Bab 25. Sheyana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari berikutnya, wanita itu datang kembali sesuai janji. Kali ini dia tak hanya membawa keempat anak buahnya, melainkan juga sebuah kereta kuda, lengkap bersama sang kusir. Penampilannya masih sama seperti kemarin, mengenakan seragam hitam di balik jubah gelap panjang dengan tudung lebar, serta keempat prajurit lain yang menutup separuh wajahnya dengan kain hitam.

Dengan gaya berpakaian seperti itu serta aura tajam yang kurang menyenangkan, mereka terlihat seperti pembunuh berdarah dingin daripada utusan perdana menteri. Ekspresi Jun langsung berubah buruk ketika mereka datang. Dia memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi dari sikapnya, aku yakin Jun tahu sesuatu tentang mereka.

Kami menunggu di halaman rumah Shamasinaike Ornuk, di bawah tatapan prajurit-prajurit Jun yang mengawasi dari markas. Para penduduk yang tadinya berkumpul, karena heran melihat kami berada di sana, sudah membubarkan diri dan diminta melanjutkan aktivitas seperti biasa.

Wanita itu turun dari atas kuda, kemudian mendatangi kami dengan tenang, diikuti keempat prajurit yang lain. Sesaat, dia sempat bertukar tatapan tajam dengan Jun. Ada semacam ketidaksenangan tersirat yang tampak dari keduanya. Hubungan tidak baik antara jenderal dan perdana menteri sepertinya mempengaruhi anak buah mereka pula. Setelah memberikan salam pada Iksook Inarha dan Shamasinaike Ornuk, wanita itu beralih menatapku.

"Kupikir, aku harus memanggilmu seperti kemarin. Bagus kalau kau sudah siap. Kita bisa secepatnya berangkat setelah kau berpamitan pada keluargamu," katanya dingin.

Aku mengangguk pelan, lantas menoleh ke arah Jun yang berdiri di sampingku. Tatapan Jun masih tertuju pada wanita itu, sehingga aku terpaksa menarik lengan seragamnya supaya dia menoleh padaku.

"Sampai jumpa lagi, Jun," pamitku.

Tanpa diduga dia meraihku dalam pelukannya, hingga membuat Shamasinaike Ornuk terkesiap dan Iksook Inarha terkekeh geli. Cuma adik-adikku yang terpana menatap keberanian calon kakak ipar mereka memelukku.

"Jaga dirimu baik-baik," bisiknya.

Aku mengangguk pelan, kemudian melepaskan diri dari pelukannya.

"Kau bawa benda-benda yang kuminta semalam?" tanyanya setengah berbisik, sebelum aku benar-benar beranjak dari hadapannya.

Aku mengangguk sambil menepuk-nepuk buntalan kain yang kupeluk. Isinya tak lain adalah tiga pasang pakaian ganti, sekantung uang, serta belati.

"Apa kau menyimpan pemberian Shonja di sana?" Dahinya berkerut dalam.

Aku menggeleng sambil menarik sedikit tali kalungku. "Kugantungkan di sini."

"Bagus," Jun menghela napas lega. "Selain buntalan, di mana lagi kau menyimpan senjatamu?"

Aku menggigit bibir bawah, tak yakin menjawab pertanyaan Jun yang penuh kekhawatiran. Karena sudah mendapatkan jimat dari Inaike, aku merasa tak perlu membawa senjata lain untuk mempertahankan diri. Asal membayangkan Inaike dan memanggilnya, kemungkinan besar dia akan muncul dan membantu setiap kesulitanku.

"Kau tidak membawa senjata lain?"

Aku menggeleng takut-takut.

Jun terlihat ingin mengomel, tetapi dia berhasil menahan diri. Kemudian dengan gerakan cepat dan ringan, dia menyelipkan sebilah pisau kecil sepanjang satu jengkal ke tanganku. "Simpan di saku dalam luaranmu," bisiknya.

Aku mematuhinya tanpa banyak komentar, sekalipun heran dia terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaannya terhadap orang-orang perdana menteri. Kemudian aku beralih pamit pada ibu serta keluargaku. Ekspresi wajah ibuku tidak terlalu bagus, beliau terlihat sangat muram. Adik-adikku juga tidak banyak berkata-kata. Selesai menyampaikan salam perpisahan pada Iksook Inarha dan Shamasinaike Ornuk yang mengantar kepergian kami, aku pun beranjak memasuki kereta. Namun, tatapan wanita itu membuat langkahku terhenti.

"Kami tidak butuh tamu lainnya," wanita itu memandang tajam ke belakangku.

Dia pasti sedang menatap Lokha dan Hessa yang hendak mengikutiku. Jun sudah memutuskan bahwa Lokha akan ikut mengawalku, sedangkan keluargaku ingin Hessa menemaniku ke ibukota.

"Mereka ikut atau tidak sama sekali," tukas Jun, tanpa terlihat takut dengan tatapan mengintimidasi wanita tersebut.

"Kau berani menantang perintah Shongra?!" Ekspresi wanita itu semakin buruk.

Perasaanku semakin tidak nyaman. Jika mereka berseteru, ujung-ujungnya kami juga yang terkena imbasnya.

"Aku tidak menentang perintah Shongra. Aku hanya meminta mereka menemani Sheya." Jun berusaha mengendalikan diri.

Aku menoleh ke arah kelima utusan perdana Menteri tersebut. Hanya rupa sang wanita yang tampak amat jelek, karena dikonfrontasi Jun. Keempat prajurit yang lain diam, tetapi sorot mata mereka menyiratkan ketidaksenangan.

"Saya mohon, ijinkan Tuan Lokha dan Hessa ikut," aku memutuskan masuk dalam perdebatan keduanya. "Saya belum pernah sekalipun pergi ke ibukota. Keluarga maupun calon suami saya tentu mengkhawatirkan keselamatan saya. Tidak ada niatan buruk dari kami dengan keikutsertaaan mereka, keduanya hanya ingin menjaga saya supaya saya baik-baik saja."

Perhatian wanita itu beralih padaku. "Itu artinya kalian tidak memercayai kami?!" nada suaranya terdengar semakin kelam.

Demi Tadakhua...., sepertinya aku salah mengatur kata-kataku.

"Kalian pikir kami akan membunuhnya di tengah jalan, begitu?" tatapan wanita itu beralih pada Jun.

"Ya," Jun menjawab secara lugas, membuat nyaliku menciut. "Aku tahu siapa kalian, prajurit pembunuh. Hubungan Shonja dan Shongra sudah tidak baik sejak lama. Dari dulu Shongra selalu ingin menyingkirkan Shonja. Bagaimana aku bisa percaya pada utusan Shongra yang tiba-tiba datang kemari dan ingin bertemu Sheya yang sama sekali tidak mengenal Shongra? Siapa pun akan berpikir kalian akan menyakitinya karena dia sudah membantu Shonja. Bukankah itu yang sering kalian lakukan terhadap orang-orang yang menolong Shonja?"

Pertanyaannya benar-benar telak. Aku merasakan suasana yang semakin dingin dan mencekam. Mereka tidak senang dengan pernyataan Jun, tetapi mereka tidak menampik ucapannya. Bisa dibilang, apa yang dikatakan Jun adalah kenyataan.

"Kalian bisa pegang janji kami, bahwa kami tidak akan menyakiti Nona Sheya." Akhirnya wanita itu bicara. "Shongra hanya meminta kami membawanya ke Shasenka, tidak lebih dari itu. Sebagai sesama prajurit yang disumpah, kau bisa pegang janji kami."

Jun diam sesaat, memperhatikan mereka satu per satu. "Aku akan pegang janji kalian," ucapnya. "Dan jangan khawatir pula, aku sudah mengirim pesan pada Shonja bahwa kalian datang untuk membawa Sheya ke ibukota."

Wanita itu tak mengatakan apa-apa. Dia lalu menyuruhku naik ke dalam kereta bersama Hessa. Sementara itu Lokha berkuda di sisi kereta kami. Tak lama kemudian, kami pun bergerak meninggalkan Shamasinai.

Beberapa kali aku menoleh ke belakang, hanya untuk melihat Erau dan Athila mengikuti kereta kami bersama Mila. Jun tetap berada di sana, mengawasi kepergian kami dengan ekspresi yang rumit. Untuk pertama kalinya, aku akan pergi jauh dari tanah kelahiranku. Namun itu sama sekali tidak membuatku senang.

Selepas keluar dari wilayah Shamasinai, kami memasuki area hutan yang kering. Di sisi lain jalan, bukit terlihat kering kerontang dengan dedaunan yang hampir meranggas sempurna. Tak sengaja, aku melihat sosoknya di kejauhan sana. Inaike berdiri di antara pepohonan, menatap kereta kami dengan tatapan dingin. Dia diam di sana beberapa saat, sebelum akhirnya lenyap.

***

Dari Jun, aku tahu perjalanan menuju ibukota akan memakan waktu yang sangat lama, sekitar satu setengah sampai dua bulan perjalanan. Membayangkan harus selama itu bersama utusan perdana menteri membuatku merasa tidak nyaman. Khawatir dan takut sudah jelas. Namun, mereka berjanji tidak akan menyakitiku dan Jun percaya pada janji mereka. Aku akan mencoba mempercayai mereka pula, walaupun takut.

Hari-hari berlalu dengan lambat. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku bersama Hessa di kereta. Jika tidak mengobrol dengannya, aku akan melihat-lihat pemandangan di luar. Kalau sedang lelah, biasanya aku akan memilih tidur. Tapi, kereta bukan tempat yang nyaman untuk digunakan sebagai tempat beristirahat. Jalan yang tidak rata sering menimbulkan guncangan yang membangunkanku. Walhasil, setelah dua minggu perjalanan, aku merasa seperti ruh penasaran yang melayang-layang akibat kurang tidur.

"Aku ingin tidur di penginapan lagi." Pada akhirnya aku memulai keluhan pagi ini. Setelah dua hari perjalanan, keantusiasan kami melihat wilayah baru tergantikan dengan keinginan untuk pulang. Aku dan Hessa sering memulai keluhan di awal hari untuk membuka percakapan di dalam kereta.

"Duduk terus-menerus di kereta membuat punggung dan pinggangku sakit," Hessa menambahi sambil memijat kepala. Baru dua hari lalu kami menginap di kota, sekarang kami sudah merajuk akibat kelelahan.

"Berapa lama lagi kita harus menahan ini semua?" Aku menghela napas sembari memukul-mukul kedua bahuku bergantian. Jika saat ini kami berada di desa, pasti kami sedang bekerja sekarang. Hessa mungkin akan menemani Iksook Inarha mencari tanaman obat, sementara aku akan merawat kebun bersama Mila, Athila, dan Erau. Kemungkinan juga bersama Jun.

"Kata Tuan Lokha, kita baru mencapai setengah perjalanan," Hessa menyibak tirai yang menutupi jendela, sehingga kami bisa melihat pohon-pohon besar yang tumbuh kokoh di bagian sisi kanan jalan. Daun-daunnya sudah banyak yang berguguran, keadaannya mirip seperti kondisi Inairakhi.

Tuan Lokha yang berkuda di sisi kanan kereta, melirik ke arah kami sekilas dan menyunggingkan senyum tipis. Tampang beliau sama kusutnya seperti kami karena kurang tidur dan kelelahan, meski sorot matanya masih tetap awas dan tajam. Beliau tak tampak lebih tua dari Jun. Dengan perawakan tegap serta rambut gelap yang dipotong pendek, serta tinggi yang tidak terlalu jangkung, beliau justru terlihat setahun atau dua tahun lebih muda dari Jun.

"Aku ingin lekas pulang ke rumah." Hessa smenutup tirai jendela.

Kelihatannya kami berdua sama-sama tidak menyukai perjalanan ini.

"Bukan hanya kau yang berharap begitu," timpalku sambil menyandarkan punggung pada dinding kereta. Saat itu, terjadi guncangan yang cukup keras hingga kepala kami nyaris terantuk atap kereta.

Ada apa ini? Apa baru saja kereta menabrak batu besar?

Kereta berhenti bergerak, membuat kami berpikir bahwa ada sesuatu yang terjadi. Hessa kembali membuka tirai untuk bertanya pada Tuan Lokha apa yang terjadi, tetapi ekspresi Tuan Lokha membuatnya urung bersuara.

Air muka Tuan Lokha terlihat waspada. Kelelahan di wajahnya berganti menjadi keseriusan, sorot matanya pun terlihat tajam. Ada sesuatu yang sedang dia perhatikan di depan sana. Dan kurasa, kelima utusan Perdana Menteri juga melakukan hal yang sama. Aku bisa merasakan ketegangan yang menguar di udara serta kesenyapan yang mencekam.

"Apa ada sesuatu yang terjadi, Tuan?" tanya Hessa.

Tuan Lokha menoleh pada kami, lalu memberi isyarat supaya kami diam. Pandangannya kembali tertuju pada sesuatu di depan rombongan kami.

"Jangan halangi jalan kami! Minggir!" Seruan Nona Loulan terdengar lantang.

"Namanya prajurit Perdana Menteri memang selalu angkuh, ya." Tanggapan lain terdengar. Suaranya manis dan riang, seperti suara anak kecil. Namun dari intonasinya yang sinis, kemungkinan dia remaja seumuranku atau Hessa. "Aku datang kemari bukan untuk kalian, melainkan untuk nona Sheya!"

Suara gesekan pedang yang ditarik keluar dari sarung pedang terdengar. Aku dan Hessa saling bertatapan sebelum akhirnya mengambil belati masing-masing dan menggenggamnya erat-erat. Kali ini, siapa lagi yang menginginkanku? Hanya karena menolong Tuan Shui, kenapa hidupku jadi serumit ini?! Sebenarnya ada berapa banyak orang yang membenci beliau?!

***

Seorang gadis yang terlihat lebih muda dariku berhasil melumpuhkan lima prajurit pembunuh milik perdana menteri seorang diri. Perawakannya kecil, dengan tinggi yang kemungkinan sama seperti Mila. Dia mengenakan pakaian cerah berwarna kuning dan celana panjang putih. Di sabuknya terselip bergam pisau dan belati.

Tuan Lokha terpana, aku dan Hessa pun terpaku menyaksikan pemandangan itu. Bagaimana bisa, gadis itu menumbangkan seluruh prajurit pembunuh, bahkan Nona Loulan tampak merintih kesakitan karena tangan kanan dan kaki kirinya terpelintir di arah sebaliknya. Dua di antara mereka tewas bersimbah darah, sedangkan sang kusir yang ketakutan sudah melarikan diri masuk ke hutan yang kering.

"Sudah kubilang, aku datang kemari bukan untuk kalian," gadis berambut hitam lurus sebahu itu mendecih sambil meninggalkan Nona Loulan yang kesakitan.

Tuan Lokha segera mengambil posisi di antara gadis itu dan kami. Ketika pertarungan berlangsung, aku dan Hessa memang keluar dari dalam kereta untuk melihat apa yang terjadi, sekalipun Tuan Lokha menyuruh kami masuk kembali. Pertarungan gadis itu terlalu menakjubkan untuk diabaikan. Dalam waktu singkat, dia berhasil mematahkan serangan para prajurit pembunuh. Padahal dia tidak terlihat kuat sama sekali.

"Tenang, aku bukan musuh," gadis itu berhenti saat Tuan Lokha menghunuskan pedang ke arahnya. Dia tidak menyerang Tuan Lokha seperti kelima prajurit pembunuh lainnya, mungkin karena seragam yang dikenakan beliau. "Aku datang kemari untuk menyelamatkan kalian."

"Menyelamatkan?!" Tuan Lokha mengulang dengan nada curiga. "Menyelamatkan dari siapa?"

"Tentu saja Perdana Menteri tercinta," dia memutar mata sambil berkacak pinggang. "Dengar, aku tahu, tindakanku ini pasti membuat kalian curiga. Namun, pikirkan ini baik-baik, memangnya mereka akan membiarkan kalian begitu saja setelah sampai di ibukota?" gadis itu melirik ke arah Nona Loulan yang tengah menggeram kesal.

"Kalau pun tidak dibunuh, mungkin kalian akan disiksa dulu," dia kembali menatap kami. "Perdana Menteri sangat suka membuat Jenderal marah."

"Siapa kau?" Tuan Lokha mengerutkan dahi.

"Seseorang yang pernah ditolong Jenderal," jawabnya sambil menepuk dada. "Panggil aku Kiarin. Dan sebagai rasa terima kasih karena pertolongannya, tentu aku akan membantunya melindungi orang yang menyelamatkan nyawa beliau." Tatapannya beralih padaku, memperlihatkan rasa persahabatan. "Aku tidak akan melukai kalian."

"Aku tidak percaya," tukas Tuan Lokha.

"Terserah," gadis itu kembali memutar mata, kemudian dia mengambil sebuah ranting dan mulai menggambar sesuatu di atas jalan.

Aku dan Hessa masih berada di belakang Tuan Lokha, melongok ke arahnya dengan penuh ketertarikan. Gadis ini kelihatannya baik, walau sedikit aneh.

"Perdana Menteri dari dulu memang tidak berubah," ujarnya sambil tetap fokus menggambar garis-garis maupun aksara yang tidak kumengerti artinya. "Dia selalu suka menyerang Jenderal, entah secara langsung atau pun tidak. Kudengar, sejak Jenderal masih kanak-kanak pun, Perdana Menteri sudah membenci beliau."

"Hal-hal semacam itu, dari mana kau tahu?" Tuan Lokha memandangnya penuh selidik.

"Rahasia umum," jawabnya ringan. "Semua orang juga tahu, bahwa Perdana Menteri tidak menyukai Jenderal. Kalau bukan karena Jenderal disukai rakyat, sudah dari dulu Perdana Menteri mendepak beliau dari posisi sekarang, bahkan memasukkannya ke liang lahat."

Aku menelan ludah. Itu berarti Perdana Menteri punya dendam kesumat pada Jenderal. Dosa apa yang pernah dibuat Tuan Shui sampai Perdana Menteri membencinya begitu dalam?

"Nah, selesai," Kiarin melemparkan ranting ke sisi jalan begitu selesai menggambar garis-garis yang dia inginkan. "Kemarilah," dia menyuruh kami untuk memasuki lingkaran yang baru saja digambarnya.

"Apa itu?" tanyaku takut-takut.

"Salah satu cara untuk membantu kalian menemui Jenderal lebih cepat."

Aku, Hessa, dan Tuan Lokha saling bertatapan. Benarkah kami bisa mempercayai gadis itu?

"Jangan ikut dengannya!" seru Nona Loulan yang berusaha untuk berdiri.

Tak dinanya, dengan satu gerakan luwes, sebuah pisau melesat dari tangan Kiarin dan menancap di lengan Nona Loulan yang terluka, membuatnya memekik kesakitan lalu ambruk kembali.

"Kau tidak punya kuasa apa-apa lagi di sini, Loulan," ujarnya dingin. Ada sesuatu yang kelam terlihat dari sinar matanya, tetapi lenyap dalam sekejap. Dia menoleh pada kami, menatap dengan penuh kemantapan. "Aku sungguh-sungguh tidak akan melukai kalian. Itu janjiku. Jika kalian mau ikut denganku, itu akan mempercepat kalian bertemu dengan Jenderal. Kemarilah."

Aku dan Hessa kembali menatap Tuan Lokha. Beliau masih terlihat ragu-ragu, sehingga aku mengambil keputusan yang sedikit riskan, yaitu mempercayai gadis itu. Ketika aku beranjak ke arahnya, Tuan Lokha nyaris menarikku kembali.

"Terima kasih, sudah mau mempercayaiku," Kiarin tersenyum padaku. "Apa kalian masih mau berdiri di sana?" Dia melongok ke belakangku, jelas bertanya pada Tuan Lokha dan Hessa.

Tak lama kemudian, mereka berdua sudah berdiri di sisiku, tepat berada di dalam lingkaran yang digambar gadis tersebut. Kami berhati-hati ketika masuk ke sana, mencoba untuk tidak merusak gambarnya. Namun, tetap saja ada garis-garis yang terinjak dan berubah menjadi jejak sepatu, tetapi Kiarin meyakinkan bahwa itu tidak berpengaruh apa-apa. Kemudian gadis itu keluar dari lingkaran dan menyambangi mayat salah satu prajurit pembunuh.

Mulanya kami keheranan dengan tindak-tanduknya, tetapi ketika dia mulai membuka dada mayat dan mengambil jantungnya, aku memekik histeris sambil menutup mata rapat-rapat. Demi Tadakhua, untuk apa dia mengambil jantung manusia seperti itu? Jangan-jangan kami salah mempercayai orang?!

"Maaf, maaf, kalian pasti tidak terbiasa dengan ini," ujarnya.

Aku tidak berani membuka mata, jijik melihatnya yang kemungkinan membawa-bawa jantung manusia.

"Tapi kita butuh ini untuk berpindah tempat," imbuhnya.

"Mengapa berpindah tempat harus menggunakan jantung manusia?" Hessa bertanya dengan nada suara yang tidak terlalu yakin. Walau tak bisa melihat ekspresinya, aku tahu dia sama jijiknya sepertiku.

"Karena kita akan menembus alam gaib, baru kemudian sampai di tempat tujuan," jawabnya sederhana. "Jantung ini sebagai persembahan, supaya kita diijinkan lewat."

Kalau menggunakan cara seperti ini membuat kami lebih cepat sampai ke Shasenka, aku lebih memilih naik kereta kuda saja! Sekalipun lama dan melelahkan, setidaknya tidak ada bagian ritual manusia seperti ini.

"Nona, kau bisa membuka matamu."

Aku menggeleng kuat-kuat. "Aku tidak mau."

Dia menghela napas, "Kalau begitu, tolong pegang dia. Kemudian pegang pundakku. Jangan sampai kalian terlepas dariku, atau kalian akan tersesat di alam gaib."

Kiarin lalu menggumamkan kalimat-kalimat asing yang tidak pernag kudengar sebelumnya. Setelah itu, yang kurasakan adalah sensasi ringan yang memusingkan, seolah-olah tubuhku melayang di udara dan tidak memiliki bobot sama sekali. Ketika membuka mata, aku terkesiap melihat pemandangan yang tumpang tindih hingga terlihat seperti garis-garis rusak.

Lalu, kami pun tiba di sana.

Tidak jauh dari tempat kami berdiri, sebuah benteng kokoh setinggi lima orang dewasa berdiri angkuh seperti pelindung yang tidak akan pernah tertembus. Panji-panji dengan beragam warna, corak, serta tulisan berkibar di atas rumah-rumahan yang ada di bagian atas gerbang kota. Di sana, terdapat beberapa prajurit yang berjaga dan mondar-mandir mengawasi orang-orang mengantre untuk memasuki kota. Di atas sepasang pintu gerbang ganda berwarna cokelat gelap itu terpasang sebuah papan bertuliskan sesuatu. Sayang sekali, aku tidak bisa membacanya.

"Shasenka...," Tuan Lokha menggumam, tampak sangat terkejut karena kami sampai di ibukota dalam sekedipan mata.

"Tidak ada kata terima kasih untukku?" komentar Kiarin.

Kami menoleh ke arahnya dengan tatapan takjub sekaligus ngeri, karena tangan dan bajunya masih berlumuran darah.

"Sesuai janji, aku sudah mengantar kalian dengan selamat ke Shasenka. Sekarang kalian bisa bertemu dengan Jenderal di sini," ujarnya.

"Kau sendiri?" aku mengerutkan dahi.

"Aku akan pergi. Tugasku sudah selesai di sini," jawabnya ringan.

"Boleh kutahu siapa yang mengirimmu?" tanya Tuan Lokha sebelum dia pergi.

Kiarin menatap kami sesaat, lalu menjawab, "Sudah kubilang, aku membantu kalian karena rasa terima kasihku pada Jenderal."

"Menurutmu aku akan percaya begitu saja? Tidak banyak yang tahu tentang keberangkatan Nona Sheya!" geram Tuan Lokha.

"Yah, kalau begitu anggap saja kalian beruntung karena aku tahu," Dia mengendik tak acuh. "Sampai jumpa!"

"Hei!"

Sebelum Tuan Lokha berhasil menangkapnya, gadis itu melesat cepat memasuki area hutan lebih dalam lagi. Kini tinggal kami bertiga, berdiri di tepian hutan yang berdekatan dengan jalur menuju ke gerbang kota seperti orang bingung.

"Gadis itu benar-benar tidak bisa dipercaya," Tuan Lokha mendesah pelan.

"Tapi dia mengantar kita sampai ke sini," tukas Hessa.

"Kita belum tahu apa tujuannya," Tuan lokha memijat pangkal hidungnya. "Kita pun tidak tahu siapa yang mengirimnya. Tidak mungkin kabar penjemputan Nona Sheya diketahui sembarang orang. Bila Shonja saja belum tahu, berarti pihak lain yang tahu tentang hal ini kemungkinan berasa dari kalangan dekat Perdana Menteri."

"Kau berpikir dia sedang menjebak kita?" tanyaku.

"Entahlah," Tuan Lokha menggeleng lemah. Kemudian perhatiannya tertuju ke arah pintu gerbang kota. "Mungkin.... Kita bisa menemukan jawabannya setelah sampai di rumah Shonja."

(27 Mei 2018)

-----------------------------------

note:

Heee.... maaf minggu kemarin enggak update. Saya ngerjain cerita lain minggu kemarin, sampai nggak fokus buat lanjutin TCT. 

Entah kenapa, godaan buat nyelingkuhin cerita ini gede banget, sampai beberapa kali saya nulis outline2 cerita-cerita baru. Duh... rasanya ingin publish juga beberapa outline yang sudah mbentuk cerita, tapi kalau udah publish, pasti konsekuensinya masti ditamatin.

Lha satu cerita ini aja belum tamat, masak mau nambah cerita lain. Saya sadar diri sih, kalau kemampuan multitasking saya dalam membuat beberapa cerita berbarengan tuh lemah banget.

Yang Master's Decision aja belum selesai2 sampai sekarang =))

Sampai jumpa di chapter selanjutnya, jangan lupa share, voment, dan menikmati cerita ini ya ;)

Chapter depan adalah saatnya perkenalan dengan tokoh lama yang baru :D:D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro