Cemerlang dalam Gulita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditulis oleh divarvni_ & Komkom15

"Tidak ada yang menarik di sini kecuali kau."

Jika ada yang bertanya padaku suara paling indah apa yang pernah kudengar, jawabannya adalah suara milik seorang gadis yang kini tengah berdiri tepat di sampingku. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu jantungku berdebar kencang, meskipun hanya helaan napasnya yang terdengar. Apalagi ketika dia mulai berceloteh, tentang hal sepele misalnya. Aku selalu suka mendengarnya.

"Ingin tahu kenapa?"

"Kau sudah mengatakannya ratusan kali."

"Tidak, kau harus mendengarnya lebih dari milyaran kali, Ethan," ucapnya terdengar menggemaskan.

Susah sekali untuk tidak tersenyum. "Baiklah."

"Karena kau satu-satunya orang yang tidak mengumpat kasar ketika aku melukismu."

Kalian pasti mengertikan bagaimana perasaanku mendengar jawaban itu? Yah, mungkin itu terdengar bukan hal yang istimewa, tetapi tidak dalam pandanganku sendiri. Rasanya seolah aku adalah orang paling spesial baginya. Satu-satunya? Itu adalah salah satu kata favoritku semenjak dia mengatakannya untuk pertama kali.

"Coba kita lihat. Emm tidak terlalu buruk, meskipun satu matamu sepertinya agak sedikit besar," suaranya terdengar semakin melemah. "tidak masalah, gambar ini tidak membuat ketampananmu berkurang."

Menggemaskan sekali. "Boleh kusimpan sendiri kali ini?" tanyaku sambil mengulurkan tangan.

Sejenak tidak ada suara. Sepertinya dia tengah berpikir.

"Jangan dulu. Aku akan memberikannya kalau bisa melukismu di tempat yang sangat ingin aku kunjungi."

"Tempat macam apa itu?"

Bisa kurasakan dia mendekat hingga napas hangatnya menerpa telingaku. "Tempat yang sangat indah. Kau mau ke sana bersamaku?"

Sepertinya dia tahu bagaimana cara membuatku tidak berkutik dengan jantung berdebar kencang. Seolah tidak mengenal kata penolakan, aku mengangguk dengan begitu mantap.

"Kurasa semua tempat akan terasa indah kalau pergi bersamamu," ucapku tanpa sadar. Setelahnya aku mengumpat habis-habisan, apalagi ketika Liya tertawa.

Bisa kurasakan dia menjauh, menjaga jarak masih dengan tawa kecilnya yang merdu. Terdengar suara kertas dirobek.

"Ingin menggambar apalagi?"

"Rahasia. Kau harus melihatnya sendiri nanti."

"Aku, kan, buta Liya."

"Tenang, aku sedang rutin berdoa kepada Tuhan agar mengembalikan penglihatanmu. Dia pasti akan mengabulkannya."

Tepat setelah dia mengatakan hal itu, terdengar bunyi nyaring yang sudah sangat familiar di telingaku. Mendadak rasanya hatiku seperti awan mendung yang sebentar lagi akan hujan. Tidak lagi hangat dan mulai terasa dingin sekaligus hampa. Dia harus segera pergi. Membayangkannya saja sudah membuat dadaku terasa sesak.

"Baiklah, waktu habis. Sore nanti aku sudah bisa pulang. Kau akan keluar minggu depan, kan?"

Aku mengangguk. Dia kemudian kembali membisikkan sesuatu yang berhasil membuat kehangatan itu kembali hadir. Aku tidak tahu harus bereaksi apa saking senangnya dan hanya bisa mengangguk sekali lagi tanpa bisa menyembunyikan senyuman. Liya lalu pergi membiarkanku menikmati udara sore sendirian.

***

Rasanya seperti sihir, semua perkataan yang satu minggu lalu Liya bisikkan padaku, kupraktikkan dan rencananya berhasil dengan aman. Tidak ada kendala apa pun dan Pak Salman-supir pribadi Bunda- dengan penuh pengertian membiarkanku pergi berdua bersama Liya setelah gadis itu meminta izin. Dia juga berjanji akan mengantarku kembali tepat waktu.

Aku tidak tahu ke mana Liya akan membawaku. Tidak ada secuilpun perasaan khawatir yang mengganggu. Hanya dengan genggaman tangan lembut darinya, aku merasa aman sekaligus nyaman.

Semuanya akan selalu baik-baik saja jika bersamanya, pikirku.

"Sudah sampai. Bagaimana? Kau merasakan sesuatu?"

"Aku merasakan keindahannya."

Tawa merdu itu terdengar lagi. "Berhenti berbohong."

Merasakan dia hendak melepaskan pegangan, spontan aku mengeratkan genggaman kami.

"Aku tidak akan ke mana-mana. Hanya sebentar saja."

Meskipun berat, aku tidak bisa memaksa dan hanya bisa menurut. Tangan hangat dan lembut itu sudah tidak lagi ada. Aku juga mencoba untuk tetap diam dan membiarkan dia pergi sebentar. Tetapi sebenernya aku tidak mendengar suara langkah kaki menjauh. Bisa kurasakan Liya masih berdiri di sampingku, diam membisu. Entah apa yang dia lakukan karena keadaan benar-benar hening di sekitar. Hanya ada suara hewan entah itu burung atau sekadar hewan jangkrik.

Aku yang sudah mulai sesak sekaligus panik karena tidak bisa mendengar suaranya merasa lega ketika Liya kembali menggenggam tanganku. Dia menuntunku berjalan.

"Kenapa pergi?" tanyaku heran.

"Sebenarnya ada dua tempat yang akan kita datangi di hari ini."

"Tapi jangan lepaskan lagi tanganku," ucapku meminta. Yang tadi itu cukup menyiksaku dengan kekhawatiran. Aku takut dia pergi tanpa kusadari mengingat hal bahaya apa yang bersarang di dalam tubuhnya.

Liya mengeratkan genggaman tangan kami. "Tidak akan. Maaf untuk yang tadi."

Sama seperti perkataannya, kami pergi lagi ke tempat lain dengan mengendarai taksi. Untuk yang satu ini aku tahu dia membawaku pergi ke pantai karena terdengar suara debur ombak dan angin laut yang dingin begitu menyejukkan kulitku. Kami duduk di atas pasir, Liya yang menginginkannya sendiri.

"Ingat pertama kali kita bertemu? Kau bilang suka mendengar suara air laut."

Sungguh kejutan yang manis dia masih mengingat pertemuan pertama kami.

"Sekarang, suara air laut berada di urutan kedua."

"Siapa yang pertama?"

Aku diam sejenak, sedikit malu untuk mengatakannya. "Kau mengetahuinya, Liya."

Gadis itu kembali tertawa kecil. Kepalanya bersandar di bahuku. Kami saling membisu sambil menikmati udara pantai yang makin lama terasa semakin dingin.

"Ethan."

Tidak bisa dijelaskan bagaimana rasa bahagiaku setiap kali dia memanggil namaku.

"Ada yang ingin kamu katakan?"

Aku mengernyit ketika dia terlalu kencang menggenggam tanganku. Apa ada yang salah?

"Maaf, setelah ini aku tidak akan menemuimu lagi."

Diriku terdiam. Ada sesuatu yang seakan mengiris dadaku. Dibirku membisu ketika riuhnya kepala tak mampu berkata-kata.

Gadis itu terus menggenggam tanganku sembari menunggu jawaban dan perlahan lengannya mengusap pipiku. Bibirku bergetar tak karuan, perkataan yang ingin dilontarkan semuanya hilang dalam pikiran.

Diriku tak kuasa menahan embun yang mendorong untuk keluar. Dengan sigap gadis itu memelukku erat dengan deburan ombak besar yang seakan menunjukkan ketidaksukaannya.

Racun berbahaya dalam hubungan telah tiba, dimana Liya mencampakkan diriku tanpa alasan.

"Sekali lagi maafkan aku, Ethan" ucap Liya melepaskan pelukan terakhir.

"Liya, apa maksudmu...?" tanyaku berusaha menahan genggam tangan Liya, tapi dia melepaskannya begitu saja.

"...Liyaaa," kupanggil namanya sekeras mungkin. Langkahnya mulai meninggalkanku tak terdengar suara siapapun selain kemarahan ombak.

Hilang arah diriku terdiam di bibir pantai meratapi kepergiannya. Kepergian yang tak mampu kulihat wajahnya. "Ke ... napa? Ada apa dengan semua ini?" teriakku mengalahkan suara-suara yang kudengar.

***

Semenjak itu entah apa yang terjadi padaku. Aku terbangun di suatu tempat yang penuh suara tangis, tapi aku tak bisa melihatnya. "Dok, pasien ini mulai siuman," ucap seseorang yang membuatku sadar bahwa aku tengah berada di rumah sakit.

"Bagaimana perasaannya?" tanya seseorang.

"Ba-baik," jawabku ragu.

"Setelah ini anda bisa pulang, tapi tetap istirahat." ucapnya.

Diriku bangkit kemudian meraba sekitar. Seseorang meraih tanganku sembari menuntunku berjalan, saat kuraba tangan kasarnya, aku menyadari ternyata itu Pak Salman.

"Pak Salman yang membawaku ke sini?" tanyaku penasaran.

"Bapak hanya menjemputmu," jawabnya yang semakin membuatku penasaran. Siapa yang membawaku ke sini?

Tubuhku rasanya berat, sejenak duduk di ranjang dan membawanya berbaring terlentang menatap arah berbeda dengan hasil yang sama. Semuanya gelap gulita, tak ada satu cahaya ataupun kehangatan seperti Liya.

Aku masih ragu alasan Liya meninggalkanku, sebab biasanya dia selalu mempermainkan ku dan tidak benar-benar pergi begitu saja. Di saat diriku memikirkannya, suatu kabar mengejutkan datang.

Aku menguping pembicaraan seseorang dengan bunda di ruang tamu yang membicarakan pernikahan Liya. Ketika aku membuka pintu kamar, seketika obrolan itu terhenti. "Bun, lagi bicara sama siapa? apa maksudnya?"

Suara hentakan _high heels_ datang menghampiriku seraya mengucap, "bukan apa-apa. Sebaiknya kamu istirahat." Tentu perkataan itu semakin mengusikku terlebih mereka membicarakan pernikahan.

"Tapi Bun..."

"Istirahat ya," potong bunda yang membuatku terpaksa kembali ke kamar.

Hatiku terus gelisah memikirkannya dan terbangun di sepertiga malam kupanjatkan doa penenang. Diriku teringat akan canda tawa Liya, andai saja ada sebuah keajaiban aku membutuhkan penglihatan yang jelas.

Entah apa yang terjadi seperti keajaiban sebuah doa terkabul. Ketika membuka mata, remang-remang penglihatan mulai jelas dibuatnya. Doa sepertiga malam yang tanpa disengaja diwujudkan oleh yang maha kuasa membuatku percaya bahwa doa yang tulus tidak akan pernah dikecewakan.

Saat itu pula diriku berlari mencari bunda. Tanpa disengaja seseorang menarik penglihatan ku, dengan tegas bibir ini berkata, "Liya."

Liya berjalan ke arahku dengan tatapan mata yang berbinar. Diriku tersenyum merasakan hangatnya kedatangan gadis itu. Dia menyunggingkan senyumnya seraya berkata, "ini untukmu." Liya meraih tanganku dan memberikan selembar kertas bertuliskan undangan.

Seketika hatiku hancur, dia benar-benar belum menyadari bahwa aku sudah bisa melihatnya. Gadis itu memelukku sambil membisikkan sesuatu dengan suara lembutnya seolah tidak peduli akan perasaanku. "Aku tunggu kehadiranmu, jangan lupa buka hadiah yang aku simpan di meja," bisiknya yang membuat mataku tertuju pada kotak hadiah yang dia simpan itu.

Ketika bunda datang membawakan beberapa gelas minuman dan camilan, dia tersenyum. "Undangannya bagus nggak? Sengaja Liya timbulkan tulisannya agar kamu bisa meraba dan mengetahui isinya," ucap bunda yang membuatku kecewa. Apakah kemarin itu bunda sedang berbicara dengan Liya?

Diriku melepaskan diri dari Liya, pergi begitu saja kembali ke kamar. Tanpa melihat isi undangan itu, aku mengunci diri. Rasanya sakit ketika orang yang selama ini berharga untuknya pada akhirnya mencampakkan diriku bersama orang lain.

"Ethan ... ayo keluar, aku minta maaf atas kejadian di pantai. Hey? Apakah kau mendengarkan aku? Ayolah keluar aku tahu kamu marah, aku minta maaf ya, Ethan." Suara Liya terus memenuhi seisi gendang telingaku.

Suara samar-samar terdengar seperti Liya pergi menjauhi pintu kamar. Diriku tidak menghiraukan Liya. Hati ini rasanya lelah dipermainkan ketika doa yang selalu Liya panjatkan untuk kesembuhan mataku, apakah ini yang ingin dia tunjukkan?

Jika iya aku menyesal. Lebih indah ketika diriku hanya melihat satu warna paling jelas, yakni warna hitam. Hadiah pertama yang kudapatkan setelah melihat dunia ternyata kepedihan. Termenung hanyut dalam pikiran, seseorang membuka kunci pintu kamarku dari luar. Aku sudah menduga itu bunda karena hanya dia yang memiliki kunci cadangannya.

Aku membiarkan bunda datang. Dia membelai rambutku seraya berkata, "akhirnya kecemasan bunda sedikit demi sedikit mulai hilang." Perkataan itu sontak membuatku membuka mata dan menatapnya.

"Bun, ini maksudnya apa?" tanyaku yang akhirnya membuat bunda sadar.

Bunda diam terpaku dan terus menatap mataku. "Ethan, apakah kamh bisa melihat bunda nak?" Aku mengangguk tak mau membohonginya bahwa sekarang aku bisa melihat.

Bunda memelukku erat. "Syukurlah nak, ibu harus cepat-cepat memberitahu Liya," ucapnya yang sontak membuatku menahan bunda.

"Bun, jangan kasih tahu dia."

"Bunda tahu ini kejutan untuknya kan?" Dengan terpaksa diriku menganggukkan kepala kemudian bunda mencium keningku dan pergi begitu saja.

***

Beberapa hari telah berlalu.

"Hari ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh Liya, dia akan segera menikah," ucap ibu di hadapanku.

Aku baru mengingatnya. "Apakah kamu lupa?" tanya bunda yang membuat dadaku sesak karena bagaimanapun aku masih menyimpan rasa untuknya.

"Bun, aku tidak akan kemana-mana." Sontak ucapan itu membuat bunda marah dan memukulku seraya berkata, "apakah kamu ingin membuat malu keluarga kita?"

Bunda terus memaksa diriku padahal dia tahu Liya akan menikah dan bukan denganku. Bunda memberikan setelah baju untukku kenakan dengan jas putih yang tampak beda dari biasanya. Bunda menyelipkan sekuntum bunga di kantung saku jasku kemudian menungguku di depan.

Duduk di kursi mobil dengan beban yang berat harus melihat Liya bersanding bersama orang lain. Diriku enggan keluar, tetapi bunda meraih tanganku dan mendampingiku pergi menuju pelaminan. Sontak diriku kaget dibuatnya, sepanjang sisi karpet merah terlihat jelas stand lukisan pantai berisikan diriku.

Liya berada di pelaminan seraya berkata, "aku memenuhi janjiku dengan melukis dirimu," ucapnya yang masih membuatku bingung. Liya meraih tanganku seraya berbisik, "Ethan, maukah menikahi ku?"

Jelas itu membuatku kebingungan, tanpa persetujuanku dia langsung menjebak ku di pelaminan. Diriku gugup berada di sana, bersanding dengan gadis yang aku kira mencampakkan diriku. Dulu Liya seperti bulan yang menjadi penerang dan sekarang aku mengelus kepalanya, mendekatkan bibirku seraya berkata, "aku bisa melihat dengan jelas kegugupanmu."

Dengan sigap Liya menatapku, melihatku secara seksama dan dia baru menyadarinya. "Kau melihatku?" tanyanya memukulku dengan manja. Diriku meraih kepalanya dan meletakkannya di bahuku. "Aku tak mengira kau seberani itu. Sekarang kau milikku, jangan pernah lepaskan genggamanku." Liya memelukku dengan erat, dada ini rasanya sesak, tetapi berada di pelukannya membuatku nyaman.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro