Bab 6. Sheyana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Meski semua sudah tertidur, tapi pekerjaanku belum sepenuhnya usai. Aku masih harus menyiapkan obat untuk Ibu dan membangunkannya untuk menyantap sedikit sup yang kubuat siang tadi. Setelah menyelimuti Hessa dan Erau yang tidur di ruang tengah, aku kembali ke dapur untuk mengambil nampan berisi mangkuk obat dan makan malam ibu. Dengan hati-hati, aku masuk ke dalam kamar Ibu. Untunglah sebelumnya aku sudah menyalakan lilin, sehingga aku tak perlu tersandung atau salah meletakkan nampan di kamar ibu.

"Yunda....," aku menggoyangkan lengan beliau, sedikit merasa bersalah karena membangunkan beliau.

Kelopak mata ibuku bergerak-gerak, sebelum akhirnya terbuka pelan-pelan. Beliau menatapku sesaat seperti tak mengenalku, kemudian tersenyum lemah. "Sheya?"

"Sudah waktunya makan," aku membantu ibu duduk di tempat tidur. "Ibu harus makan sesuatu."

"Yunda tidak lapar, Nak." Suara beliau terdengar serak dan parau.

"Lapar atau tidak, Yunda tetap harus makan," kataku sambil menyuapi beliau pelan-pelan.

Ibuku menyeruput sup itu perlahan. "Ini enak sekali," ujar ibuku. "Kau semakin pintar memasak."

"Supaya Yunda mau memakannya," senyumku melebar. "Kalau masakanku tidak enak, Yunda dan adik-adik pasti malas memakannya."

Ibuku tertawa kecil, yang menyebabkannya terbatuk. Beliau mengurut dadanya sejenak dengan napas terengah-engah. Bahkan... untuk batuk saja ibuku sudah terlihat kelelahan, aku merasa miris dengan kenyataan ini. Saat aku kembali menyuapi beliau, ibuku sama sekali tidak mau membuka mulut. Sorot mata beliau terlihat suram, begitu pun ekspresi beliau. Hal itu mengingatkanku pada ekspresi Tuan Shui siang tadi, ketika aku menanyakan sesuatu yang tidak ingin beliau jawab.

Meski pada akhirnya Tuan Shui kembali ramah dan bersikap hangat saat adik-adikku muncul dan berkenalan dengan beliau, tetapi bayang-bayang sorot matanya yang kosong dan ekspresi muram wajahnya sama sekali tidak bisa hilang dalam kepalaku. Pertanyaanku jelas mengusik dirinya dan keenggannya menjawab pertanyaan tersebut membuat rasa penasaranku berkembang kurang ajar. Aku harus mengingatkan diri berulang-ulang untuk tidak mengganggu Tuan Shui, mengingat kasta kami yang sepertinya sangat berbeda. Dan membuat marah orang-orang dari golongan atas adalah tindakan yang kurang bijak.

"Yunda?" aku tertegun ketika air mata turun ke pipi ibuku yang cekung. "Kenapa Yunda menangis?"

"Maafkan Yunda," ibuku terisak. "Maafkan Yunda yang tidak bisa merawat kalian dengan baik. Maafkan Yunda karena tidak bisa memberikan kalian kesenangan seperti anak-anak lainnya. Maafkan Yunda karena semua yang tidak bisa Yunda berikan pada kalian."

Kuletakkan mangkuk sup di atas meja, lalu duduk di tepi dipan. Kuhapus air mata ibu, tetapi yang turun justru semakin banyak. "Yunda tidak perlu meminta maaf. Tidak ada yang perlu dimaafkan."

Ibuku tergugu. "Kalian anak-anak yang baik, anak-anak yang manis. Harusnya kalian dilahirkan di keluarga yang lebih berkecukupan dan mapan, bukannya di keluarga miskin seperti ini. Karena kondisi ekonomi keluarga kita yang minus, kalian jadi tidak bisa merasakan apa pun seperti anak-anak lainnya. Bahkan... sebuah pita pun tidak sanggup Yunda berikan untuk kalian. Yunda beruntung memiliki kalian, tetapi kalian tidak beruntung memiliki Yunda."

Tidak ada seorang pun yang bisa memilih di keluarga mana dia dilahirkan dan tidak ada orangtua yang tahu akan seperti anaknya kelak. Kalau dibilang kami kurang beruntung, itu memang benar. Keluargaku memang teramat miskin, bahkan untuk membeli sebuah pita baru saja tidak sanggup, sehingga kami harus berpuas diri menggunakan potongan kain usang untuk mengikat rambut kami.

Sebelum ayah meninggal, kehidupan keluarga kami tidak sesulit ini. Namun, setelah beliau pergi, kondisi ekonomi keluarga kami memang semakin sulit. Bila Iksook Inarha, Shamasinaike Ornuk, dan beberapa saudara ayah tidak membantu kami, mungkin kehidupan keluarga kami akan kacau. Tapi, bantuan mereka pun terbatas, karena mereka pun memiliki keluarga yang harus dihidupi pula. Aku menyadari, kami tidak bisa bergantung pada orang lain. Yang bisa menyelamatkan keluarga kami, tentu saja kami sendiri, sehingga aku berusaha keras untuk memberi makan ibu serta adik-adikku.

Berburu, menjadi buruh tani, membuat kerajinan bambu, apa pun akan kulakukan demi menghidupi keluarga. Dan lagi-lagi aku beruntung, karena memiliki adik-adik yang pengertian dan mau membantu usahaku.

Sering aku merasa kasihan pada Erau dan Athila. Keduanya baru berumur 8 dan 6 tahun, tetapi sudah harus membantu kami bekerja. Namun, kalau pun aku menyuruh mereka berhenti bekerja, keduanya justru menolak dan mengatakan bahwa lebih suka membantu kami mengerjakan pekerjaan rumah. Praktis, hubungan mereka dengan anak-anak tetangga yang lain pun tidak terlalu baik.

Hessa dan Mila hampir mengalami nasib yang serupa. Namun, keduanya sedikit tertolong karena terkadang membantu pekerjaan saudara-saudara ayahku, sehingga mereka cukup dikenal di lingkungan tetangga. Aku sendiri? Orang-orang sangat mengenalku. Selain karena aku sulung di keluarga ini yang sering hadir saat upacara desa, aku pun dikenal karena kesembronoanku yang sering keluar-masuk Inairakhi.

Orang-orang bergosip mengenai kebiasaanku itu dan berkat umurku yang sekarang menginjak 18 tahun, aku semakin sering digunjingkan karena belum juga menikah. Demi Tadakhua...., hal itu membuatku lebih suka mendekam di rumah dari pada bertemu tetangga dan mendengar nasehat mereka untuk segera menikah serta tidak lagi keluar-masuk hutan. Kalau memang menikah semudah itu dan ada jalan keluar selain mengambil bahan makanan dari hutan, aku pasti mau-mau saja melakukannya. Namun, anjuran mereka sama sekali tidak masuk akal untuk kondisi keluargaku yang serba sulit.

Siapa yang mau menikahi gadis miskin sepertiku dan menanggung seorang Ibu yang sakit-sakitan dan empat adik yang masih kecil?

Kami juga tidak bisa bergantung dari kebun dan ladang sempit kami untuk makan sehari-hari. Hutan memberikan bahan pangan yang jauh lebih kaya dari hasil kami bercocok-tanam setiap hari. Tidak mungkin aku membiarkan keluargaku kelaparan, kalau hutan bisa memberikan kami sedikit makanan untuk bertahan hidup sampai esok hari.

"Yunda ini bicara apa," aku kembali mengusap pipi ibuku. "Kami beruntung memiliki Yunda dan Ramma. Yunda dan Ramma adalah orangtua terbaik yang kami miliki. Kalau bukan karena Yunda dan Ramma, kami tidak akan bisa melihat dunia ini."

"Tapi dunia yang kami tunjukkan adalah penderitaan," ibuku masih berkilah.

"Tidak,"aku tersenyum. "Dunia yang Yunda dan Ramma tunjukkan adalah kebahagiaan. Yunda dan Ramma memberikan kami keluarga yang begitu hangat dan perhatian.Kami bahagia memiliki kalian." 

( 16 Mei 2017 )

---------------------------------

Note:

Yunda : Ibu.

Saya datang kembali membawakan dari sudut pandang Sheya. Saya berusaha menggambarkan kehidupan Sheya dan keluarganya, serta menampilkan pula bagaimana karakter Shui melalui pemikiran dan interaksinya dengan keluarga Sheya.

Bagaimana tanggapan kalian dengan keduanya?

Sebenarnya saya ingin unggah satu part lagi dari sudut pandang Shui, tapi kok kayaknya kebanyakan. Nunggu minggu depan aja untuk unggah cerita ini, ya. :D:D


   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro