Bab 4. Sheyana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Iksook Inarha datang saat aku sedang membersihkan luka di bahu pria asing itu. Beliau datang bersama Kepala desa dan juga Hessa.

"Apa yang terjadi?" Iksook Inarha meletakkan kotak berisi peralatan pengobatannya di atas sebuah kursi kayu. Pria kecil berumur 50 tahunan itu mengamati keadaan pria asing itu dengan seksama. Beliau meraih salah satu tangan lelaki itu dan memeriksa denyut nadinya. "Ini tidak bagus," gumamnya, lalu menoleh ke arahku. "Siapa dia, Cucuku? Bagaimana kau bertemu dengannya?"

Aku menelan ludah. "Saya bertemu dengannya di Inairakhi," jawabku takut-takut, tahu bahwa Iksook Inarha maupun Tetua desa menyarankan kami untuk tidak masuk Inairakhi sembarangan.

Iksook Inarha maupun Tuan Ornuk----kepala desa kami---mengerutkan dahi sesaat, tetapi mereka tidak menyela.

"Saat itu saya sedang berburu, ketika menemukan dia....," aku menatap lelaki itu, "sedang dijadikan persembahan untuk ritual pengorbanan di dalam hutan. Ada 4 penyihir yang berusaha menghabisi nyawanya dan sepertinya rapalan mantera mereka hampir mendekati akhir, karena lelaki ini terus-menerus muntah darah. Namun, saya berhasil menolongnya di saat-saat terakhir."

Tuan Ornuk terbelalak mendengar ceritaku, sedangkan Iksook Inarha hanya diam----tampak memikirkan sesuatu.

"Ada yang mau mengutuk di daerah kita, Iksook," ujar Tuan Ornuk.

"Itu bisa diurus nanti," Iksook Inarha mengibaskan tangan sambil menatap kembali lelaki itu. "Yang terpenting adalah menyelamatkan jiwa orang ini. Sheya bilang rapalan mantera kutukannya hampir selesai, itu artinya setengah bagian lelaki ini telah ditumbalkan. Kalau pun rapalannya belum selesai, kutukannya tetap akan berpengaruh pada kesehatan fisiknya yang kemudian akan membahayakan nyawanya. Kita harus menyucikannya."

Iksook Inarha menoleh ke arahku dan Hessa. "Kalian berdua pergilah ke rumahku dan minta Amaria untuk menyiapkan peralatan penyucian. Sebelum malam tiba, kita sudah harus memulai doa penyuciannya."

Aku dan Hessa mengangguk. Kami lalu bergegas pergi menuju rumah Iksook Inarha yang terletak di dekat lapangan desa yang biasa kami gunakan bila ada perayaan maupun pesta panen. Tapi untuk 2 tahun ini, lapangan desa tak pernah ramai dengan kegiatan suka cita. Dua tahun ini, tempat itu selalu kami padati untuk berdoa pada Tadakhua, supaya Dia mau menurunkan berkah-Nya pada tanah kami yang kering kerontang.

Rumah Iksook Inarha berdekatan dengan balai desa serta rumah kepala desa. Bangunannya paling mencolok karena papan-papan dindingnya terdiri dari beragam warna, mulai dari merah, kuning, biru, dan hitam. Di papan yang berwarna kuning, ada rangkaian aksara yang sambung-menyambung membentuk kalimat yang mengelilingi bangunan rumah. Aku mengetuk pintu rumah Iksook Inarha dengan terburu-buru.

"Sheyana?" Ishaara Amaria mengernyit heran setelah membuka pintu rumah.

"Iksook Inarha membutuhkan peralatan untuk penyucian, Nyonya," ujarku. "Kami butuh secepatnya."

Seperti tanggap dengan keterburu-buruan kami, beliau kembali ke dalam rumah dan bergegas menyiapkan peralatan Iksook Inarha. Namun, untuk wanita berusia kepala 5 sepertinya, tentu sulit melakukan sesuatu dengan cukup cepat, sehingga aku dan Hessa pun ikut membantunya mengemasi peralatan yang dibutuhkan Iksook Inarha. Setelah mengucapkan terima kasih, kami buru-buru kembali ke rumah.

Aku sempat berpapasan dengan satu - dua tetangga. Mereka kelihatan heran melihat ketergesa-gesaan kami, tetapi aku sendiri tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan mereka. Sesampainya di rumah, aku melihat luka di bahu dan paha pria itu telah dibebat dengan kain. Kemudian, aku dan Hessa kembali membantu Iksook Inarha menyiapkan altar untuk penyucian. Tuan Ornuk menunggu di ruang tengah yang sekaligus menjadi ruang tamu maupun ruang makan kami. Karena keadaan keluarga kami yang miskin, tidak ada apa pun di ruang tengah selain tikar lusuh yang biasa kami pakai untuk duduk atau pun tidur.

Setelah altar doa siap, Iksook Inarha menyuruhku dan Hessa duduk samping lelaki itu dan memegangi lengannya, sementara itu beliau bersila di atas lantai tanah dan mulai membacakan doa. Puja-puji terucap dari bibir beliau ketika menyanyikan himne suci untuk sang Penguasa Semesta. Bait-bait doa mengalir lancar dari bibir beliau. Alunan himnenya begitu khidmat dan menenangkan. Kedamaian mulai menyelubungi kami, membuatku merasakan ketenangan.

Aku paling suka mendengarkan himne suci Iksook Inarha. Selain karena suara beliau yang indah, keyakinan yang terpancar dari cara beliau menyanyikan himne-himne suci membuat kami merasa yakin dan percaya juga. Selalu, setiap Iksook Inarha melakukan ritual doa, pasti rasa damai dan tenang akan datang di hati kami, seolah-olah Tadakhua membukakan pintu rahmatNya di bait pertama Iksook Inarha membacakan doa.

Erangan lelaki itu membuat perhatianku kembali tertuju padanya. Pria asing itu merintih kesakitan. Tubuhnya gemetaran dan lagi-lagi dia memuntahkan sesuatu. Kali ini yang keluar dari mulutnya adalah cairan hitam kental menjijikkan. Aku terlompat kaget, hampir saja menyenggol lilin altar saat melihat kelabang ikut keluar dari dalam mulutnya. Ini... Ini teluh! Aku bergidik ngeri. Selain kutukan, apa orang ini juga terkena teluh? Aku mengernyit jijik melihat bangkai-bangkai kelabang itu tercecer di atas kain pelapis tempat tidurku. Mungkin... nantinya kain-kain ini akan kubuang saja.

"Dudukkan dia," perintah Iksook Inarha. "Hessa, ambilkan wadah untuk menampung muntahannya."

Hessa mengangguk. Dia meninggalkanku yang tengah membantu pria setengah teler itu untuk duduk. Karena tidak bisa menopang tubuhnya sendiri, lelaki itu bersandar padaku. Kepalanya meneleng tepat di bahuku. Dia terlihat seperti orang mabuk sekaligus pesakitan. Kasihan lelaki ini. Sudah hampir dijadikan tumbal, ternyata masih kena teluh. Seberapa banyak orang yang membencinya sampai tubuhnya harus menanggung penderitaan seperti ini?

Hessa kembali membawa sebuah ember usang yang dulunya menjadi wadah pakan ternak kami. Setidaknya wadah itu bersih, sehingga tidak tercium bau bekas makanan hewan. Iksook Inarha kembali melanjutkan membaca doa dan lelaki itu lagi-lagi memuntahkan cairan hitam kental berisi bangkai-bangkai kelabang.

Selama Iksook Inarha menyanyikan himne, dia terus-terusan muntah sampai tak ada lagi yang tersisa selain cairan bening. Iksook Inarha menyuruh kami membaringkannya lagi. Setelah menyingkirkan kain kotor yang terkena muntahannya, aku dan Hessa membaringkannya di tempat tidur. Tubuhnya sudah sedikit tenang dari yang tadi dan wajahnya tidak pucat lagi.

Iksook Inarha masih menyanyikan himnenya, mengulang bait demi bait doa penyucian. Kali ini tubuh lelaki itu bergetar. Dia mengerang kesakitan, tetapi anehnya tubuhnya tertahan dalam posisi berbaring. Walaupun ingin bergerak, orang itu tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Padahal aku dan Hessa hanya memegangi lengannya, itu pun tidak terlalu kuat. Kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Aura di sekeliling tubuhnya menggelap.

Aura itu perlahan-lahan berkumpul di atas perutnya, membentuk sebuah bayangan besar mengerikan. Aku terpekik melihat wujud hitam menyeramkan bermata merah dan memiliki gigi-gigi tajam berdiri di atas perut lelaki itu. Dia menyeringai ke arahku sesaat, sebelum memandang bengis ke arah Iksook Inarha.

"Pergi darinya makhluk terkutuk!" Iksook Inarha berseru dalam bahasa lain yang tidak kami mengerti. "Jangan mengganggunya lagi! Kembali pada Tuanmu dan Jangan mengganggunya lagi! Kalau kau berani kembali, aku akan membakarmu dengan api Tadakhua! Jangan berani-berani mendekati cucuku lagi!"

Makhluk berwujud tidak jelas itu tertawa mengerikan. Dia membalas dengan bahasa yang tidak kami mengerti dengan suara pongah dan angkuh. "Memangnya apa yang bisa kau lakukan, Pak Tua? Aku tidak mematuhi siapa pun selain yang membuat perjanjian denganku. Kau tidak bisa memerintahku!"

Kulihat Iksook Inarha diam sesaat. Lalu beliau lanjut membacakan doa, kali ini berisi mengenai kemurkaan Tadakhua pada orang-orang yang sombong, pongah, dan angkuh. Iksook Inarha mengulang sebaris bait, beberapa kali. Wujud makhluk itu semakin tidak beraturan. Dia mulai mengeliat kesakitan, lalu memekik ketika aku melihat api menyala di sekitar wujudnya.

"Hentikan! Hentikan! Hentikan!" dia menyerukan sesuatu, tetapi Iksook Inarha tidak mau berhenti. Beliau terus menyanyikan himne sampai api itu membesar.

"Kau makhluk pongah yang sombong, sudah seharusnya kau sadar dari mana kekuatanmu berasal," Iksook Inarha kembali bicara dalam bahasa lain. "Kembali pada Tuanmu dan jangan ganggu cucuku lagi!!"

Makhluk itu memekik takut-takut, lalu melesat menembus dinding kamar dengan cepat. Kepergiannya membuatku lega. Aku menoleh ke arah Hessa dan melihat anak itu terbelalak di tempat makhluk tadi muncul. Dia lalu menatapku dan mulutnya komat-kamit berucap, 'Itu apa?'. Tampaknya Hessa pun menyaksikan apa yang kulihat.

Aku menggeleng pelan dan menyentuhkan jari telunjuk ke bibir. 'Nanti', begitu jawabku.

Iksook Inarha melanjutkan membaca himne lainnya. Pria asing yang kutolong kini tampak lebih baik. Mungkin dasarnya memang ia memiliki kulit putih, tetapi putihnya kini tidak sepucat tadi. Tangan dan kakinya pun kembali hangat. Napasnya teratur dan tenang. Dia tak lagi merasakan sakit.

Aku mengembuskan napas lega, merasakan syukur karena nyawa pria ini tertolong. Siapa pun dia, dilihat dari pakaian di balik jubahnya, jelas dia adalah orang penting. Aku memperhatikan kalung yang tergantung di lehernya. Medali kalung tersebut membentuk tatahan seperti kepala Harimau. Aku tidak tahu apa artinya, tetapi tidak semua orang bisa memiliki emas. Orang ini jelas orang penting.

Setelah menyelesaikan himnenya, Iksook Inarha menyuruh kami keluar. Tuan Ornuk sudah tidak ada di ruang tengah ketika kami keluar dan langit pun sayup-sayup menggelap.

"Aku akan meracikkan obat untuknya," ujar Iksook Inarha. "Kalian harus meminumkan padanya sehari 3 kali....," beliau diam sejenak. "Namun, apa tidak apa-apa kalau dia di sini?" Iksook Inarha menatapku.

"Maksud Iksook?" aku mengernyit heran.

"Aku tahu, ini kurang tepat. Tapi dia lelaki asing, Cucuku," kata beliau. "Tidak ada lelaki dewasa di rumah ini dan yang paling kukhawatirkan adalah dirimu. Tidak pantas rasanya bila dia tinggal di sini sedangkan di rumah ini ada gadis dalam umur yang siap menikah."

Aku merasakan pipiku memanas. Apa yang dikatakan Iksook Inarha memang benar. Aku tidak boleh membiarkan pria asing menginap di rumah ini, kalau nanti tidak ingin kesulitan menikah. Namun, pria ini pun masih belum sanggup untuk berdiri tegak. Kami pun tidak bisa memindahkannya tanpa terlihat tetangga yang lain dan selama kami belum tahu siapa dirinya, rasanya itu bukan tindakan bijak.

"Begini saja, bagaimana bila lelaki ini tinggal di rumah sampai dia cukup kuat untuk pindah ke rumah Iksook Inarha?" tawarku. "Untuk saat ini, biarkan dia tinggal di sini."

Iksook Inarha mengangguk, menyetujui ucapanku. "Itu jalan tengah yang cukup baik." Beliau lalu merogoh sesuatu dari sabuk kain bajunya dan memberiku sekantung bubuk wangi. "Bakarkan ini di dekat tempat tidurnya, supaya tidurnya tidak terganggu. Istirahat yang cukup akan membuat keadaannya cepat pulih."

"Baik, Iksook," aku mengangguk.

"Bagaimana keadaan ibumu?" tanya Iksook Inarha tiba-tiba.

Aku tergagap, tak mengira perubahan topik pembicaraan seperti ini. "Beliau... mungkin baik-baik saja," aku tak yakin dengan jawabanku. Aku menatap satu-satunya pintu kamar di rumah ini yang masih tertutup. Sehari-hari, ibuku hanya bisa berbaring di dipan. Semenjak Ayah meninggal, beliau menjadi sakit-sakitan dan tak bisa lagi bekerja seperti dulu. "Tapi..., agak aneh kalau dengan semua keributan ini beliau tidak menyadarinya." Aku mengernyit.

"Aku akan memeriksa keadaan ibumu," Iksook Inarha beranjak ke arah kamar ibuku.

Di dalam kamar sempit yang hanya berisi dipan, lemari kayu seadanya serta sebuah bangku itu, ibuku berbaring diam di atas tempat tidur. Napasnya masih teratur, tetapi matanya terpejam rapat. Iksook Inarha duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur ibuku. Beliau memeriksa denyut nadinya, kemudian menggeleng pelan.

"Ibumu baik-baik saja," ucapnya. "Namun, semakin lama tubuhnya semakin lemah. Kesedihan menggerogoti kondisi fisiknya hingga jatuh seperti ini." beliau lalu menatapku. "Kau harus melakukan sesuatu untuk menyingkirkan kesedihan Ibumu, Nak."

Tapi apa yang harus kulakukan? Aku termangu menatap ibuku yang masih diam berbaring di atas tempat tidur. Usia ibuku lebih muda dari Iksook Inarha, tetapi saat ini beliau terlihat puluhan tahun lebih tua dari sang Iksook. Rambutnya telah memutih semua. Pipi-pipinya cekung dan tubuhnya kurus kering seperti ranting pohon yang bisa dipatahkan.

Dua tahun lalu, ibuku tidak seperti ini. Namun, setelah kesedihan yang berkepanjangan, akhirnya beliau menjadi seperti sekarang. Karena sangat mencintai Ayah, Ibu tak bisa merelakan kepergian Ayah yang tiba-tiba. Beliau terus meratapi kepergian ayah. Tak mau makan, tak mau mengurus diri sendiri, hingga sampai menelantarkan kami seperti ini. Kalau aku tidak segera pegang kendali dan mengurus adik-adikku, mungkin kondisi kami akan lebih mengenaskan dari pada sekarang.

"Meratapi kepergian orang yang sudah meninggal itu tidak baik," Iksook Inarha menepuk-nepuk punggung tangan ibuku yang terkulai lemah di atas dipan. "Ruh orang yang diratapi jadi tidak tenang dan tidak bisa pergi ke surga karena merasa ada beban yang harus mereka selesaikan di dunia. Aku kasihan pada Ayah dan Ibumu. Anakku, sampaikanlah pada ibumu untuk mengikhlaskan kepergian Ayahmu."

Aku mengangguk pelan. Sudah berulang-kali aku mengatakan itu pada Ibu, tetapi beliau tidak pernah mendengarku. Terakhir mengatakannya, beliau justru menangis terisak-isak dan meminta maaf karena telah melahirkanku dan adik-adikku di dunia ini. Beliau menangis, karena tidak bisa memberikan kami hidup yang layak sekaligus tidak bisa memberikan sedikit kesenangan saja pada kami seperti anak-anak lainnya.

"Ibu hanya terlalu banyak berpikir, Iksook," kataku. "Saya akan menasehati beliau supaya tidak terlalu banyak pikiran."

Iksook Inarha mengangguk-anguk. Tubuh kecilnya yang sedikit bungkuk kemudian bangkit dari kursi. Dia memberiku isyarat supaya aku sedikit membungkuk, lalu menepuk-nepuk bahuku pelan.

"Kau anak yang baik," Iksook Inarha tersenyum padaku. "Teruslah berbakti pada Ibumu. Dia akan membukakan jalanmu pada kemudahan. Tadakhua sering menguji hati hamba-hambaNya dengan penderitaan untuk melihat, apakah mereka bisa tetap bertahan di jalan yang lurus atau tidak. Namun, di balik itu, Dia memberikan limpahan kasih sayangNya yang tidak terbatas. Jangan pernah kehilangan harapan padaNya."

Aku tersenyum canggung, bingung harus menanggapi pernyataan Iksook Inarha dengan sikap apa.

"Ngomong-ngomong..., sepertinya tadi Inaike mengirimkan sesuatu. Coba lihat dapurmu. Mungkin ada sesuatu yang bisa kau masak."

Seketika, aku teringat kijang dan sayuran yang kukumpulkan siang tadi di hutan.

(25 April 2017)

-----------------------------------

Note:

Untuk bab kali ini, saya sengaja mulai pake nama, untuk memudahkan kalian membacanya. Kalau bab yang terkumpul udah banyak, pasti kalian bisa bingung kalau nggak ada penanda mengenai siapa yang membawakan sudut pandangnya.

Selamat menikmati....

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar :D

btw, apa saya harus menyertakan glosarium juga? Sepertinya tanpa itu juga kalian bisa menangkap maksud istilah-istilah di cerita ini, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro