THE ABYSS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi ini, langit berwarna abu cerah. Tidak ada matahari dan suhu dingin membuat semua orang yang berada di luar rumah memakai jaket tebal. Tetes air dari sisa hujan semalam, berjatuhan dari dedaunan ketika angin menggoyangkannya dengan lembut.

Sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri, seorang perempuan melambaikan tangan penuh semangat ke arahku. Dia memakai midi dress berwarna putih tulang dengan lengan panjang. Rambut hitam sepunggungnya dibiarkan tergerai melewati bahu.

Ketika lampu untuk pejalan kaki berwarna hijau, kubawa kakiku melangkah lebih dekat padanya. Senyumnya semakin lebar sekaligus manis. Sial, itu adalah senyum yang setiap malam terbayang di pikiranku.

Namaku Khaos. Memiliki arti jurang maut, seolah aku memang terlahir untuk berpartisipasi dalam proses kematian seseorang. Atau bisa dibilang aku adalah pemeran utama dalam serial psikopat. Namun, tentu aku tidak sama seperti mereka yang dengan bodohnya membunuh orang-orang hanya untuk kesenangan semata. Aku melakukannya demi uang.

Ya, aku seorang pembunuh bayaran dan perempuan cantik dengan senyum manis itu adalah targetku.

Namanya Lunara. Sesuai dengan rencana yang sudah disusun dengan sangat rapi, kami bertemu di sebuah kencan buta. Jika diingat lagi, pertemuan pertama kami cukup manis. Tak kusangka, targetku adalah seorang perempuan cerdas. Tentu, jika tidak, mana mungkin ada orang yang ingin melenyapkannya.

Aku memiliki cara tersendiri dalam menjalankan tugas. Bukan termasuk orang yang ceroboh dan terburu-buru. Selalu memiliki planning dan kesabaran penuh. Setelah sedikit membahagiakan target, akan kumasukkan dia ke dalam jurang mautku yang paling dalam. Yang mana siapapun tak kan pernah bisa selamat.

Kuanggap tugasku seperti sebuah permainan dimana targetku adalah lawannya. Setelah sedikit mengalah di awal permainan, akan kuhancurkan dia pada detik-detik permainan berakhir. Tentu saja, karena sejak awal telah diatur bahwa akulah pemenangnya. Akulah penguasa permainan ini.

Namun, tak kusangka permainan kali ini begitu sulit. Rasanya aku sudah kalah dan sulit menemukan jalan keluar untuk kemenanganku sendiri. Padahal permainan hampir selesai. Ah, waktu adalah hal penting kedua yang harus diperhatikan.

"Sudah kukatakan untuk menunggu di dalam," kataku setelah berdiri di hadapan Lunara.

"Di dalam membosankan. Lebih asyik menunggumu di luar sini. Aku jadi bisa melihatmu lebih cepat."

Kami masuk ke dalam cafe bernuansa vintage. Tidak ramai dan terasa hangat. Ini hari minggu, dia libur kerja dan tentu aku tidak punya kerjaan selain terus menempel padanya. Kami berencana menghabiskan waktu bersama sampai tengah malam nanti.

"Aku mau dessert. Emm, Strawberries and Banana Cream Waffles Meal," kata Lunara setelah aku menanyakan dia ingin pesan apa.

Aku tahu, dia menyukai strawberry.

Setelah mengisi perut, kami pergi ke bioskop dengan berjalan kaki. Dia terus berbicara tanpa henti dengan mulut yang sesekali memakan ice cream.

"Padahal aku hanya meminta libur sehari, tapi dia cerewetnya minta ampun. Setelah kukatakan akan bertemu denganmu, dia dengan semangat langsung mengizinkannya dan memintaku untuk pulang esok hari. Dia pikir aku akan menginap di rumahmu? Dasar Denara mesum. Dia yang paling terlihat bahagia saat tahu kita bersama."

Denara adalah sahabat Lunara. Dia yang menyarankan gadisku untuk melakukan kencan buta.

Dia layak mendapat hadiah dariku.

"Bukankah menurutmu itu ide yang bagus?"

Lunara tampak bingung. "Apanya?"

"Bermalam di rumahku."

"Ka-kau gila?"

Sial, dia terlalu menggemaskan saat salah tingkah. Pipinya memerah dan matanya yang menghindar dari tatapanku begitu manis untuk dilihat.

"Aku memang sudah gila karenamu, Lunara. Tapi aku juga tahu batasan. Kau terlalu indah untuk dirusak. Menjagamu adalah prioritasku saat ini."

Wajah Lunara semakin memerah. Dia menghabiskan sisa-sisa ice cream dalam satu lahap beserta crunchy cone-nya. Kemudian berjalan cepat mendahuluiku.

"Cepat. Film-nya akan segera dimulai."

***

"Bagaimana kalau ke pantai?" tawarku ketika kebun binatang yang ingin kami kunjungi ternyata tutup. Lunara tampak tak bersemangat. Tidak ada senyuman di bibirnya membuatku langsung merindukan lengkungan manis itu.

"Ingin melihat hiu?" Meskipun agak ngawur, aku tetap mengatakannya. Benar saja, mata indahnya langsung berbinar.

"Ayo, kita pergi sekarang!"

Nah, itu baru gadisku.

Setelah dua jam perjalanan, pantai biru kini terlihat jelas di kedua mata. Di sini matahari sangat terik, tapi anginnya berhembus kencang dan menyegarkan.

"Khaos, aku ingin berenang!"

Tentu saja segera kularang. Terlalu berbahaya berenang di pantai.

"Kau bilang kita akan melihat hiu."

Kusentil keningnya dengan gemas. "Dan kau pikir hiu itu hewan dengan gigi empuk dan pemakan biji-bijian?"

Dia semakin cemberut.

Kutarik tangannya agar menjauh dari pantai. Jika tidak, dia bisa nekat berenang ke tengah laut betulan. Selama bersama dengannya, aku tahu dia gadis yang keras kepala. Tidak akan menurut jika tidak dihadapi dengan tegas.

"Ada hal lain yang jauh lebih menarik. Kau akan menyukainya."

"Tidak ada yang lebih imut dari hiu."

Lunara enggan menatapku. Namun, amarahnya langsung mereda saat kami sampai di sebuah tempat kecil tertutup dengan satu penerangan dari lampu. Tampak remang-remang. Di tempatnya berdiri, Lunara terdiam kaku. Bias kulihat wajahnya menunjukkan keterkejutan luar biasa.

"Kau yang melukisnya?"

Aku mengangguk. "Tentu saja."

Di depan kami terpampang lukisan wajah Lunara yang berhasil aku selesaikan selama lima hari.

"Cantik. Sama sepertimu. Lukisan ini hadiah ulang tahunmu dariku."

"Tapi ulang tahunku masih satu minggu lagi, Khaos. Jangan bilang kau melupakannya?" Lunara tampak ingin marah-marah lagi.

"Tentu saja tidak. Aku hanya ingin menjadi yang pertama. Itu saja. Kau menyukainya?"

Bukan jawaban yang kudapatkan. Melainkan perutan erat. Kehangatan ini, mungkin suatu hari akan sangat kurindukan. Kemudian, terdengar isakan lirih dari bibir mungilnya.

"Terima kasih."

Sebenarnya bukan itu alasanku memberinya hadiah lebih awal dari yang seharusnya. Aku hanya tidak tahu, apakah besok masih bisa melihatnya.

Ponsel di sakuku bergetar. Tanpa melepaskan pelukan, kuambil ponsel berwarna hitam hadiah pemberian Lunara. Ada pesan masuk dari nomor tak di kenal.

Aku meneguk ludah.

Berhenti buang-buang waktu dan lenyapkan dia sekarang.

"Sial."

Lunara mendongak mendengarku mengumpat. Matanya berkaca-kaca dan ada sisa air mata di pipi.

"Kenapa?"

"Kau apakan aku Lunara?" geramku frustasi.

Rasanya sangat tidak adil. Ketika aku ingin bahagia bersama seseorang yang kucintai, mengapa harus menghadapi hal sesulit ini?

Sekarang, hanya ada dua pilihan. Menghabisi nyawa wanita yang sangat aku cintai atau membiarkan dia tetap bernapas dan melanjutkan hidupnya dengan tenang.

Jika memilih opsi yang kedua. Maka aku yang harus lenyap dari dunia ini.

Pesan baru kembali masuk.

Kami menunggu kemenanganmu diluar.

Kupeluk tubuh Lunara lebih erat. "Maafkan aku, Lunara."

Setelah melepaskan pelukan, kuraih pistol yang kusimpan di balik jas.

Sembari mundur beberapa langkah, aku arahkan pistol itu ke arah Lunara. Reflek, gadis itu juga mundur. Matanya yang masih sembab terbelalak. Dua alisnya terangkat. Ia pasti terkejut, takut, dan tidak mengerti di saat yang sama.

Tidak, dia pasti bisa memahami situasi dengan cepat. Dia cerdas. Terbukti dengan ketegangan di wajahnya yang mulai pudar, digantikan dengan ekspresi kekecewaan dan kepedihan.

"Apa salahku?"

Apa salah Lunara, -gadisku? Aku tidak menduga bahwa eksekusi kali ini akan sesulit ini. Mataku terasa panas, dan tenggorokanku sakit tercekat menahan sesuatu. Aku segera mengusap mataku. Khaos, -seorang pembunuh bayaran profesional, terperangkap di dalam jerat yang dibuatnya sendiri.

"Apa salahku kepada dunia ini?" Lunara menunduk. Tangannya mengepal keras. Terlihat bulir air menetes deras, membasahi lantai pasir di ruangan tempat kami berdiri. "Kenapa mereka membuat akhir hidupku mengenaskan seperti ini?"

"Lunara!" Aku reflek mendekat ketika ia mendongak karena kusadari hidungnya yang terlihat berdarah. Tapi, wanita itu memandangku dengan tatapan benci, dan tangannya mengisyaratkan kepadaku untuk tidak mendekat. Aku tidak tahu kenapa aku menurutinya. Kembali kuacungkan pistolku ke arahnya. Kau memang br*ngs*k, Khaos.

Aku adalah manusia sialan yang menghancurkan kehidupan indah orang lain. Aku adalah hama. Aku baru sadar sekarang.

"Hahahahahhaha ...." Aku menurunkan tangan. Kututup kedua mataku. Ini adalah pertama kalinya aku tertawa selepas ini. Tapi ini tawa yang menyakitkan. Ini seperti raungan dan ratapan yang sedang menyamar. Air mataku tidak mau berhenti.

Aku merubah pilihanku.

Sebaiknya aku yang meninggalkan dunia ini. Aku memang pengecut. Aku ingin melarikan diri. Jika aku mati, semua keresahan yang berputar putar di kepalaku akan berhenti. Seandainya Tuhan memberiku pilihan yang lebih mudah ....

"Telepon polisi." Itulah pesan terakhirku sebelum mengarahkan moncong pistol ke dahi kananku.

Lunara tidak menyahut ucapanku. Dia pasti membenciku, dan sudah melakukan sesuatu selama aku menutup mata hingga saat ini.

Tapi aku buru-buru membuka mata karena mendengar tubuhnya yang jatuh ke lantai.

"Lunara!" Segera kupangku kepalanya. Aku semakin tidak bisa mengabaikan Lunara ketika mimisannya tidak kunjung berhenti. Bagian leher dan dada gaunnya mulai berubah warna menjadi merah.

Aku segera membopong Lunara dan berlari sekuat tenaga ke arah mobil yang kuparkir di pinggir jalan. Ketika baru keluar, kulihat beberapa orang dengan setelan jas rapi memperhatikan kami dari kejauhan.

"Akan kuurus, nanti," ucapku pada diri sendiri. Yang terpenting bagiku saat ini adalah membawa Lunara ke rumah sakit terdekat.

***

"Apa yang kau lakukan sejak tadi? Jangan bilang kau berniat membatalkan kesepakatan kita."

Aku terdiam sebentar, memikirkan kata-kata yang tepat untuk melakukan negosiasi. Dia adalah Nyonya Sophie, klienku. Aku menemuinya secara langsung di rumahnya untuk membahas misiku terhadap Lunara.

"Tentu bukan begitu maksudku. Tapi dibandingkan hal itu, bolehkah saya bertanya sesuatu?"

Wanita itu meletakkan teh yang baru saja ia seduh. "Apa yang ingin kau ketahui."

"Kenapa anda ingin membunuhnya?"

"Bukankah sudah jelas? Dia adalah selingkuhan dari mendiang suamiku. Dia menghancurkan keluargaku. Untung dia tidak mendapat apapun setelah lelaki tua itu mati. Tapi, itu tidak menutup dosanya kepadaku. Aku ingin dia mati. Aku—" Ucapannya terhenti.

Aku menyerahkan amplop putih besar ke wanita itu.

"Apa ini?" tanyanya sembari menerima lipatan kertas itu.

"Tebusan."

"Hah?" Ia terlihat tidak mengerti maksudku. Tapi, setelah wanita menor itu membuka dan selesai membaca isinya, ia tertawa.

"Jadi dia sekarat? Hahahahahhaha!"

Aku ikut tertawa, —mau tidak mau. Meski rasanya sesak tidak karuan. Aku ingin sekali memukul wajahnya. Tapi, ini adalah bagian dari usahaku agar klienku berhenti mengincar Lunara.

"Jadi maksudmu, kau ingin makan gaji buta dan sibuk bermain cinta-cintaan dengannya?"

Ucapannya sesuai dengan berbagai kemungkinan yang aku perhitungkan. Ini adalah salah satu kemungkinan yang tidak kuharapkan.

Aku mengusap wajahku yang terasa tidak nyaman. "Nyonya ... bukankah kau mendapatkan apa yang kau inginkan? Dia akan mati tidak lama lagi. Itu adalah vonis dari para dokter."

"Itu tidak cukup!"

"Nyonya!" Suaraku meninggi. Kutatap kedua bola mata wanita di depanku. "Apakah anda tidak mengerti? Lelaki di depan anda sedang mencoba menyelesaikan kesepakatan dengan baik-baik dan dengan sopan sesuai kode etik yang sama-sama kita ketahui."

Aku melanjutkan, namun dengan lebih 'berhati-hati'. "Jika anda tidak bisa memberi jawaban sesuai yang diharapkan, aku akan kehilangan rasa hormatku pada anda. Anda pikir seorang pembunuh sepertiku akan selalu mengikuti aturan? Tentu saja tidak. Dan anda tidak berpikir bahwa mengirimkan pembunuh bayaran lain akan menyelesaikan masalah, bukan?"

"Apa maksudmu?"

Aku mengangkat kaki. Memijakkannya ke atas meja membuat guncangan yang menggoyangkan air teh di cangkir kami. Kudekatkan wajahku ke telinga wanita bertopi bulu itu.

"Intinya ada dua tawaran dariku. Silakan memilih salah satu. Yang pertama : Dengan tenang menunggu hingga undangan pemakaman Lunara sampai ke tangan anda. Yang kedua: Dengan tenang menunggu hingga undangan pemakaman Lunara sampai ke makam anda."

***

Setelah menyelesaikan urusanku, aku kembali ke rumah sakit.

"Untuk apa kau membawaku kemari? Ini bukan tempat yang tepat untuk menembak kepala seseora—"

"Aku mencintaimu, Lunara." Kupeluk gadis yang kini duduk di ranjangnya. Setelah semua hal yang terjadi, aku baru sadar bahwa tubuhnya begitu kurus. "Aku mencintaimu, sungguh."

Tak berapa lama aku merasakan bahunya mulai berguncang, dan Lunara mulai terisak.

"Maafkan aku karena membohongimu. Tapi, ini sudah selesai. Aku tidak akan pernah menyakitimu lagi."

"Aku marah padamu, Khaos! Aku benci!" isaknya, "tapi aku juga membohongimu. Jika ... jika kau ingin pergi dari hidupku, silakan. Jangan memaksakan diri untuk terus berada di sisi wanita yang akan segera pergi ini."

"Tidak ... tidak. Aku akan terus bersamamu. Aku akan menemanimu melakukan semua hal yang kau inginkan, apapun itu."

"Sungguh?"

Aku mengangguk, dan melepas pelukan kami.

"Apa yang kau inginkan?"

Lunara tampak berpikir sejenak. "Mm ... ada banyak hal yang aku pikirkan.

Aku merogoh saku dan mengeluarkan buku notes kecil dan pena yang selalu kubawa, dan mulai mengambil posisi untuk menulis. "Baiklah, kita buat daftar di buku ini."

Lunara tertawa kecil dengan wajahnya yang masih sembab. "Kau akan mengabulkan semuanya?"

"Tentu!"

"Pertama-tama, aku ingin menikah dengan lelaki yang kucintai. Kedua ...."

"Tunggu! Siapa itu?"

"Siapa apanya?"

"Siapa lelaki itu? Yang ingin kau nikahi."

"Kau, Khaos."

Kali ini aku tertawa, –tawa bahagia. Aku mengangguk. Benar. Selagi bisa membahagiakan Lunara, itu sudah cukup bagiku.

***END***
Ditulis oleh divarvni_ & Hallauth

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro