The Gleonair

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rembulan telah menampakkan dirinya, menggantikan raja siang untuk beberapa saat ke depan. Kini, Kerajaan Roseland tengah ramai-ramainya, banyak para petinggi maupun rakyat biasa yang telah bersiap untuk menghadiri pesta upacara pengangkatan sang putra mahkota, Kairos Gleonair.

Perseteruan hebat sempat terjadi di dalam kerajaan beberapa saat lalu, para selir raja saling berebut agar anaknya dapat menempati posisi tertinggi di kerajaan tersebut. Namun, pada akhirnya, posisi itu tetap diduduki oleh seseorang yang seharusnya, putra mahkota dari permaisuri Raja Atleo Gleonair. Sosok pangeran berkharisma dan bijaksana, memiliki pikiran yang luar biasa dalam memecahkan berbagai masalah yang sempat terjadi di dalam kerajaan.

Tidak sedikit putri dari kerajaan lain yang kerap menginginkan untuk bisa mendapatkan perhatian dari Kairos, berbagai cara telah mereka lakukan, termasuk mengubah jati diri mereka agar merasa pantas untuk bersanding dengan sang putra mahkota.

Deluna Cronera juga termasuk dalam jajaran wanita yang menginginkan untuk bisa menjadi pendamping hidup putra mahkota. Setiap diadakan pertemuan antar kerajaan, seringkali Deluna mencuri pada Kairos yang ikut turut hadir bersama ayahnya yang masih memimpin pada saat itu. Senyum menawan nan sikap sopan berhasil menarik perhatian Deluna ketika kali pertama melihat.

Namun, untuk malam ini, Deluna tidak memiliki persiapan apapun. Dia tampil biasa tanpa memikirkan bagaimana cara untuk mendekati atau mendapat perhatian Kairos. Tidak sama sekali.

Kerajaan ayah Deluna tengah berada di ambang kehancuran, bisa dibilang begitu. Banyak ksatria kerajaan yang pergi dengan membawa kabur aset-aset penting, para mata-mata dari kerajaan lain yang perlahan tapi pasti berhasil menghancurkan istana dari dalam, dan itu tidak bisa disepelekan. Bahkan, ayah Deluna tidak bisa hadir malam ini karena masih harus memikirkan untuk memperbaiki semua masalah yang ada.

Tidak sedikit putri kerajaan lain yang menjaga jarak dengannya, mencibir, bahkan menghina, karena mereka melihat sebentar lagi nasib Deluna akan turun drastis menjadi rakyat biasa.

Di saat banyak putri yang berkumpul, maka di sinilah Deluna berada. Duduk di halaman istana yang cukup sepi walaupun juga dihias sedemikian rupa. Sendirian. Sesekali melirik ke dalam, menunggu Kairos datang untuk memulai pesta upacara malam ini.

Deluna menghembuskan nafasnya dengan kasar, melirik ke arah gaun yang dipakainya malam ini. Bukan gaun baru seperti para putri lainnya. Ini hanyalah gaun yang dibelinya beberapa waktu lalu untuk merayakan pesta pernikahan salah satu putri kerajaan lain.

Tapi tidak ada masalah baginya, setidaknya gaun ini bisa untuk membedakan jika dirinya juga termasuk jajaran putri kerajaan, bukan rakyat biasa.

"Nona, sedang apa kau berada di sini?"

Deluna terlonjak saking terkejutnya, mendengar suara asing yang tiba-tiba menyapa pendengarannya. Tubuhnya berbalik, menatap bingung pria asing yang sedikit menunduk itu. Namun, jika dilihat dari yang dipakainya saat ini, bisa Deluna yakini jika pria tersebut adalah salah satu pangeran dari satu kerajaan.

Pria tersebut lalu duduk di samping Deluna dengan tiba-tiba. Tidak mengindahkan Deluna yang masih menatapnya bingung.

"Kau siapa?" Deluna bertanya balik.

Tanpa menoleh pria itu pun menjawab, "Aku hanya salah satu tamu undangan di sini yang sedang bosan dengan suasana di dalam. Lalu aku keluar dan tidak sengaja melihatmu yang mengintip layaknya perampok."

Kedua bola mata Deluna langsung membesar, merasa terhina dengan apa yang baru saja dikatakan oleh pria asing tersebut. "Kau ini! Ah, menjengkelkan sekali."

Suara tawa ringan dari pria tersebut membuat Deluna menoleh, tertegun menatap wajah elok dengan lesung pipi yang semakin jelas terlihat. Namun, bukan itu saja yang bisa Deluna tangkap, tetapi netra pria tersebut yang berbeda. Wajahnya tertawa, tetapi netranya jelas menunjukkan kesedihan yang mendalam.

Deluna berdehem pelan, mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Lebih baik memandangi malam yang penuh akan ramainya bintang yang mengelilingi rembulan, daripada menatap sampingnya dengan otak yang terus berpikir masalah yang pria tersebut hadapi.

"Kau tidak ingin masuk ke dalam?" tanya Deluna.

"Tidak, di sana bukan tempatku."

"Hah? Apa maksudmu?"

Pria tersebut langsung tergagap, "Ah tidak. Maksudnya pesta seperti ini bukan tempat untukku yang lebih suka suasana sepi seperti ini."

Anggukan Deluna membuat pria itu tersenyum tipis. Lalu, keduanya sama-sama diam, menatap malam dengan pikiran yang berbeda.

Sampai Deluna menyerit tatkala sebuah tangan berada di depannya. "Siapa namamu? Perkenalkan, aku Ren. Senang bisa berbicara denganmu malam ini."

Deluna menatap tangan kanan yang masih menggantung di depannya itu, lalu tatapannya naik, membalas tatapan Ren dengan senyum yang perlahan terbit. Melihat tatapan lembut yang Ren tunjukkan membuat perasaan Deluna sedikit berbeda.

Dengan senyum lebarnya, Deluna membalas jabatan tangan tersebut, "Aku Deluna Cronera, kau bisa panggil aku Deluna."

Dua manusia yang baru mengenal tersebut saling melempar senyum tipis, yang semakin lama berubah menjadi tawa kecil.

Ren masih memperhatikan Deluna yang telah kembali menatap lurus ke depan. Memperhatikan wajah elok Deluna yang membuatnya tidak ingin lepas dari titik indah itu.

"Ekhm, Deluna, mau pergi denganku?" tanya Ren hati-hati.

Deluna menoleh, keningnya berkerut dengan wajah bingungnya. "Pergi? Pergi ke mana? Memangnya kau tidak ingin mengikuti pesta upacara kenaikan putra mahkota?"

Ren mengalihkan pandangannya, dengan wajah yang seolah tengah berpikir. "Mmm, mungkin jalan-jalan di sekitar istana? Aku dengar di sekitar ada tempat yang cukup bagus, setidaknya bisa untuk menjernihkan pikiran. Bagaimana?"

Tidak langsung menjawab, Deluna masih berpikir barang sejenak. Selain kedatangan putra mahkota yang ia tunggu, Deluna juga harus membawa nama ayahnya yang tidak bisa hadir malam ini. Namun, di sisi lain, banyak putri-putri kerajaan yang cukup mengganggu bagi Deluna, entah itu ekspresi mereka atau perkataan mereka yang ditujukan untuknya. Lagipula Deluna rasa ia juga butuh menjernihkan pikiran atas semua masalah yang menyerang ayahnya.

"Boleh juga, tapi kita bisa kembali sebelum pesta selesai, bukan?"

"Tentu saja! Kita tidak akan lama di sana."

Tangan Ren teulur, berniat menggandeng Deluna untuk pergi dari istana sejenak. Deluna tersenyum dan menerima uluran tangan tersebut, mengiringi langkah Ren menuju tempat yang pria itu maksud.

Namun, belum genap sepuluh langkah mereka melangkah, suara bel berdentang dengan cukup kencang, pertanda bahwa sang putra mahkota memasuki istana dan upacara pergantian tahta akan dimulai. Langkah Deluna langsung terhenti, kepalanya menoleh ke arah pintu samping istana, terlihat semua tamu undangan telah berdiri untuk penyambutan.

Deluna terdiam, ia bimbang sekarang, apalagi raut wajah Ren yang telah berubah sedikit keruh. Jika begini, Deluna harus melangkah ke mana?

"Apa kau salah satu dari sekian wanita yang mengagumi dia?" tanya Ren tanpa menoleh sedikitpun ketika membungkuk hormat pada putra mahkota. Tanpa sepengetahuan Deluna, maniknya makin gelap.

"Entah," jawabnya mau tak mau melakukan hal serupa dengan wanita bangsawan di sini. Perhatiannya tak lepas dari pria berbadan tegap itu. Setiap langkah yang menyambut anak tangga tinggalkan bunyi ketukan menggema.

"Matamu mengatakan iya dengan kuat."

"Nilai yang terkandung dalam mata takkan sama dengan isi hati seseorang, Tuan."

"Justru nilai dari mata itulah yang jauh lebih kuat dari sekadar ocehan belaka."

"Menurutmu semua perkataanku hanya bentuk ocehan?"

"Kupikir begitu."

Deluna hanya berdecih dongkol. Ada perasaan jengah bila bersama Ren sekarang. Privasinya telah terbongkar hanya dari sorot matanya saja. Ren ini ... unik, tapi tak mampu mengalahkan rasa cinta Deluna pada Kairos.

"Lanjutkan pesta dansanya!" Pria itu dengan lantang lancarkan perintah sambil menggenggam cangkir. Semua penghuni kembali berdiri dan saling berdansa penuh mesra. Alunan musik juga terdengar menenangkan lagi.

Sayang sekali, Deluna dan Ren tetap berdiri di antara puluhan pasangan yang berputar menyamakan langkah demi langkah berdansa. Tanpa berpikir panjang, Deluna berlari singsingkan ujung gaun menuju tempat yang tadinya mau dikunjungi bersama Ren. Mungkin tak menarik perhatian para tamu yang hadir di sini.

"Nona Cronera, tunggu!" Tidak dengan Ren yang menyusulnya. Namun, sosok Deluna seakan membaur dengan halaman kastil berupa semak-semak membentuk labirin.

Ia berlari luntang-lantung membuyarkan diri bersama kerumitan jalan labirin. Sampai tenaga habis, sampai bayangan Deluna hilang dalam pikiran Ren, sampai menyadari bahwa pilihan Ren memang salah, semak-semak labirin itu takkan tunduk mempertemukan mereka. Sebaliknya, sosok pria dengan cangkir masih dalam genggamannya telah berdiri menyambut Deluna yang keluar dari labirin keramat itu.

"Kamu butuh seseorang?"

Namun, gadis itu bergeming. Bahunya naik-turun, sedang sorot mata tampak kosong, mencerminkan posisi manusia di ambang pintu.

"Aku akan menemanimu masuk mengikuti acara dansa ini." Dia masih layangkan ucapan bernada lembut itu. Tetap saja Deluna mematung, sekalipun pria itu menggenggam tangannya yang dingin. Baru saja dia menarik tangan Deluna, ia justru jatuh dalam dekapan dia.

"Tampaknya kamu lelah." Lantas ia membopong Deluna, membiarkan kepalanya bersandar di dada bidang dia. Baru menuju anak tangga, mata Deluna di balik topengnya sudah setengah terpejam. Dia tak peduli akan bisikan gadis-gadis di ballroom.

Baginya, Deluna adalah gadis terunik. Di saat perempuan antusias cari pria untuk diajak berdansa, Deluna malah berdiri anggun tanpa seorang pasangan meski terlihat seperti lebah yang bertengger di atas salah satu bunga. Di saat gadis lebih menggosip sebagai hiburan, Deluna malah pergi ke halaman rumah yang hanya akan menguras tenaga jika nekat masuk semak-semak labirin.

Sesampainya di kamar, ia baringkan Deluna yang juga baru merebut kesadarannya kembali.

"Ah, kau baik-baik saja, No----"

"Aku sungguh minta maaf, Yang Mulia!" Deluna langsung beranjak bungkuk hormat. Terlihat tangannya bergetar, betapa syoknya ia malah ditolong seorang tuan rumah. "Hamba hanya...."

"Aku mengerti." Dia mencengkeram pundak Deluna, menuntunnya berdiri tegak sebelum ia elus dengan lembut. "Jika kamu merasa lelah, beristirahatlah sejenak. Lepas itu, kamu mau pergi, itu hak kamu, Nona."

"Sekarang juga aku akan pergi, Yang Mulia." Sambil menunduk, Deluna melepas cengkeraman Kairos. Terus terang, hati Kairos sakit melihat pujaan hatinya hendak pergi tergesa-gesa, seolah ia bukanlah putra mahkota.

"Nona Cronera." Lantas Kairos menahan tangan Deluna. Mereka saling memandang dalam arti yang berbeda: Kairos memandang sendu, Deluna melotot ketakutan. "Jika kamu tak keberatan, maukah kamu menjamu makan malam bersamaku" Bersama keluargaku."

Puan itu menunduk dalam diam. Tetapi, Kairos menemukan sebuah anggukan yang takkan pernah terlihat jika kamu sedang tak fokus. Terbitlah senyum manis di bibir Kairos.

"Aku akan menunggu kedatanganmu, Nona Cronera," katanya sebelum melepas kepergian Deluna yang berlari menyibakkan ujung gaunnya.

****

Deluna datang tepat waktu, tanpa kehadiran sang ayah. Nasib baik keluarga Kairos menyambutnya dengan hangat, terlebih tatapan teduh dan senyum yang teramat langka untuk mereka temukan. Mungkin ... hanya Deluna saja yang mendapatkannya sepanjang sejarah mencatat kehidupan untuk kenang-kenangan.

Deluna kira sensasi hangat itu akan abadi sampai ia pulang. Nyatanya begitu di meja makan, tak ada siapapun yang mau bicara terlebih dahulu. Tertangkap pula momen ayahanda dia mengerling pada Kairos supaya buka suara.

Akhirnya, dengan embusan napas panjang sebagai permulaan, Kairos memanggil nama belakang Deluna dan berkata, " Kau pasti merasa bahwa bertemu denganku adalah sesuatu yang langka, bagi dirimu sendiri tentunya, Nona Cronera. Tapi sesungguhnya, sekadar menemuimu lah yang langka untuk aku dapatkan, jauh lebih langka dari sesuatu yang menurutmu langka."

Deluna tak banyak bercakap selain menunduk sembunyikan tawa samar di balik senyum kikuknya. Sejujurnya, banyak dugaan yang terlintas di kepala Deluna, dominan mengenai kerajaan yang ayah kendalikan. Apakah dia akan membahas soal wilayah kerajaan? Apakah mereka dendam pada sang ayah sehingga Deluna jadi objek pelampiasan?

Tidak. Entah kenapa Deluna merasa yakin kalau pembicaraan Kairos meleset dari dugaan negatifnya.

"Mungkin ... kamu lebih suka mengetahui inti pertemuan kita kali ini," kata Kairos mulai bangkit berdiri. "Alasan aku mengundangmu kemari ialah ... untuk melamarmu, Nona Cronera."

Terlihat singkat, tapi dapat mengundang semburat merah mewarnai wajah mereka berdua. Lain hal sepasang suami-istri yang sepertinya nyaman menonton drama buatan sang buah hati yang tumbuh dewasa sekarang.

"H-hah?" Deluna berusaha tersenyum seanggun mungkin di hadapan Kairos.

"Aku melamarmu, tepat saat aku dinobatkan sebagai raja," jawabnya setelah mengumpulkan banyak keberanian. Pikirnya, bisa saja menyatakan cinta adalah keberanian paling kuat dibanding memenangkan peperangan selain berkata jujur. "Apa kau mau menjadi istriku, menjadi salah satu keluarga Gleonair, menjadi permaisuri di kerajaan Roseland kelak?"

Ini ... yang Deluna inginkan. Matanya mulai berkaca-kaca haru, lekas mengangguk mengiyakan lamarannya. "Aku bersedia mendampingi hidupmu hingga tua, Yang Mulia."

Sebuah kejutan bagi Deluna bisa melihat senyum manis Kairos yang melangkah ingin bersanding dengan Deluna. Kerajaan Geonair pun kini penuh dengan kebahagiaan yang mereka rasakan.

***END***
Ditulis oleh rismadepe & Maryjanee___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro