Bab 36. Rheiraka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hujan darah, hujan darah, hujan darah sialan!

Rheiraka membanting mahkotanya tanpa memedulikan dua permata terlepas akibat perbuatannya barusan. Belum cukup membanting mahkota, dia pun mencampakkan jubah kebesarannya ke lantai, kemudian membanting semua barang-barang di dalam ruang kerjanya. Kemarahannya membara seperti kobaran api, membuat abdi-abdinya menggigil ketakutan. Tempramen Rheiraka memang buruk, tetapi yang lebih buruk adalah menghadapi kemurkaannya.

Kepala Kasim yang berupaya membujuknya pun mendapat satu lemparan vas bunga. Untunglah dia bisa menghindar, sehingga tidak perlu mendapat luka serius. Akhirnya, setelah memungut mahkota serta jubah yang ditinggalkan Rheiraka, sang kepala kasim pun terbirit-birit keluar dari ruang kerja bersama kepala pengawal kerajaan. Mereka menunggu di luar ruang kerja, membiarkan kaisar mereka bersumpah-serapah seperti orang gila sambil memecahkan barang-barang.

Narashima yang datang melihat keadaan Rheiraka sudah menduga bahwa keponakannya akan mengamuk. Dia tahu apa yang dipikirkan keponakannya, sehingga tidak terkejut melihatnya marah-marah seperti orang gila. Ketika hendak membuka pintu ruang kerja, kepala kasim memberi larangan secara halus.

"Shongra, Shenka dalam keadaan tidak baik," Kepala kasim menundukkan kepala dalam-dalam di depan Narashima. "Lebih baik Shongra membiarkan Shenka sendiri lebih dulu."

"Jika dibiarkan, tindakannya akan menarik lebih banyak gunjingan," Narashima menghela napas. "Dia keponakan sekaligus anakku, aku tahu apa yang harus kulakukan padanya."

Setelah berkata demikian, Narashima membuka pintu dan langsung disambut dengan kekacauan yang menyedihkan. Dokumen-dokumen terlempar ke sana-kemari. Tinta tulis tumpah dan menghitamkan lantai. Kertas-kertas behamburan di atas pecahan-pecahan porselen. Asisten-asisten para Menteri sudah tentu harus menulis ulang semua laporan-laporan mereka sebelumnya dan para dayang akan bekerja lebih keras untuk membereskan semua kekacauan ini.

Narashima memperhatikan keadaan di dalam ruang kerja Rhei tanpa menyadari bahwa Rheiraka sudah berhenti mencaci-maki dan kini sedang balas menatapnya dengan beringas.

"Untuk apa Rammui kemari?" geram Rhei.

Perhatian Narashima beralih pada keponakannya yang kini tampak memprihatinkan. Penampilan Rhei sama kacaunya dengan ruang kerjanya. Tinta hitam mengotori bajunya dan rambutnya mencuat ke sana-sini, lepas dari ikatannya yang rapi. Mata hitam Rhei memandanginya dengan penuh permusuhan, seolah-olah dia adalah musuh bebuyutan yang harus disingkirkan. Namun, Narashima tidak terpengaruh dengan tatapan itu.

"Ini bukan masalah besar, Shenka. Tidak perlu menyikapinya dengan serius."

"Tidak perlu menyikapinya dengan serius?" Rhei mengulang kata-kata Narashima sambil tersenyum miring. "Menurut Rammui, masalah ini bisa dilewatkan begitu saja?" nada suaranya mulai naik. "Hujan ini akan mereka gunakan untuk menyudutkanku! Aku bukan pemimpin pilihan Tadakhua! Hujan darah ini menunjukkan bahwa Shenouka akan dilanda kemalangan selama aku memimpin! Hujan ini adalah kutukan untuk Shenouka, karena aku masih duduk di kursi kaisar! Menurut Rammui kalimat-kalimat semacam itu bisa kulewatkan begitu saja?!"

Seruannya membahana hingga mencapai sisi lain lorong istana.

"Aku muak dengan gunjingan-gunjingan mereka!" Rhei sekali lagi membentak. "Ketika kemarau datang, mereka menyalahkanku! Ketika rakyat kelaparan, mereka juga menyalahkanku! Ketika hujan darah turun, mereka akan mengutukku!"

"Rheiraka," Narashima memanggilnya dengan sabar, membuat Rhei menatap nyalang ke arahnya. "Biarkan mereka bicara sesuka hati. Yang perlu kau pikirkan hanyalah memajukan kekaisaran ini. Jika kau terlalu mendengar apa yang dikatakan orang, itu hanya akan menyakiti hatimu."

Mudah mengatakannya! Rheiraka ingin berteriak seperti itu. Tapi sangat, sangat sulit untuk mengabaikan omongan mereka. Kata-kata mereka seperti pisau, yang mengiris-iris hati Rheiraka setiap kali mendengar isu-isu maupun gunjingan-gunjingan di luar istana.

Ketika dirinya naik takhta dan mulai memerintah kekaisaran, orang-orang justru mempertanyakan pilihan ayahnya. Kenapa justru dia yang diangkat? Kenapa bukan kakaknya yang dimahkotai? Sewaktu kemarau melanda hampir seluruh daratan Shenouka, orang-orang mengaitkan bencana tersebut dengan kepemimpinannya. Mereka juga mencibir tindakannya setahun lalu, ketika gagal memohon curahan hujan dari Penguasa Semesta.

Dari mana Rhei tahu?

Tentu karena dia mendengar semua gunjingan-gunjingan itu secara langsung, ketika sedang berkeliling di ibu kota. Dengan mengenakan jubah katun sederhana, dia pergi mengelilingi Shasenka bersama kapten pengawalnya. Dia melihat keadaan secara langsung dan merencanakan tindakan-tindakan untuk menyelamatkan mereka. Meski hasil dari pekerjaannya jauh dari kata memuaskan, tetapi Rhei berusaha keras untuk menjalankan amanat sang ayah. Menjaga Shenouka dan Shasenka seperti menjaga dirinya sendiri. Hanya saja...

"Shenka," panggilan itu mengalihkan pandangan Rheiraka dan Narashima.

Shui memasuki ruang kerja adiknya dan mengernyit melihat kondisi di sekitarnya yang kacau balau.

Amarah Rheiraka kembali meluap melihat kakak lelakinya di sini. Semua ini gara-gara dia! Semua karena Shuikan! Rheiraka mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Pandangan tajamnya beralih pada Narashima. Amarahnya telah bercampur dengan kebencian.

Shui telah merampok semua kepercayaan serta pujian masyarakat darinya, sedangkan Narashima selalu mengaturnya untuk melakukan ini-itu sesuai keinginannya. Ia muak pada kedua orang itu.

"Kalian berdua, keluar sekarang," Rheiraka mencengkeram pinggiran meja erat-erat.

"Shenka, saya ingin membicarakan tentang Sheya," Shui menolak untuk mundur. Besok Sheya akan dieksekusi, bila dia tidak menyelesaikan masalahnya sekarang, maka nyawa gadis itu akan melayang sia-sia.

"Ha?! Apa pedulimu pada gadis desa itu, Ammu?" Rheiraka tertawa melihat keseriusan dalam ekspresi kakaknya. "Kenapa tidak membiarkannya mati saja? Dengan begitu satu masalahmu akan hilang."

"Shenka!" Shui meninggikan suaranya. "Bagaimana kau bisa mengatakannya semudah itu?!"

"Tentu saja aku bisa!" bentak Rhei. "Aku Kaisar di sini! Aku penguasa kekaisaran ini!"

"Rhei," Narashima menegurnya. Dia tidak terlihat senang mendengar ujaran keponakannya.

"Apa?!" Rhei setengah menantang mereka. "Apa ada yang bisa melawan ucapanku tanpa dijatuhi hukuman mati?"

"Ada," seseorang menyahut, membuat perhatian ketiganya tertuju pada Permaisuri Meiyari yang kini memasuki ruang kerja suaminya dengan anggun. "Saya bisa melawan ucapan Shenka, tanpa dijatuhi hukuman mati."

Rheiraka tersenyum getir melihat permaisurinya berjalan ke arahnya.

"Ramma dan Ammuren bisa meninggalkan kami," Meiyari berhenti sesaat sambil menoleh ke arah keduanya.

"Baik, Permaisuri," Shuikan dan Narashima membungkuk, lalu mundur dari ruang kerja tersebut.

Pintu ruang kerja pun ditutup.

"Seharusnya kau kembali ke Yueyuunsui," Rheiraka membuang muka ke lain arah. Air mukanya semuram langit yang diliputi mendung.

"Di luar masih hujan, tidak mungkin aku kembali ke sana," Meiyari menghindari pecahan-pecahan keramik serta dokumen-dokumen yang bertebaran saat mendekati suaminya. "Lagi pula, aku tidak mungkin meninggalkanmu sendiri di sini."

Rasa panas menyengat kedua mata Rheiraka. Begitu istrinya mendekat, lelaki itu pun langsung memeluknya dan menyembunyikan wajahnya di lekukan leher wania itu. Tubuhnya gemetar bersamaan dengan tangisnya yang pecah.

Meiyari mengusap punggung suaminya, seakan memberi isyarat bahwa dia mengerti apa yang dirasakan suaminya saat ini.

"Aku benci mereka," ucapnya perlahan. "Aku sangat membenci mereka."

"Sudah bertahun-tahun kau hidup dalam kebencian itu, Rhei," Meiyari mengusap kepalanya. "Berhentilah menyakiti dirimu sendiri."

"Bagaimana aku bisa berhenti, kalau kehadiran mereka terus menyakitiku?" Rhei berusaha menelan kembali kemarahannya.

Shuikan dan Narashima merupakan orang yang paling mempengaruhi hidupnya. Ia tumbuh bersama mereka dan memahami banyak hal melalui mereka. Ketika kecil, Rhei sangat menyayangi kakak sulungnya. Dengan mudah ia bisa bercanda sekaligus bermanja-manja pada kakak lelakinya yang baik. Namun, ketimpangan kasih sayang serta kepercayaan yang diberikan ayah mereka membuat rasa sayang Rhei perlahan-lahan berubah menjadi kebencian.

Ayah mereka sangat memercayai Shuikan, bahkan selalu menyanjungnya di setiap kesempatan, terutama setelah kemenangan kakaknya dalam pertempuran di wilayah utara. Kakaknya mendapat gelar sebagai harimau putih Shasenka dan begitu dibanggakan oleh ayah mereka.

Mulanya, Rhei pun merasa bangga dengan prestasi kakaknya. Sebagai adik, dia selalu menyemangati apa yang dilakukan kakaknya, hingga suatu ketika, secara tidak sengaja Rheiraka mendengar ayahnya sedang mempertimbangkan kakaknya sebagai pewaris takhta.

Hal itu sudah tentu menghancurkan perasaan serta kepercayaan Rhei pada ayahnya. Dia menjadi mempertanyakan keunggulannya sendiri sebagai Putra Mahkota saat itu. Dia memang tidak bodoh, tetapi dia juga tidak terlalu pintar. Bela dirinya memang payah, tetapi tulisan sastranya sangat bagus. Bahkan beberapa cendikiawan sering beradu puisi dengannya, yang akhirnya dimenangkan olehnya.

Namun, sepertinya ayahnya tidak melihat hal itu. Bagi beliau yang lahir dengan tempaan keras, kekuatan adalah nomor satu di samping siasat. Kakaknya sudah pasti kuat dan pintar, memenuhi semua aspek yang diinginkan ayahnya. Bila bukan karena pertentangan sengit yang diberikan oleh pamannya, mungkin sekarang Shui-lah yang menempati posisi sebagai kaisar Shenouka.

Padahal, selama ini Rhei selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik. Dia selalu berusaha untuk membanggakan ayahnya. Namun, ayahnya hanya tersenyum pada semua pencapaiannya. Tidak pernah sekalipun Rhei mendengar pujian ayahnya terhadap prestasi-prestasinya.

Dan meskipun Narashima menjadi sosok pengganti ayahnya, yang mengajarkan semua ilmu-ilmu padanya, Rheiraka tidak pernah memercayainya sekalipun. Narashima dan ayahnya adalah musuh, meski di luar mereka terlihat akrab dan bersahabat. Pada dasarnya Narashima tidak menyukai ayahnya dan lebih benci lagi karena ibunya menjadi istri ayahnya.

Dalam kegamangannya, Narashima sering menganjurkannya untuk mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan ayahnya. Bukan sekali-dua kali Rhei harus berhadapan dengan amarah ayahnya karena tindakan tersebut, tetapi... entah kenapa Rhei menyukai perhatian yang diberikan ayahnya karena anjuran-anjuran pamannya. Dia pun menempatkan pamannya di sisinya dan sering mendengar nasehat-nasehatnya. Sayangnya, anjurannya hanya bisa dipakai ketika ayahnya masih hidup.

Kini, setelah ayahnya meninggal, nasehat-nasehat Narashima lebih sering diabaikannya. Dia tidak merasa membutuhkan kalimat orang tua itu, tetapi kekuasaannya dalam pemerintahan masih sangat kuat, hingga Rhei tidak bisa menyingkirkannya. Apalagi, istrinya merupakan anak pamannya. Rhei tidak bisa semudah itu melenyapkan pendukung utama Permaisuri.

"Seharusnya ini menjadi pesta yang meriah," lirih Rhei setelah perasaannya berangsur tenang. "Bukannya menjadi ajang tempat caci-maki."

"Yang menjadikannya sebagai tempat caci-maki adalah dirimu," Meiyari tersenyum kecil. "Tidak akan ada yang berani mencaci, selain kau di tempat ini."

Rhei memaksakan dirinya untuk tersenyum.

"Berhentilah menyulitkan dirimu sendiri," wanita berambut hitam gelap itu mengusap pipi suaminya yang basah. "Cobalah untuk melepaskan semua beban itu."

Rhei menggenggam tangan istrinya kemudian mengecupnya dengan perlahan. Amarahnya berangsur reda, bersamaan dengan perasaannya yang menghangat. Jika ada yang bisa menyanggahnya tanpa dijatuhi hukuman mati, memang hanya permaisuri yang bisa melakukannya.

"Kasim Saiha!" Rhei memanggil kepala kasimnya, yang langsung memasuki ruang kerja dengan terburu-buru.

"Ya, Yang Mulia?" pria tua itu membungkuk dalam-dalam ke arah Kaisarnya.

"Panggilkan Ammuren dan Shongra kemari."

"Baik," lelaki itu undur diri dari hadapan Kaisar dan Permaisuri.

Meiyari menatap suaminya, "Apa yang akan kau lakukan pada mereka?"

"Menyelesaikan masalah."

***

Rheiraka memandang Shui dan Narashima yang kini menghadapnya. Bersama permaisuri yang duduk di dekatnya, Rheiraka mulai menyelesaikan masalah yang dibuatnya tadi.

"Jika kau mau menikahi gadis itu, aku akan melepasnya, Ammu," Rhei memulai perbincangan di antara mereka. "Nikahi dia atau dia mati."

Muka Shui merah padam, terlihat penuh dengan kemarahan. "Dia sudah punya tunangan, Rhei! Dan sebentar lagi mereka akan menikah!"

"Apa peduliku?" Rhei mendengkus tak acuh. "Pilihanmu hanya dua, Ammu. Menikahinya atau dia mati. Tak ada pilihan lain."

"Kau sengaja melakukannya supaya aku tidak bisa menikahi anak bangsawan mana pun, bukan?!"

"Ternyata Ammu menyadarinya," Rhei tersenyum tipis. "Bukankah bagus bila Ammu menikahinya? Aku tidak akan lagi curiga pada Ammu dan Ammu bisa membina rumah tangga dengan gadis yang Ammu kenal. Apa itu belum cukup? Atau.... Ammu menginginkan Nuaniha?"

Dari sudut matanya, Rhei melihat tangan kakak lelakinya mengepal rapat-rapat. Sudah pasti, Shui sangat marah kepadanya, karena ia menyudutkannya sampai ke titik ini.

"Berhentilah menggangguku dengan tuduhan-tuduhan tidak masuk akal!"

"Sikap Ammu yang membuatku mengambil pilihan-pilihan itu."

Shui masih menolak pernikahan yang disodorkan Rhei, membuat lelaki itu bicara, "Kalau pun Ammu mau menikahi wanita lain silakan. Asalkan jangan dari kalangan para bangsawan. Bukankah Ammu terkenal di kalangan rakyat jelata? Ambillah salah satu dari mereka sebagai istri, selir, atau bahkan gundik. Aku tidak akan melarangnya."

Shui seperti kehilangan kata-kata ketika mendengar pernyataannya.

"Oh, ya, jika memang Ammu menolak gadis itu, jangan lupa perintahkan pasukan Ammu yang berjaga di sana untuk membantai sekaligus membumihanguskan desanya. Aku hampir saja melupakannya. Ammu harus turun tangan dan melihat sendiri pembakaran desa tersebut. Selain itu, Ammu juga bisa melihat keluarga gadis yang Ammu cintai hancur perlahan-lahan."

Rhei tidak akan memberi pilihan pada Shui. Ini adalah kesempatan yang paling baik untuk menekan kakaknya, hingga tidak memiliki aliansi politik dalam pemerintahan. Dengan memberinya pilihan seperti ini, Rhei yakin, kakaknya tidak akan menolak untuk menikahi gadis desa itu.

"Kau benar-benar keterlaluan." Shui menatapnya nyalang. Amarah berkobar dalam mata birunya yang kelam. "Kau mencoba menekanku dengan keselamatan keluarga Sho Seisaba?!"

"Oh..., aku bisa melakukan apa pun terhadap mereka," ujar Rhei tanpa beban. "Terutama pada putri mereka."

Shui terlihat ingin membentaknya, tetapi lelaki itu ternyata masih dalam kontrol diri yang cukup bagus.

"Istana Keputrian masih kosong," Rhei tersenyum manis. "Aku bisa memasukkan Nuaniha ke sana dan mengeksekusinya dengan alasan apa pun."

"Kau berani mengatakannya di depan Permaisuri?!" Kali ini Shui tercengang mendengar pernyataannya.

"Aku bebas menyatakan apa pun," Rhei melirik ke arah Meiyari yang masih terlihat tenang dan tidak peduli. Perasaannya sedikit miris melihat permaisurinya tidak terganggu dengan pernyataannya tadi. "Nah, sekarang apa jawaban Ammu?"

Shui diam cukup lama. Dia terlihat seperti berperang dengan dirinya sendiri ketika akhirnya menjawab, "Aku... akan menerima pernikahan itu." Dia menyatakannya dengan berat.

"Bagus," Rheiraka bertepuk tangan. "Sudah kuduga, Ammu sangat mencintainya."

Senyuman Shui terlihat pahit.

"Tapi, apa gunanya rasa cinta itu kalau Ammu akan menikahi gadis lain?" Rheiraka menyeringai. "Itu sama sekali tidak bermanfaat."

Lagi-lagi ucapan adiknya seperti menyiram asam ke dalam luka. Walau berusaha bersikap tidak peduli, Shui tetap terlihat kesakitan. Rhei benar-benar menyukai pemandangan ini. Jarang sekali ia melihat kakaknya gusar dan tampak seperti domba yang kehilangan arah.

"Tapi beri kami waktu untuk mempersiapkan pernikahan," kata Shui.

Rhei pura-pura berpikir, lalu mengomentari, "Semua persiapan pernikahan bisa dilakukan sehari – dua hari. Aku akan membantu persiapan pernikahan Ammu secepat mungkin."

"Shenka...," Kali ini Meiyari ikut bicara. "Pernikahan bukan hal yang mudah untuk seorang wanita. Gadis itu jauh dari keluarganya dan berada di tempat asing seorang diri. Dia tidak akan siap menerima pernikahan ini."

Rhei tersenyum ke arah istrinya, "Aku tidak peduli, Permaisuri."

"Anda harus peduli," tegas Meiyari. "Apa yang akan dikatakan oleh orang-orang bila pengantin perempuan tidak bersama keluarganya saat mereka menikah? Orang-orang akan melihat kejanggalannya." Kemudian wanita itu memandang Shui, "Berapa jarak tempuh dari desanya ke ibu kota, Ammuren?"

"Dengan perjalanan biasa, sekitar dua bulan. Namun, dengan berkuda cepat, jarak tempuhnya sekitar tiga sampai empat minggu," jawab Shui. "Medan perjalanan tidak memungkinkan rombongan bergerak terlalu cepat, Permaisuri."

"Kalau begitu, kita bisa menunggu beberapa bulan sebelum pernikahan dimulai," kata Meiyari. "Selama waktu tunggu itu, lebih baik dia tinggal di sini."

Baik Shuikan maupun Rheiraka sama-sama terperangah.

"Untuk apa dia tinggal di sini?!" Rheiraka mengernyit tidak senang, yang ditanggapi Meiyari dengan senyuman tenang.

"Tidak baik untuk calon kakak ipar menunggu waktu pernikahan di tempat calon suaminya. Dia tidak punya keluarga di sini dan 'kita' sebagai calon adik iparnya, sudah seharusnya membantu mereka dalam menjalani setiap adat dan ritual sebelum pernikahan."

"Tapi tidak dengan memberinya tempat tinggal di Istana!"

"Apa salahnya? Bukankah banyak kamar-kamar kosong yang bisa ditempatinya?" Meiyari tersenyum lebih manis lagi. "Shenka, kau sudah menariknya ke dalam lumpur, sedikit berbelas-kasihlah padanya yang tidak tahu apa-apa."

Rheiraka memalingkan wajah, tidak mengerti pada pilihan permaisuri yang mau merepotkan diri dengan mengurus seorang rakyat jelata. Kemudian pandangannya beralih pada Narashima.

"Untuk masalah hujan darah yang baru saja turun, sebarkan isu bahwa penyebabnya adalah sihir hitam. Ada yang ingin mengutuk Shenouka, tetapi kita tidak akan membiarkannya," ujar Rheiraka. "Rammui bisa membereskannya kan?"

"Menyebarkan isu sangat mudah," komentar Narashima. "Tapi tuduhan dan ketakutan rakyat tidak bisa dikendalikan semudah itu."

"Kalau untuk masalah itu, aku sudah memiliki penyelesaian yang lain," Rheiraka tersenyum tipis. "Katakan pada Imam Agung untuk menyebar para pendoa ke jalanan dan buat mereka seolah-olah sedang mengusir hawa jahat. Bila rakyat bertanya, jawab saja bahwa ini adalah penangkal dari sihir jahat."

Sekalipun tak yakin dengan perintah Rhei, Narashima tetap mengiakannya dengan takzim.

"Nah, Ammu," Rheiraka menyeringai ke arah kakak lelakinya. "Kau bisa menemui calon istrimu dan berbincang dengannya, sebelum dia dipingit di dalam istana."

(22 September 2018)

---------------------------

Note:

Kelihatannya wattpad sudah nggak bermasalah dengan kolom komentarnya ya?

Kemarin saya bener-bener pundung, karena komentar-komentar saya sama sekali nggak masuk dan kalau pun kelihatan, itu pun nyempil setelah sekian detik (dan hanya bisa dilihat dari lepi), kan sebel. Semoga aja kolom komentarnya nggak bermasalah lagi.

Nah, bagaimana dengan bab kali ini?

Jumpa di bab selanjutnya dari sudut pandang Shui.

Jangan lupa vote dan komentarnya~~ ;)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro