Bab 24. Sheyana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wanita itu anggun sekaligus cantik, tetapi terkesan berbahaya dan mematikan. Dia datang bersama empat lelaki berjubah gelap yang sebagian wajahnya tertutup oleh kain hitam. Ketika aku dipanggil ke rumah Shamasinaike Ornuk, aku tidak mengira akan dipertemukan dengan rombongan ini. Kukira ada masalah apa hingga Shamasinaike Ornuk memintaku segera datang, tak disangka ternyata ada yang mencariku.

Lebih mencengangkan lagi, mereka rupanya utusan Perdana Menteri. Emblem giok yang dibawa wanita itu menjadi tanda bahwa mereka berlima merupakan utusan Perdana Menteri.

"Saya tidak akan berbasa-basi," Wanita itu berujar sambil melirikku, membuat bulu kudukku berdiri. "Shongra meminta kami menjemput Nona Sheya. Hari ini juga, kami akan membawanya ke Shasenka."

Aku tercekat mendengar pernyataannya. Hari ini?!

"Apa itu tidak terlalu buru-buru?" Shamasinaike Ornuk juga tampak terkejut. "Bukan maksud saya menentang perintah Perdana Menteri, tetapi Sheya pun butuh persiapan. Dia juga harus berpamitan pada keluarganya."

Alasan yang masuk akal, sekaligus mengulur waktu untuk mencari bantuan. Jun tidak ada di desa. Dia tengah memeriksa perbatasan bersama beberapa prajuritnya sejak tiga hari yang lalu dan sampai sekarang belum kembali. Iksook Inarha pun sedang mencari tumbuhan obat bersama Hessa di Inairakhi. Perlu waktu untuk memanggil mereka pulang. Selain itu, kami pun butuh persiapan untuk memenuhi permintaan Perdana Menteri yang tiba-tiba.

Wanita berambut hitam itu diam sejenak, sambil menatap kami bergantian. Sorot matanya membuatku tidak nyaman, seolah-olah dia sedang mengupas niat kami sedikit demi sedikit untuk mencari tahu rencana apa yang kami sembunyikan.

"Baiklah. Besok kami akan datang lagi," Dia berdiri dari tempat duduk, kemudian berbalik ke arah pintu hingga jubah panjangnya tersibak. "Selesaikan urusan kalian hari ini. Kami tidak akan menoleransi alasan apa pun bila Nona Sheya belum juga siap besok," ujarnya, lalu berderap pergi diikuti keempat pengawalnya.

"Anu... Sebentar," Aku hampir merutuki diri sendiri karena menahan kepergian mereka. Namun ada hal penting yang harus kutanyakan.

Wanita itu berhenti dan menoleh ke arahku. Tatapannya menyiratkan tanya.

"Kenapa Perdana Menteri ingin saya pergi ke Shasenka?" tanyaku hati-hati. Apa tujuan beliau mengundangku ke sana? Kami sama sekali tidak memiliki interaksi apa pun, kecuali... interaksi kami tercipta saat aku menolong Tuan Shui.

"Aku tidak tahu," jawabnya datar. "Shongra hanya menyuruh kami membawamu tanpa mengatakan alasannya. Dan kami tidak butuh alasan untuk menjalankan perintahnya."

Aku meringis mendengar jawabannya yang dingin. Setelah itu, dia pergi dari Shamasinai bersama keempat anak buahnya. Ketegangan yang sempat tercipta berangsur-angsur hilang. Sebagai gantinya, kami mulai resah dengan apa yang akan terjadi besok.

"Lokha...," Shamasinaike Ornuk menoleh ke anak buah Jun yang menjadi penanggung jawab keamanan desa selama Jun tidak ada di tempat. Sedari tadi pemuda itu membisu dan hanya mendengarkan percakapan kami dalam diam. "Tolong segera cari Tuan Jun dan minta dia pulang secepatnya."

"Tentu saja," pemuda itu mengangguk tanpa membantah, kemudian pergi mencari Junuran yang entah berada di bagian mana perbatasan.

"Pulang dan bersiap-siaplah, Sheya," Tatapan Shamasinaike Ornuk berpindah padaku. "Bawa beberapa benda penting dan berharga untuk berjaga-jaga, termasuk belati."

"Baik," Aku menelan ludah, tak bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan padaku nanti. "Bagaimana dengan Iksook Inarha?"

"Aku akan menyuruh yang lain mencari beliau. Sekarang pulang dan bersiap-siaplah. Kau yang lebih butuh menenangkan diri untuk menghadapi masalah besok."

Apa yang diucapkan Shasimanike Ornuk benar. Aku butuh ketenangan.

***

Iksook Inarha kembali ke desa saat petang hari, sedangkan Junuran baru datang ketika hari menginjak tengah malam. Dia terlihat pucat pasi ketika mendatangi rumahku. Jika boleh kukatakan, Jun tampak kacau dan ketakutan. Kelihatannya Lokha atau Shamasinaike Ornuk sudah menceritakan kejadian siang tadi padanya.

"Minumlah dulu," Aku mengangsurkan segelas minuman hangat padanya. Melihat pakaiannya yang kusut dan lusuh, serta wajah dan rambutnya yang berantakan, sepertinya Jun tergesa-gesa kembali kemari. "Cepat sekali Lokha menemukanmu. Kupikir, aku baru akan bertemu denganmu besok pagi."

"Setelah mendengar cerita Lokha, tidak mungkin aku bersantai-santai di perjalanan," Jun meletakkan gelasnya di atas lantai kayu. Kami duduk di teras rumah, menikmati pemandangan malam sekaligus menghirup udara yang lebih segar. Lentera yang terpasang di luar rumah masih belum kumatikan, sehingga suasana di teras tidak begitu gelap. "Bagaimana kau bisa setenang ini? Mereka ingin membawamu dan pasti mereka punya tujuan tertentu."

"Aku pun berpikir begitu," Aku mengamati kerikil yang tersebar di halaman. "Aku ketakutan Jun, sangat takut sampai tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Bagaimana bisa aku melarikan diri dari orang terkuat kedua di kekaisaran ini?"

Junuran mendesah, sepertinya memahami ketakutan yang kurasakan.

"Shongra mungkin ingin menggunakanmu untuk mengganggu Shonja," komentar Jun.

"Mungkin," Aku tersenyum kecut. Jika dipikir baik-baik, untuk apa seorang bangsawan mau berurusan dengan rakyat jelata sepertiku?

"Apa kau sudah menyiapkan semua keperluanmu?" tanyanya.

"Sudah."

"Bagaimana dengan keluargamu?"

Ini pertanyaan yang agak sulit kujawab. Jujur saja, aku tidak punya cukup keberanian untuk menceritakannya pada ibuku. Aku takut beliau terkejut dan jatuh sakit. Namun, ternyata itu hanya kekhawatiranku semata. Ibu memang tidak mengalami syok saat mendengar ceritaku, tetapi beliau diam cukup lama, hingga aku beranggapan beliau tidak mendengarku dengan baik.

"Mereka sudah kuberitahu," Aku memeluk kedua kakiku, tiba-tiba merasakan dingin yang cukup menusuk karena memikirkan apa yang akan terjadi pada keluargaku bila aku meninggalkan mereka. "Yunda... sedih, tetapi beliau diam saja. Mila dan Hessa tidak berkomentar, tetapi Erau dan Athila hampir menangis karena akan kutinggal lama."

Jun mengatupkan rahang sambil memalingkan pandangan ke lain arah.

"Seandainya aku bisa, tentu aku akan ikut bersamamu," geramnya.

Dia terikat dengan perintah Tuan Shui untuk menjaga perbatasan, sehingga meski sangat ingin pergi bersamaku ke Shasenka, dia tak bisa melakukannya. Dia harus tinggal di desa.

"Aku meminta Lokha untuk menjagamu," lanjutnya.

"Pernikahan kita terpaksa ditunda," timpalku.

Keheningan kembali jatuh di antara kami. Jika Perdana Menteri tidak mengusik kami, seharusnya dua bulan lagi kami menikah. Gaun pernikahanku sudah hampir selesai, begitu pula jubah Jun. Tinggal sedikit lagi, maka persiapan kami akan tuntas.

Junuran meraih tanganku, kemudian meremasnya perlahan. "Segera setelah kau kembali dari Shasenka, kita akan menikah."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum lebar, "Ya. Kau harus jaga diri baik-baik ketika aku tidak ada. Jangan sampai saat pulang nanti, aku tidak dapat mengenalimu karena kau berubah jadi orang lusuh, jelek, dan tidak terawat."

Junuran tertawa mendengar omonganku. "Kau juga jangan terlalu banyak makan di sana. Ibukota berbeda dari desa, banyak sekali makanan lezat yang bisa membuat badanmu membengkak."

"Enak saja," Aku berusaha mencubit lengannya yang mampu dihindarinya dengan mudah. Kemudian dengan satu tarikan ringan, dia memelukku. Aku bisa mencium aroma tubuhnya, paduan antara keringat, tanah, serta aroma hutan yang mengingatkanku saat kami sedang merawat tanaman di kebun.

"Hati-hati di sana," katanya, setengah berbisik padaku. Nadanya terdengar sedih dan putus asa, membuatku turut merasakan kegelisahannya.

"Tolong jaga keluargaku baik-baik," pintaku lirih.

"Jangan lupa membawa Shonasai. Itu bisa saja berguna untuk saat-saat mendesak," timpalnya.

"Lindungi desa ini baik-baik. Jangan sampai kau membiarkan mereka menyerang tempat ini."

"Aku akan memberitahu Shonja tentang masalah ini."

Kami kembali diam dan aku bisa merasakan pelukan Jun semakin erat. Dia tidak ingin membiarkanku pergi ke Shasenka, tapi dia tidak bisa menahanku. Membawaku lari dari masalah ini pun hanya akan membawa masalah baru yang lebih rumit. Aku hanya bisa berharap, Perdana Menteri tidak merencanakan sesuatu yang keji untukku.

"Aku mencintaimu, Jun," kataku pelan. "Terima kasih atas hari-hari yang kau habiskan bersamaku."

"Jangan bicara seolah-olah kau akan pergi selamanya," bisiknya lirih.

Aku tersenyum. Setidaknya, aku sudah menyampaikan pesan terakhirku untuknya. Jika besok utusan Perdana Menteri membunuhku, aku tidak akan memiliki penyesalan karena telah mengungkapkan perasaanku pada Jun.

"Jika aku tidak bisa kembali dari Shasenka, hiduplah yang benar dan cobalah selalu bahagia," Aku melepaskan diri darinya.

Tatapan Jun terlihat menyedihkan.

"Berjanjilah, Jun."

Walaupun enggan, dia mengangguk pelan.

Setelah berbincang agak lama, aku menyuruh Jun kembali ke markas prajurit. Dia kelelahan dan butuh istirahat. Aku tidak tega menahannya lebih lama di rumah. Meski singkat, besok kami masih memiliki waktu untuk bertemu. Saat aku memasuki kamar untuk beristirahat, rupanya Inaike sudah berada di dalam dan sedang mengamati Shonasai yang diberikan Tuan Shui. Dia berada dalam wujud manusianya, terlihat menawan dalam cahaya putih yang berpendar lembut dari tubuhnya.

"Bukannya tidak sopan memasuki kamar anak perempuan malam-malam begini?" komentarku sesaat setelah menutup pintu.

"Kau terlihat sangat pasrah," Inaike tidak menanggapi pertanyaanku.

"Memang apalagi yang bisa kulakukan?" Aku tersenyum sedih, lalu terduduk di lantai kamar. "Apa aku bisa kabur darinya? Itu hanya mendatangkan masalah untuk kami."

Inaike menghela napas, lalu meletakkan Shonasai di atas meja. "Mereka memang senang menyusahkan orang lain," dia beranjak untuk duduk di sisiku.

Hawa dingin di sekitarku berubah menjadi hangat. Aku menekuk kedua kaki, kemudian menelungkupkan wajah untuk menyembunyikan ekspresiku di balik lutut. "Cobaan apalagi yang diberikan Tadakhua padaku?" Aku tak bisa lagi menahan getaran dalam suaraku. Sudah cukup lama aku menahannya dan kini, aku nyaris tak punya kekuatan lagi untuk menahan semua ketakutan sekaligus kengerianku. Perlahan-lahan, air mataku turun bersamaan dengan isakan yang keluar dari mulut.

"Posisimu saat ini mengingatkanku pada anak itu," Inaike mengusap kepalaku dengan lembut. "Dia pun mengalami hal yang sama, walau akhir ceritanya sangat mengenaskan."

"Dia mati?" tanyaku dengan suara serak.

"Ya," jawaban Inaike terdengar sendu. "Bocah itu mati demi mempertahankan kerajaannya."

"Aku bukan pahlawan yang mempertahankan kerajaan. Dan aku tidak mau mati."

"Tapi kau berusaha mempertahankan desa dan keluargamu," balasnya tak acuh. "Kuanggap kalian setara."

Ah sudahlah, lebih baik mengalah dari pada meneruskan perdebatan konyol ini.

"Siapa dia?" Aku mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya, membiarkannya melihat tampangku yang penuh dengan air mata serta ingus.

"Anak kecil yang mengajariku banyak hal," Inaike tersenyum sambil menggerakkan jemarinya ke arah keranjang sulamku. Sebuah kain tipis berbentuk persegi melayang dari sana dan jatuh di atas kepalaku. "Dia punya semangat hidup yang besar, tetapi Tadakhua lebih mengasihinya. Usianya delapan belas tahun ketika terbunuh dalam perang."

"Dia bukan anak kecil lagi, tetapi orang dewasa," komentarku.

"Bagiku, dia tetap anak kecil," Inaike mengerutkan dahi. "Umurku tidak bisa disandingkan dengan umur kalian."

Rasanya aku ingin memutar mata mendengar kesombongannya. Apa bagusnya memamerkan bahwa usianya sudah sangat tua?

"Siapa dia?" aku mengulang pertanyaanku sambil membersihkan wajah dengan kain yang diambilkan Inaike.

"Anak salah satu bangsawan di Shoryaken dulu, yang punya keberanian dan kesetiaan yang sangat besar. Di saat semua orang menjadi pengecut, dia yang berani berjalan di depan dan mengajarkan pada mereka apa arti bertahan dan memiliki harapan," jawabnya. "Apa kau mau mendengar ceritaku tentangnya?"

Aku mengangguk pelan. Lalu dimulailah kisah Inaike mengenai bocah bernama Haerim—anak seorang komandan pasukan kerajaan Jhinim (nama provinsi Shoryaken sebelum diambil alih oleh Utharem), yang punya semangat luar biasa dan keceriaan yang melebihi anak-anak seusianya. Haerim sama sepertiku, dia dianugerahi kemampuan melihat Jugook.

Pada waktu itu, Inaike masih menjaga perbatasan barat Shoryaken. Dia tinggal di daerah yang sama dengan bocah itu dan sering bertemu dengannya, karena anak itu suka mengunjungi pos perbatasan tempat ayahnya bekerja. Walaupun diberkahi dengan kemampuan fisik yang baik serta akal yang cerdas, nasib Haerim tidak terlalu bagus.

Ayahnya tewas saat pertempuran melawan Mirmizdi. Ibunya kemudian menikah lagi dengan adik ayahnya, tetapi itu justru mendatangkan kesengsaraan bagi kehidupan Haerim. Pamannya yang sudah lama iri pada kemampuannya memperlakukannya dengan keras, sehingga Haerim terpaksa tidak menonjolkan kemampuannya di depan paman serta adik tirinya.

Kesehariaan Haerim pun berubah. Keceriaannya berkurang, tetapi senyumnya tetap mengembang. Walau pun keluarga barunya menekannya, dia tetap menjalani hari seolah semua baik-baik saja. Sampai kemudian, Mirmizdi kembali menggempur Jhinim. Semua orang ketakutan dengan serangan saat itu. Tidak seperti serangan sebelumnya, serangan waktu itu meluluhlantakkan setengah pasukan Jhinim.

Paman Haerim ketakutan. Dia yang menggantikan posisi ayah Haerim pun lari dari medan perang, memaksa Haerim yang saat itu sudah menjadi prajurit untuk mengambil alih komando pasukan.

"Kami bertempur bersama," Inaike menatap telapak tangannya, seolah-olah tengah mengingat sesuatu dari sana. "Bocah itu berjuang di sisiku, kami mati-matian memukul mundur pasukan Mirmizdi yang didukung Martimuran. Dan dia meninggal sebagai pahlawan. Dia mengorbankan dirinya sendiri demi kedamaian Jhinim yang tidak tahu diuntung."

Ada nada marah dalam suaranya.

"Orang-orang itu tidak menghargai pengorbanannya, mereka justru tertawa dan bersikap kalau semua itu sudah menjadi kewajibannya." Tatapannya berkobar oleh amarah terpendam. "Mereka makan dan minum dengan nyaman di balik benteng, tak memedulikan sedikit pun jerih-payah pasukan yang gugur melawan musuh. Seandainya Tuan Shorya mengijinkan, pada waktu itu aku pasti sudah menghancurkan Jhinim dengan tanganku sendiri. Sayang, Tuanku melarangku turut campur lebih jauh dalam urusan manusia."

"Kau sangat membenci mereka?" tanyaku pelan.

"Sangat," Senyum Inaike terlihat getir. "Karena itulah, aku membenci para bangsawan. Kehidupan, sikap, pilihan mereka, aku benci semuanya."

Aku termenung mendengar ceritanya barusan. Antara aku dan Haerim, apanya yang mirip?

"Kurasa tidak ada mirip-miripnya sama sekali kisahku dan kisah Haerim," komentarku. "Kau hanya mau menceritakan tentang Haerim."

Inaike memutar mata.

"Bukan pada kisahnya, tetapi watak," gerutunya. "Kalian sama-sama berusaha menghadapi sesuatu untuk melindungi yang lain, walau itu pilihan terburuk. Selain itu, kalian juga punya tekad yang kuat serta hati yang baik."

Inaike tidak sedang memuji, kan? Iya, kan? Bukan seperti Inaike bila dia mau memuji seseorang.

"Lalu, bagaimana kau bisa berakhir di sini?" tanyaku lagi.

"Setelah Utharem menduduki Jhinim, aku memilih mundur dan mencari tempat yang lebih tenang. Bukit Inai menjadi pilihanku," jawabnya pelan. "Selama ratusan tahun tinggal di sini, aku cukup puas dengan kehidupan damaiku."

"Tapi karena kita menolong salah satu ningrat, kedamaian yang kau sukai sepertinya sedikit terusik," Aku meringis kikuk.

"Mungkin seharusnya kita membunuhnya waktu itu." Air muka Inaike terlihat keruh.

Kali ini giliranku yang mengerutkan dahi. "Bicara saja sendiri!"

Inaike terkekeh. "Kau memang anak yang baik, sama sepertinya," Dia kembali menepuk-nepuk kepalaku. "Karena kau anak baik, aku punya hadiah untukmu."

Cahaya putih bersinar di telapak tangannya, membuat pandanganku silau untuk sesaat. Begitu sinar tersebut lenyap, muncullah sebuah kalung berliontin tanduk rusak berwarna hitam di telapak tangannya.

"Apa itu?" Aku menatapnya heran.

"Hadiah," Inaike memakaikannya di leherku.

"Apa ini?" tuntutku sambil mengamati liontin kalung yang bercabang-cabang.

"Benda yang membuat kita terikat," ucapan Inaike membuatku mendongak ke arahnya.

"Mungkin akan sedikit sulit memanggilku di tempat yang jauh, apalagi bila itu daerah kekuasaan Shasenkai. Namun, anggaplah ini seperti jimat pelindung. Jangan lepaskan apa pun yang terjadi."

"Jika aku dalam bahaya, aku bisa memanggilmu atau benda ini langsung melindungiku?" Aku menatap bingung liontin pemberian Inaike.

"Dua-duanya," jawab Inaike. "Tapi untuk memanggilku, kau tidak bisa menggunakan namaku yang sekarang."

"Maksudmu?"

"Kau harus memanggil nama sejatiku untuk memanggilku dari jauh," jawabnya. "Jadi ingat baik-baik nama ini, Khu'ur zii. Itu nama sejatiku."

Yang menguasai hutan dan tanah, itu arti nama sejatinya.

(13 Mei 2018)

Kamus:

Shongra = Panggilan / Sebutan bagi Perdana Menteri.

Shonja = Panggilan / Sebutan bagi Jenderal Kekaisaran.

-----------------------------

Yeah...., sebenarnya saya nggak ingin memenggalnya di bagian ini sih. Namun kalau diselesaikan dalam satu part, rasanya kepanjangan. Bacanya juga jadi nggak nyaman karena terlalu panjang, jadi saya penggal jadi 2 bagian.

Apa yang direncanakan Paman Shui pada Sheya?

Nantikan episode selanjutnya :D:D

Dukung cerita ini dengan memberikan vote, komen, maupun kritik-sarannya ya~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro