Charming You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditulis oleh darulh27 & LudiraLazuardi

Oke, bisa diulangi lagi?”

Terdengar helaan napas panjang dari seberang. “Keramaian kemungkinan ada pas penulis dan penyanyi datang. Penulis datang jam sembilan, penyanyi jam dua belas, kemungkinan molor. Area dijaga ketat di gerbang masuk, parkiran, dan panggung. Sebelah kantin diawasj karena barengan sama renovasi, dan …”

Kali ini aku yang menghela napas panjang. Lega sekali rasanya mendengar Kak Ditya hafal tentang apa saja yang kukatakan. Aku tidak salah memercayakan bagian keamanan padanya. Padahal, kukira energiku akan habis duluan karena meminta bantuan cowok kelas 12. Dulu aku pernah satu program kerja dengan cowok kelas 12, dan harus banyak bersabar karena banyak pesanku yang tak digubrisnya. Katanya, pesanku tenggelam. Saat bertemu langsung pun, ia sering menghindar dan beralasan harus mengantar pacarnya pulang.

Untungnya, Kak Ditya bukan orang yang seperti itu. Dari gaya bicaranya, cowok ini cukup bertanggung jawab. Ia tercatat sering membantu keamanan acara sekolah yang diadakan OSIS. Kata ketua OSIS pun, Kak Ditya adalah cowok yang disegani di angkatan kelas 12. Aku benar-benar lega, energiku jadi tak banyak terkuras dan bisa segera melakukan rapat koordinasi antar sie.

Malasih banget, Kak Ditya. Terima kasih udah mau jadi koordinator keamanan festival bahasa bulan depan. Tolong banget, ya, Kak, aku percayain urusan keamanan ke Kakak,” ucapku lewat telepon. Terdengar suara tawa di sana. “Iya, tenang. Aku sama yang lain bakal usahain sebaik mungkin.

Aku masih belum menutup telepon. Selain menunggunya yang duluan menutup telepon, aku juga memikirkan hal lain. Festival bahasa ini benar-benar menguras tenagaku. Ini pertama kali aku menjadi ketua pelaksana acara sebesar ini, yang sebelumnya ditiadakan selama dua tahun karena pandemi. Kalau sampai acara ini gagal, bisa-bisa Organisasi Kebahasaan dibubarkan oleh Kepala Sekolah karena dianggap sudah tak mumpuni menggelar acara bahasa. Memercayakan OSIS pun sia-sia. Aku masih ingat, Fiyan, ketua OSIS saat ini, mengeluh karena memang sedari dulu kegiatan bahasa diserahkan Organisasi Kebahasaan. Jika program kerjanya diserahkan ke OSIS, maka harus membentuk sekbid baru, dan Fiyan tidak mengharapkan itu.

Ehm, omong-omong, kamu belum tidur, Dek? Udah jam sepuluh.”

Tiba-tiba suara Kak Ditya terdengar. Aku baru sadar kalau telepon belum kumatikan. “Belum, masih mikir ini selanjutnya mau telpon siapa lagi. Tau, ah. Pusing banget. OSIS juga nggak mau bantu banyak,” keluhku akhirnya. Jujur, aku tak mau membagi kekalutanku pada kakak kelas yang baru kukenal ini, tetapi apa daya. Malam ini benar-benar melelahkan.

Mending kamu tidur, daripada nanti dikoar-koar orang rumah.”

Kak Ditya sendiri kenapa nggak tidur?”

Ya karena kamu mendadak telepon malam-malam gini. Aslinya aku udah kelon sama guling, Dek.”

Seketika aku terdiam. Benar-benar di luar dugaan. Kukira Kak Ditya seperti cowok pada umumnya yang sok menjawab singkat dan kaku tiap diajak mengobrol saat pertama kali kenal. Ternyata ia cukup humble.

O-oh, maaf banget, Kak. Aku terpaksa telepon karena takut kalau cuma lewat pesan biasa bakal tenggelam, atau dibalas lama. Makanya aku telepon biar jelas. Maaf banget karena justru ganggu waktunya. Atau aku justru ganggu malam mingguan Kak Ditya?”

Ahaha, tenang. Gapapa kamu ganggu waktuku, apalah arti malam minggu buat orang jomlo kayak aku gini.”

Aku membulatkan mata. Kak Ditya tidak punya pacar? Mustahil. “Masa jomblo, sih, Kak? Ya walau aku baru kenal Kak Ditya, tapi kata temen-ten Kak Ditya itu penggemarnya banyak, loh. Kok nggak kepincut?

Iya, penggemar banyak. Tapi ya udah, kebanyakan cuma kagum dan nggak berlanjut jadi apa pun.”

Tipe-mu ketinggian mungkin, Kak."

Bisa jadi. Sampai sekarang aku belum nemu cewek yang kayak kriteria.”

Emang kriterianya apa?”

***

Istirahat kedua sudah selesai, dan aku baru keluar dari aula rapat. Rasanya lega sekali karena rapat koordinasi pertama untuk seluruh sie telah selesai. Aku hanya tinggal menunggu rancangan susunan acara, mengoreksinya, kemudian membuka rapat lagi agar tidak ada miskomunikasi. Kak Ditya dari sie keamanan juga akan menghubungiku lagi untuk membahas pembagian anggota di tempat-tempat rawan kericuhan.

Jujur, aku jadi penasaran dengan Kak Ditya. Ini kali pertama aku bertemu Kak Ditya langsung, karena sebelumnya aku hanya tahu cowok itu dari cerita Fiyan dan beberapa temanku. Ia benar-benar maskulin. Tubuhnya tinggi dan kekar. Ia memiliki sorot mata yang sendu dan muka yang bersih dari jerawat. Bahkan aku baru tahu kalau ia atlet pencak silat. Tak heran ia berbadan atletis. Alis kanannya sedikit lecet, sehingga terkesan terbelah bila dilihat dari kejauhan. Dengan fisik dan tingkah humble seperti itu, aku heran ia masih belum punya pacar.

Malam harinya, kami kembali bertelepon. Setelah menyetujui pembagian anggota keamanan, aku enggan menutup telepon, Kak Ditya pun demikian. Akhirnya, aku memberanikan diri bertanya tentang kriterianya, lagi. “Tipe Kak Ditya ketinggian. Jaman sekarang mana ada cewek belum pernah pacaran.”

Ada, kamu contohnya.”

Tapi aku nggak mau sama Kak Ditya.”

Loh, emang kenapa? Aku juga nggak pernah pacaran, Dek, impas, dong.”

Tapi aku udah suka cowok lain. Anak SMK sebelah. Cahyo namanya.”

Ups! Sepertinya aku salah mengatakan itu. Tak seharusnya Kak Ditya yang baru kukenal mengetahui hal se-privat ini. Bahkan sahabatku pun tidak kuberi tahu karena takut bocor. Ah, bodoh sekali!

“O-oh, ternyata udah naksir orang. Kirain kamu fokus organisasi doang sampai nggak kepikiran pacaran.”

E-enggak. Aku cewek normal. T-tapi, aku mohon jangan bilang ini ke siapa-siapa, Kak. Jangan cari tahu siapa itu Cahyo. A-aku, aku naksir dia dari lama.

Terus, kenapa nggak bilang ke orangnya?”

Sahabatku juga naksir Cahyo.”

Tiba-tiba saja telepon mati. Jantungku berdebar kencang begitu Kak Ditya mengirim pesan agar tidak meneleponnya lagi di waktu malam. Katanya, urusan keamanan festival bahasa sudah selesai. Ia menjamin dirinya dan sie keamanan yang lain akan melakukan tugas dengan benar.  Kerusuhan mungkin terjadi, tetapi semua akan mengusahakan sebaik mungkin. Namun, hal yang membuatku terdiam, mengapa pesannya itu seakan kalimat perpisahan?

***

Festival bahasa akhirnya tiba. Sebagai ketua pelaksana, setelah sesi sambutan, aku harus langsung duduk di tempat yang telah disediakan. Sesuai dugaan, kerusuhan terjadi saat penyanyi indie yang baru naik daun itu naik ke atas panggung untuk pengecekan alat musik dan pengeras suara. Sie keamanan harus mengatasi gerombolan yang berdesak-desakan di depan pintu aula besar. Samar-samar aku mendengar teriakan Kak Ditya. Ia membentak gerombolan yang memaksa masuk aula, padahal belum melakukan pengecekan badan. Tak tahan, akhirnya aku pun melangkah keluar untuk melihat seberapa ricuh di luar.

Di luar dugaan, suasananya benar-benar ramai. Kak Ditya dan sie keamanan yang lain tampak kewalahan mengatasi gerombolan. Beberapa cowok yang lebih tinggi dari Kak Ditya memaksa masuk hingga beberapa orang di depannya terjatuh.

“Ditya, kasih kita masuk, atau kita buat acara ini berantakan,” ancam salah satu cowok yang berwajah sangar. Sepertinya ia kelas 12. Golongan senior yang akan lulus sehingga merasa sebagai penguasa sekolah.

“Yang di sampingmu itu Ketupel, kan? Kamu mau dia babak belur karna nggak kasih kita masuk?” ucap cowok lain. Aku membulatkan mata. Niat hati membantu Kak Ditya, sepertinya kehadiranku justru menambah masalah.

“Harusnya kamu nggak ke sini, tolol!” Kak Ditya membentakku.

Aku terhenyak. Ucapan Kak Ditya terasa seperti hantaman batu di dadaku. Napasku tertahan beberapa waktu. Ancaman dari gerombolan yang ingin membuatku babak belur tidak membuatku takut. Namun, sedikit perkataan dari Kak Ditya kenapa semenyakitkan ini? Memang benar, keberadaanku di sini malah meningkatkan aura panas kerusuhan. Akan tetapi tidak seharusnya Kak Ditya membentakku seperti itu. Aku tidak ada niatan sedikit pun untuk mengganggu dirinya apalagi menimblkan masalah. Bagaimana pun juga aku adalah ketua panitia yang mau tak mau harus ikut bertanggung jawab membantu tugas setiap sie. Sudah sepantasnya aku mengecek apa yang terjadi.

“Astaga, Kak!” Aku menatapnya tidak percaya.

“Tunggu apa lagi, pergi dari sini, Dek. Sekarang. Biar aku yang mengatasi kerusuhan ini.” Kak Ditya berbicara keras lagi padaku. Dengan perasaan kesal dan dada penuh aku melangkah pergi dari sana. Bukan untuk menghindar karena takut akan orang-orang yang mulai nekat, tetapi untuk mengatasi masalah yang muncul.
Aku mendatangi bagian sound system dan memimjam mic. Setelah itu aku kembali ke depan pintu aula. Kak Ditya masih beradu mulut dengan murid-murid yang hendak menyerobot masuk. Teman-teman dari sie keamanan mulai kewalahan mengatasi mereka.

“Mohon perhatian! Teman-teman sekalian harap perhatiannya!” Aku berteriak menggunakan pengeras suara sampai terdengar bunyi  ‘nging” yang menusuk telinga.

Refleks semua orang terdiam dan semua mata tertuju padaku. Setelah hening beberapa waktu dan mendapat perhatian yan aku perlukan, aku segera memanfaatkannya sebelum mereka kembali ribut.

“Saya Livia. Ya, saya adalah ketua pelaksana festival bahasa tahun ini. Beberapa dari kalian tentu sudah tahu, bahkan ada yan mengancam untuk membuat saya babak belur.” Aku menatap gerombolan kelas 12 yang bergerombol di depan Kak Ditya. Lalu aku melanjutkan, “Saya mohon kesediaan teman-teman untuk mematuhi tata tertip demi kenyamanan dan kesuksesan acara kita. Kalian tidak mau kan jika saya terpaksa membatalkan acara ini dan band indie yang sudah kalian tunggu yang menjadi alasan kerusuhan ini terjadi malah tidak jadi manggung? Jadi saya mohon sekali lagi kerja samanya.”

Gerombolan itu tampak tidak terima. Banyak dari mereka yang menggerutu dan menggumamkan kata-kata tidak jelas. Akan tetapi sepertinya caraku berhasil. Mereka tetap ingin menyaksikan band itu di atas panggung. Jadi mereka tidak lagi berbuat anarkis.
Kak Ditya responsif membaca suasana. Dia lekas mengerahkan anggotanya untuk sigap melakukan pengecekan badan sehingga antrian bisa segera diurai. Aku menghembuskan napas panjang. Sekilas aku menangkap tatapan Kak Ditya ke arahku, dan dia tersenyum bangga. Lega sekali rasanya bisa membantu mengatasi masalah berat itu. Menghadapi banyak orang memang seringkali menguras tenaga. Akhirnya festival bisa berjalan lancar, tidak ada kendala berarti setelah kejadian di pintu aula.

Sore hari ketika festival selesai, aku duduk di tengah lapangan depan panggung, menikmati rasa lelah dan bangga karena hari itu berjalan lancar. Tiba-tiba ada seseorang yang ikut duduk bersila di sampingku.

“Kamu Livia, kan? Ketua pelaksana festival bahasa? Selamat ya, acaramu sukses.”

Betapa terkejutnya aku karena Cahyo, orang yang selama ini aku kagumi dalam diam berada sangat dekat denganku. Aku masih belum mampu berkata-kata ketika Cahyo menyodorkan sebotol kopi dingin.

“Ini, untuk melepas lelah,” ucap Cahyo.

“T-terima kasih,” jawabku lirih dan menerima pemberiannya. Kuembuskan napas perlahan-lahan, mencoba menentramkan hatiku yang belingsatan di dalam. Kuharap dia tidak merasakan tanganku yang gemetar.

“Aku tadi melihatmu saat kamu mengatasi kerusuhan di pintu masuk. Kamu keren banget hari ini,” lanjutnya.

“Kak Cahyo kok bisa ada di sini?” tanyaku.

“Oh, kamu sudah tahu namaku? Aku baru mau memperkenalkan diri. Aku ke sini ya karena kalian mengundang kami. Masa lupa.”

Astaga, kami memang mengundang perwakilan OSIS dari sekolah-sekolah di daerah ini untuk hadir di festival. Rupanya Cahyo adalah ketua OSIS SMK sebelah. Kebetulan yang membahagiakan. “Oh, terima kasih sudah datang. Kuharap Kak Cahyo menyukai acaranya.”

“Tentu saja, ini festival terkeren. O ya, panggil aku Cahyo saja, kita seangkatan hanya beda sekolah. By the way, boleh minta nomornya? Ya siapa tahu nanti ada acara sekolah lagi, kita biar lebih gampang berkomunikasi.”

Jantungku nyaris copot dari tempatnya. Mimpi apa aku semalam. Cahyo tahu namaku, menyapaku lebih dulu, sampai-sampai dia juga meminta nomor teleponku. Lidahku kelu, Aku mengagguk untuk mengiyakan permintaannya.

Tepat setelah Cahyo selesai menyimpan nomorku, Kak Ditya mendatangi kami. “Woi! Ngapain kamu masih di sini?” Suaranya keras, hampir seperti teriakan. Aku dan Cahyo sontak berdiri.

Aku masih teringat betapa kasarnya Kak Ditya tadi padaku, menyebutku tolol seenaknya. Aku hampir menjawabnya ketika kusadari pertanyaan itu tidak ditujukan padaku. Kak Ditya menatap Cahyo dengan gamang. Dia lalu menarik pergelangan tanganku dan membuatku berdiri di belakangnya.

“Sebaiknya kamu pulang, festival sudah selesai,” ucap Kak Ditya lagi kepada Cahyo. Mendengar itu, Cahyo menampilkan senyum khasnya yang selalu membuat cewek-cewek terpana, termasuk aku.

“Ketuanya saja masih mengizinkanku di sini. Kenapa kamu mesti repot,” jawab Cahyo.

Aku merasakan genggaman Kak Ditya di tanganku mengencang. Aku takut akan terjadi perkelahian yang tidak perlu. “Mmm.. hari memang sudah sore, sebaiknya kita semua pulang.” Aku berusaha mendinginkan suasana dan melepaskan tanganku dari Kak Ditya. Untungnya mereka tidak mendebatku. Cahyo pun pergi dan berjanji akan segera meneleponku. Kak Ditya terlihat semakin marah, tapi masih coba ditahannya.

Setelah Cahyo menghilang dari pandangan, Kak Ditya berbicara padaku, “Dek. Jadi itu tadi Cahyo yang kamu maksud kemarin? Tidak bermaksud apa-apa, tapi sebaiknya kamu tidak dekat-dekat dengan dia. Please, Dek, demi kebaikanmu sendiri. Kamu masih polos, belum pernah ngerti cowok macam Cahyo itu bagaimana.”

Sejujurnya aku tidak mengerti kenapa Kak Ditya yang kupikir sangat humble malah bersikap seperti itu. Apa mungkin karena dia cemburu karena aku lebih memilih Cahyo? Aku ingin memperjelasnya, tetapi aku masih marah kepada Kak Ditya karena sudah kasar dan tidak meminta maaf padaku. Aku juga capek banget. Jadi alih-alih menanggapi, aku memilih pulang.

***

Festival sudah berakhir. Benar-benar pengalaman berharga untukku. Kisahku dengan Cahyo juga dimulai karena festival itu. Meskipun kemudian temanku yang juga naksir Cahyo menjauhiku. Aku juga semakin jauh dengan Kak Ditya. Dia memang pernah meneleponku, tapi hanya untuk sekedar formalitas, terima kasih dan minta maaf.
Huhf. Semua berjalan baik, tapi entah kenapa ada kalanya aku rindu berbincang dengan Kak Ditya. Aku juga sering kepikiran dengan ucapan Kak Ditya tentang Cahyo. Apakah Kak Ditya tahu sesuatu yang aku tidak tahu? Seperti ada kesalahan yang aku lewatkan. Semoga saja ketakutanku tidak terjadi.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro