Bab 35. Shuikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sheya akan menjadi istrinya?

Lelucon apa ini?!

Bagaimana mungkin gadis itu ada di sini? Kenapa orang-orang rumah tidak mengirim pesan bahwa Sheya dibawa ke Istana? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Shui, tetapi tak ada satu pun yang ia lontarkan pada Rheiraka yang berdiri di sisinya. Ketika melihat kesenangan di wajah adik lelakinya, tahulah Shui, bahwa Rheiraka telah merencanakan ini sebelumnya.

Rhei tahu tenang Sheya. Dia tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Sheya. Adiknya berupaya memanfaatkan hal ini untuk menurunkan reputasinya! Bila Sheya menjadi istrinya, maka jalan untuk membentuk aliansi melalui pernikahan akan sulit dilakukan. Tidak akan ada bangsawan yang mau anak-anak perempuan mereka berstatus di bawah rakyat jelata. Rupanya, ketika Rhei membahas tentang pernikahan di ruang kerjanya waktu itu adalah untuk mengambil langkah ini!

Shui tertawa kecut dalam hatinya. Rupanya pengabdian dan kesetiaannya selama ini belum cukup untuk menghilangkan kecurigaan Rhei. Sekarang, dia dipaksa untuk menggadaikan perasaannya juga! Hati Shui serasa disayat sembilu, karena menyadari besarnya ketidakpercayaan Rhei terhadapnya.

Namun, ia berupaya menyikapi masalah ini dengan tenang. Ekspresinya melunak dan berubah menjadi lebih bersahabat, terutama ketika melihat mimik wajah Sheya yang tampak seperti kelinci yang terperangkap di sarang harimau.

"Ammu suka dengan pilihanku?" Rheiraka menoleh ke arah Shui sambil menyunggingkan senyum yang cemerlang.

Bagaimana dia bisa bilang tidak, bila Rheiraka tidak memberinya kesempatan untuk menolak? Shui hanya tersenyum, tanpa membantah atau pun mengiyakan.

Rheiraka menyuruh kedua dayang tersebut untuk menghadapkan Sheya pada para tamu undangan, seolah dia adalah barang pajangan yang pantas dipertontonkan. Shui semakin muram melihat adiknya memperlakukan Sheya seperti itu. Secara tidak langsung, Rheiraka mempermalukan Sheya dan mencoreng namanya pula.

"Gadis ini merupakan calon istri Ammuren," Rheiraka memperkenalkan Sheya dengan bersemangat, tanpa memedulikan bahwa gadis itu sebetulnya sudah ingin menangis. "Dia merupakan gadis yang tidak sengaja ditemui Ammuren ketika bertugas di perbatasan timur Shenouka. Gadis ini yang menolong dan merawat Ammu saat terluka di sana."

Shui tidak tekejut mendengar adiknya membumbui kisah pertemuannya dengan Sheya.

"Ammuren sangat mencintai gadis ini, hingga membawanya ke kediamannya dan tinggal bersamanya," Rheiraka memberikan tatapan simpati ke arah Shui, tanpa memedulikan bahwa pernyataannya sudah merusak nama baik Sheya maupun Shui.

Bagi Shui, hal tersebut bukan masalah besar. Namun untuk Sheya yang belum menikah, ini adalah masalah serius! Dia akan dianggap sebagai gadis murahan, karena tinggal bersama lelaki yang bukan keluarga maupun suaminya!

"Hamba bisa menjelasakan—,"

Rheiraka tidak membiarkan Shui bicara, karena dia langsung berujar, "Ammu, apa pun pilihanmu, aku akan mendukungmu," ucapnya mantap. "Sekalipun gadis ini berasal dari golongan rakyat jelata, aku akan tetap merestui pernikahan kalian. Karena itu, kau tidak perlu malu untuk meresmikan hubungan kalian."

"Bukan begitu, Yang Mulia," Shui membantahnya. "Nona Sheya memang menolong dan merawat saya, ketika saya terluka di Shamasinai. Namun, hubungan kami tidak seperti itu!"

Rheiraka mendecakkan lidah sambil menggelengkan kepala. "Tidak perlu merasa malu padaku, Ammu." Dia menyodorkan tangannya pada kepala kasim dan menerima sebuah gelang giok berukir yang tak lain merupakan tanda pertunangan Sheya dengan Junuran. "Jika kalian tidak saling mencintai, bagaimana bisa kau mengizinkannya tinggal di kediamanmu dan bahkan memberinya gelang sebagai tanda mata dalam pertunangan kalian?"

"Shenka....," Shui merasakan emosinya dipermainkan, hingga berada di titik kesabarannya hampir habis. Tapi sebelum Shui meninggikan suaranya lebih jauh, Sheya sudah jatuh berlutut di depan Rheiraka sambil terisak-isak. Dia bahkan merendahkan dirinya lebih jauh dengan bersujud di depan kaki penguasa Shenouka.

"Hamba menolak dinikahkan dengan Jenderal Shuikan, Yang Mulia," ucapannya membuat seisi balairung ribut.

Orang-orang yang mulanya diam karena kebingungan dengan apa yang terjadi, mendadak mencela ketidaksopanan Sheya lantaran menolak kemurahan hati Penguasa Shenouka.

"Apa yang Yuuni lakukan?" pertanyaan Rheiraka semanis madu, tetapi gerak-geriknya menunjukkan sebaliknya. Melalui isyarat mata, dia menyuruh kedua dayang yang tadi mengantar Sheya untuk memaksa gadis itu berdiri. "Karena aku sudah merestui kalian, jangan merasa malu atau pun rendah diri, hanya karena Yuuni berasal dari golongan biasa."

Tegurannya begitu halus, tetapi menyakitkan untuk didengar Shui maupun Sheya.

"Hamba....," Sheya menelan ludah, masih berkeras untuk bersujud di depan Rheiraka, meski kedua dayang yang mendampinginya memaksanya untuk berdiri. "Hamba hanyalah sebutir batu di tanah, tidak mungkin bersanding dengan bintang di langit. Sungguh celaka bila hamba ingin menjadi istri Jenderal Shui sang harimau putih dari Shasenka."

Senyum di wajah Rheiraka perlahan-lahan meredup, begitu pula kesabaran dan kebaikan hatinya turut sirna. Dia terlihat tidak sabar saat menatap Sheya, karena gadis itu tidak mau menuruti kemauannya.

"Berdirilah, Yuuni!" Nada suaranya terdengar lebih dingin dan tegas. "Terimalah restuku untuk menikahi Ammuren."

"Hamba tidak berani, Yang Mulia." Suara Sheya bergetar, begitu juga dengan tubuhnya yang gemetaran.

Shui hanya bisa memandangnya iba. Bila ia ikut bicara di sini, maka situasinya akan semakin tidak baik untuk mereka berdua, karena itu, ia memilih diam.

"Beraninya kau menolak keputusanku!" Rheiraka terlihat berang. "Kau mau membiarkan Ammuren kesepian seumur hidupnya?! Gadis lancang! Hanya karena Ammuren mencintaimu, kau berani bersikap kurang ajar?!"

Demi Tadakhua, Shui ingin tertawa sekaligus menangis mendengar adiknya memutar-balikkan fakta sedemikian rupa, hingga mereka berdua terlihat seperti sepasang kekasih yang menolak untuk dinikahkan. Adiknya bahkan lebih hebat dari para seniman yang bersandiwara saat pertunjukan tadi! Sikapnya begitu meyakinkan di depan para pejabat, bangsawan, maupun pedagang berpengaruh, seakan-akan dia sangat memperhatikan kakaknya dan menginginkan yang terbaik untuk Shui.

"Hamba tidak berani menerima pernikahan ini," Sheya sekali lagi menolak tanpa mempertimbangkan bahaya bagi dirinya bila berani menentang perintah Kaisar.

"Bahkan bila keluarga serta desamu dihancurkan karena penolakanmu ini?"

Sheya membeku di tempat ketika mendengar pertanyaan itu. Air matanya berhenti sesaat, sebelum akhirnya kesadarannya kembali.

"Yang Mulia bisa menghukum mati saya atas kesalahan saya, tetapi... mohon jangan melibatkan keluarga atau pun desa saya." Isakannya terdengar memilukan. "Saya berani menanggung semua hukuman yang Baginda berikan."

"Sombong sekali," cibir Rheiraka. "Aku memberimu kesempatan untuk bahagia bersama Ammuren, tetapi kau menolaknya mentah-mentah. Kau juga memilih dihukum mati dan menyodorkan keluarga serta penduduk desamu sebagai penebus kesombonganmu ini?! Dasar gadis bodoh!"

Tubuh Sheya menggigil semakin kuat.

"Bawa gadis ini ke penjara!" seru Rheiraka sembari menyibak jubahnya dan beranjak menuju singgasananya kembali. Semua orang bisa melihat kegusarannya. "Perintahkan pada algojo untuk memenggal kepalanya besok pagi dan persiapkan satu pasukan untuk melenyapkan desanya tanpa ada yang tersisa!"

Bukan hanya Shui yang tercekat mendengar perintahnya, melainkan seluruh tamu undangan yang hadir di balairung.

"Shenka," Narashima berdiri untuk meredam situasi yang memanas. "Tidakkah berlebihan dengan melenyapkan satu desa hanya karena kesalahan seorang gadis?" tegurnya lembut.

"Jika gadis ini bisa melawanku, bukan tidak mungkin orang-orang dari desanya juga akan menentangku!"

"Apa yang bisa dilakukan sekelompok petani miskin di perbatasan, Yang Mulia?" Imam Agung turut menengahi keadaan supaya tidak bertambah runyam. "Mereka tidak ada apa-apanya dibanding pasukan Yang Mulia. Mohon Yang Mulia mempertimbangkan kembali keputusan Yang Mulia."

"Tidak!" Rheiraka berkeras dengan perintahnya tadi. "Gadis itu akan dihukum mati besok dan desanya juga akan dilenyapkan! Itu akan menjadi contoh bagi orang-orang yang ingin menentangku!" Tatapannya beralih pada Shui yang dari tadi diam saja. "Mereka yang menentang harus mati!"

Ini adalah isyarat.

Shui memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam. Adiknya tidak akan mengubah pendiriannya bila bukan ia yang membujuknya. Keselamatan Sheya dan desanya berada di tangannya. Rheiraka berupaya mendesaknya semakin jauh.

"Bawa gadis itu sekarang!"

"Baik," kedua dayang tersebut memaksa Sheya untuk berdiri dan menariknya ke luar balairung Shasuiren.

Meski Sheya berteriak dan memohon-mohon supaya Rheiraka melepas keluarga dan desanya, tetapi Rheiraka menulikan diri atas permintaannya. Ekspresinya terlihat dingin dan acuh tak acuh.

Di sisi Kaisar, Permaisuri Meiyari yang sedari tadi melihat semuanya dalam diam, menyesap tehnya perlahan-lahan sebelum berucap, "Mengapa harus mengundang kesedihan di tengah kebahagiaan, Shenka?" Pertanyaannya menyentil perhatian Rheiraka.

"Seharusnya Shenka tidak membawanya kemari," lanjut Meiyari.

Rheiraka hendak membalas ucapan ratunya, tetapi teriakan histeris dari luar balairung mengalihkan perhatian seluruh orang yang berada di dalam balairung.

"Ada apa?" Rheiraka berdiri dari singgasananya lagi. Rupanya... belum cukup kericuhan yang terjadi akibat penolakan gadis itu terhadap titahnya.

Seorang penjaga tergopoh-gopoh masuk ke balairung. Tubuhnya terlihat mengerikan, karena terbasuh oleh darah. Semua orang menatapnya ngeri dan mulai ketakutan. Benak mereka dipenuhi pertanyaan, apakah istana diserang?

Shui langsung waspada ketika melihat darah di tubuh penjaga tersebut. Dia memberi isyarat pada beberapa pejabat militer untuk berdiri dan bersiap menerima perintah untuk mengamankan istana. Namun, apa yang disampaikan penjaga tersebut membuat semua orang tertegun.

Darah tersebut ternyata bukan karena ada penyerangan, melainkan...

"Hujan darah....," air muka penjaga tersebut terlihat ketakutan. "Hujan darah! Di luar sedang terjadi hujan darah, Yang Mulia!"

"Jangan bicara sem—," Rheiraka langsung menutup hidungnya dengan lengan jubahnya, karena mencium aroma anyir yang terbawa masuk oleh angin dari luar balairung. Gemuruh langit terdengar disertai suara air yang turun dengan deras. Sesekali kilat terlihat bersamaan dengan petir yang menyambar.

Dari dalam sini, semua itu terdengar seperti suara hujan biasa. Namun, saat Rheiraka turun dari singgasananya dan melihat apa yang terjadi di luar, lelaki itu tahu... bahwa apa yang dikatakan penjaga tadi bukan kebohongan.

Orang-orang kembali ribut, kali ini dengan alasan yang berbeda.

"Ini darah...," salah satu tamu undangan pucat pasi setelah menampung hujan yang turun dengan salah satu tangannya. "Ini benar-benar darah!" Dia segera membuang air di tangannya dan mundur ke belakang.

"Apa kita sedang dikutuk?" Salah satu tamu undangan lainnya menyahut. "Kenapa hujan darah yang turun? Apa Tadakhua murka pada kita?!"

Telinga Rheiraka memanas mendengar ucapan itu. "Hujan ini hanyalah hujan biasa! Bukan kutukan!"

"Hujan darah bukan hujan biasa, Yang Mulia!" sanggah seorang tamu lelaki. "Ini adalah pertanda, bahwa akan terjadi malapetaka di Shenouka!"

"Jangan bicara omong kosong!" Air muka Rheiraka merah padam karena amarah. Namun, tak ada satu pun yang bisa ia katakan untuk menyatakan hujan darah ini tidak akan mendatangkan apa-apa. Dalam sudut hatinya, Rheiraka merasakan kecemasan yang menekan.

"Imam Agung!" Rheiraka mencari-cari Baiyuyin.

Sang Imam Agung, yang rupanya berdiri tak jauh darinya, menyahut dengan tenang. "Ya Yang Mulia?"

"Apa yang terjadi?" Rheiraka berjalan ke arahnya dan secara spontan orang-orang memberinya jalan. "Kenapa hujan darah turun? Bukankah kemarin masih baik-baik saja?"

Tatapan Baiyuyin mengarah ke langit yang ditutupi awan mendung. Kilat dan guntur bergantian terlihat, dan aroma anyir darah semakin kuat, mengakibatkan orang-orang menutupi hidung mereka dengan lengan jubah.

"Saya merasakan ada sesuatu yang salah," Baiyuyin memasukkan kedua tangannya ke dalam lengan jubah putihnya yang lebar. "Ada sesuatu yang aneh," Dia memejamkan mata, seolah merasai suatu kejadian yang tidak nyata. "Kelihatannya, ada yang sedang bermain-main dengan kekuatan semesta."

Air muka Rheiraka memucat bercampur dengan kemarahan. "Siapa yang melakukannya?!"

"Hamba tidak berani mengatakan atau pun menuduh," Baiyuyin membungkuk takzim. "Tapi jika Yang Mulia berkenan, Hamba bisa mencari pelakunya."

"Kuizinkan Imam Agung untuk mencarinya," geram Rheiraka. "Kuberi waktu selama seminggu. Harus ada perkembangan dalam masalah ini."

"Baik, Yang Mulia." Baiyuyin mengangguk paham.

Setelah memberikan pesan seperti itu, Rheiraka mengibaskan lengan jubahnya dan beranjak meninggalkan balairung Shasuiren. Suasana hatinya tidak mendukungnya untuk melanjutkan perayaan ini kembali. Di dalam sana, sudah pasti banyak mulut yang akan membicarakan hal-hal miring mengenai sebab-musabab atau pun akibat dari hujan darah ini muncul. Rheiraka tidak mau membebani pikirannya dengan gunjingan orang-orang.

Karena Kaisar sudah kembali ke ruangannya, Permaisuri Meiyari pun pamit mundur untuk kembali ke ruangannya sendiri. Seharusnya beliau kembali ke paviliun Yueyuunsui yang berada di sisi timur Shasuiren, tetapi karena hujan masih turun dengan deras, kemungkinan dia akan tinggal di salah satu kamar di istana Shasuiren.

Kini, tinggallah para tamu undangan yang kebingungan menghabiskan waktu itu balairung Shasuiren. Sebenarnya mereka ingin pulang ke rumah masing-masing, tetapi hujan darah masih turun. Mau nekat menerobos hujan, mereka tidak berani. Jadilah mereka hanya duduk-duduk di balairung sambil berbincang dengan resah.

Semua menebak-nebak apa yang akan terjadi nanti.

"Kejadian alam yang tidak biasa," komentar Kanashiam sehabis melihat hujan yang turun di luar sana. Sebelumnya, ekspresinya terlihat muram dan tidak senang, tetapi kali ini raut wajahnya berubah menjadi lebih cerah. "Ammu Shenka pasti akan kewalahan menghadapi gunjingan yang akan muncul." Dia duduk kembali di kursinya dan menyantap salah satu kudapan manis dengan lahap.

"Ammuren terlihat gembira dengan kemalangan yang menimpa Ammu Shenka," Arakaita mengerutkan dahinya. Sedari tadi dia duduk di kursinya, tanpa berniat melihat kehebohan yang terjadi di luar balairung.

"Dia sudah menyebabkan banyak kesulitan padaku, kenapa tidak gembira melihat kemalangannya?" Kanashiam tersenyum manis. "Munafik namanya bila aku ikut sedih atas kesialannya."

(13 September 2019)

--------------------------

Note:

Aaaaaa...... saya nggak bisa sabar untuk menyelesaikan satu rangkaian adegan ini. Di dalam kepala saya, sebenarnya sudah ada satu gambaran utuh mengenai kejadian yang akan berlangsung hingga ke jenjang pernikahan Shui dan Sheya.

Tapi saya cicil segini dulu, ya...

Dan untuk bab selanjutnya, mari kita mulai dari sudut pandang Rheiraka :D

Jangan lupa, vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro