Bab 5. Shuikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Detik pertama Shui membuka mata, ia mengalami disorientasi sesaat. Lelaki itu menatap langit-langit ruangan tempatnya berbaring dengan perasaan bingung, heran, sekaligus waspada. Cahaya yang masuk melalui celah antara dinding dan atap cukup membantunya melihat sekeliling dengan baik. Untuk beberapa saat, Shui hanya berdiam di tempat tidur, mengamati lingkungannya tanpa menggerakkan anggota tubuh.

Ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Ia sedang berpatroli bersama anak buahnya, lalu diserang beberapa orang, kemudian mereka terpisah dan ia hampir mati di tangan para penyihir. Kemudian seorang gadis berkepang satu datang menyelamatkannya, lalu membawanya menuju rumahnya. Shui termangu ketika pemahaman menghampiri dirinya. Jadi... kemungkinan besar sekarang ia berada di rumah gadis itu?

Shui kembali mengamati lingkungannya. Langit-langit tempat ini kotor penuh sarang labah-labah dan ada lubang-lubang kecil di atap, yang bisa membuat air masuk kalau hujan turun. Papan-papan kayunya terlihat lapuk dan ada beberapa yang telah dimakan rayap.

Udara di dalam kamar ini sedikit pengap karena jendelanya dibiarkan tertutup, tetapi lubang-lubang kecil di dinding kayu, celah-celah antara papan-papan kayu yang tidak rapat, serta celah dinding kamar dan atap rumah membuat udara segar bisa masuk ke dalam tanpa harus membuka pintu atau pun jendela. Isi kamar ini pun tidak seberapa. Hanya ada sebuah lemari yang tertutup kain gelap usang, meja kecil di dekat tempat tidur, dan dua buah kursi kayu yang kaki-kakinya tidak sama tinggi. Di atas meja kecil dekat tempat tidur, terdapat sebuah mangkuk tanah berisi arang yang mengepulkan aroma harum yang tidak asing.

Shui menyapukan tangannya pada tempat tidur, hanya untuk merasakan kain pelapis tempat tidur yang kasar dan berbau apak. Saat ia bergerak, tempat tidurnya berkeriut dengan suara yang tidak mengenakkan. Dahinya berkerut samar ketika merasakan nyeri di bahu kanan maupun paha kirinya. Setelah berhasil duduk, lagi-lagi lelaki itu diam.

Ia menyadari bahwa pakaiannya sudah diganti. Bajunya kekecilan, menempel terlalu ketat di badannya. Selain itu kainnya pun kasar dan usang, seolah sudah dicuci berulang-ulang. Anehnya, celana yang dikenakannya kepanjangan dan hampir menutupi seluruh kakinya. Pakaian ini jelas-jelas milik seseorang yang badannya lebih kecil tetapi tubuhnya lebih jangkung dari dirinya. Mencoba mengabaikan ketidaknyamanan atas baju pinjaman ini, Shui pun turun dari tempat tidur. Namun gerakannya terhenti karena tidak menemukan sepatunya. Matanya mencari-cari apapun yang bisa dipakai kakinya untuk berjalan, tetapi tidak ada alas kaki di sini, bahkan sandal jerami sekalipun. Hanya ada lantai tanah di bawah dipannya.

Untuk sesaat Shui merasa ragu, tetapi akhirnya ia membiarkan kakinya menyentuh tanah tanpa alas apa pun. Sensasi dingin yang menyejukkan mengenai telapak kakinya yang panas dan anehnya, dia menyukai kesejukan itu. Shui sedikit kesulitan saat berjalan menuju pintu kamar. Rasa sakit di pahanya membuatnya harus berhati-hati saat menggerakkan kaki kiri.

Namun, sebelum membuka pintu kamar, Shui tertegun. Ia menyadari sesuatu yang lebih besar dari sekedar rasa sakit di paha maupun bahunya. Tubuhnya kini terasa lebih segar dan ringan. Aneh memang. Sudah berminggu-minggu ia selalu merasakan tubuhnya berat dan lesu, hingga untuk beraktivitas pun rasanya susah. Tapi kini? Ia merasakan energi mengalir bebas ke seluruh penjuru tubuhnya. Ada semangat tak kasat mata yang membuat anggota tubuhnya ringan untuk digerakkan. Apakah gadis itu melakukan sesuatu terhadap dirinya? Shui mulai bertanya-tanya.

Lelaki itu lalu menarik pintu kamarnya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang tidak perlu dan mendapati sebuah ruang kosong yang hanya dialasi oleh tikar lusuh yang terbuat dari dedaunan. Shui lagi-lagi termangu. Hatinya mulai terusik oleh kondisi ekonomi gadis yang menolongnya. Dilihat dari sudut mana pun, penolongnya jelas berasal dari keluarga miskin.

Ada suara konstan berasal dari sisi kirinya, tepatnya ruangan lain yang berjarak lima belas kaki dari kamarnya. Seseorang sedang memotong sesuatu di ruangan tersebut, menimbulkan suara teratur di tengah keheningan rumah ini. Menilik asal aroma wangi makanan yang menggoda, ruangan itu kemungkinan dapur rumah ini. 

Shui menuju ruang belakang rumah. Di ambang pintu yang memisahkan antara ruang belakang dengan ruang tengah, Shui memilih berhenti saat menemukan seseorang di dapur. Gadis itu tidak menyadari kehadiran Shui karena duduk membelakanginya. Dia terlihat sibuk menguleni sesuatu. Sepasang tungku tanah menyala dengan api merah membara, memanaskan kuali yang ada di atasnya. Aroma harum menggiurkan menguar dari masakan apa pun yang tengah dibuat gadis tersebut.

Shui memperhatikan isi dapur yang sama tidak bagusnya dengan kamar maupun ruang tengah yang ia lihat. Hanya ada peralatan memasak ala kadarnya. Dua tungku tanah berada di pojok dapur, berdekatan dengan pintu lain yang terbuka lebar supaya cahaya bisa masuk dan asap dapur bisa keluar. Di sudut lain dapur, ada rak kayu berisi peralatan makan sederhana. Dipan panjang yang terbuat dari bambu terletak di dekat rak kayu, di atasnya terdapat wadah-wadah bambu berisi sayur-sayuran hijau. Sedangkan di sudut kiri dapur terdapat sebuah meja panjang tua. Di atasnya terdapat kendi tanah, yang kemungkinan berisi air.

Rasa iba menyelinap di hati Shui ketika menyadari seberapa buruk kondisi perekonomian keluarga ini. Gadis yang tadinya duduk membelakanginya tiba-tiba berdiri. Dia berbalik dan terpaku ketika mendapati Shui berada di dapur. Warna matanya yang hitam mengingatkan Shui pada kelereng hitam yang dulu sering ia mainkan saat kecil bersama kawan-kawannya. Wajah gadis itu kotor terkena jelaga dan debu. Kulitnya pun cukup gelap untuk gadis seusianya. Shui menaksir usia gadis ini mungkin 1 – 2 tahun di atas usia adik perempuannya.

"Apa yang Tuan lakukan di sini?" tanyanya dengan nada khawatir yang tidak dibuat-buat. "Harusnya Tuan tetap berbaring di kamar." Dia memperhatikan sekeliling dapur dan terlihat sedikit kebingungan. Kemudian gadis itu membersihkan kedua tangannya dan dengan cekatan membereskan keranjang-keranjang bambu yang ada di atas dipan. "Tuan bisa duduk di sini."

Shui beranjak untuk duduk di sana.

"Apa Tuan ingin sesuatu?"

"Air," Shui berdeham saat suaranya serak.

Gadis itu lagi-lagi bergerak luwes, mengambil sebuah gelas bambu dari rak kayu lalu menuangkan air dari kendi tanah yang ada di atas meja.

"Terima kasih," ucap Shui saat gadis itu mengangsurkan gelas tersebut padanya. Ia sedikit kesulitan menggerakkan lengan kanannya. Selain karena bahunya yang masih terluka, lengan bajunya pun terlalu ketat. Ia terpaksa memakai tangan kirinya untuk memegang gelas dan itu juga tidak cukup membantu.

"Ah..., maaf soal bajunya," gadis itu membantu Shui minum dengan memegangi gelasnya. "Baju Anda kotor, sehingga adik saya mencucinya di sungai. Ada bekas sobekan yang cukup besar, sehingga kami harus menjahitnya juga. Jadi untuk sementara Anda terpaksa harus mengenakan baju Ayah kami dulu."

Ini benar-benar baju Ayahnya? Shui tidak percaya. Ia meneguk habis airnya, sehingga Sheya tidak perlu berlama-lama memegangi gelasnya. Sekecil apa tubuh Ayah mereka sehingga pakaiannya seketat ini di badan Shui? Atau... jangan-jangan dirinya yang terlalu gemuk? Pemikiran itu tertepis mengingat seberapa banyak latihan fisik yang dilakukannya selama ini. Dia tidak mungkin gemuk.

"Justru aku yang minta maaf karena merepotkan kalian." Dahinya sedikit mengernyit saat mencium aroma amis dari gadis di depannya.

Gadis berambut hitam sepunggung itu meletakkan gelasnya di atas meja panjang tua dan menutupnya dengan papan kayu kecil. "Apa Tuan masih merasa sakit?" gadis itu bertanya.

"Luka seperti ini bukan apa-apa untukku," Shui mengibaskan tangan, setengah geli dengan kekhawatiran gadis itu. Luka di bahu dan pahanya memang mengganggu, tetapi ia sudah terbiasa dengan luka-luka seperti itu. Bahkan, ia pernah menerima luka yang lebih mengerikan dari sekedar bahu dan paha yang ditusuk.

Sepertinya gadis itu tidak terlalu mendengarkan, karena dia berujar, "Sore nanti Iksook Inarha akan kembali memeriksa keadaan Anda. Semoga saja kondisi Anda sudah lebih baik."

Ia memang sudah lebih baik. Shui ingin mengatakan itu. Namun, yang dilakukannya hanya tersenyum. "Berapa lama aku tertidur?" tanyanya.

"Sekitar satu setengah hari," gadis itu menjawab.

Tidak terlalu lama untuk ukuran orang yang hampir mati jadi persembahan. Shui meringis memikirkan itu.

"Apa yang sedang kau buat?" lelaki itu menatap ke arah wadah kayu besar berbentuk setengah bola yang berada di dekat kursi pendek tanpa sandaran yang tadi dipakai si gadis untuk duduk. Ada adonan kekuningan berisi beragam campuran di dalam sana.

"Saya hanya membuat tafee," gadis itu beranjak ke tempat duduknya lagi. Dia melanjutkan kegiatannya yang tadi.

"Makanan apa itu?" Shui merasa tidak pernah mendengar nama makanan itu.

"Ini terbuat dari tepung beras dan tepung ketan yang dicampur dengan sayur dan daging, lalu dicampur dengan sedikit rempah supaya ada sedikit rasa pedas. Setelah dibungkus dengan daun, baru dikukus," jelas gadis itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari adonan yang masih diuleninya.

"Lalu yang ada di dalam periuk?"

"Itu sup daging untuk teman makan tafee. Kebetulan kemarin saya berhasil menangkap seekor kijang, sehingga hari ini kita bisa makan dagingnya," gadis itu tersenyum ke arah Shui. "Anda mau mencobanya?"

Shui membalas senyumannnya. "Boleh kalau diijinkan," lelaki berambut keemasan sebahu itu mengangguk.

Gadis itu kemudian mengambil sebuah mangkuk kecil, lalu menuangkan sup ke dalamnya. Shui memperhatikan gerak-geriknya dengan cermat. Gadis itu canggung bersamanya, Shui menyadari itu. Matanya hampir tak pernah menatap langsung mata Shui. Saat menoleh dan menawarinya sup pun, gadis itu memperhatikan ke lain arah, tak mau menatapnya terang-terangan.

"Masih panas, sebaiknya didinginkan dulu," gadis itu mengangsurkan mangkuk kayunya pada Shui.

Shui mengangguk sambil menerima mangkuk tersebut, lalu meletakkannya di sampingnya. "Siapa namamu?"

"Sheyana," jawabnya kalem. "Anda bisa memanggil saya Sheya."

"Nama yang bagus," ujar Shui tanpa maksud apa pun. "Sheyanari... persis nama bunga yang bisa bertahan hidup di cuaca apa pun, baik itu panas maupun dingin."

Kepala gadis itu semakin tertunduk. Di balik jelaga di sekitar wajahnya, ada rona samar yang menunjukkan dirinya malu.

"Namaku Shuikan," kata Shui. "Kau bisa memanggilku Shui."

Gadis itu mengangguk, tidak menimpali perkenalannya.

"Apa yang kau lakukan di hutan waktu itu, Sheya?" tanya Shui.

"Mencari bahan makanan," jawabnya pendek.

"Sendirian? Di hutan?" Shui menatapnya tak percaya.

"Ya."

"Apa kau tidak takut dengan bahaya di sana?"

Sheya meringis. "Saya sudah terbiasa dengan Inairakhi," jawabnya. "Hutan itu sudah seperti rumah kedua saya."

Shui tidak akan heran bila ada prajurit wanita yang biasa berkeliaran di dalam hutan. Namun..., gadis ini sepertinya gadis desa biasa dan setahunya, gadis biasa hampir tidak pernah memasuki hutan belantara sendirian. Tanpa pengalaman dan pengetahuan yang cukup, hutan sama saja padang kematian bagi siapa pun yang masuk ke sana.

"Siapa yang mengenalkanmu pada hutan?" Shui bertanya sambil meraih mangkuk sup di dekatnya.

Melihat Shui hendak makan, Sheya berinisiatif untuk membantunya lagi. Gadis itu kembali memegangi mangkuk dan membiarkan Shui mencicipi sup buatannya.

"Ramma yang mengenalkan hutan pada saya," jawabnya, merasa sedikit kikuk karena lagi-lagi berdekatan dengan Shui.

"Dan... di mana Ramma-mu pada saat itu?" Shui menatapnya, tetapi gadis itu tak mau membalas tatapannya. Arah pandangan matanya tertuju pada sup, seolah-olah makanan itu lebih menarik dari pada dirinya.

Sinar mata gadis itu sedikit meredup. "Ramma sudah lama meninggal, Tuan. Dua tahun yang lalu."

Merasa salah bicara, Shui meminta maaf.

"Tidak apa-apa," gadis itu kembali tersenyum. "Ngomong-ngomong, bagaimana Tuan bisa tertangkap oleh para penyihir itu? Apa Anda pedagang yang tidak sengaja lewat di sekitar Inairakhi?"

Gadis itu tidak tahu siapa dirinya? Shui terdiam sesaat, mempertimbangkan baik-buruk bila ia memberitahukan identitasnya pada gadis ini.

"Tuan berbeda sekali dari kami," gadis itu kembali berujar, "Warna rambut, mata, maupun kulit Tuan tampak sangat asing. Tapi, logat dan cara bicara Tuan benar-benar sempurna, mirip seperti kami. Dari mana Tuan berasal?"

Ia berasal dari Shenouka.

Shui tersenyum setengah hati. Pertanyaan Sheya mengingatkannya pada cibiran maupun cemohan orang-orang yang tidak menyukainya. Berkat darah asing yang diturunkan dari ibunya, Shui seringkali menerima hujatan yang tidak sepantasnya. Seolah-olah kerja keras, pengorbanan, maupun kesetiaannya pada kerajaan tidak sepenting dari darah yang mengalir di dalam tubuhnya.

Ibunya berasal dari negeri jauh dan beliaulah yang mewariskan warna rambut, mata, dan kulit ini pada dirinya. Namun, wajahnya merupakan turunan dari ayahnya. Siapa pun yang kenal ayahnya dengan baik, tidak akan meragukan kemiripannya dengan sang ayah. Tapi... orang-orang yang tidak menyukainya berusaha menyangkal fakta itu dan menyebarkan gosip, bahwa dia bukanlah anak ayahnya, melainkan anak hasil perselingkuhan. Sungguh menyakitkan mendengar cerita itu. Bukan hanya ia yang dihina, tetapi harkat dan kehormatan mendiang ibunya pun diinjak-injak.

"Ma...Maaf kalau ucapan saya tadi terdengar lancang." Gadis itu tergagap, sepertinya menyadari ada ketidaksenangan dari diri Shui ketika asal-usulnya diungkit.

Shui tersenyum sekilas, kemudian meneguk supnya sampai tandas. Rasa hangat langsung menyebar ke tubuhnya. Aromanya memang wangi dan dagingnya lembut. Hanya satu kekurangan makanan ini, rasanya agak hambar. Lidahnya yang terbiasa mencicipi beragam makanan yang kaya rasa, kurang menerima rasa sup ini yang agak tawar. Namun, Shui memaklumi hal tersebut. Garam, gula, lada, dan beberapa bumbu lainnya merupakan barang mewah yang harganya cukup tinggi di pasaran. Tidak semua orang bisa membelinya.

"Itu bukan masalah," jawabnya, lalu melirik ke arah kuali dan wadah-wadah yang tadi ditinggalkan Sheya untuk membantunya menyantap sup. "Kalau kau membiarkan supmu terlalu lama di atas tungku, bisa-bisa masakanmu hangus."

Pernyataan lelaki itu menyadarkan Sheya, bahwa ada hal lain yang harus diselesaikannya. Setelah membantu Shui makan, Sheya kembali menekuni pekerjaannya. Dia mengangkat kuali dari atas tungku dan meletakkannya di tanah, kemudian mengambil periuk dan mengisinya dengan air untuk mulai memasak tafee-nya. Sambil menunggu air mendidih, tangan-tangan terampil Sheya membungkus adonan tersebut ke dalam daun-daun yang dipetikkan Hessa dan Erau.

Shui memperhatikan gerak-geriknya yang cekatan. Bila ada yang melihat bagaimana ia menatap Sheya saat ini, orang itu pasti akan menduga bahwa ia tertarik pada gadis itu. Padahal kenyataannya lain. Matanya bisa jadi tertuju lurus ke arah Sheya, tetapi pikirannya melayang ke lain hal. Ia tengah memikirkan penyihir-penyihir yang menyerangnya kemarin.

Ini bukan kali pertama ada orang yang mencoba membunuhnya. Setelah Ayahnya meninggal, beberapa pembunuh dikirim untuk melenyapkannya tetapi mereka semua berhasil ditumbangkan para pengawalnya. Mulanya intensitas kedatangan para pembunuh itu cukup tinggi, tetapi setengah tahun terakhir jumlah penyerangnya berkurang drastis, dan itu membuatnya lengah.

Rupanya, ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan beberapa bulan terakhir hanyalah kepalsuan. Mereka sudah menyiapkan rencana untuk menyingkirkannya di sini, di perbatasan. Harusnya ia tidak terlena dengan kedamaian semu ini! Saat mengira mereka mungkin saja sudah menyerah untuk menyingkirkannya, orang-orang itu justru menikamnya.

Sialan, Shui mengumpat dalam hati. Orang-orang itu memang tidak bisa dibiarkan. Selama ini ia hanya diam, karena tak memiliki cukup bukti untuk balik menyerang. Namun, kalau sudah begini jadinya, apalagi mereka melibatkan penyihir, ia tidak akan tinggal diam lebih lama. Secepat mungkin, ia akan mengumpulkan bukti untuk menyingkirkan mereka.

Pria itu menggertakkan gigi-geliginya. Lama-lama, ia muak dengan kehidupan seperti ini. Dirinya seolah tak dianggap sebagai apa pun, tapi tak mungkin pula ia pergi. Ia sudah berjanji pada ayahnya untuk menjaga adik-adiknya dan itu artinya, meski menjadi musuh bagi adiknya sendiri, Shui harus menepati janji yang ia buat pada mendiang ayahnya.

Berengsek. Rasanya Shui ingin memukuli sesuatu. Kalau saja saat ini dia berada di perkemahannya dan bersama para prajuritnya, mungkin ia bisa melampiaskannya dengan adu tanding dengan salah satu anak buahnya. Namun, di rumah seorang keluarga desa seperti ini, dalam keadaan terluka, sebaiknya ia menahan diri sampai benar-benar pulih.

Akan ada waktu baginya untuk membalas perlakuan keparat-keparat itu.

( 10 Mei 2017 )

-----------------------------

Note:

Ramma : Ayah

Yuuni : Kakak Perempuan

Kalau kalian suka dan ingin cerita ini terus berlanjut, silakan vote dan komen cerita ini :*

Jangan sungkan-sungkan untuk memberikan kritik-saran atau pertanyaan.

Bubye~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro