Bab 12. Sheyana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(1700 kata, unedited)

Makhluk-makhluk itu mengerikan. Aku bisa melihat mereka sejelas melihat meja dan kursi di siang hari. Aku bahkan tahu warna bulu mereka yang merupakan campuran antara cokelat dan hitam, meski sekitarku gelap. Ketiadaan cahaya sama sekali tidak mempengaruhi penglihatanku terhadap mereka. Malah... bila terlalu banyak cahaya, kehadiran mereka seringkali tak terlihat.

Mata mereka berwarna merah, menyorotkan tatapan liar penuh kebuasan. Mengambil wujud menyerupai anjing hutan, mereka memiliki bentuk tubuh yang kecil, tetapi panjang taring dan kuku mereka sangat tidak wajar. Ditambah sepasang tanduk yang tumbuh di atas kepala, makhluk-makhluk itu terkesan seperti penjaga neraka

Kedelapan draguir itu mengawasi kami sambil mengeluarkan geraman penuh peringatan supaya kami tidak melakukan gerakan yang tidak perlu. Salah satu dari mereka maju mendekati kami, membuatku langsung terlonjak mundur dari dipan. Namun, Tuan Shui menahan lenganku supaya aku tidak bergerak ke mana-mana.

"Ada apa?" suara beliau terdengar khawatir.

"Ti...Tidak," jawabku terbata-bata ketika salah satu dari mereka berada persis di depanku.

Draguir itu terkekeh melihat ketakutanku. Lidahnya terjulur hingga meneteskan air liur menjijikkan. Dia mengendusku. "Aromamu enak sekali," ucapannya begitu ringan, seolah sedang membicarakan cuaca sehari-hari. "Kalau dimakan, pasti mengenyangkan."

Tawa mereka seperti sepasang kayu yang digesekkan, menyakitkan untuk didengar.

"Sheya, ada apa? Kau kenapa?" pertanyaan Tuan Shui menyadarkanku, bahwa beliau masih bersamaku.

"Mereka di sini," cicitku, karena pandangan mereka kini teralih pada Tuan Shui yang tak bisa melihat mereka. Binar mata mereka semakin cemerlang, seolah menemukan mangsa yang jauh lebih menarik dan menggiurkan. "Mereka di sini." Kali ini aku teringat Hessa, Erau, Athila, Mila, dan Ibuku yang berada di lain ruangan.

Keluargaku!

"Kau... bisa melihat mereka?" nada pertanyaan Tuan Shui terdengar ganjil. "Kau bisa melihat Jugook?"

Aku terdiam sesaat. Berkebalikan dengan para Jugook, aku justru tak bisa melihat seperti apa ekspresi Tuan Shui saat ini. Namun, aku bisa membayangkan air muka beliau kali ini. Pasti... beliau kaget dan merasa aneh, karena rupanya aku memiliki penglihatan yang tidak biasa. Aku tak akan terkejut bila setelah malam ini, sikap Tuan Shui padaku berubah. Walau bukan sesuatu yang tabu, tetapi memiliki penglihatan memang dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa. Karena itu, ketika usiaku masih lima tahun dan ayah mendapatiku tengah bermain dengan 'temanku', ayah melarangku untuk menceritakan hal ini pada orang lain. Pun, ayah melarangku menanggapi mereka saat aku bersama orang lain.

Hal itu dilakukan supaya tidak timbul fitnah. Ayah menjelaskan, tidak semua orang bisa menerima cerita dari apa yang kami lihat. Salah-salah, mereka bisa mengiraku sebagai penyihir atau orang jahat yang mau mencelakai keluarga mereka. Karena itu, kemampuan ini lebih baik dirahasiakan dan sedikit orang yang tahu mengenai kemampuanku. Iksook Inarha dan Shamasinaike Ornuk termasuk yang tahu bakatku.

"Awas!" Aku menarik Tuan Shui mundur sekaligus mengayunkan busur pada Draguir yang hendak menjilat kaki Tuan Shui.

Draguir itu menggeram padaku, terlihat tidak senang karena aku mengganggunya. "Jangan ikut campur, anak kecil!" katanya. "Apa yang kau bisa dengan busur dan anak panah itu? Semua senjatamu tidak ada gunanya untuk melawan kami!"

Jika saja senjata-senjata ini sempat didoakan Iksook Inaraha, mungkin situasinya akan berbeda. Aku menggertakkan gigi. Mereka mendekati kami perlahan, jelas-jelas tahu bahwa kami tidak bisa pergi ke mana-mana. Kami sudah terkepung!

"Sheya?" lagi-lagi Tuan Shui menyuarakan tanya.

"Jangan, Tuan," aku menggenggam tangan beliau kuat-kuat, berusaha meredakan ketakutan yang semakin menjadi-jadi. Mereka menyeringai, memperlihatkan taring-taring tajam yang tumbuh berjejalan di mulut mereka yang kecil. "Mereka mendekati kita!"

"Aku tak melihat apa-apa," ujar Tuan Shui.

"Anda bergerak sedikit saja, mereka bisa membunuh Anda!" seruku.

Kadang-kadang, ada manusia yang tidak menyadari bahwa mereka telah mengganggu Jugook. Entah itu tidak sengaja menabrak mereka atau bahkan membunuh mereka, sehingga mengakibatkan Jugook lain marah dan balas menyerangnya. Kami memang berada di alam yang berbeda, tetapi bukan berarti Jugook tidak bisa menyakiti atau pun membunuh kami. Mereka bisa melakukannya!

"Membunuhku?" Tuan Shui mengulang pertanyaanku. "Tapi---,"

"Yuuni?" panggilan dari arah ruang tengah membuatku terpaku. Hessa sepertinya terbangun, begitu juga Erau. Aku bisa mendengar gerutuan Erau karena Hessa meninggalkannya. "Apa yang Yuuni lakukan di belakang?" terdengar suara langkah kaki menuju dapur.

Draguir-draguir itu makin kegirangan karena mendapat tambahan mangsa.

"Jangan ke mari, Hessa!" seruku panik. Dua ekor draguir beranjak menuju ruang tengah. Lidah mereka terjulur panjang, nyaris menyentuh tanah. "Lari! Lari!" perintahku.

"Apa?" Hessa kedengaran bingung mendengar perintahku. Dan... bukan hanya Hessa serta Erau yang terbangun. Akibat teriakan barusan, Mila dan Athila juga terbangun. Aku naik ke atas dipam, mengambil sebuah panah dan mengarahkannya pada draguir, tapi sebelum anak panahku melesat, suara derakan tanah terdengar cepat dan menghalangi draguir-draguir itu masuk ke ruang tengah.

Inaike berdiri di depan kami. Tubuhnya mengeluarkan sinar yang temaram. Pandangannya menyorot tajam ke arah draguir-draguir dalam dalam dapur. Kemudian, dengan satu hentakan kaki, akar pohon menyeruak dari dalam tanah dan melilit tubuh draguir yang berada di depanku.

Mau tak mau, aku merasa lega dengan kehadirannya di sini.

"Kenapa baru datang sekarang?" aku hampir saja menangis karena kemunculan Inaike.

"Yuuni! Apa yang terjadi di belakang? Ada apa ini?" Hessa terdengar khawatir dari ruang tengah. Mila, Erau, dan Athila sepertinya juga sudah terbangun dan mereka bergabung bersama Hessa. Namun, karena dinding tanah yang membatasi dapur dan ruang tengah, mereka jadi tak tahu apa yang terjadi di dalam sini.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Inaike malah berteriak, "Tetaplah berada di ruang tengah! Jangan keluar ke mana-mana, Hessa, Erau, Athila, Mila!" kemudian pandangannya beralih padaku, "Situasi di luar sedang buruk-buruknya," lalu tatapannya berpindah pada Tuan Shui. "Mereka menginginkanmu!"

Ketika menatap wajah Tuan Shui, barulah aku sadar bahwa Inaike membiarkan wujudnya terlihat. Sinar temaram dari tubuhnya yang menerangi dapur ini sudah lebih dari cukup untuk mengetahui seperti apa ekspresi beliau saat ini. Namun, kemarahan para draguir menyita perhatian kami.

Draguir – draguir itu menyalak, lalu menyerang Inaike tanpa memberinya kesempatan untuk menghindar. Jelas saja Inaike keawalahan menghadapi serangan mereka secara bersamaan. Dia memusatkan perhatiannya bukan hanya pada lawannya, tetapi padaku dan Tuan Shui, serta keluargaku yang berada di ruang tengah. Inaike berusaha melindungi kami dan itu membuatnya kerepotan. Belum lagi ada dua ekor draguir mencoba merangsek pelindung yang diciptakan Inaike untukku dan Tuan Shui.

Kami terpojok di sini, tak bisa pergi ke mana pun, tak bisa melakukan apa pun. Sepenuhnya, kami bergantung pada Inaike dan kekuatannya.

"Gunakan senjatamu!" Inaike berseru di tengah-tengah pertarungannya melawan draguir-draguir yang tak henti-hentinya menyerang. "Aku akan mengisinya dengan kekuatanku!"

Kuraih sebuah anak panah dan mengarahkannya pada draguir yang sedari tadi berusaha meraih Tuan Shui. Makhluk itu menatapku dengan garang, tak takut pada anak panah yang kuarahkan padanya. Sementara itu Tuan Shui masih terpaku. Ekspresinya tampak rumit ketika melihatku mengarahkan anak panah ke sampingnya.

Begitu kulepaskan anak panah, sesuatu berpendar di sisinya dan seketika beliau terlonjak melihat seekor draguir mati di dekatnya dengan panah menancap di kepala. Tak lama, makhluk itu pun menghilang dari pandangan kami. Pertarungan Inaike tak hanya melibatkan aduk fisik, tetapi juga adu kekuatan. Dapur rumahku yang semula tertutup, kini terbuka sebagian karena pertarungan tersebut. Dinding-dindingnya hancur dan draguir-draguir itu belum menyerah untuk mengalahkan Inaike pun mendapatkan Tuan Shui.

Aku mengambil anak panah dan mengarahkannya pada draguir mana pun yang mencoba mendekati kami. Tahu bahwa panah-panah tersebut telah terisi sihir, mereka pun berpikir dua kali untuk langsung melewati pelindung Inaike.

"Sebenarnya... siapa yang kita lawan?" pertanyaan Tuan Shui membuat perhatianku teralih pada beliau. "Apa yang sedang terjadi di sini?" sorot mata beliau menyiratkan kekesalan, kebingungan, sekaligus ketidakpercayaan.

"Apa yang Tuan lihat di sini?" aku balik bertanya pada Tuan Shui. Kami masih berada di dipan dapur. Beliau duduk di pinggir dipan dengan sikap tubuh kaku, sedangkan aku berdiri di atas dipan----siap melepaskan anak panah kapan saja.

"Kau dan....," Tuan Shui menatap ragu ke arah Inaike yang tengah menanduk seekor draguir yang mencoba menerkam lehernya. "dia. Selebihnya..., aku tak bisa melihat apa-apa."

"Ada sembilan Jugook di sini," aku menjelaskan sambil memperhatikan draguir yang mendekati kami diam-diam. "Satu adalah Inaike, yang bisa Tuan lihat dengan jelas. Dia adalah pelindung Shamasinai. Kemudian delapan lainnya adalah Jugook dari suku draguir, makhluk yang dikenal sebagai pemburu dan bisa memiliki ikatan dengan manusia. Satu draguir sudah mati, kini hanya tersisa tujuh. Mereka tidak berhenti menyerang Inaike dan ada beberapa ekor yang mencoba menyerang Tuan. Bila bukan karena pelindung kecil yang dibuat Inaike mungkin mereka sudah membunuh kita."

Tuan Shui diam sesaat, lalu bertanya lagi. "Kalau Inaike sudah membuat pelindung, kenapa kau masih mengangkat busur?"

Aku fokus mengarahkan anak panah pada draguir yang berada di sisi kiri Tuan Shui. Makhluk itu sedari tadi berada di sana, ragu untuk mendekat tetapi enggan pula menjauh. "Karena pelindung ini akan rusak bila mereka terus-menerus merangsek masuk. Inaike tidak dalam konsentrasi penuh untuk melindungi kita, karena itu perlindungannya pun tidak bisa maksimal."

Usai mengatakan itu, aku memekik kesakitan. Sebuah anak panah menancak tepat di lengan kananku, membuat anak panahku terlepas tanpa sengaja dan meluncur lunglai ke lantai tanah. Rupanya... musuh kami bukan hanya para draguir.

***

Orang-orang itu muncul dari kegelapan, atau lebih tepatnya dari halaman belakang rumah yang tertutupi oleh pohon serta sesemakan kering. Entah berapa lama mereka menunggu di sana sampai akhirnya memutuskan ikut campur dalam pertikaian ini. Merasa belum cukup melukaiku, mereka meluncurkan anak panah kembali. Kali ini, giliran Tuan Shui yang melindungiku. Beliau bangkit dari dipan dan menghalau anak-anak panah tersebut dengan sepasang belati di tangan.

"Gulingkan dipannya dan sembunyi di baliknya!" Tuan Shui berseru di sela-sela kerepotannya menghalau anak-anak panah tersebut.

Aku segera turun dari atas dipan, kemudian menggulingkannya susah payah dengn satu tangan yang tidak terluka. Setelah itu, aku bersembunyi di baliknya. Lenganku rasanya sakit sekali. Mau mencabut sendiri panahnya pun aku tidak tega, akhirnya aku membiarkan anak panah tersebut. Untuk perlindungan terhadap draguir yang kini berusaha menyusup melalui celah dipan, aku mengambil anak panah dengan tangan kiri dan menancapkannya sendiri pada kepala draguir tersebut sampai dia meraung marah.

"Inaike, lindungi aku!" seruan Tuan Shui membuatku tertarik untuk melihat kondisi di luar dipan. Tidak seperti tadi, kini anak panah sudah jarang-jarang ditembakkan.

Inaike setengah mengumpat ketika Tuan Shui keluar dari perlindungannya dan berlari menuju ke arah pepohonan gelap. Aku berteriak, meminta beliau kembali tetapi beliau sama sekali tak mengindahkan. Inaike memaki-maki, lantas berlari ke arah beliau dan melindunginya dari draguir-draguir yang kegirangan ingin membunuhnya.

Untuk pertama kalinya, aku melihat bagaimana Tuan Shui bertempur. Meski hanya memiliki sepasang belati di tangannya, Tuan Shui sama sekali tidak canggung untuk menyerang. Gerakannya luwes dan ringan, seperti seorang penari yang tengah membawakan tarian pedang. Sinar dari tubuh Inaike membantu beliau untuk melihat keberadaan musuh, sehingga musuh harus berhati-hati dalam menjaga jarak. Anak panah kembali diluncurkan, tetapi Inaike membantu Tuan Shui.

Selain menyingkirkan draguir-draguir liar yang mencoba menerkamnya, Inaike pun melindungi beliau dari anak panah yang datang dari kegelapan. Aku terpesona melihat kekompakan mereka dalam menghadapi lawan, tanpa menyadari bahwa ada seekor draguir berhasil menembus pelindung yang dibuat Inaike.

Ketika sadar, semuanya telah terlambat.

Aku menjerit keras-keras.

( 2 September 2017 )

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro