Stop & Stare

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditulis oleh mrs_sasasmayaya & Kafuusa

Perjalanan kereta dari Manggarai-Tanah Abang, adalah salah satu jalur tersibuk yang selalu penuh. Aku adalah seorang pengamat. Tepatnya, pengamat mesin, alias mekanik. Sesungguhnya, mesin lebih mudah diamati ketimbang manusia. Mesin tidak pernah punya alasan lebih dari yang terlihat dan terdengar, sementara manusia punya ribuan cerita dari sikap yang tidak mereka sadari.

Berdiri sambil memegang gantungan tangan di salah satu pojok (lokasi favoritku di KRL), di hadapanku adalah sekelompok orang-orang ‘biasa-biasa’, yang menaiki kereta menuju stasiun paling chaos di Jakarta.

Ada pasangan dengan ransel dan sneakers senada, yang sepertinya pengantin baru yang pesiar ke Jakarta. Seorang ibu yang repot menggendong dan menggandeng dua anaknya, dengan map hasil lab RS di tote bag-nya. Pemuda yang berwajah panik terus-terusan mengecek jam, juga seorang perempuan memandang jendela dan senyum-senyum sendiri.

Selain itu, ada juga kebisingan yang kudengar di antara derak mesin. Kalau saja sebagian orang mau melepaskan TWS, earphone, headphone, dan penyumpal telinga mereka… Ada banyak suara bercerita di atas kereta. Kakek di kursi yang bernapas keras dan perlahan, gerutuan seorang gadis muda cantik yang merasa didorong-dorong, hingga tawa tertahan dari dua lelaki paruh baya di dekat jendela…

Pandanganku menyapu para penumpang sebelum berhenti di salah satu sosok yang cukup mencolok. Ia tidak tampak seperti seseorang yang sering naik kereta. Biasanya, 'anak kereta' memutar ransel mereka ke arah dada, menggunakan sepatu nyaman untuk berlari dan anti selip, dan memakai jaket yang mudah dilepas-pakai.

Lelaki yang tengah kuamati, bersandar dekat pintu sambil memegang ponsel, dengan ransel terpasang normal, sepatu boots trendi, dengan kemeja berlengan tergulung, rambut agak panjang berbelah pinggir ala idol K-Pop zaman sekarang dan…senyum di bibirnya.

Tidak ada pengguna kereta berpengalaman yang bersandar di pintu (yang bisa tiba-tiba terbuka), menggunakan ransel di punggung, tanpa jaket dan wajah polos tanpa masker!

Keanehan ini membuatku mengamati lebih detail. Jenis jam tangan yang ia gunakan, sederhana tapi terlihat mahal dengan tali kulit. Kacamatanya berbingkai besar dan tebal, berwarna hitam dan kontras dengan kulitnya yang terang. Suara tawanya kemudian mampir di telingaku. Renyah walau volumenya pelan. 

Ia mengangkat wajah dari layar ponsel kemudian menengadahkan kepala, seolah menahan tawanya tetap terkontrol di ruang umum. Lalu tanpa diduga, ia menatapku. Masih dengan sisa senyum di bibirnya dan di matanya.

Aku tak bisa menahan ujung bibirku, melemparkan senyum untuknya. Tanpa kurencanakan.

Buru-buru aku mengalihkan pandang. Jantungku seakan mendapat alasan untuk menambah ketukan ekstra, yang entah bagaimana, terdengar hingga ke telinga.

Sementara itu, dari ujung mata, kulihat ia kembali memusatkan perhatian pada ponselnya. Kembali tertawa tertahan sendirian. Sesekali bahunya berguncang, membuatku penasaran apa yang tengah dilihatnya…

Dan mendadak sebuah sosok berkelebat di balik punggungnya. Wajah yang tertutup masker dengan kupluk di kepala, hanya terlihat setengahnya, tapi mata itu…mata yang mengaktifkan alarmku seketika!

Dalam perjalanan kereta, hampir selalu ada orang yang mengambil kesempatan dalam hal yang salah. Salah satunya adalah dia! Aku melihatnya belasan kali, di rute yang sama. Lelaki jangkung dengan masker, seringkali menutup kepalanya dengan topi, kupluk, peci, agar tak dikenali. Aku mengingat dia: dengan ransel besar yang tampak kosong dan dipakainya di depan dada, tatapan penuh fokus dari mata cokelat di bawah alis tebalnya, dan aura misterius menyeramkan yang terasa seolah menguar dari tubuhnya.

Insting membuatku melangkah maju, mendekati si lelaki berkupluk. Sesuai dugaan dan pengalamanku, ia mundur sedikit dan memutar tubuhnya ke arah lain. Gerakanku mendekatinya barusan, juga mengundang tatapan orang sekitar. Sesuatu yang kusengaja untuk membuatnya batal melakukan aksi buruk.

“Oh, hai,” sebuah suara memecah perhatianku dari lelaki mencurigakan itu.

Lelaki penuh senyum yang tadinya berjarak jauh, kini hanya beberapa centimeter di hadapanku.

“Mas, ranselnya ditaruh depan aja. Di sini banyak copet,” aku berkata keras, dan pandangan orang-orang yang curiga serta merta berpindah ke lelaki berkupluk. Ia dengan penuh kesadaran segera mundur menjauuh.

“Oh?” Si senyum manis tersadar, dan segera bergerak memutar ranselnya ke depan dada. Saat  panik, ia malah terlihat semakin manis. Kantong utama ranselnya sudah terbuka, dan ia segera mengecek. “Ya ampun!”

“Iya Mas, jangan lengah kalau di KRL,” aku memperingatkan sebelum bertanya, “Ada yang hilang?”

“Untungnya gak ada, karena memang di ranselku isinya cuma launchpad,” ia memperlihatkan isi ranselnya, yang didominasi oleh panel dengan banyak tombol sentuh, “Aku ketinggalan dompet tadi pagi.”

“Lain kali kalau naik kereta, hati-hati ya Mas,” aku menambahkan, “Jangan lupa maskernya dipakai.”

Ia kembali mengucap "Oh!” dengan manis dan memasang masker yang diambilnya dari saku.

Aku bergerak untuk kembali ke spot berdiriku sebelumnya, saat tiba-tiba pundakku ditahan, membuatku menoleh.

“Kamu berhenti di mana? Aku pertama kali naik kereta. Boleh sama-sama gak?”

***

Pertemuan pertama kami di kereta, berlanjut hingga berbulan-bulan setelahnya. Lelaki manis itu kini punya nama dan cerita yang lebih lengkap: Jimo, seorang musisi digital yang bekerja membuat musik dan suara untuk film, iklan dan sinetron.

Tak seperti aku yang memang hanya mampu naik kereta, Jimo punya pilihan kendaraan setiap hari. Cukup sering ia menawarkan menjemputku di bengkel dan mengantarku pulang. Atau sebaliknya. Tapi ia juga suka menemaniku naik kereta. Alasannya berbeda, dia kangen dengan suasana komuter di tempat studinya di Jepang dulu.

Jimo tak pernah ragu menemuiku yang biasanya masih bekerja di area workshop, dalam wearpack kantor dengan tangan kotor dan tubuh penuh keringat. Untuknya, akulah perempuan mekanik pertama yang dikenalnya, dan fakta ini membuatku tersanjung.

Mungkin lebih dari sekedar tersanjung. Sejujurnya aku jatuh cinta kepadanya. Bagaimana tidak, kombinasi senyumnya yang masih selalu menggemaskan, rasa humornya yang kadang terlalu rendah dan keceriaan yang tak kunjung padam…semuanya seakan tidak bisa kuhindari.

Aku sadar ini sesuat yang mustahil. Jimo yang rumahnya tersebar di Kelapa Gading, Permata Hijau, Puri dan Jagakarsa, tentu tidak melihatku sebagai sosok yang menarik. Bagaimanapun, aku hanya perempuan lulusan SMK dari kota kecil, yang bekerja di bengkel sebagai montir.

“Lo kayanya ditaksir…” komentar Ogi, salah satu montir temanku bekerja, saat mobil Mini milik Jimo kembali parkir. “Ditaksir jadi montir pribadi! Lo bayangin di rumahnya pasti banyak banget mobil yang mesti diberesin, braaaay!”

Komentar yang disusul tawa rekan-rekan kami, yang juga sedang bersiap pulang. Terlepas dari fakta kalau keluarga Jimo punya banyak mobil, aku sejujurnya sudah berharap…bahkan berdoa kalau bagian pertama kalimat Ogi betulan terjadi.

Aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku. Sebagian hatiku merasa, tidak mungkin apa yang terjadi selama ini hanya sekedar pertemanan biasa. Tapi di sisi lain, memang Jimo juga tidak pernah bersikap lebih akrab dari sekedar teman dekat. Ia membayariku nonton, makan, membelikanku beberapa barang, dan saat aku ulangtahun, Jimo memberiku voucher salon dan dress cantik.

Hari ini, ya, hari ini, aku berniat untuk mengungkapkan perasaanku padanya.

Aku bergegas menghampiri mobil. Membuka pintu. Masuk.

“...iya, Sayang. Aku nanti ke sana malam ini ya. Gak bohong, kok. Jangan ngambek dong…”

Jimo sedang menelpon. Ia tersenyum dan aku membalas, tapi sejujurnya, ada rasa nyeri yang tajam dalam hatiku, tiba-tiba muncul mendengar kata-katanya.

Apa…apa mungkin ia punya kekasih?

Aku telah jatuh cinta pada Jimo. Wanita mana yang hatinya tak terpanah oleh karakter seperti Jimo? Sudah perhatian, lembut, dan senyumnya yang menggemaskan itu seperti narkoba. Membuat candu tak berkesudahan.

Setelah aku mematangkan keputusanku untuk mengungkap perasaanku padanya hari ini, realita menyapaku. Tidak ada yang bisa lolos dari pahitnya kenyataan.

"Iya, Sayang. Aku nanti ke sana kok. Janji, gak bohong. Jangan ngambek, oke?" Jimo mematikan ponsel, tersenyum ke arahku.

Buru-buru kuatur raut wajahku senatural mungkin, ikut tersenyum padanya. Jimo tak boleh sampai tahu aku mendengar 'obrolan' kecilnya. Lagian aku tak maksud menguping. Aku tak sengaja mencuri dengar.

"Maaf membuatmu menunggu."

"Gak apa. Aku juga baru pulang," jawabku monoton. Hati dan mulutku tak sinkron.

"Kamu gak apa-apa? Kenapa lemes gitu? Pekerjaannya berat, ya?" Sebelum mendengar percakapan Jimo barusan, aku akan baper dia lagi-lagi menunjukkan sisi perhatiannya.

"Aku mau pulang ke rumah, Jimo."

"Ah..." Jimo tersenyum manis, mengangguk. "Aku paham. Aku akan mengantarmu."

Jika saja aku tak mendengar obrolan Jimo, jika saja aku tak datang ke mobil lebih dulu darinya, jika saja hari ini kami memutuskan pulang sendiri-sendiri saja, apakah jalan ceritanya akan berubah? Apakah aku punya kesempatan untuk melabuhkan perasaanku?

Tidak. Sejak awal aku sudah salah karena berani-beraninya jatuh cinta pada sosok Jimo. Aku, gadis mekanik yang bukan siapa-siapa.

Benar, aku yang salah. Jimo seorang musisi digital yang berada. Tak mungkin dia tak memiliki kekasih dengan sifat lembutnya yang sangat mematikan itu. Aku yang lancang sembarangan menaruh hati kepadanya.

Kami akhirnya sampai di rumahku.

Biasanya aku akan mempersilakan Jimo masuk dan kami akan menghabisi waktu dengan berbagi cerita, bermain catur, bahkan sampai main bareng. Tapi untuk kali ini, aku ingin Jimo pulang. Aku tak sanggup menatap wajah polosnya, bukan, yang tepatnya hatiku.

Setiap aku menatapnya, percakapan Jimo  terngiang-ngiang di benakku, berteriak bahwa dia sudah milik seseorang. Aku tak punya hak atau memang aku tak memilikinya sejak mengenal Jimo di kereta sialan itu.

Tunggu. Kenapa aku jadi marah dengan benda mati? Cuman karena aku menciduk Jimo menelepon dengan kekasihnya, pikiranku jadi melayang ke mana-mana. Ini tidak seperti diriku. Apakah cinta sedahsyat itu sampai bisa merubah watak seseorang?

"Hei," panggil Jimo sebelum aku mengunci pintu pagar. "Kapan kamu punya waktu?"

Huh? Kenapa dia bertanya? Apakah dia mau mengajakku ke suatu tempat... Duh, sudah cukup diriku. Jangan berharap apa-apa. Jimo sudah punya kekasih. Apa kamu tidak malu jalan-jalan dengan pacar orang lain?

"Aku sibuk setiap hari, Jimo. Kamu tidak lupa dengan pekerjaanku, kan?" ucapku tak berbohong namun tak jujur sepenuhnya. Tidak setiap saat mobil atau motor mogok.

"Aha, aku paham. Jadi kira-kira kapan kamu punya waktu senggang?" Jimo tersenyum.

"Ada yang mau kubicarakan denganmu. Aku tidak tahu selera wanita dan aku tidak mau diamuk. Mungkin kamu bisa membantuku memilih gaun untuk pesta pertunangan—"

Selamat, Jimo. Kamu sukses menghancurkan hatiku. Kubuat menggigit lidah untuk mengalihkan rasa sakit di dada. "Boleh. Aku akan meluangkan waktu untukmu, Sobat."

***

Seharusnya aku tidak menyetujui ajakan Jimo untuk pergi ke mall membeli gaun nikah. Bayangkan, orang yang kamu cintai sedang memilih gaun cantik untuk wanita yang akan segera bertunangan dengannya. Tahukah betapa besarnya lubang di hatiku?

Akan tetapi, di sisi lain, aku juga tidak mau menyakiti hati Jimo. Biarlah aku yang menderita dengan perasaanku sendiri. Toh, kan aku yang jatuh cinta. Bukan Jimo.

Jimo sibuk memilih gaun. Aku sibuk menyemangati hatiku. Satu hari ini saja! Jimo sedang bahagia, aku tak ingin merusaknya.

"Baca artikel deh," gumamku mencari kerjaan agar hati ini teralihkan sesaat. Aku scrolling layar ponsel, membaca apa saja yang terlintas di berita online terbaru. "Hmm? Apa ini?"

Senyum pertamaku setelah patah hati terbit tanpa sepengetahuanku. Aku membaca headline artikel yang menurutku menarik. Tentang 'belasan remaja bernama aneh'. Tak kusangka ada ibu-ibu yang memberikan nama putra-putri mereka dengan nama lucu.

"Kamu lagi baca apa sih?" Jimo selesai belanja, menghampiriku yang tertawa ringan.

"Ini, wkwk. Ada orang yang namanya Nama."

Jimo tersenyum. "Senang melihatmu kembali seperti biasa," katanya membuatku seketika tersentak. "Aku suka dengan sikapmu ini."

Aku tersenyum miris. "Mengatakan itu saat kamu akan bertunangan, jahat lho, Jim."

"Eh?" Jimo mengerjap. "Aku tidak—"

Aku beranjak bangkit. "Kamu sudah selesai, kan? Kalau begitu aku mau pulang duluan." Pada akhirnya tugasku hanya mengangguk apakah gaun pilihannya bagus atau tidak.

"T-tunggu sebentar. Ini masih pukul 2 siang. Apa kamu tidak mau makan dulu?"

"Tidak usah. Aku makan di rumah saja. Maaf ya, Jimo. Entah kenapa aku tak enak badan," dustaku murni betul. Yang tidak enak itu kan hatiku. Berdenyut-denyut sakit dengan kalimat sendiri: soal Jimo akan bertunangan.

Haah. Aku menatap langit cerah. Apa karena aku sedang galau makanya langit biru tidak memberiku semangat sedikit pun? Padahal baru beberapa bulan lalu hidupku jadi lebih berwarna berkat adanya Jimo.

Banyak orang bilang pasangan manusia sudah disiapkan dan ditentukan oleh Tuhan.

Aku tersenyum pahit. Sepertinya aku dan Jimo tak berjodoh. Aku harus tegar lalu mengikhlaskan Jimo dengan kekasihnya.

Tep! Terdengar suara langkah kaki.

Aku berhenti menggalau—dari tadi kepalaku tertunduk—menatap ke depan. Ada seorang pria jangkung yang asing memakai masker dan kupluk, berdiri tepat tak jauh di depanku.

Tunggu sebentar, aku ingat penampilan itu. Ingat sekali sampai aku ingin mengucapkan terima kasih karenanya aku bisa bertemu dan berkenalan dengan Jimo, merasakan apa itu cinta sekaligus sakit hati. Tapi kalau menilai atmosfernya nan tegang, bukan timing yang tepat untuk bersikap konyol sekarang.

Ini waktunya aku kabur.

Sial! Kenapa pula aku lewat gang sepi ini sih! Gara-gara galau Jimo akan bertunangan, pikiranku melalang buana sampai tidak sadar kakiku melangkah kemari. Aku tidak bucin. Aku hanya pertama kali merasakan cinta.

Pokoknya sekarang kabur dulu ke jalan—Tubuhku ditarik kuat ke belakang, didorong ke tembok. Dia dengan mudah menyusulku.

"Gara-garamu menghentikan aksiku waktu itu, aku nyaris tertangkap. Wanita sialan!" Dia meloloskan belati dari pisau. "Sekarang, serahkan semua yang ada di tasmu dan—"

Duk! Dia terbanting ke tong sampah.

"Kamu gak apa-apa?!" Ah, suara Jimo.

Si Pria Kupluk panik bergegas melarikan diri. Jimo hendak mengejarnya namun aku menahan tangannya. "Tidak usah."

"Tidak usah apanya?! Dia menodongkan pisau padamu! Untung aku menyusulmu. Kalau tidak, apa yang terjadi? Kamu bisa terluka olehnya!" Ini pertama kali aku melihat Jimo panik. Kenapa dia begitu... cemas...

Bolehkah aku sedikit egois?

"Aku akan mengantarmu—"

"Jimo, aku menyukaimu."

Apa? Tubuh Jimo menegang mendengarnya, menatapku dengan pendar mata kaget.

"Aku tahu aku seperti wanita murahan mengatakan cinta pada orang yang mau bertunangan, tapi aku sudah puas dengan memberitahumu bahwa aku mencintaimu—"

"Aku juga menyukaimu."

"Iya..." Mataku melotot. "Tunggu, apa?!"

"Hahaha, sepertimu kamu salah paham sesuatu deh. Gaun pengantin yang kubeli untuk sepupuku, namanya Kaira Sayanga. Kupanggil 'Sayang' karena dia memaksaku memanggilnya demikian. Orang yang kusuka itu kamu."

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro