Bab 11. Shuikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo...

Maaf ya, lama banget saya nggak update ini. Beberapa minggu lalu saya sakit dan terpaksa hanya bisa nge-post cerita-cerita yang sudah ada 'cicilannya'. Kebetulan TCT yang paling irit ceritanya, jadi nggak bisa langsung di-post.

Selamat membaca...

***

(2695 kata, edited)

Kegelapan membayangi Shamasinai. Bulan berlindung di balik awan-awan yang tebal, membuat sinarnya tak sampai ke desa yang berada di lereng bukit Inai. Seolah sepaham dengan langit yang menolak memperlihatkan keindahannya, serangga-serangga malam pun memilih bungkam, hingga situasi terasa sunyi senyap. Sesekali hanya terdengar gemerisik ranting-ranting pohon yang bergerak ditiup angin.

Inaike mengawasi desa dari puncak bukit. Air mukanya setenang air kolam, tetapi tidak ada yang tahu bahwa hatinya diliputi rasa cemas yang mencekik. Ia merasakan bahaya tengah mengintai desa. Bahaya besar dan mengancam. Yang paling dikhawatirkan Inaike adalah keluarga Sheya. Dengan adanya Shui di sana, otomatis keamanan keluarga Sheya yang paling rawan.

Di beberapa jalur desa, Inaike melihat titik-titik merah yang berjalan teratur. Titik-titik tersebut adalah obor-obor milik orang-orang yang ditugaskan Inarha untuk menjaga desa selama waktu tak terbatas. Menilik lawan yang akan mereka hadapi, Inaike merasa percuma saja melakukan patroli. Draguirent dan kaum penyihir bukanlah kaum yang bisa dikalahkan dengan pedang dan panah. Sebelum mereka menyerang, mungkin Draguirent sudah membunuh mereka terlebih dahulu.

Namun, tugas mereka memang bukan untuk mengalahkan Draguirent atau pun para penyihir. Inarha secara khusus meminta mereka mengawasi orang-orang desa supaya tidak berkeliaran di luar setelah malam tiba. Inaike memahami kekhawatiran Inarha. Selama Shui tidak hengkang dari desa ini, maka ancaman akan terus berdatangan dan tak pelak bisa membunuh penduduk Shamasinai sendiri.

Walau sedikit keberatan, Inaike terpaksa membenarkan tindakan Inarha. Toh, mereka sudah diberi pemahaman mengenai musuh yang akan dihadapi, sehingga akan berpikir dua kali bila bertemu secara langsung. Baik Inarha maupun dirinya sama-sama meminta mereka untuk langsung menyerah atau bahkan kabur bila bertemu Draguirent atau pun para penyihir, karena percuma saja bagi mereka untuk melawan.

Perhatian Inaike teralih ketika merasakan sesuatu yang lain dari biasanya. Mata hijaunya mengarah lurus ke suatu titik gelap di bawah sana, tepatnya di rumah Sheya yang terlihat tak ada bedanya dengan kegelapan di sekitarnya. Ia terbelalak, mengenali gelombang energi ini dan merasa amat terkejut ketika menyadari, bahwa dia memang ada di sini. Mengingat watak serta sikapnya, Inaike tidak menyangka kehadirannya di Shamasinai, terutama saat keadaan sedang genting seperti ini.

Demi menjawab rasa penasarannya, Inaike pun menemui Rajanya.

***

Makhluk itu berwujud harimau putih. Matanya merah, berbalut warna oranye terang yang mirip seperti senja. Yang membedakannya dari harimau biasa adalah permata serta pelindung yang menghias tubuhnya. Seperti seorang Raja Agung, makhluk itu mengenakan pelindung kepala yang terbuat dari emas dan berhiaskan permata merah delima berbentuk bulan purnama. Selain itu, dia pun memakai pelindung dada dari emas yang dihiasi ukiran rumit dan gelang-gelang perak bertahtakan permata melingkari keempat kakinya, membuatnya tampak seperti seorang Raja sekaligus pemimpin perang di waktu bersamaan. Bulu-bulunya yang putih dan selembut kain sutera berkobar seperti api.

"Tuanku," Inaike muncul di hadapan sang harimau. Selayaknya seorang bawahan menghormati junjungannya, Jugook itu menundukkan kepalanya dengan khidmat. "Apa yang membawa Tuanku datang ke Shamasinai?" Inaike mengangkat kepalanya lagi dan menatap Rajanya yang kini balas memandangnya.

Sang harimau melirik kediaman Sheya yang gelap. Meski sunyi, mereka berdua sama-sama tahu bahwa tidak semua penghuni rumah jatuh tertidur. Sheya dan Shui masih terjaga, walau berada di lain ruangan. Keresahan serta kecemasan mereka bisa dirasakan oleh Inaike maupun sang harimau dari luar.

"Aku merasa ini sudah waktunya," ujar harimau tersebut. Suaranya dalam dan jernih, tetapi ada nada lelah yang tersirat, mengesankan bahwa dia terpaksa menghadapi masalah ini. "Bila terus dibiarkan, orang-orang ini akan merusak aturan dan mengacaukan 'hukum' kaum Jugook. Aku tidak bisa lagi diam melihat kelakuan mereka!"

Inaike mendesah pelan. Bahkan Rajanya yang tidak peduli pada urusan manusia mau ikut campur dalam masalah ini? Itu menandakan kepelikan masalah yang mereka hadapi!

"Tidak seharusnya Tuanku turun tangan langsung," komentar Inaike.

Jika bisa, ia pun tidak ingin ikut campur dalam masalah ini. Urusan kaum manusia selalu rumit, penuh dengan tuntutan dan melelahkan. Selama ribuan tahun hidup, ia merasa sudah lebih dari cukup untuk berinteraksi dengan kaum yang diamanati Tadakhua untuk memakmurkan dunia ini. Mulai dari manusia yang tulus sampai manusia yang busuk hingga ke akar-akanya sudah pernah ia temui, dan dari semua pengalamannya, satu kesimpulannya, manusia adalah makhluk yang merepotkan.

Tadakhua memang menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Namun, makhluk ini juga makhluk yang paling mudah dipengaruhi. Hanya dengan bisikan, mereka bisa marah. Hanya dengan ejekan, mereka bisa saling bunuh. Hanya karena wanita, hubungan mereka bisa rusak. Mereka adalah makhluk yang dipenuhi ambisi dan beragam emosi, membuat satu sama lain bisa saling menyikut untuk mendapatkan kehormatan.

Walau begitu, ia pun menyadari, bahwa ada pula manusia-manusia yang baik hati. Yang mau menolong sesama, yang bersikap ramah satu sama lain, berhati tulus, maupun menunjung tinggi kebenaran. Manusia-manusia seperti inilah yang membuatnya masih peduli pada kehidupan mereka dan Shuikan merupakan salah satunya.

Ia tahu siapa Shuikan. Ia tahu riwayat hidupnya dan mengerti beban apa yang saat ini mendera Jenderal kebanggan Shenouka itu. Selama ini, ia mengawasinya dari jauh. Semenjak lelaki itu memasuki belantara Huerim yang berbatasan dengan daerah utara Shenouka sepuluh tahun silam, ia sudah merasakan ketertarikan padanya. Ada nilai-nilai di dalam diri Shui yang membuatnya merasakan kekaguman sekaligus rasa hormat. Itu juga yang membuatnya memutuskan datang ke mari untuk membantu Shui.

Maka dari itu, melihat Shui terus-menerus ditekan dari segala penjuru membuatnya merasa tidak adil dan marah. Apa yang mereka lakukan terhadap Shui sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa ditoleransi lagi. Yang paling aneh, Shasenkai justru memilih diam. Seharusnya dia ikut campur dalam masalah ini, terutama karena dia yang paling aktif berhubungan dengan penguasa Shenouka!

"Shasenkai sudah terlalu lama diam," harimau putih itu berujar, menanggapi pernyataan Inaike tadi. "Bila semua kerusuhan ini dibiarkan, maka yang akan terjadi adalah kekacauan atau bahkan kehancuran. Karena itu, aku memilih turun tangan."

Inaike berdecak pelan. "Shasenkai memang tidak pernah bisa dimengerti. Dia selalu berbuat sesuka hati dan tidak memikirkan dampaknya untuk rakyat."

Sang harimau tak menimpali meski membenarkan dalam hati ucapan Inaike. Walau terkadang bijak, tak jarang Shasenkai pun melakukan kecerobohan, membiarkan kerusakan-kerusakan, keteledoran-keteledoran, atau bahkan masalah yang akibatnya berbahaya untuk masa depan. Lucunya, dia tak mau disalahkan dan akan melontarkan beragam dalih untuk membuatnya terkesan benar.

Manusia dan Jugook memang punya banyak kemiripan.

"Inaike? Shorya?"

Kehadiran Inarha membuat perhatian kedua Jugook itu teralih pada sang Iksook. Lelaki kecil itu mengangguk sekilas ke arah sang harimau yang tak lain bernama Shorya dan sang harimau balas mengangguk ke arahnya, sebuah isyarat bahwa mereka saling menghormati satu sama lain.

"Ini bukan waktu yang baik untuk lelaki tua kecil sepertimu keluar," ujar Inaike.

Inarha tersenyum lebar. "Ini juga bukan hal biasa untuk penguasa Shoryaken (provinsi timur Shenouka) yang tiba-tiba berkenan datang ke Shamasinai yang kecil."

Shorya tertawa pelan. "Kita sama-sama mengkhawatirkan hal serupa, Imam Agung."

"Saya hanya seorang Iksook, tidak seperti yang dikatakan Shorya," timpal Inarha.

"Merendah seperti biasanya," Inaike memutar mata. "Aku memang tidak pernah bisa memahami jalan pikiran orang-orang ibukota sepertimu."

Inarha bisa saja tertawa, tetapi dia lebih memilih tersenyum supaya tidak menimbulkan keributan berarti. Pandangannya tertuju ke arah rumah kecil Sheya, sedangkan inderanya yang lain bisa merasakan kedatangan musuh yang kian mendekat.

"Sampai sekarang aku tidak mengerti, kenapa semudah itu kau melepas jabatanmu yang dulu dan memilih menjadi Iksook di desa sekecil ini," ujar Shorya.

"Aku hanya menyerahkannya pada orang yang lebih mampu," sorot mata Inarha masih tetap tenang, tanpa terlihat riak-riak berarti. "Karena aku tahu, aku tidak mampu berada di sana."

Imam Agung hanya masa lalunya, salah satu dari bagian kehidupannya yang ingin ia kubur dalam-dalam.

***

Sesuai permintaan Inarha, Shui melepas kalungnya seharian ini. Walau merasa tak masuk akal, ia tetap melakukannya karena penasaran dengan pernyataan Inarha siang tadi. Siapa yang akan datang menemuinya? Dan mengapa kehadirannya terhalang kekuatan Shasenkai yang ada di dalam kalung ini?

Shui menatap kalung pemberian Ayahnya yang tergeletak di atas meja, berdekatan dengan mangkuk arang yang menguarkan aroma wangi. Kalung itu memang bukan satu-satunya benda pemberian ayahnya, tetapi kalung itu punya kesan penting dalam kehidupannya. Ia mendapatkannya saat dikirim untuk belajar di luar istana. Uniknya, bukannya memasukkannya ke dalam akademi di kawasan utara, ayahnya mengirimkannya pada seorang lelaki eksentrik yang suka menjelajahi tempat.

Terus terang, Shui tidak menyukai tahun-tahun pertamanya bersama pria itu. Selama hampir setahun dia hanya disuruh untuk mengambil air, mencari makanan, dan memungut kayu bakar. Malah, pernah dia disuruh menjahit pakaiannya yang sobek. Sudah tentu ini membuatnya marah. Dia datang pada pria itu untuk belajar, bukannya menjadi pelayan! Namun, gurunya cuma tertawa dan mengatakan, bahwa ini pun sebuah pelajaran baginya. Dia dikirim ke mari bukan sekedar belajar, tetapi untuk memahami. Untuk mengerti arti dari kehidupan.

Bertahun-tahun kemudian, ayahnya kembali memanggilnya pulang ke istana dan menyuruhnya masuk ke kemiliteran kerajaan. Sudah tentu ini bukan hal yang mudah ia lakukan. Setelah terbiasa hidup mandiri di hutan membuat Shui merasa kikuk ketika menikmati kemewahan yang diberikan ayahnya. Dia kembali belajar menghadapi kehidupan istana dan mulai melihat semuanya dalam sudut pandang yang berbeda.

Kehidupan Istana terlihat sangat melelahkan, jauh berbeda dari kehidupannya bersama sang guru di alam liar. Banyak sekali kepentingan dan ambisi yang berputar di dalam istana, membuatnya harus berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu atau pun mengambil tindakan.

Meski pun terlahir sebagai yang tertua, Shui sama sekali tidak memiliki pendukung pun tak punya kekuatan politik. Status ibunya hanya selir dan beliau merupakan hadiah dari Karkashiam----salah satu kerajaan di utara yang sejak dahulu menjalin hubungan baik dengan Shenouka, sehingga tak memiliki siapa pun di sini. Sebagai 'orang asing', faksi-faksi yang terbentuk di dalam pemerintah pun menolak berurusan dengannya. Sepenuhnya dia sendirian, hanya ayahnya yang selalu memberi dukungan padanya.

Karena itu, ketika ayahnya memasukkannya ke kemiliteran kerajaan, banyak sekali pejabat yang protes. Mereka mengatakan, bahwa tindakan ayahnya membahayakan keamanan kerajaan, karena membiarkan 'orang asing' mencampuri urusan militer kerajaan. Ada juga yang berkomentar, bahwa ia tidak memiliki kemampuan dalam urusan pemerintah. Bahkan, Jenderal sebelumnya pun tidak menyukainya dan sering sekali memberinya masalah-masalah yang mustahil untuk diselesaikan.

Pada awalnya, semua itu sulit untuk dihadapi dan berkali-kali Shui ingin menyerah dan kembali pada kehidupan bebasnya di belantara liar. Namun, ayahnya terus memberinya dukungan sekaligus petuah yang membuatnya terus bertahan hingga akhirnya ia berhasil menduduki jabatannya sekarang.

Sayangnya, sekalipun sebagian pejabat sudah mengakui kemampuannya, tidak sedikit yang mencibir jerih-payahnya selama ini. Mereka sering mengonfrontasinya, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Tak segan untuk melontarkan sindiran-sindiran dalam forum resmi, bahkan menghina darah asing yang mengalir dalam tubuhnya. Mereka inilah yang sering menyulitkannya dan salah satu dari orang-orang itu adalah Perdana Menteri Shenouka, yaitu Narashima yang tak lain merupakan paman tirinya sendiri.

Dari dulu, Shui tahu paman tirinya tak pernah menyukainya. Bukan sekali – dua kali lelaki itu memandang sinis kehadirannya di dalam istana permaisuri terdahulu. Namun, dia tak pernah bersikap lebih dari pada tak memedulikan keberadaannya. Sekarang, situasi sudah berubah. Narashima memang masih tak menyukainya, tetapi sikapnya menjadi lebih keras dan brutal. Dia tidak segan mengirim pembunuh atau memasukkan racun ke dalam makanannya.

Dan semua kesulitan yang dialaminya akhir-akhir ini karena ulah paman tirinya tersebut. Karena dianggap mengancam posisi Kaisar Rheiraka, keponakan kandung Narashima. Lelaki itu tidak segan untuk melenyapkannya.

Shui menghela napas, kemudian memilih untuk beranjak dari tempat tidurnya. Ia mengernyit ketika merasakan nyeri yang menusuk-nusuk di bagian tubuh yang terluka. Sepertinya yang dikatakan Inarha benar. Kalung itu membantu proses penyembuhan sekaligus mengurangi rasa sakitnya. Begitu dilepaskan sejenak, tubuhnya kini mulai merasakan sakit yang sebenarnya.

Mengabaikan denyutan menusuk di bahu maupun pahanya, Shui memeriksa kembali pisau-pisau serta belati yang terselip di sabuk serta sepatunya. Malam ini utusan-utusan kiriman pamannya bisa jadi datang untuk membunuhnya dan itu membuatnya merasa gelisah. Untuk mengurangi ketegangan, Shui pun memutuskan untuk keluar rumah sejenak. Namun, langkahnya teralih menuju ke dapur ketika melihat cahaya dari arah sana.

"Kau belum tidur?" Shui mengernyit saat melihat Sheya duduk di dipan sendirian. Di dekatnya terdapat lilin yang menyala.

Gadis itu gelagapan ketika melihatnya, mungkin tak mengira bahwa ia masih terjaga. "Tuan sendiri kenapa belum tidur?" Sheya malah balik bertanya.

Shui melirik ke arah busur yang ada di pangkuan Sheya dan tabung anak panah yang mengait di ikat pinggang gadis itu. Siang tadi, selesai mengasah pisau dan belati, Shui melihatnya mempersiapkan busur dan anak panah. Katanya, benda-benda itu untuk berburu dan sekarang ia yakin, yang diburu Sheya bukan binatang.

"Untuk apa semua itu?" Shui memelankan suaranya ketika mendengar gumaman Erau dari ruang tengah. Lelaki itu beranjak untuk duduk di dipan yang sama dengan Sheya, membuat gadis itu bergeser ke ujung dipan. "Kau mau melawan 'mereka', Sheya?" Shui kembali bertanya saat gadis itu memilih diam.

Sheya memilih menatap ke bawah, enggan memandang lelaki di dekatnya. Namun, arah tatapannya berubah ketika sepasang tangan menangkup wajahnya dan memaksanya untuk menoleh. Mata biru gelap yang biasanya memancarkan keramahan itu kini memperlihatkan jenis pandangan yang berbeda. Ada kemarahan dan juga ketidaksenangan dalam tatapannya.

"Jawab pertanyaanku tadi," nada bicara Shui pun berubah, lebih tegas dan menuntut. "Kenapa kau belum tidur? Dan untuk apa busur dan anak panah ini?" nada mengancam yang tersirat dalam pertanyaan ini membuat Sheya bergidik ketika sadar sudah membuat Shui marah.

"Saya tidak bisa tidur," Sheya berusaha tidak memandang mata Shui, tetapi saat perhatiannya teralih sedikit saja, Shui memaksanya untuk tetap menatap matanya. "Saya takut, orang-orang tadi akan datang ke mari dan melukai keluarga saya. Karena itu, saya memutuskan berjaga demi keselamatan ibu maupun adik-adik saya."

Barulah Shui melepasnya setelah mendengar jawaban itu.

Sheya memalingkan wajah, lebih suka melihat sepasang sepatu bututnya dari pada memandang lelaki di sisinya. Dia tidak pernah merasa nyaman berada di dekat Shui. Selalu saja ada perasaan sungkan ketika bersama lelaki ini.

"Jadi... kau mempersiapkan senjata siang tadi bukan untuk berburu, melainkan untuk menghadapi para pembunuh. Benar?"

Sheya mengangguk pelan.

"Apa Iksook Inarha menyuruhmu melakukan ini?" nada suaranya terdengar lebih kelam.

"Bukan," Sheya merasakan kecemasan yang berbeda dari sebelumnya. Bila tadi dia merasa gugup sekaligus takut karena memikirkan serangan apa yang akan dilancarkan pembunuh-pembunuh itu. Sekarang dia merasakan ketakutan yang dihadapi seorang anak kecil yang ketahuan mencuri gula-gula.

"Shamasinaike Ornuk?"

"Bukan juga! Kenapa Tuan bertanya begitu?" Sheya menoleh ke arah Shui dan mendapati ekspresi lelaki itu segelap badai.

"Lantas, siapa yang menyuruhmu melakukan ini?"

"Kenapa Tuan begitu marah?" Sheya masih bisa menyuarakan keheranannya meski takut dengan perangai Shui yang aneh.

"Karena yang kau lakukan ini sama saja bunuh diri," desis Shui, berusaha menekan kemarahannya supaya nada suaranya tidak meninggi dan mengganggu adik-adik Sheya yang sudah tidur. "Kau tahu siapa lawanmu? Mereka bukan orang biasa. Dengan kemampuanmu, kau hanya mengantar nyawa bila berduel langsung dengan mereka!"

Sheya terdiam seketika.

"Siapa yang menyuruhmu melakukan ini?" untuk ketiga kalinya Shui bertanya.

"Ini hanya inisiatif saya sendiri," Sheya menundukkan kepala.

"Bagaimana kau tahu bila mereka akan datang hari ini?"

"Saya tidak tahu," katanya jujur. "Saya hanya mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Bila salah satu dari mereka sudah berhasil menemukan Tuan, maka tinggal menunggu kedatangan kawan-kawannya ke mari, bukan?"

Shui lupa, bahwa gadis ini cerdas.

"Tapi itu bukan berarti kau membahayakan nyawamu sendiri," desis Shui. "Masuklah ke kamar. Aku yang akan menjaga kalian."

Gadis itu mengerutkan dahi. "Anda pun sedang terluka," protesnya.

"Masuk ke dalam!" Shui tak ingin lagi mendengar bantahan.

"Tidak!" Sheya terang-terangan menolak. "Saya tidak bisa membiarkan Tuan berjaga sendirian. Keadaan Tuan–,"

"Aku tidak ingin kau terluka," Shui semakin merendahkan nada suaranya, memperingatkan Sheya secara tidak langsung untuk tidak mendebatnya. "Kalian adalah penolongku dan aku tidak akan membiarkan kalian mati."

"Dalam keadaan terluka seperti ini?"

Pertanyaan Sheya langsung disambut dengan satu cengkraman di dagu, membuat gadis itu seketika bungkam.

"Jangan mengusik harga diriku, Sheya. Meski terluka, kemampuanku jauh lebih baik dari pada kau," tegurnya dingin.

Namun, Sheya menunjukkan sikap yang berbeda. Bukannya mengakhiri perdebatan dengan mematuhi perintah Shui, gadis itu justru menantang tatapan sang Jenderal.

"Tuan mungkin bisa menghalau mereka, tetapi seberapa banyak? Seberapa lama? Bersikaplah realistis, Tuan. Anda pun sedang terluka dan itu pun membahayakan nyawa anda sendiri. Biarkan saya ikut membantu Anda untuk menghadapi mereka."

Kali ini Shui yang dibuat bungkam dengan pernyataannya. Sorot mata Sheya menyiratkan kesungguhan. Sebelum membalas ujaran Sheya, lilin yang menerangi dapur mendadak padam. Secara spontan Shui mengambil belatinya dengan tangan kiri, sedangkan tangan yang lain langsung menyambar Sheya dan menariknya mendekat.

Suasana gelap gulita dan keadaan hening mencekam. Udara menjadi lebih dingin menyesakkan. Shui memeriksa lilin dan mendapati bahwa batang lilin tersebut masih panjang. Agak mengherankan bila tiba-tiba api lilin itu padam padahal tak ada angin sama sekali di sini.

"Me...Mereka di sini," gumaman Sheya yang begitu pelan membuat perhatian Shui kembali tertuju pada gadis yang duduk di sebelahnya. Meski tak bisa melihat bagaimana ekspresinya saat ini, tetapi Shui bisa merasakan tubuhnya gemetar. Tubuh gadis itu menempel rapat di sampingnya.

"Draguir," Sheya bergumam sekali lagi. Kali ini tubuhnya menggigil.

"Draguir?" Shui membeo tak mengerti.

Dia tidak melihat apa yang dilihat Sheya saat ini. Di dapur yang kecil dan gelap, delapan pasang mata Jugook dari suku Draguir tengah mengawasi mereka berdua. Makhluk-makhluk itu datang di saat waktu menginjak tengah malam.

(22 Agustus 2017)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro