Bab 26. Shuikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Glosarium:

Ammu : sebutan untuk kakak laki-laki

Ammuren : sebutan untuk kakak laki-laki (pangeran)

Rammui : sebutan untuk paman

Shenka : panggilan lain untuk Kaisar

Riyushi : nama Kaisar terdahulu (Ayah Shuikan, Rheiraka, dan Nayunira)

Miri : sebutan untuk putri Kaisar

-------------------------------------------------

Baru seminggu Shui pulang, sekarang dia sudah dihadapkan masalah yang membuatnya sakit kepala. Setelah melaporkan keadaan Shoryaken pada Kaisar, ia mengira bisa beristirahat dengan tenang di rumah. Tak dinanya, sehari setelahnya, dia dipanggil ke Istana untuk mengikuti pertemuan pagi, hanya demi mendengarkan rengekan para pejabat sipil yang membuat suasana hatinya buruk sampai sekarang.

Bagaimana tidak, para pejabat sipil lagi-lagi mengangkat wacana mengenai pengurangan kekuatan militer. Jika setahun lalu mereka meminta pejabat militer dan sipil dilebur dalam satu hierarki yang sama, sekarang mereka menginginkan setengah pasukan Shenouka dirumahkan. Siapa yang menginginkan hal tersebut? Sudah tentu Perdana Menteri Shenouka yang agung, Narashima Unjarha Shasenki.

"Mengurangi kekuatan militer sampai setengahnya, apa yang mereka pikirkan?!" Shui tak bisa menahan kemarahannya. Walaupun ekspresinya terlihat datar, tetapi nada suara serta intonasi kalimatnya membuat siapa pun tahu, bahwa dia sedang sangat jengkel.

Pertemuan pagi tadi berjalan alot seperti pagi-pagi sebelumnya.

Jelas saja. Shui tidak mau mengurangi kekuatan tempur Shenouka sampai setengah! Saat ini mereka memang dalam situasi damai, tetapi bukan berarti pihak militer hanya duduk diam sambil menerima gaji buta. Mereka pun melakukan hal lain, seperti membantu rakyat mengolah ladang dan kebun, mendirikan rumah-rumah pengobatan untuk orang-orang yang sakit, membantu dewan kehakiman dalam menangkap para penjahat. Apa itu tidak bisa disebut bekerja?

Shui nyaris membentak semua pejabat sipil di balairung Istana Shasuiren tadi, ketika mereka ramai-ramai memohon agar Kaisar Rheiraka menyetujui usulan pengurangan pasukan Shenouka. Namun, adiknya jelas bukan orang bodoh. Meski punya hubungan buruk dengannya, Rheiraka tidak mengiakan permintaan para pejabat sipil begitu saja. Malah, dia juga mengundang para pejabat militer selain Shui yang bekerja di Ibu kota maupun sekitar. Alhasil, suasana balairung memanas, karena adu pendapat antara pejabat sipil dan militer.

Untunglah, orang-orang militer tidak diijinkan membawa senjata dalam pertemuan pagi bersama Kaisar, sehingga semua orang bisa keluar dari balairung dengan selamat.

"Keuangan Negara sedang dalam bahaya, jadi wajar bila mereka meminta hal tersebut." Menteri Pertahanan, yang berjalan di sisi Shui, berusaha menenangkan sang Jenderal yang masih bersungut-sungut.

Shui tersenyum masam. Narashima memang cerdas. Dia menjadikan keuangan Negara sebagai dasar permintaannya mengurangi jumlah pasukan Shenouka. Beralasan karena anggaran kian menipis dan pajak yang dipungut tidak sesuai harapan, Narashima membuat seolah-olah kekaisaran sedang dalam bahaya besar dan harus segera diselamatkan. Dengan memotong biaya militer, maka Kekaisaran ini bisa bertahan sampai pemungutan pajak tahun depan.

Sangat menggelikan.

Karena Shui tahu, dibalik persediaan uang yang terus menipis, ada campur tangan Narashima serta beberapa Menteri yang menjadi sekutunya. Mereka ingin mengeruk uang Negara untuk diri mereka sendiri dan melimpahkan masalahnya pada orang-orang militer!

"Apa Sho Seisaba benar-benar yakin dengan ucapan Shongra tadi?" Shui melirik pria paruh baya berwajah bulat yang berada di sampingnya. Berbeda dengannya yang mengenakan jubah biru gelap serta ikat kepala bersulam benang perak, Menteri Pertahanan memakai jubah merah marun serta penutup kepala berwarna hitam. Bentuk jubah mereka pun tidak sama.

Jubah Shui memanjang sampai ke lutut dan memperlihatkan perawakannya yang tegap, sedangkan jubah Menteri Pertahanan memanjang hingga ke mata kaki. Jika Shui terlihat tegas dan gagah, maka Menteri Pertahanan tampak elegan serta cerdas. Satu-satunya yang sama dari seragam resmi mereka dalam pertemua pagi adalah lambang Shenouka yang tersulam sempurna di bagian punggung jubah masing-masing.

"Aku tidak yakin," Seisaba menghela napas sambil mengelus janggutnya. Seperti kebanyakan pria Shenouka yang sudah berumur, dia pun memelihara janggut dan kumis. "Memang, Shongra beberapa kali membahas mengenai anggaran militer yang cukup besar, ketika kau bertugas ke Shoryaken. Namun, dia tidak merinci jumlahnya. Pastinya detail rincian ada di tangan Shenka."

"Kalau begitu, ada kemungkinan, bahwa sebenarnya keuangan Shenouka masih cukup baik dalam membiayai kekuatan militer kita. Bila tidak, maka Shenka sudah mengambil tindakan dari awal," komentar Shui.

Keduanya menuruni anak tangga, melangkah pelan menuju teras Istana Shasuiren yang luas. Di belakang mereka, ada beberapa pejabat militer berseragam biru yang mengikuti dalam diam.

Menteri Pertahanan tidak berkomentar. Tatapannya menerawang ke arah sekelompok pejabat sipil yang sudah hampir sampai di ambang gerbang Istana Shasuiren. Di antara para pejabat yang mengenakan seragam merah marun tersebut, tak terlihat sosok Perdana Menteri yang mereka bicarakan.

"Bagaimana dengan faksi bintang? Apakah mereka mendukung tindakan Shongra?" Shui kembali bertanya.

"Sekalipun tidak mendukung, kau tahu sendiri, faksi matahari selalu berkuasa di antara dua faksi lainnya." Seisaba menoleh ke arah sang Jenderal. "Aku selalu berada di pihakmu, Shonja. Tapi kau harus selalu ingat, bahwa kekuasaan tertinggi masih berada di tangan Shenka. Bila kau tidak ingin perdebatan ini berjalan terlalu jauh, kau harus bisa menenangkan Shenka."

Air muka Shui berubah muram mendengar ucapannya. Secara tidak langsung Menteri Pertahanan memintanya untuk melakukan pendekatan pada adiknya. Karena tanpa persetujuannya, permohonan pengurangan kekuatan militer tidak akan dilaksanakan.

Sementara kedua pejabat tersebut meninggalkan area Istana Shasuiren, yang menjadi tempat pertemuan bagi Kaisar serta abdi-abdinya, sang Perdana Menteri yang sedang dibicarakan tengah menemani sang Kaisar di ruang kerjanya.

Pertemuan pagi berlangsung panas dan tidak menyenangkan. Tidak ada keputusan yang dihasilkan, selain adu mulut serta kemarahan terpendam di masing-masing pihak yang berdebat. Sejujurnya, hal ini membuat Narashima kecewa. Keponakannya, yang biasa patuh dengan arahan serta didikannya, mendadak tidak mau mendengar nasehatnya dan memilih mempermainkan para pejabat seperti tadi.

Ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya Rheiraka pernah melakukannya terhadap faksi bintang dan bulan, hingga menimbulkan ketegangan di antara pejabat sipil. Bila Narashima tidak bertindak untuk menenangkan para pejabat yang berada di kedua faksi tersebut, kemungkinan tata pemerintahan akan kacau, karena mereka menolak untuk bekerja sama.

"Sampai kapan Shenka akan menunda masalah ini?" Narashima memecah keheningan di antara dirinya dan Kaisar. Hanya ada mereka berdua di dalam. Kasim, Kapten pengawal, serta Sekretaris Kekaisaran menunggu di luar atas permintaan sang Kaisar sendiri.

"Masalah apa?" Rheiraka pura-pura tidak mengerti dan sibuk dengan catatan yang tengah ditulisnya.

"Jika Shenka membiarkan Shuiren memegang kendali militer terlalu lama, maka itu bisa mengancam kedudukan Shenka," jawab Narashima tenang. Pria berumur awal empat puluhan itu tampak anggun ketika menjelaskan kekhawatirannya. Rambutnya yang panjang dikepang rapi dan diikat dengan pita hitam.

Tangan Rheiraka berhenti menulis. Ia termangu beberapa saat sembari mencerna jawaban Narashima dengan baik.

"Karena Ammuren mengancam takhtaku, aku harus menekan kekuatannya, supaya dia tidak bisa menyerangku, begitu maksud Rammui?" tanyanya.

"Benar," Narashima mengangguk.

"Dengan mengurangi setengah kekuatan militer Shenouka, aku bisa mengendalikan Ammuren yang disukai oleh sebagian besar pejabat militer." Ucapannya membuat Narashima tertegun. "Jika aku menekan Ammuren sampai seperti itu, bukankah aku yang tidak akan disukai oleh para pejabat militer?"

Ada nada sinis dalam pertanyaannya yang membuat Narashima memilih mundur perlahan dari tuntutannya.

"Saya hanya mencoba untuk melindungi Shenka," ujar Narashima dengan lembut. "Militer memang kekuatan terpenting bagi suatu Negara, tetapi pembiayaannya pun sangat besar. Shenka harus mempertimbangkan masalah ini dengan serius, mengingat keuangan kita yang terus menurun akibat musim kemarau panjang yang mengakibatkan gagal panen di banyak daerah."

Secara spontan Rheiraka mencengkeram kuas yang digunakannya untuk menulis. Hal itu tidak luput dari pengamatan Narashima. Pria itu tahu, Rheiraka sangat terganggu dengan musim kemarau ini. Banyak pihak mengatakan, bahwa langit tidak memberkati pengangkatannya sebagai Kaisar, sehingga hujan tidak kunjung turun di Shenouka.

"Mohon Shenka mempertimbangkan usul kami baik-baik," Narashima membungkuk dalam. "Ini untuk masa depan Shenouka dan juga Yang Mulia sendiri. Kita tidak bisa membiarkan calon pengkhianat menguasai kekuatan militer kita seutuhnya."

Setelah berkata seperti itu, Narashima pamit pergi, meninggalkan sang Kaisar yang sibuk dengan pikirannya sendiri.

***

"Ammuren!" seruan itu membuat langkah Shui berserta rombongannya terhenti.

Shui berbalik ke belakang dan melihat Nayunira berlari riang ke arahnya, disusul beberapa dayang serta pengawal yang terengah-engah mengikutinya. Senyum Shui melebar melihat adik perempuannya. Usia Nayunira hampir menginjak tujuh belas tahun, tetapi kelakuannya masih seperti anak-anak, suka berlari ke sana-kemari. Walau sudah diingatkan untuk bersikap lebih anggun, putri pertama Permaisuri Fenianing tersebut masih berlaku sesuka hati.

Mungkin karena Kaisar terdahulu memanjakannya, mungkin juga karena dia dan Rheiraka sama-sama menyayanginya, sehingga Nayunira tumbuh dengan mendapat kasih sayang yang berlebih. Jika bukan karena Permaisuri yang bersikap lebih tegas dibanding mereka, mungkin tingkat ketidakmandirian Nayunira akan lebih parah dari ini.

"Ammuren!" sekali lagi Nayunira memanggilnya dengan nada ceria yang bahagia. Gadis berambut hitam legam itu memeluk kakaknya tanpa basa-basi, hingga membuat beberapa pejabat militer meringis, sedangkan Menteri Pertahanan hanya bisa tersenyum maklum.

Nayunira memang tidak seperti kebanyakan putri-putri Riyushi yang lain.

"Larimu makin lincah saja, Ayuun," komentar Shui. "Kalau kau tidak mengangkat gaunmu terlalu tinggi, pasti kau sudah menginjak ujung gaunmu sendiri."

Sindiran tersebut membuat beberapa pejabat tersenyum menahan tawa. Sementara Nayunira melepaskan pelukannya dan menatap Shui dengan cemberut.

"Aku buru-buru kemari karena mendengar Ammu datang," tukasnya. "Kenapa Ammu langsung pergi tanpa mengunjungiku dulu? Seharusnya Ammu menemuiku, baru boleh pulang."

Shui memberi isyarat bagi para bawahannya untuk pulang. Seisaba pun pamit pergi dari hadapan mereka, sehingga Shui bisa bicara lebih leluasa dengan adiknya.

"Dua hari lalu aku baru mengunjungimu, anak manja. Apa itu tidak cukup?" Shui mencubit hidung adik perempuannya.

Nayunira menggembungkan kedua pipinya. Dia makin bertambah manis dan menggemaskan saat melakukan itu. Jika rata-rata anak perempuan Riyushi sangat patuh dan lembut, Nayunira tidak. Dia memiliki pesona sendiri, yang sedikit unik sekaligus mengkhawatirkan. Selain memiliki paras yang manis, perawakan Nayunira pun kecil, menyerupai Permaisuri terdahulu. Dia memiliki bulu mata lentik, serta sepasang alis yang sempurna.

Namun, di antara semua kelebihan fisiknya yang diwariskan dari Permaisuri, Nayunira memiliki gairah hidup yang besar. Itu terlihat dari kecemerlangan sorot matanya. Semangatnya membuat Shui maupun Rheiraka sama-sama ingin menjaganya seumur hidup. Hal itu juga yang menyebabkan Nayunira masih belum bertunangan hingga sekarang. Idealnya, seorang putri atau anak bangsawan akan menikah di usia 15 – 16 tahunan, tetapi sampai usianya mendekati 17 tahun, belum ada satu pun lelaki yang berani melamar Nayunira. Kedua kakak lelakinya yang terlalu melindungi membuat para lelaki takut untuk meminta satu-satunya adik kandung Kaisar.

"Ammu seharusnya tahu, bahwa aku masih merindukan Ammu! Berapa bulan Ammu pergi? Memang itu bisa digantikan dengan kunjungan sehari – dua hari?!" timpalnya galak.

Shui tertawa, "Apa boleh buat, masih banyak masalah yang harus Ammu selesaikan setelah tugas kemarin."

"Setidaknya sempatkan waktu seharian penuh untuk berjalan-jalan bersamaku," keluh Nayunira. "Setelah itu Ammu boleh bekerja lagi."

Tawa Shui semakin keras. "Baiklah. Hari ini aku akan menemanimu," kata Shui. "Jadi... kau mau pergi ke mana?"

***

Jika ada yang mengatakan putri Nayunira seperti kelinci, maka itu benar adanya. Didukung dengan perawakannya yang kecil dan gesit, sang putri mampu bergerak di tengah keramaian tanpa halangan berarti. Dia mampu menyelinap di antara orang yang berdesakan di jalan, tanpa membuat orang lain tersenggol, sedangkan Shui beberapa kali harus minta maaf karena menabrak orang yang berjalan berlawanan arah dengannya.

Sesuai janji, Shui menemani Nayunira hari ini. Mereka berjalan-jalan ke pusat kota sembari mampir ke beberapa toko. Jika dilihat sekilas, keduanya tampak seperti sepasang kekasih yang mesra. Tapi bila dicermati, Shui lebih terkesan seperti pengasuh gadis cilik yang ditarik ke sana-kemari. Nayunira benar-benar bersemangat menjelajahi kota bersama kakak lelaki tertuanya.

"Bagaimana Ammu? Lucu, kan?" Nayunira menunjuk manisan gula berbentuk kelinci yang dibuat pedagang gulali atas permintaannya.

Shui tersenyum, "Mirip sepertimu."

Seketika Nayunira cemberut, membuat Shui tertawa. Setelah membayar dengan sekeping tembaga, mereka meninggalkan pedagang gulali tersebut dan melihat-lihat suasana pusat kota yang selalu ramai setiap harinya.

Rumah-rumah bertingkat berdiri di kiri-kanan jalan yang lebarnya bisa dilalui empat kereta kuda sekaligus. Beberapa pedagang menjajakan penganan di pinggir jalan dalam kios-kios kecil beratap kain gelap. Ada yang menjual gulali, manisan, atau pun kue-kue olahan dari beras dan gandum. Penginapan-penginapan tersebar di beberapa titik, merangkap dengan kedai-kedai makanan yang ramai dikunjungi pembeli. Pedagang sayur-mayur berada di area tersendiri, bersama pedagang ikan, daging, serta unggas.

Orang-orang dari berbagai kalangan membaur jadi satu di jalan. Terlihat dari pakaian mereka yang beragam. Ada yang mengenakan pakaian katun polos dengan warna hampir memudar, ada yang memakai setelan mewah bersulam, tetapi ada pula yang mengenakan pakaian dari bahan yang bagus meski tampak sangat sederhana, seperti pakaian yang dikenakan Nayunira.

Dia sengaja berganti pakaian dengan setelan putih polos yang dirangkap dengan jubah luar sepanjang betis berwarna oranye gelap. Tak ada sulaman pada luarannya, pun rambutnya dikepang biasa dan dihias dengan pita putih tanpa tambahan jepit rambut apa pun. Sedangkan Shui menutupi seragamnya dengan jubah panjang berwarna kelabu seperti biasanya, sehingga orang-orang mengiranya sebagai pengelana, apalagi ikat kepalanya sudah dilepas.

"Aku senang kalau Ammu ada di rumah," ujar Nayunira sambil menyantap gulali kelincinya. "Kalau Ammu pergi bertugas, aku selalu merasa terkurung di Istana. Ammu Shenka sama sekali tidak mengizinkanku keluar. Aku hanya boleh bermain di sekitar kompleks Istana Shasenka saja."

Shui tersenyum sambil mengusap-usap kepala adiknya. "Shenka melakukannya karena tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu, mengingat kelakuanmu yang suka berlarian ke sana-kemari."

Nayunira memajukan bibirnya. "Aku bukan anak kecil lagi, Ammu," dia menepis tangan Shui yang masih mengusap-usap kepalanya.

Lagi-lagi Shui tertawa melihatnya merajuk.

"Kalau kau bukan lagi anak kecil, paling tidak bersikaplah lebih dewasa. Jangan lagi berlarian sambil mengangkat-angkat gaun. Itu tidak sopan. Jika berkata, katakanlah dengan sopan dan lemah lembut, bukannya keras dan blak-blakan," tegur Shui. "Kalau kau tidak mau mengubah kelakuanmu sedikit saja, bagaimana kau bisa mendapat calon suami?"

"Ammu yang akan memilihkannya untukku," Nayunira menjulurkan lidahnya ke arah Shui. Dia melirik sekilas ke belakang kakak lelakinya, melihat ke arah Kokhan serta beberapa pengawal yang mengawasi mereka dari jauh. "Aku tidak khawatir dengan calon suamiku, karena yang akan pusing adalah Ammuren dan Ammu Shenka. Justru yang perlu dikhawatirkan adalah Ammuren. Sampai kapan Ammu akan melajang? Usia Ammu sudah seperempat abad! Bila tidak segera menikah, Ammu akan menjadi kakek-kakek malang yang hidup seorang diri."

Shui baru akan menimpali, ketika Nayunira kembali bertanya, "Apa Ammu sudah punya seseorang yang disukai?"

"Pikirkan dirimu sendiri dulu," Shui menyentil dahi adik perempuannya. "Calon suami saja belum punya, kenapa memikirkanku? Yang perlu diperhatikan adalah kau, karena usiamu makin bertambah dari tahun ke tahun."

"Aku hanya ingin membantu Ammu," Nayunira mengusap dahinya, sedikit manyun dengan ucapan kakak lelakinya. "Siapa tahu, aku bisa ikut menjodohkan Ammu dengan gadis itu."

Shui tersenyum. "Jangan memikirkanku," ujarnya.

Nayunira menghela napas, tak mengira kakak lelakinya masih bersikap sedikit tertutup. Setelah menghabiskan gulali kelincinya, gadis itu lalu menarik Shui ke arah sebuah toko perhiasaan yang berada di ujung jalan. Melihat sekilas ke arah papan nama toko, Shui tahu, itu adalah toko perhiasaan terbesar yang ada di Shasenka.

"Kau mau perhiasan baru?" tanyanya Shui sembari mengikuti adiknya.

"Aku ingin jepit rambut baru! Kudengar, ada beberapa jepit rambut dari Silendar yang baru datang," Nayunira tersenyum cerah.

Shui tidak bisa menolak keinginan Nayunira, sehingga dia membiarkan Nayunira menggandengnya menuju toko. Tapi, langkahnya tertahan ketika melihat seorang gadis keluar dari toko tersebut. Shui membeku di tempat, tak mengira akan bertemu putri Menteri Pertahanan di sini.

"Ah..., Yuuni!" Nayunira melepaskan tangan Shui dan melambai ke arah Nuaniha. Sebelum Shui sempat mencegahnya, gadis itu sudah berlari menghampiri putri Menteri Pertahanan.

"Miri Nayunira," Nuaniha terkejut melihat kehadiran adik perempuan Shenka. Dia segera membungkuk ke arahnya. "Saya tidak menyangka akan bertemu Miri di sini."

Nayunira tertawa riang. "Aku juga tidak menyangka akan bertemu Yuuni di sini," Ia menoleh ke belakang, melihat kakak lelakinya berjalan perlahan ke arah mereka.

Nuaniha mengikuti arah pandang Nayunira dan seketika menegang melihat Shuikan melangkah menuju mereka. Walau sedikit, tetapi Shui melihat kegugupan gadis berambut hitam legam itu. Tiga kali Nuaniha membuat gerakan, seolah menyelipkan rambut ke balik telinga, padahal tidak ada helaian rambutnya yang lepas dari kepangan. Dandanan gadis itu sempurna seperti biasa, tidak terkesan berlebihan, tetapi mampu memancarkan kecantikannya yang lembut.

Nuaniha membungkuk ke arah Shui dan memberikan salam. Nada suaranya sedikit bergetar, pengaruh dari ketidakpercayaan diri sekaligu rasa gugup.

"Yuuni, maukah menemaniku melihat-lihat perhiasaan di dalam?" tawar Nayunira sebelum memasuki toko. "Ammuren pasti tidak bisa membedakan mana hiasan yang bagus dan biasa, karena itu, aku butuh pertolonganmu untuk membantuku memilih barang yang cantik."

"Ayuun, bisa saja Nona Nuaniha punya kepentingan lain di rumah," tegur Shui. "Jangan menyusahkannya."

"Ah, tidak," Nuaniha tersenyum lembut, menimbulkan getaran halus di dada Shui.

Gadis di hadapannya ini begitu cantik, menyerupai bulan purnama di tengah malam. Andai dia bisa melukiskannya dengan kata-kata, tentu Shui akan mengungkapkan beribu puisi untuk kecantikannya.

"Saya memang sudah selesai berbelanja, tetapi saya tidak keberatan membantu Miri Nayunira melihat-lihat barang," Dia menaikkan pandangannya dan ketika bertemu dengan tatapan Shui, Nuaniha buru-buru menundukkan tatapannya lagi.

"Nah, kalau begitu, ayo masuk," Nayunira menarik tangan Nuaniha tanpa aba-aba, hingga nyaris membuat gadis itu jatuh.

Untung saja Shui dengan sigap menahannya, sehingga Nuaniha tidak perlu mempermalukan dirinya di depan toko.

"Ayuun," Shui memandang Nayunira dengan tatapan menegur, sedangkan yang ditegur cuma meringis.

"Maaf, aku terlalu bersemangat," Dia melirik ke arah Shui yang masih menyentuh bahu Nuaniha.

Menyadari apa yang diperhatikan adiknya, Shui segera melepaskan sentuhannya dan berdeham pelan. "Maafkan kesembronoannya, Nona. Dia memang tidak pernah bisa bersikap lembut," ujar Shui yang disambut pelototan Nayunira.

Nuaniha tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Rona merah menyebar dari pipi hingga telinganya. Sejujurnya, jantungnya berdebar kencang ketika Shui menyentuhnya tadi. Entah sang Jenderal menyadarinya atau tidak, tetapi... Nuaniha merasa ingin berada di posisi tersebut untuk beberapa lama. Sayangnya, mereka sedang ada di tempat umum.

"Tidak apa-apa, Shuiren," ucapannya membuat debaran lain di dada Shui. "Saya bisa memakluminya."

Tiap kali Nuaniha menyebut namanya, perasaan Shui serasa melayang ke langit. Rasanya menyenangkan, bisa mendengar panggilan tersebut dari gadis yang dicintainya diam-diam. Nuaniha yang lembut dan manis, putri sulung Menteri Pertahanan ini hanya setahun lebih tua dari Nayunira. Seharusnya dia sudah memiliki tunangan atau calon suami, tetapi seperti adik perempuannya, Nuaniha belum memiliki hubungan serius dengan siapa pun. Dia selalu menolak pelamar yang datang pada keluarganya. Entah apa yang ditunggu gadis itu.

Jika mau, Shui sebenarnya bisa meminangnya. Namun, dia berada dalam persimpangan. Shui memikirkan tentang hubungannya dengan adik lelakinya. Rheiraka akan memiliki prasangka yang jauh lebih buruk terhadapnya, bila dia berani menjalin hubungan dengan orang-orang dalam faksi kekaisaran. Karena itu, meski mengagumi dan menyukai Nuaniha selama bertahun-tahun, Shui memilih memendam perasaannya dalam-dalam.

Memang rasanya sakit, tetapi ia pikir, hanya itu yang bisa menyelamatkan hubungannya dengan adik lelakinya.

"Ammu akan membiarkan Yuuni Nuaniha begitu saja?" tanya Nayunira setelah selesai berbelanja di toko perhiasan.

Nuaniha pulang ke rumah bersama pelayannya. Walaupun Shui sudah menawarkan diri, bahkan setengah memaksa untuk mengantar Nuaniha pulang, gadis itu menolak tawarannya baik-baik, sehingga Shui menyuruh salah satu anak buahnya untuk mengawal Nuaniha pulang. Sekarang, tinggallah Shui bersama adik perempuannya, serta beberapa pengawal yang mengawasi mereka dari jauh.

"Apa maksudmu?" Shui menoleh ke arah adiknya, tak mengerti.

Nayunira menggerutu pelan, "Kalau Ammu tidak segera bertindak, bisa-bisa Yuuni Nuaniha akan diambil orang lain!" ujarnya. "Jika Ammu menyukainya, setidaknya perjuangkan dia!"

Senyum Shui membeku. Apa perasaannya terlihat begitu jelas, sampai Nayunira tahu?

"Siapa pun bisa melihat kalau Ammu jatuh cinta pada Yuuni Nuaniha," komentar Nayunira datar, seakan bisa membaca pikirannya. "Tapi, apa yang membuat Ammu menahan diri untuk tidak segera melamarnya?"

Seulas senyum tipis mengembang di wajah Shuii. "Apa yang sedang kau bicarakan? Ammu tidak mengerti," katanya. "Hari sudah sore, sudah waktunya kau pulang ke Istana."

"Ammu...," Nayunira sedikit merajuk, tetapi Shui tidak memedulikan rengekannya.

Dia tidak melihat tatapan sedih Nayunira, ketika berjalan mendahuluinya. Sebenarnya Nayunira tahu alasan Shui tidak menikah hingga saat ini. Meski sedikit, ia paham, hal tersebut berkaitan dengan masalah di antara kedua kakak lelakinya.

"Ammu, tunggu!" Nayunira bergegas mengikuti Shui yang sudah membaur dengan keramaian jalanan.

***

Shui tidak tahu, sejak kapan Nayunira menyadari perasaannya pada Nuaniha. Apakah baru saja? Atau jauh-jauh hari sebelumnya? Yang jelas, ketika adik perempuannya menanyakan ketidakjelasan sikapnya pada Nuaniha, itu membuatnya terkejut, sampai tak bisa menjawab pertanyaannya.

Setelah mengantar Nayunira pulang ke Istana, Shui berkuda ke kediamannya sendiri yang berada di pinggir ibukota. Jarak antara rumahnya dengan istana tidak begitu jauh, sekitar satu jam perjalanan. Suasana di sana cukup tenang dan sepi, meski berada di lingkungan kota. Rumah-rumah masih jarang di sana, lebih banyak kebun dan ladang di area tersebut.

Sebenarnya sebagian besar lahan di area ini merupakan milik Shui. Ayahnya yang memberikan padanya atas jasanya dalam peperangan di Naratala beberapa tahun sebelumnya. Pada akhirnya, tanah-tanah kosong di sekitar kediamannya pun ia sewakan untuk diolah para petani yang membutuhkan lahan garapan dan mereka membayar biaya sewanya dengan hasil panen secukupnya. Yah, Shui tidak bisa menolak keinginan para petani untuk membayar sewa tanah tersebut.

"Ng...," tatapan Shui menyipit ketika melihat tiga orang berada di depan pintu kediamannya. Satu orang tengah berdiri dan dua yang lain sedang duduk di undakan menuju gerbang sembari menyantap sesuatu. Mereka tampak tidak asing seperti Lokha, Sheya, dan Hessa. Namun, Shui menepis anggapan itu. Bagaimana mungkin mereka ada di sini? Mustahil. Tidak mungkin mereka berada di sini.

"Bukankah itu Nona Sheya, Hessa, dan Lokha?" gumaman Kokhan membuat Shui mengerjap.

Jadi bukan dia saja yang menyadari bahwa mereka memang mirip Sheya, Hessa, dan lokha?!

Shui memacu kudanya, supaya berlari lebih cepat dari sebelumnya. Ketika sampai di depan gerbang pintu rumah, dia benar-benar tahu, bahwa mereka memang berada di sini.

"Shonja," Lokha buru-buru menjejalkan sisa roti yang ada di tangannya ke dalam mulut dan membungkuk dalam-dalam ke arah Shui.

Sheya dan Hessa melakukan hal yang sama. Bedanya, mereka segera menyimpan sisa roti ke dalam kantong kertas yang dibawa oleh Sheya. Ketiganya mengenakan jubah perjalanan, tampak kusut, lelah, dan juga kurang tidur. Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mereka bisa di sini?!

"Kenapa kalian ada di sini?!"

(9 Juni 2018)

----------------

Taraaa.... selamat membaca. Bagian ini saya tulis-hapus selama berhari-hari, karena nggak nemu feel yang cocok untuk menceritakan keadaan Shui setelah pulang ke Shasenka.

Selamat berkenalan dengan tokoh-tokoh baru! Saya harap, kalian nggak terlalu bingung dengan nama-nama yang muncul di chapter ini. :D

Jangan lupa vote, komen, dan share ya ;)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro