The Roses

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditulis oleh Landstory & elferis

Sirine polisi memecah dinginnya jalan St. Martin's Lane yang mulai tertutup salju putih. Beberapa pemilik rumah yang cukup dekat dengan tempat kejadian menjulurkan kepalanya dengan penuh minat pada keramaian di area Covent Garden.

Tiga jam yang lalu ditemukan mayat kaku seorang wanita oleh tunawisma di tanah bersalju dengan posisi terlentang. Mayat tersebut diperkirakan berusia tiga puluhan, di tangannya ada setangkai bunga mawar yang menghitam.

"Bunga mawar lagi, dengan ini sudah tiga korban, bukankah si pembunuh ini sangat percaya diri?" ujar Drustan mengetuk agenda kecilnya dengan frustasi.
Perwira disampingnya tidak bisa tidak merasa kasihan. Drustan adalah perwira penyidik tindak kejahatan, bulan ini harusnya pria dengan mata sayu itu mengambil cuti dan pergi melamar kekasihnya—sang primadona Opera, Marie Marieta, bukan berlarian mencari pembunuh yang dijuluki 'The Roses'.

Mereka berdua berjalan ke arah tubuh kaku yang sedang ditangani oleh tim forensik dengan hati-hati, Drustan hanya memandang perwira disampingnya, menambahkan dengan serius, "Siapa korbannya sekarang?"

"Madam Allende, pemilik Gloomy House."

"Huh? Bukankah dia pemilik rumah prostitusi di Hampstead Utara yang terkenal, kenapa ditemukan di Covent Garden pada pagi buta?" ungkap Drustan merasa janggal. Sadar karena Drustan memperhatikan dengan raut yang serius, Eustance—penyelidik forensik yang bertugas dilapangkan menghampirinya dengan kusut.

"Belakangan ini terlalu banyak kasus, apa 'mati' adalah tren sekarang?" keluhnya, dia kemudian menunjuk ke arah mayat wanita, "Penyebab kematiannya adalah serangan jantung, tapi kita menemukan arsenik dalam dosis kecil di bibirnya sama seperti dua korban sebelumnya," jelasnya.

Dua korban sebelumnya adalah seorang tunawisma yang meninggal di pinggiran kota Dury Line, dan seorang pengusaha batu bara. Bukan hanya cara kematiannya, mawar merah yang diletakkan pun sama.

"Ini akan menjadi hari yang panjang untuk kita semua," ungkapnya mulai mengecek keadaan mayat tersebut. Setelah setengah jam membalikan dan membuat berbagai macam deduksi sementara, mereka bertiga akhirnya menyerahkan mayat tersebut untuk diotopsi lebih lanjut dan membubarkan kerumunan.

"Oh, Drustan aku hampir lupa memberi tahumu, korban kedua—Mr. Morryn, dulu dia pernah memiliki seorang anak perempuan. Sayangnya sepertinya si anak kabur saat masih remaja."

Drustan menaikkan alisnya, menunggu perwira itu meneruskan ucapannya, "Siapa nama anak tersebut?" tanya Drustan kemudian.

"Marie, seperti nama kekasih mu! Hey, _captain_ jangan tersinggung, aku tahu Marie mu sangat luar biasa," ujar John yang melihat Drustan mencibirnya.

"Ngomong - ngomong bukankah Minggu ini harusnya kamu melamar dia, Drustan? Penggemarnya begitu banyak, jika kamu melewatkan kesempatan ini, aku takut kamu akan jadi seperti John malang yang pulang dan pergi hanya untuk sebuah kasus," ledek Eustance pada perwira yang sekarang mengacungkan jari tengah pada mereka berdua.

"Aku akan melakukannya lusa." Pengakuan itu membuat dua orang di sampinginya memukulnya dengan bangga.

Kekasihnya adalah seorang pemain opera yang belakangan ini sedang naik daun. Suaranya yang kuat dan menggetarkan, wajah cantik yang anggun dengan iris sebening lautan, belum lagi tingkah dan perilakunya yang sangat manis membuat siapa pun mungkin akan terpesona dan jatuh hati oleh sosoknya.

Drustan yang mendengar itu merasa bangga untuk beberapa hal. Ia telah hidup bersama dengan kekasihnya cukup lama, itu juga berarti Drustan adalah orang yang paling tahu tentang sosok Marie yang sesungguhnya. Daripada menjadi bunga _Calla lily_ yang seperti angsa, Marie lebih tepat dikatakan _Mistletoe_ , karena Marie yang Drustan kenal adalah sosok pemarah, licik, tempramen, kejam, dan bermulut kotor.

Ia ingat dengan jelas bagaimana cara Marie setiap hari mengutuk para pemain Opera yang lebih cantik darinya, atau bagaimana Marie memintanya untuk lolos dari banyak masalah yang menimpanya. Ia juga tahu Marie pernah berselingkuh sebelumnya. Anehnya, bukannya ia merasa dibohongi dan kecewa, Drustan merasa bahwa Marie adalah sosok yang tulus dan terbuka padanya.

Dua hari berlalu dan Drustan masih disibukan dengan ketiga kasus tersebut, satu-satunya peningkatan dari kasus ini adalah ditemukannya botol racun kecil yang begitu mewah dalam kamar penginapan yang pernah digunakan oleh Mr. Hill—korban kedua sebelum kematiannya. Botol itu transparan mirip botol parfum yang sering digunakan oleh para wanita sebagai wewangian di area intim, nama _Aqua Topanna_ tercetak jelas di badan botol, karena penemuan tersebut penyelidikan semakin ketat dan hati-hati.

Menjelang malam, Drustan buru-buru pulang ke apartemennya. Hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya, Ia mandi dengan cepat, memakai berbagai wewangian, dan menyisir rambut ikalnya dengan rapi. Pergi ke wilayah St. Vuitton Lane—wilayah tempat Opera House Marie berada, setelah menikmati pertunjukan dan melihat Marie dengan balutan kain putih dewata, mereka akhirnya bergandengan tangan dan pergi ke restoran yang terkenal di sana.

"Bagaimana penampilanku, _babe_ ?" tanya Marie meletakkan tas manik-maniknya di sebelah jendela. Pemandangan malam kota London yang gemerlap membuatnya semakin terlihat seperti ilusi. Drustan menuangkan wine anggur yang sengaja ia beli khusus untuk saat ini, "Sangat luar biasa, Marie. Kamu benar-benar seperti Aphrodite."

Marie yang mendengar hanya tertawa kecil dan melambaikan tangannya, malu. "Aku katakan padamu, aku awalnya tidak mendapatkan peran itu. Si penggoda itu pasti menghabiskan beberapa malam di dekapan pria tua hingga mendapatkan peran itu!"

"Lalu bagaimana kamu mendapatkan peran itu akhirnya?"

"Aku hanya menggertak si penggoda itu, yah dia langsung mengundurkan diri dari peran itu." Drustan menatap Marie dengan tatapan menyelidik, sebelum ia berhasil mengeluarkan protes dan keluhannya, Marie lebih dulu melanjutkan, "Aku tidak melakukan apapun, hanya benar-benar menggertak dan mengancam bahwa aku akan memberitahu suaminya. Apa kamu yakin akan mengejar ini, saat ini?"

Drustan menggeleng, _mari lupakan untuk saat ini, ada yang lebih penting_

Makan malam mereka berjalan lancar dengan obrolan ringan, saat lantunan musik lembut yang ia pesan terdengar, Drustan bergerak ke samping Marie, memegang tangan putih dan lentiknya kemudian menyelipkan cincin permata kecil, itu adalah aksesoris yang sederhana yang bisa Marie dapatkan dengan mudah untuk sekarang.

"Dulu saat keadaan kita masih sulit, kamu pernah memintaku untuk membeli permata ini sebagai tanda keseriusan, kali ini aku memenuhi permintaanmu itu." Marie terkejut, menatap cincin tersebut dengan perasaan rumit, setelah mendapatkan kecupan ringan dari Drustan, suara lembut yang begitu tulus selama hidupnya menyuruhnya untuk menatapnya.

"Marie, aku dan kamu sudah bersama selama tiga tahun, aku juga cukup mengenal siapa kamu. Suka dan duka telah kita lewati. Aku berharap bisa terus bersama denganmu, bersediakah Marie Marieta untuk hidup bersama denganku?" tanya Drustan kemudian.

"Aku adalah orang yang begitu kasar, licik, dan tidak bermoral. Aku telah bermain mata dengan orang lain di belakang punggungmu sendiri, masih pantas kah aku mendapatkanmu?" tanya Marie bergetar.

"Tentu, karena hidupku milikmu Marie."

Marie yang diperlakukan begitu lembut dan diperhatikan begitu tulus oleh Drustan selama ini tidak bisa menolak, Ia baru saja akan menjawab pertanyaan tersebut sebelum telepon Drustan berdering terus menerus.

"Angkat terlebih dahulu," ucap Marie terkekeh melihat wajah kesal Drustan.

Panggilan itu dari John, saat Drustan menerima panggilan tersebut kabar yang diberikan John membuat hatinya mencelos. 

'Marie Marieta adalah anak Mr. Morryn yang terbunuh!'

Drustan menutup teleponnya secepat mungkin. Perhatiannya kembali tertuju pada sosok jelita di hadapannya. Meski, pikirannya kali ini lebih rumit daripada sebelumnya.

Pria itu punya banyak macam dugaan, belum lagi penggalan informasi tentang kasus yang ditanganinya semakin membuat hatinya risau. Apa yang harus dia lakukan pada Marie? Marie-nya.

Tidak mungkin. Marie-nya tidak mungkin adalah dalang dari semua kasus itu, tapi ... melihat bagaimana karakter perempuan itu yang sangat bebas, dia bisa menjadi apa saja dan bisa melakukan apa pun yang dinginkan sekalipun dengan cara kotor.

"Aku bersedia hidup bersama denganmu, Drustan," balas Marie memecah lamunan pria itu.

Drustan tersenyum. Kemudian keduanya menghabiskan sisa waktu malam yang dingin itu dengan suasana yang romantis.

Keesokan harinya Drustan kembali ke kantor untuk melanjutkan penyelidikan kasus. Di sana, John sudah menunggu dan tampak bersemangat seolah kasus yang mereka tangani menemukan titik terang.

"Kita bisa memanggil Marie Marieta untuk memulai interogasi. Sejauh ini, ada beberapa hal yang bisa menjadi peluang untuk mengakhiri kasus ini," usul John.

Drustan duduk terdiam di balik mejanya. Dia masih belum bisa menerima bahwa Marie bisa terlibat dalam penyelidikan mereka. Belum lagi, banyak hal yang mengarahkan Marie pada dugaan menjadi pelaku.

_Covent Garden sebagai lokasi yang biasa menyelenggarakan opera, botol parfum milik perempuan, dan kenyataan bahwa Marie adalah anak dari Mr. Morryn._

"Jadi, apa keputusanmu, Cap?" ulang John saat melihat Drustan hanya diam saja.

"Akan coba kupikirkan dulu. Tolong lanjutkan tugasmu yang lain, aku ingin pergi keluar sebentar," putus Drustan dan berlalu meninggalkan kantornya.

Pria itu berjalan di bawah hujan salju yang cukup lebat. Dia merapatkan mantelnya untuk menahan udara dingin yang menusuk kulit. Sementara itu, langkahnya terus bergerak menuju sebuah kedai kopi yang terlihat cukup ramai oleh pengunjung.

Dia pun duduk di meja panjang menghadap para barista yang meracik kopi dari balik konter. Begitu pesanannya datang, seorang pria dewasa duduk di sebelahnya dan menatap Drustan dengan tatapan yang licik.

"Kudengar kau melamar Marie," kata pria itu.

Tanpa membalas, Drustan beranjak berdiri dan membawa kopinya keluar dari kedai. Dia sedang tidak ingin berurusan dengan siapa pun, terlebih jika orang itu adalah mantan selingkuhannya Marie.

Akan tetapi, lengan Drustan tiba-tiba dijegat hingga menumpahkan kopi yang sedang digenggamnya.

"Kau memilih jalan yang salah. Jalang itu tidak pantas hidup bersamamu."

Seketika tangan Drustan bergerak untuk melayangkan tinju pada pria itu. Atas aksinya tersebut, pihak keamanan kedai memisahkan mereka dan Drustan pun pergi dengan amarah yang memuncak.

Tidak seperti biasanya, Drustan pergi ke tempat Marie sedang bekerja secara diam-diam. Dia melihat sosok wanita jelita itu di atas panggung. Berperan sekaligus bernyanyi dengan suara yang memabukkan. Pikiran pria itu pun berkelana pada hal-hal yang seharusnya tidak dia pikirkan. Marie sosok yang amat cantik, maka tidak heran jika banyak pria yang mendambakan dan menginginkannya.

Kejadian di kedai tadi cukup membuat Drustan frustrasi. Bisa-bisanya dia bertemu lagi dengan Jordan, selingkuhan Marie yang membuatnya sempat patah hati. Untungnya, Marie bisa kembali pada Drustan setelah mengetahui bahwa Jordan ternyata memiliki banyak hubungan dengan wanita berbeda. Dibanding Drustan, jelas pria itu lebih kaya karena memiliki warisan perusahaan besar dari keluarganya.

Ketika pertunjukan opera itu selesai, Drustan mengajak Marie untuk makan siang di restoran yang biasa saja, dan Marie pun tidak keberatan. Justru, perempuan itu sangat senang saat Drustan tiba-tiba menemuinya seperti kejutan natal.

"Marie, bolehkah aku bertemu dengan ayahmu?"

Drustan agak ragu untuk bertanya demikian. Sebetulnya dia sudah tahu bahwa Marie tidak pernah lagi berhubungan dengan orang tuanya, tetapi pria itu sedang berupaya untuk memancing informasi dari tunangannya terkait kasus yang akhir-akhir ini membuatnya kesal.

"Bukankah aku sudah pernah bilang kalau aku tidak lagi berhubungan dengan orang tauku? Kenapa kau bertanya seperti itu, babe?"

"Aku hanya bertanya, maaf jika membuatmu tidak nyaman."

"Apa ini ada kaitannya dengan kasusmu?"

Drustan terkejut. Apa Marie sudah mengetahuinya?

"Kenapa kau berpikir begitu?" tanya Drustan.

Tak lama setelah itu, Marie menunjukkan ekpresi yang tidak biasa. Seumur hidupnya, dia tidak pernah melihat Marie merasa khawatir dan cemas secara berlebih. Bahkan, wajahnya pucat dan matanya sebening kaca seakan hendak menumpahkan air yang terbendung.

"Aku minta maaf. Kami menemukan informasi bahwa ayahmu adalah salah satu korban dari kasus yang sedang kami tangani," kata Drustan.

"Apa kamu juga berpikir bahwa aku adalah pelakunya?"

"Tentu tidak, sayang. Aku tahu kamu bukan pelakunya."

"Tapi bagaimana kalau kenyataannya memang begitu? Kamu bahkan terlihat ragu saat ini, Drustan."

Marie menyebut namanya. Benar, dia memang ragu. Kasus ini membuatnya betul-betul frustrasi.

"Kalau itu memang terjadi, aku akan tetap bersamamu apa pun kondisinya."

"Kenapa? Aku bahkan bukan orang baik-baik. Banyak hal pahit dalam hidupku yang bisa membuatmu dalam bahaya."

"Bahaya?"

Marie tersadar dengan ucapannya, seolah apa yang dikatakannya barusan adalah rahasia yang tidak seharusnya Drustan ketahui. Sehingga tak lama kemudian perempuan itu pamit pergi dan menyuruh Drustan untuk kembali ke kantornya karena sudah terlalu lama berada di luar.

Sekembalinya ke kantor, Drustan melihat John sedang membolak-balik kertas laporan entah berisi apa. Dia pun tersadar dan berhenti dari aktivitasnya saat menyadari bahwa Drustan sudah kembali.

"Kukira kau tidak akan kembali," kata John. "Tadi aku sedang membaca laporan tentang latar belakang Marie."

Sementara itu, Drustan sudah membuat beberapa rencana dan asumsi.

"Apa kau tahu siapa yang terlibat dengan Marie?" tanya Drustan.

"Ada beberapa rekan kerja dan orang-orang yang pernah berhubungan asmara dengannya. Kenapa? Kau mau kita melakukan penyelidikan pada orang-orang ini?"

"Aku sudah tahu siapa pelakunya," tukas Drustan.

Satu minggu berlalu, kasus pembunuh berantai yang dijuluki The Roses sudah ditutup. Pelakunya adalah seorang pengusaha pria bernama Jordan. Sesaat Drustan bisa merasa lega karena kasus yang ditanganinya itu sudah selesai dan Marie terbukti tidak bersalah sama sekali.

Motif yang digunakan oleh pelaku adalah karena rasa dendam sekaligus obsesi pada Marie. Sehingga dia melakukan tindak kejahatan pada orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Marie dan meninggalkan setangkai bunga mawar sebagai simbol kebencian sekaligus harapan untuk memulai hal baru bersama orang dambaannya.

Mulanya, Jordan ingin menjebak Marie pada segala tindak kejahatannya itu, tapi tidak disangka bahwa Drustan bisa membuat Jordan membuka mulut dan mengakui perbuatannya.

Setelah itu, Drustan dan Marie kembali bersama. Meski, tidak menutup kemungkinan bahwa jalan ke depan yang akan mereka lalui diliputi kepahitan karena Jordan tidak mungkin membiarkan mereka berada dalam ketentraman. Sebab, Jordan bisa melakukan apa saja dengan status yang dimilikinya sebagai orang yang punya kuasa.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro