Retrouvaille

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditulis oleh LudiraLazuardi & NiaHindrawati

Katanya, tidak ada yang abadi di dunia ini. Namun ada beberapa luka yang tertoreh sangat dalam hingga meninggalkan bekas yang melekat selamanya dalam hidup. Bahkan sekalipun bekas itu tidak tampak lagi, bukan berarti tidak lagi terasa. Luka itu terukir dengan jelas dalam ingatan, menjelma kenangan yang seringkali membuat kita tidak berani melangkah. Kita diam di tempat, berusaha tidak menoleh masa lalu dengan tidak memikirkan masa depan. Di antara banyak kejadian yang menorehkan kesedihan, Galuh adalah yang terparah. Kupikir tidak akan pernah bisa disembuhkan.

Dia meninggalkanku dengan gampangnya. Tanpa perasaan bersalah sedikitpun.

“Kita masih akan temenan, kan?” tanyanya waktu itu tepat setelah dia secara sepihak memutuskan hubungan.

Aku masih tidak habis pikir, cewek selembut dan seperhatian Galuh mampu melakukan hal itu padaku. Aku sama sekali tidak curiga jika aku hanyalah orang ketiga, cowok kedua Galuh. Dia begitu pandai berpura-pura. Bermulut manis, bersikap manis, berwajah manis. Andai aku bisa tahu lebih awal jika aku hanya pelariannya, mungkin saja tidak akan sesakit ini rasanya. Rasa paling menyebalkan yang tidak bisa hilang adalah rasa direndahkan. Dulu aku merasa kasihan pada diriku sendiri. Kini aku lebih kasian pada cowok asli Galuh. Apa dia tahu kalau Galuh pernah mengkhianatinya dengan bersamaku?

Ah dasar cewek itu. Sampai saat ini aku masih kesulitan untuk membuka hati. Aku tidak bisa. Bukankah di sebagian besar cerita cowok adalah orang yang berselingkuh? Di mana-mana cowok adalah orang yang selalu salah, yang memiliki kekasih lebih dari satu. Aku tidak bercita-cita menjadi salah satunya. Karena itu aku selalu berusaha menjaga mata dan hanya setia pada Galuh seorang. Sampai akhirnya yang terjadi malah kebalikannya. Bagaimana harga diriku sebagai cowok tidak tercabik-cabik coba.

Aku sedang mengenang Galuh di pagi yang cerah dan lengang ketika sebuah pesan whatsapp masuk. Aku sudah bisa menebak siapa pengirimnya. Dengan malas kuambil HP dari atas nakas hanya untuk membuktikan bahwa dugaanku benar.

“Wa, jangan lupa jam sepuluh jemput aku.” Pesan singkat dari Lyra yang jika tidak segera dibalas akan berakibat buruk bagi kedamaian hari ini.

“Ogah,” balasku singkat padat dan jelas.
Rupanya dibalas maupun tidak dibalas, kedamaian itu tidak akan aku dapatkan. HP-ku langsung bergetar dengan hebat. Lyra menelepon. “Dih, gimana sih, ini hari ulang tahunku.”

“Bener banget. Ini hari ultahmu, bukan ultahku.” Aku sengaja menggoda lyra agar dia mencak-mencak dengan gaya khasnya.

“Lah, cepetan bangun pokoknya, aku tunggu. Ingat kamu sudah janji.”

Lyra adalah sahabatku, satu-satunya perempuan yang masih kuizinkan menghubungiku kapan saja selain Ibu. Yah kadang dia menyebalkan, mengganggu ketentraman yang sedang kubangun. Eh ralat, bukan kadang, tetapi dia memang selalu menyebalkan. Akan tetapi sikap menyebalkannya itu bisa mengalihkan pikiranku dari Galuh. Bagaimanapun aku butuh jeda dari  kesedihan.

“Ra, kamu yang ngajakin aku, masa aku yang jemput. Ogah. Kamu aja yang jemput aku.”

“Eiwa, kamu yang laki-laki, masa enggak malu dijemput perempuan. Aku aja yang perempuan merasa malu. Dasar pemalas. Pokoknya jemput jam sepuluh, jangan sampai terlambat. Lagian ngumpulnya emang ditempatku. Nanti Oceana dan Biru juga datang ke sini dulu.”

“Nama teman-temanmu lucu amat. Pasti orang-orangnya menyebalkan sepertimu,” jawabku belum mau mengalah.

“Eh, jangan salah. Aku sudah menyiapkan kacamata kuda khusus buatmu. Aku khawatir kamu akan melirik ke Oceana terus dan tidak memperhatikan jalan.”

“Hmm, secantik itu kah? Aku jadi penasaran. Ya sudah sekarang masih jam Sembilan, aku tidur bentar.” Aku segera menutup telepon sebelum Lyra sempat mengomel.

Aku baru selesai mandi ketika HP-ku berebunyi lagi. Saat aku cek, ada sepuluh panggilan tak terjawab dan sepuluh pesan dari satu orang, Lyra. Aku melihat jam, belum ada jam sepuluh, tetapi Lyra sudah membuat drama.

“Aku sudah di depan.” Kesepuluh isi pesan itu bertuliskan kalimat yang sama.
Dasar, tidak sabaran betul Lyra. Meski aku masih agak sebal, aku tidak membiarkan dia menunggu lebih lama. Segera  kuambil kaos dan jins di tumpukan teratas di lemari dan dalam waktu kurang dari satu menit sudah berhasil mengenakannya. Kuselipkan dompet dan HP ke saku lalu menemui Lyra.

“Ngapain kamu di sini? Katanya aku yang kamu suruh jemput.”

“Katanya kamu minta dijemput. Lagian aku enggak mau mengambil risiko kamu terlambat. Nanti blind date kita bisa gagal. Cepat naik.” Lyra menyerahkan helm merah muda kepadaku dan menepuk jok belakang scoopy merah yang dikendarainya.

“Blind date?” Aku sedikit terkejut dengan ucapan lyra. Tanganku refleks garuk-garuk kepala padahal tidak ada yang gatal. “Katanya kita pergi hari ini buat merayakan ultahmu. Enggak jadi ikut deh, males banget.”

“Yaelah, Cuma istilahku aja itu. Kita kan pergi berempat, aku, kamu, Oceana, sama Biru. Dua cewek dua cowok. Plus kamu belum pernah bertemu teman-temanku itu. Jadi blind date cuma sekedar istilah. Dudul. Orang kalau kelamaan jomlo ya gitu. Jadi takut sama yang namanya cinta.”

“Bukannya itu adalah alasan kenapa kita bisa awet sahabatan. Kamu enggak perlu takut aku jatuh cinta sama kamu.” Aku belum mau kalah debat dengan Lyra.

“Kebalikannya kali. Kamu yang merasa tenang karena enggak mungkin jatuh cinta sama aku. Aku bukan tipemu, kan. Aku beda banget sama cinta sejatimu si Galuh apa siapa namanya itu” debat Lyra sambil mencibir.

Kupikir Lyra benar. Bersahabat dengan lyra membuatku nyaman. Entah bagaimana, Lyra adalah tipe cewek yang tidak akan pernah membuatku khawatir akan jatuh cinta. Bukan karena dia tidak cantik. Bukan itu. Sebenarnya aku yang jarang memuji perempuan harus mengakui jika Lyra salah satu cewek yang pantas disebut cantik. Mukanya jarang terkena make up, tingginya melebihi rata-rata cewek seusianya, dan Lyra selalu bicara apa adanya. Dia bisa menunjukkan kebenaran yang kadang luput kulihat dari Galuh. Dia juga yang membuatku sadar jika Galuh tidak pernah benar-benar menyukaiku, bahkan sudah mengkhianatiku.

Banyak orang meragukan apakah mungkin hubungan platonik itu bisa terjadi. Persahabatan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada perasaan cinta sama sekali. Salah satu dari kedua orang sahabat itu pasti ada yang memendam rasa, kalau tidak malah dua-duanya. Nyatanya memang ada. Aku dan Lyra adalah salah satu dari bukti nyata hubungan platonik.

“Woi! Malah bengong. Ayo udah ditunggu ini. Mereka sudah berangkat duluan ke Sindu Kusuma.”

“Astaga, bukannya Sindu Kusuma itu taman bermain anak-anak, ya? Kamu memang cewek aneh. Sana minggir, aku yang nyetir.”

“Bagus, memang seharusnya gitu. Seharusnya juga tadi kamu yang jemput aku, biar seperti nge-date beneran.”

“Maunya.” Aku pukul pelan helm yang dikenakan Lyra. Membuatnya mengaduh kecil lalu tertawa bahagia.

Aku melajukan scoopy merah milik Lyra dengan cukup kencang.

"Dudul. Pelan-pelan, dong, jalannya! Aku takut." Lyra menjerit histeris saking takutnya.

"Tak bisa. Kita tak akan sampai-sampai ke tempat tujuan kalau pelan-pelan," kataku jahil.

"Ugh, dasar dudul! Aku beneran takut. Serius."

"Kamu kencangkan saja pegangan tanganmu ke pinggangku!" ucapku asal nyeplos.

Lyra benar-benar melakukan apa yang aku katakan. Sekilas aku melirik wajahnya yang ketakutan dari kaca spion motor. Lucu dan sangat menggemaskan.

Jalanan siang itu cukup padat dan ramai kendaraan. Apalagi akses menuju tempat wisata Sindu Kusuma.

Tibalah aku dan Lyra di tempat wisata itu. Tak canggung, Lyra menggamit lenganku dan mengajak berjalan menuju loket masuk tempat wisata yang sekaligus menjadi meeting point kami bersama dua orang teman Lyra bernama Oceana dan Biru.

"Eiwa, kenalkan! Mereka berdua temanku. Dia Biru dan satunya lagi ini namanya Oceana."

"Hai, aku Eiwa, teman Lyra juga. Salam kenal."

"Apa iya cuma teman doang? Aku lihatnya kalian itu lebih dari sekadar teman, lho. Kamu juga merasa begitu tidak, sih, Biru?" ucap si cewek cantik Oceana, meminta pendapat cowok yang berdiri di sebelahnya.

"Kalian jangan pada ngaco gitu, dong! Kasihan Eiwa-ku kalau sampai merasa tidak nyaman nanti," tegur Lyra.

"Eh, tidak, kok. Aku santai saja," balasku kemudian.

"Maafkan, ya, Wa. Kami kalau lagi pada ngumpul begini, bawaannya pasti bercanda melulu." Oceana memberi tahu.

Usai sesi bertemu dan berkenalan satu sama lain, kami berempat lantas melangkah masuk untuk menjajal dan menikmati sensasi wahana Sindu Kusuma.

Aku-Lyra dan Oceana-Biru memilih untuk berpisah. Lyra bicara terlebih dulu padaku setelah sosok kedua temannya itu tak tertangkap lagi oleh pandangan.

"Teman-temanku seru dan asyik, 'kan? Apalagi si cantik Oceana, tuh. Bagaimana menurutmu, Wa?"

"Namanya cewek, ya, pasti cantik," jawabku.

"Berarti di mata kamu aku juga cantik, dong. Secara aku cewek."

"Kamu itu pengecualian. Kamu tak ada cantik-cantiknya sama sekali," ledekku sambil mengukir seulas senyum jahil di wajah.

"Dasar dudul! Awas saja, ya, kamu!" jerit Lyra sebal.

Aksi saling kejar-mengejar seperti di kebanyakan drama pun terjadi. Hasilnya? Aku sengaja membiarkan Lyra untuk menangkapku.

Tangannya langsung mengalung di tengkuk, menarikku untuk merunduk, lalu dijitaklah kepalaku tiga sampai empat kali.

Jangankan mengaduh kesakitan, aku justru menikmati momen yang berlangsung itu. Sesekali aku melirik wajah Lyra yang terlalu menggemaskan.

"Apa kamu lihat-lihat? Mau aku jitak lagi kepalanya?" tanya cewek aneh itu galak ketika matanya berhasil saling bertaut dengan kedua mataku.

Aku diam sambil terus memandangi Lyra. Mungkin karena salah tingkah atau bagaimana, ujung-ujungnya aku dilepas juga olehnya. Pipi Lyra merona merah dan aku ingin meledakkan tawa yang aku tahan.

Namun, aku segera mengurungkan niat itu karena aku tidak ingin kena jitak tangannya lagi.

"Kamu ingin menjajal wahana apa, Wa?" tanya Lyra kemudian.

"Kamu maunya yang mana dulu?" Aku melempar pertanyaan balik dan berhasil membuat Lyra berdecak sebal seketika.

"Aku maunya naik itu. Di tempat wisata lain sepertinya jarang ada wahana seperti itu."

Aku mengikuti arah gerak jari telunjuk Lyra. Ternyata yang ditunjuk adalah wahana yang diberi nama sepeda mabur alias sepeda terbang. Ok, baiklah. Dia ingin naik itu, aku mengiyakan saja.

"Kayuh yang bener, dong, Eiwa!" protes Lyra ketika sepeda mabur yang kami naiki belum menyentuh separuh lintasan.

"Finish-nya masih jauh, ya? Kaki ini sudah capek." Aku mengeluh.

"Kamu pikir jika aku mengayuh sendirian begini, kakiku tidak capek apa? Lintasan lumayan masih jauh pula," omel Lyra.

"Tenagamu ditambah lagi, dong, Wa! Makin berat, nih, mengayuhnya. Kamu ini cowok bukan, sih?" imbuh Lyra yang makin meronta.

Tawaku meledak seketika. Aku berhasil mengerjainya lagi. Selepas bermain wahana sepeda mabur itu, Lyra mengajakku membeli jajanan untuk mengisi kembali tenaga yang telah terkuras sebagian.

Favorite food Lyra adalah sosis jumbo bakar dengan topping saus mayo pedas. Sambil menunggu pesanan sosis kami matang, si penjual tiba-tiba bercuit.

"Kalian tampak so sweet sekali. Sepasang kekasih, ya?"

Aku hendak menjawabnya, tapi Lyra buru-buru buka suara duluan. Aku cukup terkejut mendengar jawaban yang dilontarkan olehnya.

"Iya. Kami memang sepasang kekasih. Hari ini adalah hari ulang tahun saya dan kekasih saya ini memberi kado manis dan spesial dengan mengajak saya untuk datang mengunjungi Sindu Kusuma."

Aku dan Lyra menyantap sosis jumbo bakar yang dibeli sambil berjalan santai. Ada sesuatu yang mengganjal benak hatiku usai mendengar apa yang dilontarkan Lyra tadi kepada si penjual sosis.

Aku berusaha mengenyahkannya dengan membuka topik obrolan yang lain. "Setelah makan ini, mau naik wahana apa lagi?"

"Bagaimana dengan wahana cakra manggilingan?"

"Apa itu?" tanyaku dengan dahi berkerut.

"Itu, lho, yang seperti bianglala. Tahu, 'kan?"

"Nah, kalau kamu bilang bianglala, aku pasti tahu. Ayo lekas naik itu!" ajakku buru-buru.

Gondola bianglala, bukan, maksudku cakra manggilingan, perlahan-lahan naik menuju puncak. Aku mengedarkan pandang mengamati sekitar. Indah, sih, tapi panas. Secara kami menaiki wahana itu bertepatan dengan matahari yang sedang terik-teriknya.

Bayangan tentang seorang Galuh mulai memudar dengan sendirinya. Aku cukup lega. Namun, justru ada hal baru yang lain datang mengusikku, ketika Lyra meminta pendapatku untuk pertanyaannya.

"Eiwa. Ini hanya berandai-andai saja. Kamu jangan terlalu serius menanggapinya. Jika suatu hari nanti, aku ada perasaan ke kamu, bagaimana sikapmu padaku nanti? Secara status kita dari sahabatan."

Aduh, ampun. Kalau itu benar-benar sampai terjadi akan jadi makin rumit saja. Secara aku masih belum bisa membuka hati untuk siapa-siapa, meski itu Lyra sekalipun.

Bukan. Aku ralat sebentar pernyataanku. Tolong jangan Lyra! Aku memang nyaman berada di dekat Lyra, tapi aku hanya menganggap dia hanya sebagai sahabat.

Duh, aku mesti jawab apa jika dia terus mendesakku. Aku bicara pada diri sendiri di dalam hati.

"Jangan! Jika kamu tak bisa untuk menjawabnya, kamu jangan katakan apa pun, Eiwa."

Antara lega dan merasa sedikit bersalah karena tidak memberi kepastian jawaban kepada Lyra. Itu benar-benar topik yang begitu rumit untuk dibahas.

The End

(Retrouvaille: penemuan kembali seseorang atau sesuatu yang indah)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro