Bab 22. Shuikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Shorya baru kembali ketika waktu menginjak subuh. Jugook itu tidak berkata apa-apa saat mendapati Shui masih terjaga dan tengah duduk-duduk di pinggir jendela kamar. Melihat kemuraman makhluk itu, Shui menahan semua pertanyaan yang ingin ia ajukan padanya. Apa yang terjadi?

"Ini aneh," Shorya duduk di atas permadani, kemudian menghela napas panjang. "Kami tidak menemukan apa pun."

"Apa maksudnya?" Shui mengerutkan kening.

"Energi Martimuran," jawab Shorya pelan. "Kami tidak dapat melacak ke mana perginya."

Shui semakin tidak mengerti dengan penjelasannya.

"Setiap Jugook memiliki pancaran kekuatan yang berbeda-beda, yang mana energi tersebut mampu dirasakan oleh Jugook-jugook lain dalam jarak yang beragam. Kadang kami bisa merasakan energi Jugook yang kuat dari jarak yang sangat jauh, tetapi terkadang kami juga tidak mampu merasakan energi Jugook lemah yang jaraknya sangat dekat," Shorya memulai penjelasannya.

"Dan Martimuran adalah Jugook yang kuat?" Shui balik bertanya, sembari mencocokkan penjelasan Shorya tadi dengan logikanya. Namun, ada hal ganjil yang membuat ekspresinya makin berkerut. "Bila dia kuat, bukankah kalian bisa merasakan pergerakannya?"

"Seharusnya begitu," Shorya mendesah pelan. "Tapi kami tidak merasakan apa pun. Aku mengikuti Inaike memeriksa ke titik-titik di mana dia sempat merasakan keberadaan Martimuran sesaat, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada sisa-sisa energinya yang tertinggal. Seolah lenyap begitu saja setelah kemunculannya."

Shui terdiam. Untuk masalah Jugook, ia tidak memiliki pengetahuan apa pun, sehingga sadar bahwa apa pun yang keluar dari mulutnya tak lebih dari komentar tak berbobot. Tapi bila mengingat kengerian orang-orang yang mendengar nama Martimuran disebut, Shui ingin tahu lebih banyak mengenai dunia para Jugook. Mengenal musuh merupakan salah satu cara supaya bisa mengalahkannya, sekaligus mencegah permasalahan yang lebih serius.

"Apakah Martimuran semengerikan itu?" tanyanya kalem.

"Dia sangat mengerikan," Shorya memandangnya serius. "Lebih mengerikan dari Shasenkai. Kekejamannya sudah seperti makhluk gila darah. Apa pun akan dilakukannya untuk meraup jiwa-jiwa manusia yang tak berdosa."

Shui kembali terdiam. Kepalanya menunduk, mengamati bayangan tubuhnya yang menyatu dengan bayang-bayang kamar. Jugook seperti itu, bila benar-benar ada di dunia ini dan menjalin perjanjian dengan manusia, tentu akan mendatangkan bencana besar.

"Sebetulnya aku tidak ingin percaya, jika dia yang melakukan perusakan di rumah Sheya," ujaran Shorya membuat Shui kembali mengangkat kepalanya. Sinar mata makhluk itu menunjukkan keseriusan sekaligus kegamangan. "Akan lebih mudah mempercayai, bahwa kerusakan itu disebabkan oleh Jugook lain, bukannya Martimuran."

"Kenapa?"

"Karena dia sedang disegel," jawab Shorya sederhana. "Martimuran tidak berada di dunia ini, maupun di dunia kami. Dia dikunci di dimensi khusus, yang membatasi gerak-geriknya selama ratusan tahun. Makhluk itu tidak bisa keluar dari sana, bila tidak ada yang membebaskan dan mustahil dia dibebaskan karena penjagaan di sana ketat. Kalau pun dia terlepas dari segelnya, seharusnya para Jugook yang hidup di Kashaki akan segera melapor pada Shasenkai, tetapi kenyataannya, kehidupan di sana masih tenang-tenang saja. Ini sangat tidak masuk akal."

"Tapi, bukankah Inaike mengatakan bahwa dia merasakan keberadaannya?" Shui kebingungan dengan penjelasannya.

"Itulah yang membuat kami tidak mengerti," Shorya mendesah pelan sambil beranjak untuk duduk di dekat Shui.

Angin berembus di sekitar makhluk itu, kemudian wujudnya berubah menjadi lelaki dewasa berambut putih pendek yang memiliki mata lembayung sewarna senja hari. Sepasang garis hitam menyerupai belang harimau terbentuk di pipinya yang putih pucat. Dia mengenakan jubah tebal berbulu serta zirah berwarna perak yang serasi dengan warna pakaiannya yang putih. Makhluk itu kini terkesan seperti dewa perang yang muncul dari kegelapan.

Shui mengerjap. Ini bukan pertama kalinya ia melihat Shorya berubah wujud menjadi manusia sepertinya, tetapi ia selalu kagum melihat penampilannya yang agung dan penuh kewibawaan.

"Inaike juga tidak yakin, tetapi energi gelap yang dia rasakan waktu itu benar-benar milik Martimuran," Shorya berdiri di dekat Shui sambil menatap keluar jendela. Langkan yang ditempati Shui terlalu sempit untuk diduduki oleh dua orang.

Aroma segar yang menyejukkan menguar di sekitar Shorya, mengingatkan Shui pada suasana pagi hari yang berembun.

"Padahal kalian sama-sama Jugook, tetapi sepertinya kalian pun bisa tidak senang satu sama lain," komentar Shui.

"Pada dasarnya, Jugook mirip seperti manusia, ada yang baik maupun jahat," timpal Shorya. "Dan Martimuran merupakan Jugook yang cenderung pada kejahatan dari pada kebaikan. Dia sering membuat onar dan menciptakan kekacauan, baik di dunia manusia maupun dunia kami. Hidupnya hanya diisi untuk merusak tatanan yang berlaku. Seandainya dia manusia dan tinggal di wilayahmu, tentu kau sudah memerangi pembuat onar seperti itu dari dulu, kan?"

"Tentu saja," Shui mengiyakan tanpa ragu. "Orang seperti itu hanya menciptakan ketakutan dan membuat situasi tidak tenang."

"Seperti itulah Martimuran. Dia menebarkan ketakutan di kalangan Jugook maupun manusia, sering menghasut peperangan di antara kami. Kadang-kadang malah melanggar batas-batas wilayah yang kami tetapkan dan menyerang tanpa pemberitahuan," ujar Shorya. "Lebih menjengkelkan lagi, tidak satu pun dari kami yang sanggup mengimbangi energi gelapnya. Seandainya Shasenkai tidak dibantu oleh Imam Agung si penasehat Utharem, mungkin Martimuran masih bebas berkeliaran dan tak pernah ada Shenouka dalam sejarah."

Ceritanya membuat Shui tertegun. Martimuran ini.... sepertinya benar-benar Jugook yang menakutkan dan sangat kuat. Makhluk pembawa bencana seperti itu, sebaiknya memang tidak pernah lepas dari segelnya.

"Jadi... apa Martimuran benar-benar yang membuat onar kemarin malam?" Shui menatap Shorya penuh keseriusan.

"Kami tidak tahu," Shorya menggeleng pelan. "Aku percaya pada ucapan Inaike, tapi aku juga ragu pada apa yang terjadi kemarin. Kita hanya bisa berjaga-jaga pada kemungkinan terburuk."

Suasana di antara mereka berdua menjadi hening mencekam. Di luar sana, sayup-sayup terdengar kokok ayam jantan yang saling bersahutan. Perlahan-lahan langit yang hitam berubah warna menjadi kemerahan. Penduduk desa memulai kembali aktivitasnya seperti biasa. Mereka bangun dan mempersiapkan hari untuk merawat kebun serta ladang seperti hari-hari sebelumnya.

Bersebelahan dengan desa, Inairakhi yang sunyi pun kembali disemarakkan oleh kicauan burung-burung hutan, meski tidak seramai saat hutan masih sangat subur dan bukannya kering kerontang seperti sekarang. Di antara pepohonan yang meranggas dan menyisakan ranting-ranting dengan dedaunan yang berwarna kuning, Inaike berjalan ke sudut terjauh Inairakhi. Langkahnya begitu tenang dan ekspresinya tidak menunjukkan perasaan apa pun. Namun, hatinya tidak seperti itu.

Inaike sedang cemas. Hatinya gelisah sejak dia merasakan kekuatan Martimuran di sekitar Shamasinai. Sebetulnya dia pun tidak ingin percaya bila itu adalah Martimuran, tetapi sensasi kekuatannya yang gelap, dingin, dan memualkan mengingatkan Inaike saat dia harus menghadapi pasukan Martimuran. Dia bisa ingat dengan jelas sensasi mencekik dari energi Martimuran yang menekan energinya.

Sebelum Shenouka terbentuk, Inaike menghabiskan hari-harinya sebagai penjaga perbatasan barat Shoryaken. Dia adalah salah satu komandan pasukan Shorya, yang cukup ditakuti lawan-lawannya. Hampir tidak ada yang berani melanggar batas wilayah Shoryaken ketika dia masih bertugas di sana, kecuali beberapa Jugook yang memang suka cari masalah seperti Martimuran.

Dengan perilaku Martimuran yang buruk, bukan sekali – dua kali Inaike menahan gempuran pasukannya yang menggila hingga kehilangan banyak prajurit. Bahkan, dia sering nyaris mati karena tidak kuat menahan serangan energi salah satu komandan pasukan Matimuran. Jika Tuannya tidak membantunya, mungkin ratusan tahun lalu dia sudah berakhir ke alam kematian bersama jiwa-jiwa yang lain.

Inaike berhenti di tengah-tengah area kecil yang dikelilingi oleh beberapa pohon yang nyaris mati. Sisi-sisi batang pohon yang menghadap ke area kecil tersebut berwarna hitam, seperti habis terbakar. Namun, bila dicermati dengan lebih baik, batang pohon tersebut tidak berubah menjadi arang. Itu bukan bekas terbakar, melainkan seperti sebuah tanda.

Selain batang kayu yang memiliki bercak hitam, tanahnya pun terlihat aneh. Warnanya cokelat kering dengan rekahan-rekahan yang lebar yang cukup dalam. Dan hal seperti ini tidak terjadi di area ini saja, tetapi juga di beberapa titik lain.

Inaike sudah memperlihatkan pada Shorya tempat yang menjadi titik-titik di mana dia merasakan kekuatan Martimuran. Namun, hanya melihat tanda ini yang tertinggal membuat mereka berdua sama tidak yakinnya. Perasaannya mereka menjadi was-was dan cemas. Dalam hati mereka berusaha meyakinkan diri, bahwa semua baik-baik saja dan Martimuran masih tersegel di tanah terlarang. Tidak mungkin dia berada di sini.

Namun, Inaike tidak bisa menampik apa yang dia rasakan malam itu.

Inaike mendesah pelan. Angin berembus lembut menyelubunginya, hingga wujudnya berubah menjadi manusia. Sosoknya cukup jangkung, hampir setinggi Shui, dengan tanduk hitam yang bercabang-cabang hinggak ke atas. Rambut peraknya tergerai hingga mencapai punggung, tampak serasi dengan setelannya yang berwarna putih. Dia tampak menawan, hingga terkesan tak manusiawi.

Mata hijau Inaike yang kelam mencermati kembali area di mana dia terakhir merasakan kehadiran Martimuran. Dan .... pandangannya terpaku pada debu kelabu yang menyebar di sana. Sebelum ini, dia tidak memperhatikan debu tersebut. Tetapi, ketika melihatnya kembali, dia memikirkan satu hal.

Mungkinkah itu abu dari jasad yang terbakar?

***

Shui memilih meninggalkan Shamasinai ketika matahari sudah naik di ujung tombak. Semua persiapan sudah dilakukan, kereta-kereta barang maupun kuda-kuda telah menunggu di pelataran rumah Shamasinaike Ornuk sedangkan kereta-kereta barang berada di depan halaman markas para prajurit. Sebelum meninggalkan Shamasinai, Shui memanggil Junuran dan Sheya ke kamarnya. Namun, baru Junuran yang bisa memenuhi panggilannya dengan segera. Tidak banyak yang Shui sampaikan, tetapi ia ingin Junuran mengingat tugasnya di sini.

"Jika terjadi sesuatu yang genting, segera melapor ke Namashi untuk mendapat bantuan," kata Shui. "Jangan lupa untuk melapor kondisi perbatasan sesering mungkin. Kau berada di sini untuk melindungi desa sekaligus menjaga perbatasan."

"Saya mengerti, Shonja," Junuran mengangguk paham.

"Orang-orang yang kau hadapi tidak mudah, Jun," ujar Shui. "Mereka akan melakukan segala macam cara untuk meraih tujuan mereka. Jika harus membunuh semua orang untuk mendapatkan satu orang, mereka akan melakukannya. Orang-orang ini tidak punya hati dan jangan pernah memohon pada mereka, karena itu hanya akan membuatmu mati mengenaskan."

Bulu kuduk Junuran berdiri mendengar ucapan Shui yang tajam. Tapi lelaki itu tahu siapa yang dimaksud Shonja-nya, tak lain dan tak bukan adalah orang-orang yang berseberangan dengan pihak Shui. Dari semua masalah yang pernah dihadapinya, Junuran tahu betul, apa yang diperingatkan Shonja-nya tidak salah.

Pintu kamar diketuk dan Kokhan memberitahu bahwa Sheya sudah hadir di sini. Setelah Shui mengijinkannya masuk, gadis itu pun memasuki kamar dengan membawa sebuah kotak kayu besar sepanjang satu lengan. Dengan hati-hati Sheya membungkuk ke arah Shui, supaya kotak yang dibawanya tidak jatuh.

"Aku hanya memanggilmu kemari, tidak menyuruhmu membawa sesuatu," Shui mengernyit melihat kotak tersebut.

Sheya meringis kikuk mendengar komentarnya, sedangkan Junuran cuma tersenyum geli. "Ini... hadiah yang kami persiapkan untuk Jenderal," ucapnya seraya memberikan kotak tersebut pada Junuran.

Saat benda itu berpindah tangan, Shui melihat sebuah gelang giok melingkari pergelangan tangan kanan Sheya. Pria itu akhirnya tahu, jawaban apa yang diberikan Sheya atas lamaran Junuran semalam. Gadis itu menerimanya. Shui tersenyum hangat, "Kau tidak perlu repot-repot memberiku hadiah, Sheya." Dia melirik Junuran. "Apa Jun yang menganjurkan untuk memberiku sesuatu?"

Junuran meringis. Kenapa lagi-lagi dia yang dituduh?

"Tidak, bukan Tuan Jun yang menganjurkan," Sheya tersenyum kecil. "Ini murni karena keinginan kami sendiri. Mohon Jenderal mau menerima hadiah yang tidak seberapa ini."

Begitu membuka kotak kayu tersebut, Shui menemukan satu setel pakaian yang bagus beserta jubah gelap berhiaskan motif tanduk rusa yang mengesankan kesederhanaan. Jahitan pakaiannya rapi dan disulam dengan teliti. Bordir yang terbentuk di pakaian menciptakan sentuhan bernuansa pedesaan yang hangat dan menentramkan. Warna-warna teduh seperti hijau, biru gelap, dan cokelat berpadu dengan cantik, kemudian diperkuat dengan warna keemasan yang terlihat megah di kain berwarna biru gelap.

Ikat kepalanya tak kalah mengesankan. Motif-motif yang menghias kain hitam selebar setengah jengkal tersebut memperlihatkan semacam cerita yang disamarkan menjadi bentuk-bentuk melingkar serta gelombang awan yang unik. Sulamannya tidak ramai ataupun norak, sepertinya cocok untuk dipakai saat perburuan berlangsung.

"Maaf karena kami hanya bisa memberikan ini." Sekali lagi Sheya membungkuk. "Kami sangat berterima kasih atas semua kebaikan Jenderal pada keluarga kami. Jenderal memberi begitu banyak hal, sedangkan kami hanya memberikan begitu sedikit pada Tuanku. Mohon ampuni ketidakmampuan kami."

Gadis itu kemudian berlutut dan membungkukkan punggungnya, hingga dahinya hampir menempel lantai.

"Bangunlah," Shui tidak senang melihatnya bersujud di depannya, tetapi berusaha menjaga nada suaranya tetap hangat. "Kalian menolongku dan memberiku semua yang kalian punya. Apa yang kuberikan bukan apa-apa, Sheya. Bangun dan berdirilah dengan benar. Aku tidak memintamu datang untuk melihatmu bersujud di depanku."

Shui melirik Junuran, memberinya isyarat supaya membantu Sheya bangun.

"Aku menyuruhmu datang kemari untuk memberimu ini," Shui mengeluarkan sesuatu dari saku dalam luarannya, kemudian mengulurkannya pada Sheya. "Ambil dan simpan ini baik-baik. Jangan beritahu siapa pun mengenai benda ini, kecuali di saat mendesak."

Junuran terperangah melihat benda yang disodorkan Shui, tak lain adalah Shonasai atau tanda kepercayaan Jenderal. Bentuknya bulat dan ditatah dengan begitu rumit, tetapi siapa pun bisa membaca maupun melihat bentuk hewan yang diukir pada batu putih itu membentuk sosok Shasenkai serta seekor harimau dan di pinggirannya tertulis nama sang Jenderal berikut gelarnya. Siapa pun yang membawa Shonasai maka orang itu harus diperlakukan dengan hormat, karena itu berarti orang tersebut merupakan orang kepercayaan Shui.

Sheya tampak kebingungan melihat lempengan batu di tangan Shui. Dia tidak segera mengambilnya dan menoleh ke arah Junuran, seolah meminta persetujuannya.

"Tidak perlu meminta ijin Junuran untuk mengambil ini," komentar Shui membuat keduanya sama-sama tertegun.

Ketika mereka menatap Shui, lelaki itu menyunggingkan senyum hangat dan bersahabat.

"Jangan kira aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian berdua," ucapannya membuat Junuran dan Sheya sama-sama merona. "Sekarang aku paham, kenapa Jun mulai betah tinggal di Shamasinai. Padahal sebelumnya dia terlihat keberatan ditinggal di sini."

Junuran gelagapan, tapi tak bisa menyangkal tuduhan Shui.

"Itu....," Sheya tak bisa berkata apa-apa, wajahnya nyaris merah padam karena malu.

Melihat tingkah mereka yang seperti remaja yang baru mengenal cinta, Shui hampir tertawa terbahak-bahak. Dia lalu bangkit dari tempat duduk, kemudian menjejalkan Shonasai ke tangan Sheya.

"Jaga benda ini baik-baik. Gunakan saat kau benar-benar membutuhkannya," kata Shui. "Jika Jun berbuat kurang ajar atau bertingkah kejam, kabari aku, aku akan segera memanggilnya dan memberinya hukuman."

"Shonja....," Junuran mengerang malu, tak menyangka dirinya akan diperlakukan seperti anak kecil. Dia sudah 21 tahun! Bukan anak berumur 8 tahun.

Sekali lagi Shui tertawa sembari menepuk bahu Sheya dan Junuran bergantian. "Aku menunggu kabar bahagia dari kalian."

Mereka berdua hanya bisa bungkam dengan rasa malu yang nyaris membuat keduanya seperti tomat rebus. Setelah itu, Shui meminta keduanya untuk keluar dari kamar dan menyuruh Kokhan untuk membantunya berganti pakaian.

"Kenapa Shonja tidak menitipkan Shonasai pada Jun? Kenapa pada Nona Sheya?" Kokhan mengernyit heran sembari membentangkan pakaian luar yang dihadiahkan Sheya dan adik-adiknya.

"Untuk berjaga-jaga," Shui melepas luarannya, kemudian menggantinya dengan luaran yang diberikan Sheya. "Aku berharap ini tidak terjadi, tetapi bila sampai ada apa-apa dengan Jun, Sheya bisa menggunakan Shonasai untuk memotong jalur birokrasi dan mengabariku secepatnya."

"Jika begitu, bukankah lebih baik Shonja memberikannya pada Shamasinaike?" Kokhan mengernyit sambil melipat jubah serta pakaian luar Shui dan memasukkannya ke dalam kotak.

"Yang diincar adalah Sheya," jawab Shui. "Aku hanya mencoba melindunginya."

(30 April 2018)

Taraaaaa.....
Jeng jeng jeng.... *suara efek dramatisasi*

Hayo... Ternyata Sheya terima lamaran Junuran. Apakah yang akan terjadi pada mereka?

Sanggupkah Junuran berpisah dari Sheya? *deng deng deng*

*dilempar timbunan buku*

Wakakak... Maaf, saya rada dramatis. Saya lagi tertarik bikin tokoh saya nelangsa - senelangsanya. 😂😂

Entah apa yang terjadi sama Junuran nanti...

Lalu gimana Shui dan Sheya bisa menikah?

Tunggu saja. Kayaknya kalian akan mencium aroma2.... 😏😏

Jangan lupa tinggalkan vote, komen, dan dukungan sama cerita ini. Terima kasiiiih... 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro