Bab 42. Sheyana : Ikatan Yang Telah Disimpul

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Note:

Terima kasih atas kesabaran kawan-kawan sekalian dalam menunggu update cerita ini. Saya minta maaf sebesar-besarnya karena nggak bisa update rutin. Pekerjaan di kantor menumpuk. Mulai pertengahan November kemarin saya harus lembur dan hari sabtu yang biasa saya pakai untuk menulis juga saya gunakan untuk bekerja.

Kali ini saya update dua part. Sebenarnya saya ingin menahan sampai 3 part, tapi saya merasa nggak enak hati nahan update ini lama-lama. Jadi..., silakan dinikmati makanan pembuka babak ke-3 The Conquered Throne :D

---------------------------

Hari pernikahanku tiba.

Sejak sebelum matahari terbit, para pelayan dan dayang sibuk membantuku melakukan ritual sebelum pernikahan. Mulanya mereka membersihkan tubuhku dengan sejenis tumbukan beras dengan tumbuh-tumbuhan. Ketika pertama kali mereka melakukannya pada tubuhku berhari-hari lalu, aku merasa sangat malu dan kikuk.

Harus telanjang di depan orang lain dan membiarkan mereka menyentuhku terasa sangat..... mengganggu. Terutama karena aku terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri. Aku pernah memprotes secara halus dan meminta izin untuk membersihkan diriku sendiri. Namun Nyonya Suani menolak tegas, dengan alasan bahwa aku tidak bisa membersihkan diri dengan baik karena sudah terlalu lelah belajar sepanjang hari.

Setelah berkali-kali melakukan ritual pernikahan, aku merasa ritual pagi ini menjadi tidak terlalu penting. Kulitku sudah semakin licin dan putih, hingga tidak tahu lagi mana yang harus dibersihkan dari kulit sepucat ini. Wajahku pun terasa makin kenyal dan lembut. Seharusnya mereka menyuruhku langsung mandi dari pada berbaring di atas dipan dan merasakan tubuh digosok seperti papan kasar yang hendak dihaluskan.

"Aku ingin mandi sendiri," pintaku sambil mengeratkan kain yang menutupi sebagian tubuhku.

Nyonya Suani mempersilakan tanpa membantah dan ini menjadi suatu kesenangan tersendiri. Aroma bunga yang ringan bercampur dengan aroma manis buah ketika aku memasuki kamar mandi. Aku merasa sedikit lebih santai ketika berendam di dalam bak mandi berisi air hangat. Aroma wewangian ini pun membuatku merasa lebih tenang.

Setelah hari ini aku akan menjadi istri pangeran. Permaisuri sudah memberikan pisau supaya aku bisa melindungi diri sendiri dan aku tidak boleh menyia-nyiakannya.

"Dukungan dan perlindungan merupakan tindakan termudah yang bisa kulakukan untuk membantu Yuuni. Yang paling penting justru dari Yuuni sendiri. Sikap, tutur kata, dan tindakan Yuuni-lah yang akan menunjukkan, apakah dukungan dan perlindunganku pantas atau tidak."

Kata-kata Permaisuri masih terngiang dalam kepalaku, meski hal tersebut sudah diucapkan berhari-hari yang lalu. Setelah keluargaku datang, persiapan pernikahan dilakukan secepat kilat, sampai aku tidak punya waktu untuk duduk sejenak. Gaun pengantin yang belum selesai dijahit, jam belajar yang dipadatkan dan semakin banyak materi yang harus kupahami, belum lagi sederet barang-barang yang harus kupilih sebagai hadiah pernikahan menyita banyak waktuku.

Meski Nyonya Suani sudah membantu, tetapi beliau pun memiliki tugas lain yang harus diselesaikan seperti memastikan semua gaun dan seragam yang akan dikenakan para pelayan sudah siap, meneliti hadiah-hadiah pernikahan yang akan kami bawa nanti, bolak-balik ke kediaman Tuan Shui untuk melihat dan memastikan persiapan pesta di sana berjalan lancar, serta selalu mengingatkanku untuk melakukan ritual pembersihan diri supaya tampil segar dalam upacara pernikahan nanti.

Di sela kesibukan kami menyiapkan ini – itu, Permaisuri Meiyari datang berkunjung. Selain untuk melihat bagaimana kemajuan persiapan kami, beliau pun menyempatkan diri untuk berbincang denganku. Beliau banyak memberikan saran, terutama bagaimana aku harus bersikap dan bertindak setelah menjadi istri Tuan Shui nanti.

"Ketika Yuuni menjadi istri Ammuren, itu artinya Yuuni sudah menjadi bagian keluarga kekaisaran. Terlepas dari latar belakang Yuuni, Yuuni tetap memiliki kehormatan sebagai istri pangeran. Jangan menerima penghinaan, jangan menganggap diri Yuuni pantas mendapat cemohan. Karena semua itu tidak boleh ditujukan pada keluarga Kaisar."

"Semua pelajaran yang selama ini Yuuni terima merupakan dasar untuk membentuk karakter dan sikap. Maka dari itu, aku meminta para pengajar untuk bersikap lebih keras saat mengajar Yuuni, karena kita tidak memiliki banyak waktu. Seorang putri bangsawan memiliki waktu seumur hidupnya untuk mempelajari semuanya, tetapi Yuuni tidak. Karena Yuuni membutuhkan semua dasar-dasar itu setelah menjadi istri Ammuren."

"Yang bisa kulakukan adalah memberikan Yuuni ilmu untuk bertahan. Selebihnya, Yuuni harus berjuang menghadapi kenyataan."

Kata-kata Permaisuri sangat sederhana, tetapi memiliki makna mendalam. Akan ada banyak halangan setelah aku menjadi istri Shuiren dan aku harus siap menghadapinya serta menggunakan perlindungan dan dukungan permaisuri dengan layak.

Aku mendesah sambil bersandar pada pinggiran bak mandi. Sampai hari ini, aku masih tidak percaya bahwa aku akan menjadi istri Tuan Shui. Berbulan-bulan lalu, aku hanyalah gadis desa miskin yang perlu mengais makanan di hutan untuk mengisi perut dan sekarang aku akan menjadi wanita dari seorang Jenderal yang berpengaruh di Shenouka? Kalau bukan karena perintah Kaisar, semua ini hanyalah angan-angan kosong belaka.

Aku... Apa aku benar-benar bisa menjadi istri Tuan Shui seperti yang dia harapkan?

Perasaanku gamang. Tuan Shui menginginkanku secara lahir dan batin untuk menjadi wanitanya. Namun... aku belum siap. Awalnya, aku sudah rela akan dimadu oleh siapa pun. Jika Tuan Shui ingin menikah lagi, bila dia ingin mengambil selir atau pun gundik, aku akan merelakannya, karena aku tahu, aku tidak siap hidup bersamanya. Namun dengan pernyataannya hari itu, siap atau pun tidak, aku benar-benar harus menjadi wanitanya.

Padahal Jun...

"Apa Nona sudah selesai?" Pertanyaan Nyonya Suani di luar pintu kamar mandi membuatku mengerjap.

"Belum. Aku belum selesai," jawabku cepat-cepat.

"Kita harus bergegas, Nona. Upacara pernikahan akan dilaksanakan sekitar jam delapan," ucapnya. "Tidak baik terlambat dalam pernikahan Nona sendiri."

Aku mendesah pelan sembari mencuci wajah dengan air. "Baiklah. Aku akan segera keluar."

Setelah mengenakan jubah mandi yang terlipat di atas meja kecil yang ada di dalam kamar mandi, aku pun keluar. Nyonya Suani sudah menungguku dengan tangan membawa nampan yang berisi beberapa pakaian tipis yang telah terlipat rapi.

"Apa aku benar-benar harus memakai ini?" Aku mengernyit ketika mengambil kain teratas yang ada di nampan. Kain tersebut sangat tipis, sekalipun berhiasakan sulaman tangan yang indah.

"Ya, Nona harus memakainya." Nyonya Suani berdeham. "Itu wajib dipakai."

Kerutan di dahiku semakin dalam, tetapi aku tidak membantah. Tidak ada gunanya membantah di saat waktu kami semakin sempit. Aku beranjak ke balik skelsel kayu dan mengenakan semua kain serta gaun yang dibawakan Nyonya Suani. Setelah itu, barulah para dayang dan pelayan membantuku mengenakan gaun-gaun luar yang lebih panjang dan berat.

Ada tiga lapis gaun yang harus kukenakan sebelum mengenakan gaun pengantin. Semua dari bahan yang berbeda dengan berat yang berbeda-beda pula. Ada yang dari katun, ada juga yang dari satin dengan warna persik cerah. Warna gaun-gaun tersebut bertolak belakang dengan warna gaun pengantinku yang gelap.

Gaun pengantinku berwarna hitam, yang merupakan lambang dari warna agung yang kuat. Karena berasal dari kelas bawah, sulaman tangan yang terjahit di seluruh gaun tidak boleh menggunakan warna emas maupun perak. Kepada para penjahit Istana, aku meminta mereka memakai benang-benang berwarna kuning, merah, hijau, dan jingga.

Mulanya mereka tidak suka dengan usulku, karena menganggap warna-warna yang kupilih akan saling bertabrakan dan mencolok. Kebanyakan dari mereka lebih suka dengan warna-warna yang kalem, tapi warna seperti itu tidak akan muncul di atas kain gelap dan hanya akan membuat nuansaku terlihat sedih. Maka dari itu, aku menggambar pola sulaman pada gaunku dan mencontohkan seperti apa sulaman yang kuinginkan, hingga akhirnya mereka mau menerimanya dan terciptalah gaun pernikahan yang kuinginkan. Gaun bercorak tanduk rusa yang berdampingan dengan dedaunan hutan.

"Tersenyumlah, Nona. Ini hari pernikahan Anda," tegur Nyonya Suani yang berdiri di dekatku.

Setelah selesai mengenakan gaun, mereka mulai merias wajah dan menata rambutku. Sesuai permintaan Tuan Shui, aku mengenakan semua perhiasan mahar yang dipersiapkannya. Mulai dari anting, gelang, kalung, cincin, hingga tusuk rambut. Rasanya asing dan aneh, mengenakan sesuatu dari pria yang tidak kuharapkan. Namun... kenyataannya memang harus seperti ini.

"Nah, sudah siap," Nyonya Suani tersenyum lebar melihat penampilanku saat ini. "Nona benar-benar sangat cantik."

Aku membalas pujiannya dengan senyuman kecil.

"Sekarang, mari kita pergi ke Imizdha." Beliau memakaikanku sehelai kerudung tipis untuk menutupi rambutku.

***

Sederet pelayan, dayang, maupun prajurit telah menunggu kedatangan kami di halaman Imizdha. Hiasan kain, rangkaian bunga-bunga yang terikat pada tiang-tiang kayu yang mengarah pada Imizdha bukanlah sesuatu yang pantas kuterima. Kemeriahan ini... seharusnya tidak kudapatkan, mengingat statusku yang rendah. Bahkan Nyonya Suani pun tidak memercayai pemandangan yang disajikan di depan kami.

"Permaisuri Meiyari.... mendukung pernikahan Nona dan Pangeran," ujar beliau.

"Dari mana Nyonya tahu?" Aku mengernyit heran.

"Dayang dan pelayan-pelayan itu... mereka semua berasal dari paviliun Yueyuunsui."

Pandanganku beralih kepada para dayang dan pelayan yang menundukkan kepala ketika kereta kuda kami lewat. Sesampainya di selasar Imizdha, dayang Imaega menyambut kedatangan kami. Suara seruling yang berpadu dengan tabuhan perkusi terdengar dari dalam bangunan, menyenandungkan nada-nada riang yang menenangkan—seakan ikut berdoa supaya upacara pernikahan nanti berjalan lancar.

"Selamat datang," Dayang Imaega membungkuk kepadaku. Beliau mengenakan gaunberwarna hijau gelap dengan sulaman keperakan. "Upacara pernikahan akan segera dimulai setelah Nona datang. Jadi tolong tunggu sebentar."

Jantungku berdebar ketika dayang Imaega memberikan beberapa perintah pada dayang-dayang di belakangnya. Mereka pergi ke dalam melalui sisi lain bangunan dan tak berapa lama, alunan musik di dalam Imizdha melambat.

"Silakan Nona," Dayang Imaega memintaku untuk berdiri di depan pintu aula yang belum terbuka. "Jangan berjalan terlalu cepat atau pun lambat. Ikuti irama musik yang terdengar dan sesuaikan langkah Nona dengan ketukan perkusi. Kemudian...., cobalah untuk bersikap santai."

Bagaimana aku bisa santai di detik-detik menjelang ikatan sakral kami?! Aku mencoba menahan diri untuk tidak berkomentar. Sebisa mungkin kutegakkan punggung dan memasang ekspresi setenang mungkin.

"Tenang saja, Nona. Semua akan berjalan lancar," bisik Nyonya Suani yang kini berdiri di belakangku. "Kami bersama Nona."

Aku pun berharap seperti itu. Setelah dirasa siap, Dayang Imaega menyuruh sepasang pelayan lelaki yang berdiri di depan pintu aula untuk membukanya. Pintu terdorong ke dalam, menampilkan permadani merah marun yang membentang hingga mencapai altar pernikahan. Aku melihat Tuan Shui berdiri di salah satu tangga, mengenakan jubah hitam bersulam benang perak dan emas. Semua pandangan tertuju ke arahku, termasuk Kaisar dan Permaisuri yang berdiri di sisi lain altar.

"Sekarang berjalanlah dengan tenang Nona," Dayang Imaega berbisik di belakangku.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungku yang kian menggebu. Gugup sudah pasti. Takut dan was-was jangan ditanya. Aku merasakan semua itu!

Sesuai petunjuk Dayang Imaega aku melangkah sesuai irama ketukan dari para pemusik. Kedua tanganku masing-masing masuk ke dalam lengan gaun yang lebar dan membentuk sudut sempurna di depan dada. Pandanganku tertuju lurus ke depan. Meski mencoba tidak memikirkan apa yang dipikirkan oleh sebagian besar orang yang menghadiri upacara pernikahan kami, aku tetap saja merasa terganggu dengan pandangan sebagian besar di antara mereka.

Aku tidak benar-benar paham, kenapa bisa terjebak di situasi ini. Beberapa bulan lalu, kehidupanku masih biasa saja. Aku masih harus pergi ke kebun untuk mengurus tanaman, pergi ke sungai untuk mencuci baju atau mencari ikan, atau masuk ke hutan dan memburu kelinci atau binatang lainnya. Aku tidak menyangka, keputusanku saat itu justru menempatkanku di posisi ini.

Walau berusaha bersikap anggun, aku justru merasa salah tingkah dan kaku. Punggungku terlalu tegak dan pastinya... ekspresiku pasti terkesan sedikit terpaksa. Sebagian besar orang-orang menatapku dengan kerutan di dahi mereka. Ada juga yang terang-terangan menatapku penuh kebencian, seperti putri Nayunira. Hanya sedikit yang terlihat bahagia dengan apa yang kujalani saat ini, seperti Erau dan Athila. Keduanya melambaikan tangan ke arahku dengan senyuman lebar secerah matahari.

Ibu, Hessa, dan Mila ikut tersenyum, tetapi aku bisa menangkap kebingungan serta kebimbangan dalam tatapan mereka. Shamasinaike Ornuk dan Nyonya Orutia memandangku dengan ekspresi sedih, berkebalikan dengan air muka Iksook Inarha dan Ishaara Amaria yang penuh haru dan kebahagiaan.

Di altar pernikahan, bersama Imam yang akan memimpin jalannya pernikahan kami, Tuan Shui menyunggingkan senyum tipis. Ucapan beliau kembali terngiang dalam pikiranku, "Ketika aku menikahimu, maka aku akan benar-benar mengambilmu sebagai istriku."

Beliau pasti serius dengan kata-kata tersebut. Selama berinteraksi dengannya, aku tahu... dia bukan orang yang mudah mengingkari ucapannya sendiri. Apa yang dikatakannya adalah sesuatu yang pasti. Jika dia ingin aku benar-benar menjadi istrinya, maka itu yang akan terjadi.

"Setelah menjadi seorang istri, Yuuni harus tahu cara mengendalikan dan mengatur rumah tangga. Jangan biarkan ada celah untuk kehancuran rumah tangga Yuuni. Aku sudah banyak melihat keretakan keluarga akibat ketidakadilan kasih sayang dan cinta. Dan yang paling menyakitkan, aku melihat Rhei tumbuh dalam keluarga seperti itu."

Nasehat Permaisuri bergema dalam benakku, membuat suasana hatiku sedikit suram. Pandanganku kembali tertuju pada Tuan Shui yang tampak gagah dalam setelannya yang elegan. Rambut emasnya yang beberapa waktu lalu memanjang, kini sudah dipotong pendek. Jika bukan karena Kaisar, aku tidak mungkin menikahi beliau. Dengan ketampanan, kemapanan, serta statusnya, ada banyak sekali wanita dari keluarga terkemuka yang rela menjadi pendampingnya.

Tuan Shui mengulurkan tangannya saat aku sampai di dekatnya. Kuraih tangannya, sehingga kami sama-sama menghadap Imam Agung yang berdiri di depan kami. Sang Imam mengucapkan puja-puji pada Dewa Tua Yang Agung, lalu melantunkan beberapa bait himne suci yang biasa dinyanyikan saat upacara-upacara khusus. Isinya tak lain adalah doa-doa untuk keselamatan, kesehatan, kebahagiaan, serta keterikatan. Setelah menyampaikan nasehat-nasehat untuk kami berdua, sang Imam mengucapkan sumpah pernikahan yang kemudian kami tirukan.

Begitu Imam mengatakan bahwa kami sudah sah sebagai suami-istri, tepuk tangan serta ucapan-ucapan selamat riuh terdengar di Imizdha. Shuikan memandangku dengan rasa sayang yang dibuat-buat, menyebabkan perutku melilit dan terasa mual. Namun, aku berusaha membalas 'keramahannya' dengan senyum jatuh-cinta-setengah-mati yang terpaksa harus kupasang sampai pesta pernikahan selesai.

(9 Desember 2018)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro