kau melamun? Apa kau memikirkan gadis lain?" tanya Melia dengan tampang cemberut.

Levi menggeleng.

"Apa ini tentang Pangeran George?"

Levi terdiam. Pangeran George merupakan sepupu sang ratu, putra dari pengeran Dalton-saudara dari mendiang raja. Pengeran itu memiliki paras yang tampan, tetapi perilaku kasarnya tidak mencerminkan dirinya sebagai seorang pangeran berbeda dengan adiknya—Pangeran Aaron. Levi dapat melihat dengan jelas, ketertarikan di mata Pangeran George kepada Melia.

"Seperti yang kukatakan sebelumnya. Itu hanya perasaanmu saja. Pangeran George tidak mungkin menyukaiku." Melia mengakhir kelimatnya seraya mendaratkan kecupan di pipi Levi.

Levi sedikit terkejut dengan perlakuan Melia, tetapi ia masih mampu menguasai diri. "Sebagai kapten prajurit pengintai, aku sudah terlatih membaca gerak-gerik seseorang," terangnya dengan menyorot tajam ke arah sang pangeran.

"Aku hanya ingin denganmu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Levi," ucap Melia, mencoba menenangkan.

Levi pun mengangguk ragu. Irama musik terus mengalun mengiringi gerakan setiap pasangan yang mulai masuk ke lingkaran dansa. Levi menggenggam tangan Melia dengan erat, mengisyaratkan bahwa Melia adalah wanitanya.

"Kapten, ada yang mencurigakan," lapor Eren, tiba-tiba merengsek masuk di tengah pesta dansa yang sedang berlangsung.

"Ada masalah lagi di dinding utara?" tanya Levi dengan raut tak senang.

Eren mempersempit jarak. "Ini mengenai kematian mendiang raja."

Levi mendelik, dan Melia pun menunjukkan keterkejutan yang sama.

"Aku akan segera kembali," bisik Levi yang perlahan-lahan menjauh dan menghilang di balik pintu.

Setelah kepergian Levi, Melia memilih untuk menikmati segelas wine merah di balkon yang agak jauh dari ballroom. Kata-kata Levi tadi terngiang-ngiang di otaknya. Sibuk dengan pikirannya, ia sampai tidak menyadari lengan kekar tengah memeluknya.

"Wajahmu bahagia sekali saat berdansa dengannya," ucap orang itu yang tak lain adalah Pangeran George.

Melia tersenyum miring mendengar ucapan sang pangeran, tepatnya tak peduli dan kembali menyesap minumannya.

"Semakin cepat kau membereskan Kapten Levi, maka semakin cepat kita akan menguasai kerajaan ini dan dendammu akan segera terbalaskan."

Melia hanya terdiam, itu membuat Pangeran George tak senang.

Apa mungkin Melia berubah pikiran?

Di sisi lain, Melia terus saja memikirkan ucapan dari mata-mata Pangeran George bahwa raja meninggal bukan karena sakit melainkan dibunuh. Lalu, yang paling mengejutkan bahwa dalang dari semua itu tak lain adalah sang ratu yang baru saja dinobatkan.

Melia tersenyum penuh arti. Sejak dulu ia mengetahui bagaimana ambisi sang ratu untuk menjadi penguasa kerajaan. Keinginan itu semakin membuatnya hilang kendali ketika sang raja berkeinginan menunjuk Pangeran Aaron saudara pangeran George sebagai penggantinya. Alasannya jelas, Pangeran Aaron memiliki kualitas sebagai seorang raja.

Gadis itu tidak bisa memungkiri, ia menyimpan dendam atas kematian sang raja. Melia begitu menyayangi sang raja, raja adalah seorang ayah bagi dirinya dan bagi rakyat di kerajaan dinding.

"Jangan ragu lagi, Melia. Levi dan pasukannya hanyalah anjing-anjing kerajaan."

Pangeran George kembali menghasutnya. Lalu meninggalkan Melia sendiri dengan seulas senyum kemenangan.

***

"Lalu apa yang kau dapatkan Levi?"

Levi mendesah mendengar pertanyaan itu, ia bisa merasakan betapa Melia sangat menyayangi mendiang raja semasa hidupnya. Tak tega rasanya jika sang kekasih harus mengetahui kebenaran yang ada. Namun, cepat atau lambat semua akan terungkap.

Levi memeluk erat tubuh sang kekasih. Kebiasaan yang akhir-akhir ini ia lakukan; menyelinap masuk ke kamar Melia, bercerita dan berakhir dengan terlelap sembari memeluk tubuh gadis itu

"Aku menemukan fakta bahwa raja mati bukan karena sakit melainkan dibunuh."

"Dibunuh?"

Levi mengangguk. Mendadak, ia merasa dadanya basah.

"Menangislah kalau itu bisa meringankan bebanmu. Aku janji akan mencari pelakunya."

"Apa kau mencintaiku, Levi?"

Levi mengecup surai Melia. Merasa bingung dengan pertanyaan random sang kekasih. "Tentu saja, Melia."

"Bagaimana kalau ada yang menggangguku?"

"Maka dia harus berhadapan denganku."

Perlahan Melia menyentuh lembut pipi Levi dengan sebelah tangannya. "Pangeran George mengatakan padaku kalau Sang Ratu yang dinobatkan adalah pembunuh raja. Kemudian dia ingin aku membunuhmu dan dia akan membunuh ratu setelah itu, lalu katanya kami akan sama-sama menguasai kerajaan dan kematian raja malang itu akan terbalaskan," ucap Melia tanpa terbata-bata.

Levi melerai pelukan, terbangun dan berusaha mencerna setiap perkataan gadis itu.

Saat Levi mulai menyadari ucapan Melia, sebuah mata pisau secepat kilat bergerak dari kanan ke kiri mengenai lehernya. Darah panas sontak menyembur mengenai wajah Melia. Pupil mata Levi melebar seiring napasnya kian melambat.

Melia lagi-lagi meneteskan air mata. "Apa sakit?"

Gadis itu mengerang, tak tahan melihat Levi menahan sakit, tetapi ia menikmati setiap sensasi saat mata pisau lagi-lagi menghunjam tubuh Levi.

Gerakan kecil dari pria itu seketika berhenti. Melia mengusap air matanya dengan bibir memberengut. Tangannya membelai leher Levi yang masih terus mengeluarkan darah.

"Diamlah di sini, aku akan segera kembali," katanya, lalu mengecup bibir Levi.

Setelah membasuh wajahnya, Melia mengendap-endap keluar menuju kamar Pangeran George. Ia masuk dan mendapati sang pangeran tengah tersenyum sembari bersandar di kepala kasur. Sepertinya ia juga sudah berhasil meracuni sang ratu. Betapa mudahnya seorang anggota kerajaan berkhianat.

"Kau datang, Melia. Itu artinya kau sudah melenyapkannya," ucapnya mendekati Melia.

Melihat pisau dengan noda merah di genggaman Melia, lekas ia menyambut gadis itu dengan perasaan membuncah.

"Sekarang kau telah menjadi milikku." Pangeran George mencium tangan Melia.

"George."

"Hmm ...." Pangeran berdeham sembari membelai wajah Melia.

"Kau salah tentang satu hal."

Pangeran George menjauhkan tubuhnya. "Apa maksudmu?"

Tanpa menjawab, Melia tiba-tiba melayangkan pisau ke perut George. Teriakan sang pangeran kalah cepat dengan gerakan tangan Melia yang kembali menusuknya berulang kali. Melia dengan sigap menutup mulut Pangeran George agar tidak menarik perhatian.

"Simpan sisa tenagamu, Pangeran. Permainan belum berakhir"

Sektika pangeran roboh ke sisi kanan.

"Ke--napa?" tanya Pangeran George, terbata.

"Aku hanya tidak menyukaimu, jadi aku memilih membunuhmu, seperti--"

Melia menggantung ucapannya. Dengan senyum mengembang di bibir ia memposisikan mata pisau di leher Pangeran George.

"Seperti aku membunuh raja."

Gerakan tangan Melia dengan cepat menembus setiap lapisan kulit leher sang pangeran, sesaat setelah ia mengakhiri kalimatnya. Darah segar seketika mengucur deras membuat gadis itu berbinar-binar sekaligus menenangkan.

Setelah menyingkirkan Pangeran George, Melia kembali ke kamarnya. Naik ke kasur dan memeluk Levi sembari menarik selimut menutupi tubuh kaku sang kekasih. Tubuh lelaki itu terasa nyaman, Melia pun semakin erat memeluknya.

"Semoga tidurmu nyenyak, Kapten Levi."

***End***
Ditulis oleh Maple_Orange & A_Ogies

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro