Bab 41. Shuikan : Babak Awal Dari Perjalanan Kami

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saya ketawa ngakak baca komentar-komentar kalian kemarin. Kayaknya pada sebel banget sama Shui. Saya harap, bab ini akan menjadi obat kejengkelan kalian sama dia =)))

4.308 kata

---------------------------------------

Pertemuan pagi kali ini tidak terlalu menjemukkan seperti beberapa hari yang lalu. Biasanya mereka membahas mengenai pemotongan dana militer dengan dalih apa pun, yang membuat Shui sakit kepala, tetapi kali ini mereka tidak memperdebatkan hal tersebut. Masalah sudah beralih pada hal lain, yaitu mengenai persediaan air di Shasenka.

Penurunan ketinggian air di kanal-kanal dalam kota membuat semua orang khawatir. Orang-orang memperkirakan, bila penurunan air terus terjadi, empat bulan kemudian sungai Haryun akan kering kerontang dan itu akan menimbulkan masalah yang lebih pelik. Walaupun sudah mengutus beberapa orang untuk mencari tahu penyebab berkurangnya air sungai Haryun, tetapi belum ada kabar yang jelas mengenai hal tersebut. Ini mengakibatkan semua pejabat was-was dan Rhei bertambah uring-uringan setiap hari.

"Sepertinya kita harus melakukan pemeriksaan sampai ke pegunungan utara," ujar Rhei setelah mendengar laporan dari Menteri Pembangunan Shenouka. Dari penyelidikan yang sudah dilakukan, tidak ditemukan adanya tanda-tanda penimbunan air sungai di sepanjang jalur aliran sungai Haryun yang berada di wilayah Shasenka. Ini artinya, mereka harus melakukan penyelidikan lebih jauh lagi, kemungkinan sampai ke hulu sungai yang berada di kawasan pegunungan utara.

"Hal tersebut akan memakan waktu lama, Shenka," komentar Narashima, sambil maju selangkah dari barisannya. "Jika kita terlalu terpaku pada penyelidikan, dikhawatirkan masalah tidak akan teratasi. Yang paling penting sekarang adalah menyelesaikan masalah kekurangan air yang akan dihadapi Shasenka dalam beberapa bulan ke depan."

"Rammui benar," Rhei mengangguk pelan. Ekspresinya terlihat serius. "Tapi kita juga perlu tahu, apa penyebab sungai Haryun menyusut secepat ini. Jika memang alasannya karena musim kemarau, itu sedikit ganjil. Seharusnya es-es di puncak-puncak pegunungan utara mencair dan mengaliri aliran sungai Haryun. Kita harus menyelidikinya sampai tuntas, tetapi tetap mencari cara untuk mengatasi ancaman kekurangan air di kota."

"Bagaimana bila kita membangun waduk-waduk di sekitar Shanseka, Shenka?" Menteri Pembangunan memberikan usul.

"Membangun waduk merupakan langkah yang tepat untuk mengatasi ancaman kekeringan nanti, tetapi hal itu membutuhkan waktu panjang dan biaya yang sangat besar," Rhei melirik ke arah bendahara kekaisaran yang hanya bisa menundukkan kepala. "Aku sudah membicarakan hal ini dengan Permaisuri dan para cendikiawan, mereka sedang mempertimbangkan pembangunan kantong-kantong air yang lebih murah dan mudah di sekitar kota. Dan untuk pembangunannya sendiri, kemungkinan besar akan mengandalkan para prajurit Shenouka."

Pandangan Rhei beralih pada Shui. "Bisakah Ammu melakukannya?"

"Kami siap menjalankan perintah Shenka," Shui menjawabnya dengan tenang. Membantu membangun sarana umum untuk masyarakat maupun pemerintah bukan hal baru bagi prajurit-prajuritnya. Asalkan ada arahan dan pengawasan dari para cendikiawan, mereka bisa melakukannya dengan baik.

"Bagus," Rhei mengangguk puas, tetapi selaan dari salah satu menteri membuat air mukanya berubah menjadi masam.

"Tidakkah lebih baik kita menggunakan tenaga budak untuk melakukannya, Shenka? Mereka lebih murah dari pada para prajurit dan tidak perlu dibayar," ujar Menteri Sosial.

Kaum budak memang tenaga kasar paling murah di Shenouka, terutama budak pemerintah yang merupakan kumpulan dari para penjahat yang sedang dihukum. Sebagian besar budak pemerintah biasanya bekerja di pertambangan dan setiap minggu mendapat upah sebesar 10 sen, yang mana seratus kali lebih murah dibanding buruh biasa yang dibayar 10 keping perunggu tiap minggunya.

"Dari pada mengeluarkan uang untuk membayar para budak, bukankah lebih baik menggunakan tenaga para prajurit? Kalian mengatakan, dana militer yang dikucurkan terlalu besar. Banyak prajurit menganggur di masa damai seperti ini, jadi tidak salah kalau menggunakan tenaga mereka untuk menggerakkan pembangunan. Dan kita tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk tenaga mereka."

Hampir semua Menteri dibuat tertegun mendengar penjelasannya, termasuk para pejabat militer. Ini sama saja menyelesaikan sengketa antara pejabat sipil dan militer, yang dari kemarin berdebat mengenai penggunaan anggaran yang seharusnya bisa dialihkan untuk hal lain. Dengan begini, tidak ada prajurit yang dirumahkan atau pun anggaran yang keluar sia-sia.

"Shenka—," Narashima hendak bicara, tetapi Rhei memotongnya lebih dulu.

"Lagi pula, permintaan Karkashiam terhadap batu marmer kita meningkat. Ini kesempatan bagus untuk mengisi kas yang menipis. Jadi lebih baik pusatkan para budak untuk menambang di Hiryam, dari pada memecah mereka untuk mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan pihak lain."

Narashima tidak terlihat puas, tetapi Shui tersenyum tipis dengan keputusan adiknya. Rhei memang menjengkelkan dan sering membuat amarahnya naik – turun, tetapi terkadang dia bisa berpikir rasional seperti ini. Dan Shui berharap, hal tersebut yang nantinya mendominasi cara pikir Rhei.

Jika Rhei sudah kehilangan rasionalitasnya, banyak sekali keputusan-keputusan konyol yang keluar, seperti ketika lelaki itu menjodohkannya dengan Sheya. Sering kali Shui berpikir untuk menjadikan ketakutan adiknya sebagai kenyataan, tetapi bila dipikir ulang, Shui tidak yakin bisa menyeret adiknya turun dari takhta.

"Pertemuan kali ini selesai. Kalian bisa kembali ke untuk bekerja," Rhei menyudahi pertemuan pagi ini. Iaberdiri dari kursinya, diikuti dengan bungkukan hormat dari para pejabat sipil maupun militer. Kemudian, lelaki itu meninggalkan balairung Shasuiren bersama kasim dan kepala pengawalnya.

"Ini tidak bisa diterima," Menteri Sosial mendekat pada Narashima. "Seharusnya Shenka mengurangi jumlah prajurit, bukannya mempertahankan mereka."

Tatapan Narashima tertuju ke arah Shui yang balas memandangnya tanpa takut.

"Bagaimana menurutmu, Shonja? Apakah keputusan Shenka kali ini tepat?" Dia justru melemparkan pertanyaan pada Shui yang masih berada di tempatnya. Sebagian pejabat militer dan sipil meninggalkan balairung, tetapi ada beberapa yang masih tinggal di sana.

"Saya rasa keputusan Shenka sudah benar," Shui tersenyum tipis. "Mempertahankan jumlah prajurit adalah pilihan yang bagus, mengingat kita tidak tahu kapan dan di mana akan terjadi keributan."

"Seolah kau tahu akan terjadi keributan besar saja," Narashima balas tersenyum tipis.

"Shongra..., saat ini masyarakat masih panik akibat pengaruh hujan darah yang terjadi beberapa minggu silam. Meski para pendoa sudah berkeliling dan melakukan ritual-ritual untuk menenangkan hati mereka, tetapi kebanyakan dari mereka masih percaya bahwa hujan darah ini merupakan salah Shenka. Menurut Shongra, kekuatan mana yang sanggup menahan amarah rakyat bila mereka mencoba melawan?" tanyanya.

"Apa kau ingin mengatakan, bahwa dirimu lebih punya pengaruh di masyarakat, Shonja?" Kedua mata Narashima menyipit memandangnya.

Shui baru menyadari, kata-katanya tadi memang terdengar ambigu. Ia mengumpat di dalam hati sembari menjelaskan, "Maksud saya, para prajuritlah yang bisa meredam amukan rakyat. Kami bisa menahan pergerakan mereka dan membuat mereka takut untuk mengambil langkah anarkis. Jika kekuatan militer dikurangi dalam situasi seperti ini, bukankah itu justru merugikan kekaisaran sendiri? Negara-negara lain pun sedang menunggu konflik untuk merebut wilayah perbatasan kita."

Shui mengucapkannya dengan nada tenang dan datar, mencoba untuk tidak lagi menimbulkan keambiguan dalam kalimatnya.

Narashima memandangnya beberapa saat tanpa berkata apa pun. Kemudian, lelaki itu berujar, "Yang salah dalam hal ini bukan kekuatan militernya, tetapi karena kau yang memegang kekuatan militer tersebut, Shuiren."

Shui menyunggingkan senyum miris. Karena tidak bisa menolak penjelasannya, akhirnya kalimat itulah yang keluar. Paman tirinya ingin ia melepaskan kekuatan militer yang diberikan ayahnya, tetapi sepertinya adik lelakinya masih ingin mempertahankannya di sini.

Shui masih belum mengerti, kenapa Rhei memutuskan hal tersebut. Dilihat dari keputusannya yang terus menyudutkannya, Shui tahu, adiknya memendam ketakutan yang sangat besar terhadapnya.

"Tapi tampaknya Shenka masih menginginkan saya untuk terus mengikuti pertemuan pagi dengan Shongra," timpal Shui.

Narashima tidak membalas lagi. Dia berbalik dan beranjak meninggalkan balairung Shasuiren bersama beberapa menteri.

"Seharusnya Shongra berkaca pada dirinya sendiri ketika meminta kekuatan militer kita dikurangi," komentar salah satu pejabat militer yang berdiri di dekat Shui. Lelaki itu sedikit lebih pendek dari Shui dan memiliki rambut gelap pendek yang berantakan dan kaku. Seragamnya mirip seperti Shui, tetapi tanda pangkat dan lambang yang ada di seragamnya berbeda dari milik Shui. Namanya Moshine—perwira yang bertanggung jawab terhadap Shasenka.

"Benar," perwira militer lainnya menyahut. "Apa yang dikerjakan pejabat sipil selama ini? Kelihatannya justru jumlah pejabat sipillah yang harusnya dikurangi. Selama ini aku melihat mereka hanya suka bersenang-senang saja."

"Cukup. Sekarang kita pusatkan perhatian kita pada masalah, bukan pada pihak lainnya," ujar Shui. "Untuk urusan Shongra, biar aku saja yang menghadapinya. Kalian urus saja pengaturan pasukan nanti."

Keduanya saling bertatapan kemudian menjawab 'siap' dengan tegas.

"Selama ini Shonja selalu menghadapi gangguan Shongra sendirian, rasanya itu tidak baik," komentar Moshine sembari mengikuti Shui keluar dari balairung Shasuiren.

"Apanya yang tidak baik?" Shui balik bertanya. Langkahnya tertahan ketika melihat Sho Seisaba menunggunya di luar balairung.

"Shonja," Seisaba membungkuk ke arahnya yang dibalas Shui dengan anggukan sekilas.

"Apa Sho Seisaba menungguku?" tanyanya.

"Ya," lelaki tua itu tersenyum. "Tapi sepertinya Shonja masih sibuk." Dia melirik ke arah Moshine dan beberapa perwira militer yang mengikuti Shui.

"Kalian bisa kembali ke markas lebih dulu," Shui berujar tanpa melihat ke arah perwira-perwiranya.

"Baik, Shonja," Mereka beranjak pergi, paham bila Shui ingin bicara berdua saja dengan Seisaba.

"Apa yang ingin Sho Seisaba bicarakan dengan saya?" tanya Shui.

"Ini tentang pernikahan Shonja," jawabnya pelan.

"Pernikahan saya?" kedua alis Shui terangkat. "Apa Sho Seisaba juga ingin mencela keputusan Kaisar?"

"Bukan. Bukan begitu," Seisaba menggeleng kuat-kuat. Air mukanya terlihat ragu sekaligus khawatir.

"Lantas apa?" Shui mengerutkan dahi.

"Ini tentang putriku—Nuaniha," Seisaba semakin terlihat ragu-ragu, sedangkan Shui mulai merasakan kekhawatiran mendengar nama gadis itu disebut. Ada apa dengan Nuaniha?

"Jika Shonja tidak keberatan, maukah Shonja menikahinya sebagai istri kedua?"

Penawaran Seisaba membuat Shui terpaku di tempat. Seisaba menawarkan pilihan ini padanya?

"Sho Seisaba pasti sedang bercanda," Shui tersenyum kecut. Mana ada bangsawan yang mau statusnya di bawah rakyat jelata?

"Tidak. Aku tidak bercanda, Shonja," Seisaba kembali menggeleng kuat-kuat. "Nuaniha... putriku..., dia seperti tidak bersemangat hidup. Setiap hari hanya mendekam di kamar dan menangis setelah mendengar Shonja akan menikahi gadis desa itu. Jika Shonja berkenan, maukah Shonja menikahinya? Aku tidak peduli, dia akan menjadi istri kedua. Namun, aku tidak tahan melihatnya bersedih terus-menerus seperti ini."

Air muka Shui berubah muram mendengarnya. Nuaniha memiliki perasaan yang sama sepertinya, itu sudah jelas sekarang. Namun, menikahinya sama saja mengundang bencana pada gadis yang dicintainya.

"Kalau diizinkan, saya akan menemuinya," ujar Shui.

"Shonja setuju menikahinya?" air muka Seisaba berubah cerah.

Shui menggeleng tegas, membuat kegembiraan Seisaba lenyap. "Saya akan bicara padanya."

"Kenapa Shonja tidak mau menikahinya?" Seisaba terlihat kecewa dengan jawaban Shui.

Karena ia tidak ingin Nuaniha dan keluarganya menanggung masalah lain akibat keinginannya. Shui ingin mereka baik-baik saja dan lepas dari jeratan masalah yang diciptakan Kaisar.

"Karena saya mencintai Sheya." Jawabannya sudah lebih dari cukup membuat ekspresi Seisaba seperti dipaksa menelan cairan cuka.

"Kupikir itu hanya permainana Shenka saja. Jadi Shonja benar-benar mencintai gadis desa itu? Sungguh tidak masuk akal," gumamnya sembari berbalik dan meninggalkan Shui seorang diri.

Kemarahan Seisaba sudah sewajarnya. Orang tua mana yang senang anaknya dikalahkan oleh seorang gadis desa yang asal-usulnya tidak jelas dan tidak memiliki pendidikan yang mumpuni? Bila Shui memiliki anak perempuan dan anak perempuannya ditolak gara-gara perempuan lain yang latar belakang maupun statusnya lebih rendah dari putrinya, ia pasti juga akan marah.

Shui menghela napas sekali lagi, kemudian pergi menuju ke Istana Yuunsui.

***

Junuran sudah menunggunya di sana—di depan gerbang istana Yuunsui yang dijaga oleh dua prajurit wanita berseragam merah marun. Dia menunggu bersama Kokhan dan Mahanan. Ekspresi dan penampilan Junuran terlihat lebih baik dibanding saat di rumah. Seragam yang dikenakannya rapi dan wajahnya lebih bersih serta segar, meski air mukanya masih mendung. Shui menyapa mereka sekilas sebelum bicara dengan dua prajurit yang menjaga.

Sesuai aturan yang berlaku, hanya Shui yang diizinkan memasuki area Istana Yuunsui, sedangkan yang lain hanya boleh menunggu di luar. Shui tidak mendebat aturan tersebut dan justru meminta Junuran dan yang lain untuk menunggu di salah satu taman istana Shasuiren yang berada di sisi barat.

Shui memasuki area Yuunsui, menyusuri jalan yang ia hafal di luar kepala. Ia melewati lorong-lorong kosong yang lebar. Dulu, ia sering mendengar suara tawa, tangis bayi, maupun percakapan di sekitar tempat ini, tetapi setelah kepergian ayah dan ibunya, istana ini nyaris seperti istana hantu. Sepi dan sunyi.

Mau bagaimana lagi, setelah Rhei diangkat, hanya Nayunira yang menghuni istana ini. Semua selir dan anak-anak selir dikeluarkan dari tempat ini. Kalau pun mereka masih di sini sekarang (untuk mengikuti upacara pernikahannya yang akan terjadi sebentar lagi), mereka tidak terlihat ingin menyemarakkan istana ini.

Shui menghela napas sembari berbelok menuju area ruangan yang ditinggali Sheya. Selain itu Rhei tidak terlihat ingin mengangkat selir, Permaisuri juga tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Kata orang-orang, Rhei dan Meiyari sangat dekat. Keduanya sering menghabiskan waktu bersama, tetapi dengan cara yang tidak lazim. Mereka lebih banyak berdiskusi, membicarakan tentang puisi, dan mengobrol mengenai hal remeh-temeh.

Dari cerita para dayang dan pelayan, keduanya sama sekali tidak terlihat punya hubungan... romantis. Entah dari mana mereka mendapatkan kesimpulan tersebut. Namun bila Shui menilai dari interaksi Rhei dan Meiyari, ia pun merasa... keduanya lebih tepat disebut sebagai sahabat dibanding suami-istri.

Langkah Shui terhenti di depan kamar Sheya, yang dijaga oleh dua pelayan perempuan bergaun abu-abu pucat. Kedua gadis itu memberi bungkukan hormat pada Shui. Salah satunya mengatakan, bahwa saat ini Sheya sedang belajar di dalam.

"Jangan," Shui melarang mereka memberitahukan kedatangannya pada Sheya. Ia mendengar Sheya tengah membacakan sesuatu yang diikuti dengan komentar seorang wanita. Sepertinya ia datang saat Sheya masih belajar membaca.

Shui berdiri di depan pintu, mendengarkan setiap kata yang diucapkan Sheya dengan lancar. Hanya sesekali gadis itu tersendat-sendat melafalkan kata yang kemudian dibenarkan oleh gurunya. Hanya dalam waktu beberapa minggu Sheya sudah bisa membaca selancar ini? Sungguh kemajuan yang sangat cepat.

Shui tergeragap ketika pintu ruangan dibuka tiba-tiba dari dalam dan seorang wanita setengah baya bergaun biru gelap berdiri di hadapannya.

"Salam, Shonja," wanita itu memberi bungkukan hormat padanya, yang dibalas Shui dengan anggukan canggung. "Apa Shonja kemari untuk bertemu nona Sheya?" Dia menoleh ke arah Sheya yang diam termangu di tempat duduknya—kelihatannya tidak mengira dengan kedatangan Shui.

Ketika tatapan mereka bertemu, Shui bisa melihat kekikukannya. Pandangan Shui beralih pada penampilan Sheya. Gadis itu terlihat jauh berbeda saat mereka terakhir kali bertemu. Apa dia salah lihat ataukah Sheya memang berubah menjadi lebih... manis?

Shui mengerjap, lalu memalingkan pandangannya pada guru Sheya yang masih menunggu jawabannya.

"Ya. Saya kemari untuk bertemu Sheya. Bisakah, Nyonya?" tanyanya, berusaha menyembunyikan kecanggungannya.

"Silakan," wanita itu bergeser ke samping, seakan memberinya jalan. "Pelajaran saya juga hampir berakhir. Nona Sheya cepat belajar dan nyaris tidak membutuhkan bantuan saya untuk membaca lagi. Saya senang bisa mengajarnya."

"Apa yang Nyonya bicarakan," Sheya berkilah. "Saya masih butuh banyak arahan Nyonya."

Wanita tua itu tersenyum. "Nona, sekarang Shonja ada di sini, apa Nona tidak melupakan sesuatu?"

Sheya tertegun sesaat, sebelum akhirnya dia berdiri dari kursi dan memberinya salam. Caranya membungkuk dan memberikan salam masih sedikit kasar, tetapi Shui bisa melihat keluwesannya, seakan Sheya sudah puluhan atau ratusan kali melakukannya.

"Bagus, saya bersyukur, Nona tidak melupakannya," Wanita itu tertawa kecil, yang disambut rona merah di pipi Sheya.

"Saya ingin mengajak Sheya keluar sebentar, bolehkah?" tanya Shui sekali lagi pada guru Sheya.

"Shonja harus menanyakannya langsung pada Nona Sheya, bukan pada saya," wanita bermata sipit itu tersenyum tipis.

Pandangan Shui beralih ke arah Sheya yang kini menundukkan pandangannya. Ia tidak tahu, apa saat ini matanya salah lihat ataukah ini benar-benar nyata, tetapi Sheya memang berbeda dari sebelumnya. Kulitnya lebih bersih dan cerah. Rambutnya pun tampak gelap dan bersinar. Pipinya lebih penuh, yang menandakan dia cukup makan dan istirahat di sini. Secara keseluruhan, selama berminggu-minggu tinggal di Yuunsui, ada perubahan besar yang terjadi pada Sheya.

"Apa kau mau pergi bersamaku, Sheya?" tanya Shui.

"Ke mana?" Sheya balik bertanya tanpa terlihat ragu. Sesaat kemudian dia merapatkan bibir, seakan-akan baru melakukan kesalahan fatal. Kelihatannya pertanyaan itu keluar tanpa dia pikir lebih dulu.

Shui tersenyum. "Berjalan-jalan di sekitar istana," jawabnya. "Sesekali kau harus rehat dari rutinitas belajarmu."

"Shonja sungguh perhatian," Guru Sheya berkomentar. "Saya harap Shonja terus seperti ini."

Nah..., itu terdengar seperti sindiran. Tapi Shui tidak mau ambil pusing dengan komentar guru Sheya. Ia beranjak mendekati Sheya, lantas mengulurkan tangannya ke arah gadis itu. "Ayo?"

Sheya melirik ke arah gurunya. Setelah mendapat anggukan singkat dari wanita itu, Sheya menyambut uluran tangannya dengan ragu-ragu. Kemudian, Shui menggandengnya keluar dari ruangan.

***

"Sebenarnya apa yang ingin Tuan bicarakan dengan saya?" Sheya bertanya setelah mereka menjauh dari ruangannya.

Shui menghentikan langkahnya, lantas menoleh ke arah gadis itu. Tatapan Sheya masih sama, penuh keterus-terangan dan tanda tanya.

"Kau bahkan sudah tahu sebelum aku mengatakannya," Shui meringis sambil melepas tangan Sheya. "Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu di luar."

"Hessa 'kah?" Sheya mengernyitkan dahi, terlihat semakin penasaran.

"Kau akan tahu nanti," Shui mengedikkan kepala. "Ikuti aku."

Sheya mengikutinya tanpa banyak bertanya. Mereka menyusuri lorong Istana Yuunsui dalam diam, hingga tiba di gerbang yang membatasi area istana Yuunsui dengan Shasuiren. Sesaat Sheya berhenti mengikutinya, tampak begitu ragu ketika ia melewati gerbang Yuunsui.

"Ada apa?" Shui berhenti di tempat dan menoleh ke arahnya. "Ayo, tidak apa-apa."

Air muka gadis itu masih menyiratkan keraguan, tetapi Shui sabar menunggunya di depan gerbang yang terbuka. Pada akhirnya, Sheya tetap mengikuti Shui. Mereka keluar dari area istana Yuunsui dan beralih memasuki halaman barat Istana Shasuiren.

Dibanding Istana Yuunsui, taman di tempat ini lebih luas dan lapang. Tanaman yang mendominasi petak-petak taman berupa sesemakan dan pepohonan pendek. Hanya petak-petak tertentu yang ditanami bunga, itu pun tidak banyak. Mereka menyusuri jalan kecil di tengah-tengah taman, hingga sampai di sebuah gazebo kecil berbentuk segi delapan. Di dalam gazebo tersebut, terlihat beberapa orang yang sedang menunggu.

Junuran yang semula tidak tenang dan memandang tanpa arah ke sekelilingnya, tiba-tiba terpaku. Pandangannya terfokus pada Sheya yang berada di belakang Shui. Sementara itu, Shui bisa merasakan keterpakuan yang sama di belakangnya. Ketika menoleh ke belakang, Shui melihat keterkejutan di wajah Sheya, yang kemudian disusul dengan genangan di sudut matanya.

Wanita dan air mata..., Shui tidak nyaman melihatnya sehingga kembali memalingkan pandangannya ke depan.

"Tinggalkan kami," Shui berujar pada Kokhan dan Mahanan.

Keduanya mengangguk patuh, kemudian beranjak meninggalkan gazebo, membiarkan Shui, Junuran, dan Sheya bersama di sana.

"Kalian berdua, duduklah dulu," Shui meminta Jun dan Sheya untuk duduk di kursi yang ada di tengah gazebo. Suasana taman cukup sepi dan tenang, tidak banyak dayang maupun pelayan yang hilir-mudik di sisi taman barat, karena biasanya bila mereka ada urusan ke istana sebelah, mereka akan memotong jalur melewati lorong yang menghubungkan Shasuiren dengan Yuunsui.

Junuran dan Sheya masih mematung di tempat masing-masing. Dari sikap dan pandangan keduanya, terlihat banyak sekali yang ingin mereka ungkapkan berdua saja. Walau serasa menjadi pengganggu bagi sepasang kekasih, tetapi Shui tetap harus bertahan di sini. Kalau Sheya dibiarkan berdua saja dengan Jun, sama saja mengundang gunjingan dari orang lain.

"Tolong, duduk." Shui menajamkan suaranya, membuat perhatian sepasang kekasih itu kembali tertuju padanya.

Junuran terlihat memaksakan dirinya untuk duduk di seberang Shui. Sementara itu, ketika Sheya hendak memilih tempat duduk di dekat Jun, Shui menegurnya dan memintanya duduk di sampingnya. Dari tatapan Sheya, Shui tahu, dia tidak menyukai permintaannya. Namun, Sheya tetap menurut dan duduk di sampingnya.

"Sekarang kalian bebas bicara. Kalian bisa mengutarakan perasaan masing-masing," ujar Shui. "Anggap saja aku tidak ada."

"Bagaimana kami bisa menganggap Tuan tidak ada?" Sheya membantahnya. Bahunya bergetar pelan, diiringi isakan halus. "Nyata-nyata, Tuan ada di dekat saya. Kami tidak bisa menganggap Tuan tidak ada."

Shui hendak bicara, tetapi ucapan Sheya membuatnya kembali menutup mulut.

"Maaf, Jun," Sheya menundukkan kepalanya. Air matanya jatuh satu demi satu ke gaunnya. "Maafkan aku. Maaf karena tidak bisa menepati janjiku padamu."

Junuran tidak mengatakan apa pun, tetapi air mukanya terlihat sangat putus asa. Ada kemarahan, kesedihan, serta ketidakberdayaan dalam ekspresinya, yang membuat Shui meyakini, perasaan di antara keduanya memang sudah terjalin dalam.

"Bukan kau yang seharusnya meminta maaf, Sheya," Junuran merendahkan tatapannya. "Bukan kau yang seharusnya mengucapkan hal itu."

Kata-katanya terdengar seperti kecaman terhadapnya dan Kaisar, tetapi Shui lebih memilih diam. Kemarahan Jun sangat wajar, amat sangat wajar malah. Siapa yang suka bila orang yang mereka cintai dinikahi orang lain? Tidak ada.

"Aku tetap harus mengatakan itu," Air mata Sheya mengalir semakin deras. Tangannya gemetar ketika melepaskan gelang giok pemberian Jun dan meletakkannya di atas meja. "Maafkan aku, karena tidak bisa memenuhi janji-janji yang sudah kita buat sebelumnya." Suaranya tersendat-sendat ketika menyorongkan gelang pertunangan mereka ke arah Jun.

Jun menatap gelang tersebut dengan mata berkaca-kaca. Tangannya terulur untuk mengambilnya, kemudian menyimpannya di balik seragamnya.

"Seharusnya aku mengantarmu kemari," Jun tidak bisa menahan tangisannya. "Seharusnya kita menikah sebelum kau kemari."

Shui menulikan diri dari tangisan keduanya. Ia membuang pandangannya keluar gazebo, mengamati situasi sekitar yang lengang. Untuk kali ini saja... untuk kali ini saja, ia akan membiarkan mereka menangis dan menyesali nasib yang mengikat mereka pada takdir yang berbeda. Hanya untuk kali ini saja....

***

Perpisahan tersebut dilakukan tanpa kata-kata. Seandainya mereka bisa berpelukan, tentu mereka akan melakukannya. Shui bisa melihat kerinduan yang teramat dalam pada cara mereka memandang. Namun, karena kehadirannya di antara keduanya, perpisahan tersebut hanya berupa senyuman getir serta isakan halus.

Setelah membiarkan Sheya bertukar salam perpisahan dengan Junuran, Shui mengantarnya kembali ke Istana Yuunsui. Namun, sebelum mengembalikan Sheya ke ruangannya, ia mengajak gadis itu ke taman lain yang berada di sisi timur Istana Yuunsui. Sebuah taman yang dikelilingi bunga berwarna kuning dan merah, yang memiliki sebuah gazebo terbuka tanpa atap. Di dekat gazebo tersebut, terdapat kolam ikan kecil yang memiliki air jernih.

"Terima kasih, Tuan sudah memberi saya kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal pada Jun," ucap Sheya, ketika mereka duduk berseberangan.

"Itu sudah sewajarnya, tidak perlu berterima kasih," Shui mengulurkan sapu tangannya.

Sheya mengangkat wajah, memandangnya tak mengerti.

"Matamu terlihat bengkak dan pipimu basah. Hapus air matamu," komentar Shui.

Gadis itu mengambil sapu tangan Shui dan membersihkan pipinya yang basah oleh air mata. Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara di antara mereka, hingga ucapan Shui mengakhiri kebisuan di antara mereka.

"Setelah ini, mungkin aku akan menugaskan Junuran ke daerah lain," ucapnya.

Sheya tertegun. "Kenapa?" tanyanya spontan.

"Menurutmu, apa dia masih sanggup berada di Shamasinai, sementara hubungannya denganmu berakhir seperti ini?" Shui memandangnya.

Pandangan gadis itu tertunduk perlahan. "Tidak," jawabnya lirih.

Shui menghela napas. "Aku tidak mengira, kalian punya hubungan sedalam ini," ujarnya. "Kupikir, karena baru beberapa bulan saling mengenal, hubungan kalian masih biasa saja."

"Hampir setiap hari kami bertemu dan bercakap-cakap. Jun juga banyak membantu saya di desa. Bagaimana mungkin kami tidak lekas akrab?" Sheya menampilan pelan.

"Ketika aku terluka, kita pun bercakap-cakap dan kadang aku juga berusaha membantumu, tetapi nyatanya, kau tidak lekas akrab denganku." Komentar Shui membuat Sheya sedikit gelagapan.

"Itu karena Tuan bukan berasal dari kelas sosial yang sama dengan saya."

"Dan Jun berasal dari kelas sosial yang sama denganmu?"

"Kami sama-sama bukan berasal dari golongan bangsawan," Sheya menegaskan maksudnya, supaya Shui tidak salah paham.

"Ah, begitu rupanya," Shui mengangguk paham. "Tapi sekarang yang akan kau nikahi adalah seorang bangsawan, bahkan termasuk keluarga Kaisar. Bagaimana menurutmu?"

Sheya kembali menatapnya, kali ini memberikan pandangan heran. "Mengapa Tuan menanyakan hal tersebut?"

"Untuk mengarahkan hubungan kita setelah ini," jawab Shui.

Kali ini tanda tanya besar seolah muncul di atas kepala Sheya. Gadis itu tentu tidak memahami maksud pernyataannya tadi.

"Aku... tidak berniat mengambil istri lain setelah menikahimu." Ucapannya membuat Sheya tertegun. "Jadi, ketika aku menikahimu, maka aku akan benar-benar mengambilmu sebagai istriku. Kau bukan hanya menjadi pendampingku saat berada di acara-acara resmi, tetapi juga benar-benar menjadi pendamping di tempat tidurku. Darimu, maka garis keturunanku akan berlanjut. Apa kau siap?"

Bibir Sheya terbuka dan terkatup beberapa kali. Dia lebih terkejut dari sebelumnya, tampak tidak siap menanggapi pernyataannya yang blak-blakan.

"Tu...Tuan bukannya bisa mengambil selir? Mengambil istri lain? Atau menikahi wanita yang Tuan cintai?" tanyanya gelagapan.

"Aku tidak bisa melakukannya," Shui memiringkan kepalanya. Ia tidak bisa menikahi Nuaniha, pun tidak ingin menambah masalah dengan mengambil banyak wanita sebagai selir. Kalau pun ia ingin bersenang-senang, cukup tidur bersama mereka tanpa ikatan emosional yang berarti. Dan yang paling penting, ia melaksanakan janjinya pada ibunya, yaitu hanya mengambil seorang wanita sebagai istri.

Sheya kehilangan kata-kata, tidak mampu membalas ucapannya. Untuk seseorang yang baru saja berpisah dari kekasihnya, ucapannya memang terlalu kejam dan mendadak. Seharusnya ia memberi gadis ini ruang dan waktu untuk mengobati perasaannya lebih dulu, tetapi Shui ingin Sheya tahu, bahwa ia tidak menganggap pernikahan ini sebagai permainan, meski perjodohan mereka merupakan kekonyolan.

"Kau harus mempersiapkan diri baik-baik," Shui mengambil sesuatu dari balik saku dalam seragamnya dan menaruhnya di atas meja. "Setelah kita menjadi suami-istri, maka aku benar-benar akan bersikap selayaknya seorang suami kepada istrinya. Aku akan mencukupi kebutuhanmu, memberimu perlindungan, dan menjagamu. Sebaliknya, aku pun mengharapkan hal yang sama darimu."

Sheya masih tidak mampu membalasnya. Pandangan gadis itu tertuju pada kotak hitam bersepuh emas yang ia letakkan di atas meja.

Shui membuka kotak tersebut, memperlihatkan satu set perhiasan padanya. Gelang, cincin, anting, kalung, bahkan tusuk rambut! Semuanya terbuat dari emas dan perak, serta dihiasi batu bulan yang membentuk pahatan kepala harimau.

"Ini... adalah tanda pertunangan dariku. Agak lama menunggunya, terutama karena aku meminta pengrajinnya untuk membuat detail yang bagus," Shui berdiri dari kursinya, kemudian mengambil gelang yang dari kotak tersebut.

"Kau tahu kenapa aku meminta pengrajin memahat kepala harimau pada perhiasaan maharmu?" Shui meminta Sheya mengulurkan tangan kanannya.

Gadis itu memenuhi permintaannya dan menjawab pertanyaannya dengan gelengan pelan.

"Itu karena aku ingin orang-orang tahu, bahwa kau adalah milikku," Shui bisa melihat tangan Sheya gemetar. Kemudian ia menggenggamnya, hanya untuk merasakan getaran tersebut semakin kuat. "Harimau adalah lambang yang diberikan Rammashi padaku. Sebuah perlambang yang kudapat setelah susah payah berperang di utara. Aku bahkan hampir mati ketika berusaha memukul mundur pasukan Myrtala. Untungnya badai salju menyelamatkan kami."

Shui mengambil cincin dari kotak dan memasangkannya ke jari manis tangan kanan Sheya. "Saat itu, ketika badai salju datang, aku mendapat ide untuk menyaru seperti salju. Kami mengenakan jubah putih, bergerak diam-diam ketika badai salju datang, dan membuat suara-suara seperti raungan harimau untuk menakuti musuh. Pada akhirnya, pasukan Myrtala berhasil dipukul mundur dan aku mendapat penghormatan dari Rammashi. Sayangnya, setelah itu aku jatuh sakit akibat kelelahan."

Selesai memasang cincin tersebut, Shui kemudian mengecup punggung tangan kanan Sheya, membuat gadis itu berjengit kaget.

"Harimau putih Shasenka, itu julukan yang diberikan Rammashi padaku. Awalnya terasa aneh, tetapi lama-lama aku mulai menyukainya," Shui kemudian memasangkan kalung di leher Sheya.

Gadis itu benar-benar terlihat tegang, terlihat dari cara duduknya yang kaku dan diam seperti patung. Shui tahu, Sheya tidak nyaman, tetapi ia harus memperlihatkan penegasannya, supaya gadis itu mengerti, bahwa apa yang mereka jalani nanti bukan main-main.

"Apa perlu kupasangkan antingnya?" tanya Shui.

"Ti—Tidak. Saya bisa memasangnya sendiri!" Sheya menjawab buru-buru, terlihat takut dan kalut secara bersamaan.

Shui tersenyum, kemudian kembali duduk di seberang Sheya. Gadis itu terlihat cukup menarik menggunakan perhiasaan yang dipesannya.

"Pakai tusuk rambut ini saat pernikahan kita," Shui menyorongkan kotak tersebut ke arah Sheya. "Aku ingin melihat rambutmu dihiasi benda ini."

"Ba—Baik, Tuan," Sheya menundukkan pandangan, tidak berani menatapnya seperti tadi.

"Satu lagi," Shui teringat sesuatu. "Jangan lagi memanggilku Tuan. Kau bisa memanggilku Shuiren atau Shui saja."

(12 Nopember 2018)

=================

Note:

Dan.... demikian berakhir babak ke-2 The Conquered Throne. Mulai bab depan sudah memasuki babak ke-3, alias babak pamungkas cerita ini. :D

Nah...nah..., kalian pasti bisa nebak, bab depan ini ceritanya bermula dari mana :3

Jangan lupa vote dan komennya~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro