Bab 49. Sheyana : Mereka Yang Datang Bersama Angin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keheningan langsung tercipta di antara kami ketika nama Martimuran disebut. Semua orang, terkecuali Iksook Inarha dan Tuan Shui, menampilkan ekspresi terkejut yang sama meski tatapan mereka menunjukkan perbedaan. Tuan Kokhan tampak yang paling pucat mendengar pernyataan Shorya, sedangkan Tuan Ashen terlihat lebih tidak percaya. Dan seperti dugaanku, dia yang lebih dulu membantah pernyataan Shorya.

"Jika memang Martimuran bangkit kembali, bukankah bencana yang kita hadapi akan lebih buruk dari ini?" tanyanya, yang terdengar seakan-akan bencana saat ini belum begitu buruk. "Saya memang bukan berasal dari Kashaki, tetapi cerita tentang Martimuran cukup terkenal di seluruh pelosok Shenouka. Apa hanya dengan tanda-tanda seperti ini, kau bisa menyimpulkan bahwa Martimuran akan bangkit? Bisa jadi ini hanyalah masalah alam biasa."

Shorya menghela napas, seperti berusaha menyabarkan diri menghadapi kekritisan Ashen. Yang pernah kudengar dari Jun, pria bernama Ashen itu memang cerdas. Dia tidak akan menelan mentah-mentah suatu informasi secara bulat-bulat, tetapi akan mengkritisinya lebih dulu sampai dia menemukan titik terang.

"Yang pertama, aku tidak pernah mengatakan bila Martimuran sudah bangkit," ujar Shorya. "Seperti katamu, bila Martimuran bangkit, maka bencana yang kita hadapi akan lebih buruk dari ini. Bahkan akan lebih banyak lagi kematian di sini."

"Yang kedua, lawan kita adalah kaki-tangan Martimuran. Merekalah yang harus kita hadapi sebelum Martimuran benar-benar bangkit," lanjutnya dengan penekanan dalam beberapa kata. "Kemudian, bencana yang terjadi di tanah ini memang terlihat seperti masalah alam biasa, itulah yang terjadi di mata manusia. Namun, biasakah hujan darah di tanah ini?"

Ashen terdiam mendengar pertanyaannya.

"Kalian boleh mengelak terhadap pernyataanku, karena aku tahu, hal tersebut memang sulit untuk diterima." Shorya memandangi mereka satu demi satu. Tatapannya tajam, tetapi juga menyiratkan ketenangan. Tidak terlihat kemarahan atau pun keinginan untuk memaksakan pandangannya pada anak buah Tuan Shui. "Namun, ini adalah kenyataannya. Jika kalian menolak percaya, kalian boleh meninggalkan ruangan ini. Tapi, bila ada sedikit saja rasa percaya pada diri kalian mengenai penyebab 'keanehan' di Shenouka, maka tinggallah dan lakukan perjanjian dengan anak buahku."

Tidak ada satu pun dari mereka yang beranjak dari kursi, begitu pula Ashen. Lelaki itu masih duduk di tempatnya, meski ekspresinya masih menunjukkan ketidakyakinan.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" Tuan Kokhan kembali bicara.

"Tentu." Shorya mengangguk pelan.

"Bukankah Naratala dan Kashaki merupakan wilayah kekuasaan Shasenkai?" Pertanyaannya membuatku mengernyit. "Dan walau dua provinsi itu saja yang menjadi daerah kekuasaan Shasenkai, pada dasarnya dia berikatan dengan Kaisar, yang itu artinya secara tidak langsung dia pun menguasai seluruh daratan Shenouka. Namun, kenapa kau yang justru mengambil tanggung jawab untuk melawan Martimuran? Ini sudah seharusnya menjadi tugas Shasenkai."

"Bukankah kaum Jugook sangat memperhatikan wilayah kekuasaannya?" Imbuh Tuan Kokhan.

"Kau benar," Shorya tersenyum tipis ke arah Tuan Kokhan. "Kami—para Jugook mirip seperti manusia. Bila batas wilayah kami dilanggar oleh Jugook lain, kami pasti akan marah. Karena itu, aku meminta Shui untuk memanggil orang-orang yang sekiranya bisa berikatan dengan jenderal-jenderalku. Bila mereka berikatan dengan manusia, maka mereka tidak akan dianggap sebagai 'pengganggu' di wilayah Shasenkai dan aku juga tidak akan terkesan ingin merebut daerah kekuasaannya. Karena mereka akan dianggap sebagai 'pelindung' manusia tersebut."

"Tapi bukankah ini bukan tugasmu?" Tuan Kokhan memperjelas apa yang ditanyakannya, tetapi Shorya kelihatan menghindari pertanyaan tersebut, karena dia menjawab, "Apakah perlu membahas pengelompokan wilayah untuk menyelamatkan banyak kehidupan?"

Pertanyaan yang dilontarkan Shorya membuat Tuan Kokhan terdiam, pun membuat suasana di ruang kerja Tuan Shui kembali hening. Secara tidak langsung, Jugook itu ingin kami tidak mempermasalahkan keterlibatannya dalam masalah yang dihadapi Shenouka. Sekalipun keikutcampurannya merupakan pertanyaan besar, karena seharusnya Shasenkai yang lebih memperhatikan masalah ini.

"Apa benar ikatan kami dengan anak buahmu bisa membantumu?" Aku menyela perbincangan mereka.

Semua mata kini tertuju padaku.

"Apa kau ingin mengawalinya?" Shorya tidak menjawab pertanyaanku, malah balik bertanya.

"Jika itu memang bisa membantumu dan Tuan Shui," Aku melirik Tuan Shui yang balas menatapku, "Maka aku akan melakukannya." Aku melanjutkan, "Apa yang harus kulakukan?"

Shorya tersenyum, "Panggillah Inaike."

"Hanya itu saja?" Aku sedikit bingung dengan permintaannya yang terlalu sederhana.

Jugook itu tertawa pelan. "Kau sudah memiliki penghubung dengan Inaike, apalagi yang harus kuperintahkan selain memanggilnya kemari?"

Aku tercengang mendengar pernyataannya. Jika benar, yang Shorya maksudkan adalah kalung yang pernah diberikan Inaike padaku sebelum aku meninggalkan Shamasinai. Tapi... bagaimana mungkin Jugook itu tahu bahwa aku memilikinya?

"Aku bisa merasakan energinya darimu," ujar Shorya, seakan-akan membaca pikiranku. "Energi itu melingkupimu, menjagamu dari sentuhan tangan-tangan makhluk usil yang ingin mencelakaimu. Inaike berusaha menjagamu melalui benda yang diberikannya padamu. Sebenarnya benda pemberiannya itu pun bisa kau gunakan sebagai alat untuk menggunakan kekuatan Inaike. Namun tampaknya kau tidak tahu cara menggunakannya."

Sepertinya tidak akan ada gunanya bila aku mengelak memiliki penghubung dengan Inaike.

"Inaike mengatakan, bahwa benda ini akan melindungiku dengan sendirinya. Dan dia hanya mengajariku cara memanggilnya," jelasku.

Shorya tersenyum miring, "Dia memang suka menjelaskan sesuatu setengah-setengah."

Selain menjelaskan sesuatu setengah-setengah, Inaike juga sangat terampil membuat teka-teki, yang kadang membuatku malas memahami maksudnya.

"Dia memang Jugook yang seperti itu," komentarku menarik senyuman di wajah Iksook Inarha.

"Telinganya pasti gatal karena kalian sedang membicarakannya," ujar Iksook Inarha.

"Karena Inaike sudah mengajarimu cara memanggilnya, kau bisa memanggilnya kemari," kata Shorya. "Tidak perlu dengan suara keras. Cukup dengan gumaman yang didengar dirimu sendiri."

Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat kembali apa yang pernah disampaikan Inaike untuk memanggilnya. Sebelum aku melakukan pemanggilan, Tuan Shui menyuruhku untuk berdiri di dekatnya—supaya bila terjadi sesuatu, beliau bisa dengan sigap membantuku. Aku merasa tersentuh dengan perhatian beliau yang tidak biasa, lalu aku beranjak dari belakang meja kerjanya dan berdiri di sisi kanan beliau.

Kemudian, kupejamkan mata dan kuletakkan salah satu tanganku di dekat leher—tempat kalung berliontin tanduk rusa tersembunyi di balik gaunku. Kurasakan kehangatan kalung yang diberikan Inaike sebelum pergi ke Shasenka. Setelah itu, aku mengucapkan nama sejatinya dengan suara yang teramat pelan.

Khu'ur zii..., yang menguasai hutan dan tanah.

Hening.

Tidak terjadi apa-apa setelah aku menggumamkan nama tersebut.

Keragu-raguan kembali timbul di benakku. Apa aku salah menggumamkan namanya? Tapi aku tidak salah mengingat nama sejati Inaike.

Kami menunggu dalam diam, hingga akhirnya seberkas sinar melesat dan memasuki ruang kerja Tuan Shui hingga membuat penglihatanku silau. Perlahan-lahan, setelah sinar tersebut meredup, sesosok rusa putih bertanduk hitam terlihat di depanku. Tatapannya tertuju lurus ke arahku, seakan-akan menyimpan puluhan pertanyaan yang harus kujawab saat itu juga.

Saat aku hendak menyapanya, Inaike sudah lebih dulu bicara, "Aku menanti panggilanmu berbulan-bulan dan kau baru memanggilku sekarang?"

Aku tidak heran bila Inaike memulai pertemuan kami dengan mengomel dibanding menanyakan kabar.

"Sudah lama kita tidak bertemu, Inaike," Aku mengabaikan pertanyaannya. "Aku senang melihatmu baik-baik saja."

Inaike memajukan tubuhnya ke arahku, nyaris membuatku terjungkal ke belakang, karena kepalanya seperti hendak menyerudukku. Seandainya Tuan Shui tidak menangkap pinggangku, tentu aku sudah jatuh ke atas meja.

"Aku memang baik-baik saja," ujarnya, dengan tatapan yang menyiratkan amarah terselubung. "Sangat baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Oh, kelihatannya kau tidak baik-baik saja. Dan apa yang kulihat sekarang? Kau berdandan seperti wanita yang sudah menikah! Ah benar, kau datang kemari atas permintaan Perdana Menteri dan berakhir dengan menjadi mempelai Jenderal Shenouka. Sungguh mengejutkan."

"Aku memang sudah menikah, Inaike." Aku ingin sekali mengikat mulut Jugook ini. Bagaimana bisa dia mengomeliku di depan banyak orang?! Terutama di depan anak buah Tuan Shui seperti ini. "Dan melihatmu bisa secerewet ini membuatku lega, karena kau masih sama seperti yang dulu."

Iksook Inarha terkekeh mendengar pernyataanku, sementara yang lain terpana memandangi kami. Ada yang terlihat takjub, tetapi lebih banyak yang bingung. Hessa salah satu orang yang takjub, sedangkan Tuan Ashen tampak terkejut.

Inaike mendengkus keras-keras sebelum mundur dua langkah, memberiku ruang untuk berdiri, kemudian menundukkan kepalanya di depan Shorya.

"Salam hormat saya pada Yang Mulia," ucapnya dengan santun dan penuh ketundukan.

Makhluk ini seperti manusia berwajah dua. Kalau di depanku saja, dia senang bertingkah seenaknya. Tapi lihatlah ketika dia berhadapan dengan Rajanya, sikapnya seolah-olah seperti bangsawan yang datang ke undangan perjamuan!

"Senang melihatmu di sini, Inaike." Shorya tersenyum ke arahnya.

"Saya tidak mengira akan dipanggil di tempat ini," tukas Inaike.

"Kau tahu alasanmu dipanggil kemari?"

Jugook itu diam sejenak, kemudian mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ia tidak terlihat terkejut mendapati banyak orang di ruang kerja Tuan Shui.

"Yang saya tahu, saya menyuruh Sheya memanggil saya bila dalam bahaya," jawabnya. "Dan saya rasa, bukan hanya dia yang dalam bahaya bila Yang Mulia yang menyuruhnya memanggil saya."

Aku mengernyit mendengar nada tidak senang dalam jawaban Inaike. Aku tahu, Jugook itu bukan makhluk yang ramah dan tidak suka dibuat pusing dengan permasalahan para manusia. Namun, Inaike yang kukenal memiliki sisi realistis yang kuat. Sebenci apa pun dia terhadap sesuatu, dia masih memiliki pertimbangan matang untuk bertindak dan mengesampingkan kebenciannya. Seperti ketika dia memutuskan menolong Tuan Shui, Inaike menolong beliau lebih dulu meski menyesal dan menggerutu belakangan.

"Aku senang, kau sudah memahami apa yang ingin kuminta darimu," ujar Shorya. "Sekarang, tinggal kau sempurnakan perjanjianmu dengan Sheya. Bukankah ini hanya perjanjian sepihak saja?"

Perjanjian sepihak? Aku menatap Inaike dan Shorya bergantian, tidak terlalu mengerti dengan apa yang mereka bicarakan.

"Kalau itu yang Yang Mulia inginkan, saya harus meminta persetujuan Sheya dulu." Inaike melirik ke arahku.

"Jika aku langsung menyetujuinya?"

"Itu artinya kau tidak mengerti apa yang kau putuskan." Inaike mencemooh sambil memutar mata.

"Kalau begitu, tolong jelaskan maksud perjanjian ini," pintaku.

Namun bukannya Inaike, justru Shorya yang menjelaskannya. "Ketika kaum kami memutuskan untuk melakukan perjanjian dengan kaum manusia, selalu ada syarat dan ketentuan dalam perjanjian tersebut. Seperti perjanjianku dan Shui yang ditopang dengan darah dan napas, sehingga dia bisa menggunakan kekuatanku. Kalian bisa mengatur perjanjian dan batas-batas perjanjian kalian sendiri."

"Darah dan napas itu... apa maksudnya?" Aku mendengar nada suaraku tercekat mendengar penjelasan Shorya.

"Waktu dan nyawa," jawab Tuan Shui. "Selama aku masih hidup, maka perjanjianku dan Shorya akan terus berlaku, tetapi begitu aku meninggal, maka perjanjian kami akan selesai."

"Ada pula yang melakukan perjanjian dengan pernikahan, ada pula yang melakukan perjanjian sesuai garis ikatan darah tanpa batas waktu," imbuh Shorya. "Ada begitu banyak jenis perjanjian antara kaumku dengan kaum kalian. Semua tergantung dengan apa yang kalian sepakati dalam perjanjian tersebut."

Aku termangu sambil melirik Inaike yang terlihat diam saja mendengar pernyataan Shorya. Makhluk itu tampak enggan, tetapi juga seperti tidak punya pilihan. Kemudian ia pun mengubah wujudnya menjadi seperti manusia, dengan sepasang tanduk hitam yang bercabang-cabang di kepalanya. Dia mengulurkan tangan kanannya ke arahku, seperti mengajakku bersalaman.

Kuulurkan tangan, untuk menyambut genggaman tangannya. Berkebalikan dengan tanganku yang hangat, tangan Inaike terasa dingin membekukan, hingga mendekati menyakitkan. Aku tidak nyaman dengan genggamannya, tetapi berusaha menahan diri untuk tidak menarik tanganku. Kemudian, yang kurasakan setelahnya adalah rasa sakit yang menusuk telapak tanganku. Tanpa sadar, aku merintih saat merasakannya, hingga Tuan Shui meraih tangan kiriku yang bebas dan menggenggamnya dengan mantap, seakan memberiku dukungan untuk bertahan.

Inaike tidak melakukan apa-apa. Dia hanya berdiri diam sembari menggenggam tanganku, tetapi entah kenapa rasa nyeri di telapak tanganku semakin menjadi hingga aku melihat darah menetes jatuh ke lantai.

Aku pasti terlihat ketakutan, karena Inaike berusaha menenangkanku. Kata-katanya menggema dalam pikiranku, "Tidak perlu takut. Ini memang sedikit sakit, tetapi tidak akan lama."

Aku berusaha memercayai ucapan Inaike, tetapi rasa sakit di telapak tanganku semakin menjadi.

"Sekarang tatap mataku, Sheya," pintanya.

Aku menaikkan pandangan dan menatap sepasang mata hijaunya yang mengingatkanku pada dedaunan hutan.

"Mulai sekarang, aku akan menjadi pelindungmu. Kekuatanku adalah kekuatanmu. Ucapanmu adalah perintah. Kita akan diikat dengan darah dan waktu. Selama kau hidup, kau bisa menggunakan kekuatanku dan memanggilku sebagai abdimu. Kau yang memegang kekangmu sampai batas di mana jiwamu kembali ke pangkuan Tadakhua. Apakah kau bersedia untuk menerimanya?"

Ucapannya menggema dalam kepalaku seperti suara Imam Agung dalam pemberkatan pernikahan kami.

"Aku... bersedia." Suaraku sedikit tersendat ketika menjawabnya.

"Maka jadilah perjanjian ini."

Begitu dia mengatakan itu, genggaman tangan kami seperti dibalut sinar temaram, lalu aku merasakan sesuatu dalam genggamanku sebagai ganti genggaman tangannya yang terlepas. Sebilah belati dengan gagang berukiran tanduk rusa muncul, diikuti sepasang busur dan anak panah yang tergeletak di atas lantai—tempat di mana darahku tadi menetes.

"Apa ini?" Aku menatap Inaike yang balik menatapku. Di dahinya yang dulunya bersih, kini tertanam sebuah permata kecil berbentuk segi empat terbalik berwarna merah darah. "Apa itu?" Aku memandangi permata merah itu dan entah kenapa bisa menebak bahwa permata itu ada hubungannya dengan perjanjian kami.

"Ini... tanda yang menghubungkanku denganmu," Inaike menyentuh permata yang tertanam di dahinya. "Selama permata ini belum lenyap, maka perjanjian kita akan terus bertahan sampai kau meninggal dunia. Sedangkan belati, busur, dan anak panah itu adalah benda yang menyegel perjanjian kita."

Aku termangu melihat benda-benda itu, masih merasa takjub dan tidak percaya, kalau aku dan dia kini telah terhubung.

"Sekarang kau memiliki kuasa untuk memerintahku maupun menghentikanku. Kau juga bisa menggunakan kekuatanku." Suara Inaike kembali terdengar dalam pikiranku.

"Tapi aku sendiri pun tidak tahu cara menggunakan kekuatanmu." Aku hendak memungut busur dan anak panah yang ada di lantai, tetapi Tuan Kokhan segera tanggap dan mengambilnya lebih dulu dariku.

"Kau akan tahu dengan sendirinya." Jawaban Inaike membuatku keheranan sekaligus bertanya-tanya. Makhluk ini... memang suka sekali memberikan teka-teki.

"Di mana saya harus meletakkan ini, Nyonya?" Pertanyaan Tuan Kokhan mengalihkan perhatianku dari Inaike.

"Tolong letakkan di meja," pintaku.

Tuan Kokhan meletakkan benda-benda itu di atas meja kerja Tuan Shui dengan hati-hati, kemudian kembali ke tempat duduknya lagi.

Setelah melihat prosesi perjanjian antara aku dan Inaike, anak buah Tuan Shui tampak tercenung. Mereka seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing, karena ketika Shorya mengatakan akan memanggil beberapa ajudannya kemari, orang-orang itu tersentak kaget.

Tidak seperti caraku memanggil Inaike, Shorya cukup memejamkan mata saja dan kelebatan sinar dalam beberapa warna melesat memasuki ruang kerja Tuan Shui. Sosok-sosok asing mewujud di tengah-tengah ruangan, mulai dari seekor ular hijau bermahkota bunga-bunga, Elang hitam berkalung perak, Rubah berbulu putih, Macan kumbang berzirah perak, Elang bersayap perak, hingga seekor kelinci bermata biru.

Di antara semua wujud yang diambil para Jugook, aku benar-benar tertarik dengan kelinci bermata biru yang terlihat paling rapuh di antara Jugook lainnya. Dia tampak tak berdosa dan lugu.

"Jangan lihat dari penampilannya." Inaike mendengkus sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Sekalipun terlihat menggemaskan dan lemah, Chakiya paling mahir membunuh orang dengan racun."

Aku tidak ingin percaya dengan kata-kata Inaike, tetapi batinku mulai meragukan keluguan Jugook kecil di depanku.

"Kau memang paling pandai merusak kesan orang lain," komentar si ular hijau.

Wujudnya berubah menjadi seorang wanita muda berusia sekitar pertengahan dua puluhan dengan rambut hitam panjang yang menyentuh lantai. Bila kami tidak tahu jati dirinya, kami pasti akan tertipu dengan kecantikannya. Jika Shorya dan Inaike memiliki pesona keagungan yang membuat orang lain segan, maka wanita itu memiliki daya tarik yang memikat. Bukan hanya wajahnya, tetapi dia memiliki bentuk tubuh yang menggoda setiap mata lelaki.

Beberapa bawahan Tuan Shui menatapnya tanpa berkedip, memperhatikan setiap lekuk tubuhnya yang gemulai serta dadanya yang penuh. Gaunnya pun tidak banyak membantu mengalihkan pandangan orang, karena cukup terbuka hingga menampilkan bahu dan belahan dadanya. Jika seandainya dia tidak menunjukkan tatapan yang penuh ancaman, tentu lelaki-lelaki di dalam ruangan ini sudah mendekatinya.

Aku melirik ke arah Tuan Shui dan mendapati beliau pun tengah memandangi Jugook itu pula, tetapi tatapannya tidak menunjukkan ketertarikan seperti seorang lelaki tertarik pada perempuan. Entah kenapa, aku merasakan kelegaan saat tahu beliau tidak tertarik dengan wanita itu.

"Dan kau mau menebar pesona pada siapa?" komentar Inaike tak acuh. "Yang Mulia memanggil kita untuk berperang, bukan untuk menggoda lawan jenis."

Aku memekik ketika merasakan selentingan udara menebas ke arahku, tetapi Tuan Shui lebih sigap dan menarikku ke pelukan beliau—menjauhkanku dari Inaike yang kini tengah beradu pandang dengan wanita ular itu. Mereka dalam posisi siap bertarung, kepala tangan wanita itu berada dalam genggaman Inaike. Serangan apa pun yang tadinya mau dia lakukan pada Inaike gagal dilancarkan, tetapi tatapannya memperlihatkan kemarahan besar.

"Setiap wanita suka bila dirinya cantik. Makhluk yang tidak mengerti dengan keindahan seperti dirimu diam saja," desisnya.

Iris matanya menyipit, memperlihatkan tatapan seekor binatang yang siap membunuh.

"Seperti itulah bila Shunya bertemu dengan Inaike," ujar si kelinci yang mengambil wujud seorang anak lelaki berusia sepuluh tahunan. Jika bukan karena sebagian poninya yang berwarna putih, pastinya anak itu akan dikira anak manusia karena warna rambutnya sama seperti kami—hitam arang. "Mereka pasti akan bertengkar, bertengkar, dan bertengkar lagi." Suaranya sejernih suara anak-anak, tetapi ada kedewasaan dalam makna kata-katanya.

Dia mengenakan setelan putih panjang serta topi kerucut kain yang biasa dipakaikan pada anak lelaki yang belum dewasa. Mata birunya memancarkan keramahan dan senyumannya membuat siapa pun yang melihatnya ingin membalasnya dengan senyuman pula. Satu-satunya yang tidak terlihat menakutkan di antara Jugook yang lain.

"Apa boleh buat, pasangan kekasih memang seperti itu," cetus Elang bersayap perak yang mewujud menjadi lelaki berambut cokelat pendek dan memiliki perawakan seperti seorang prajurit. "Dia masih marah karena Inaike meninggalkannya dan memilih tinggal di Shamasinai."

Aku menoleh ke arah Inaike tak percaya. Makhluk ini bisa punya kekasih?!!!

Wanita bernama Shunya itu mendengkus lalu mendorong Inaike, supaya tangannya terbebas. "Aku tidak pernah mencintai lelaki bodoh ini," gerutunya.

"Merajuk seperti biasa," timpal si kelinci dan elang bersayap perak bersamaan.

"Aku jadi memahami perasaan Muan dan Samho yang memilih tinggal bersama Yang Mulia dari pada ikut dengan salah satu dari kalian berdua. Keduanya pasti jengkel karena melihat kalian berdua bertengkar terus-terusan," ujar si rubah putih yang mewujud menjadi seorang perempuan kecil bergaun putih. Bila wanita ular yang merupakan kekasih Inaike menunjukkan pesona wanita yang menggoda dan berbahaya, rubah putih itu menampilkan sosok wanita yang lugu dan suci. Entah kenapa aku seperti melihat ada aura putih yang memancar dari dirinya.

"Siapa itu Muan dan Samho?" Aku mengernyit mendengar dua nama asing itu.

"Anak mereka berdua." Si kelinci putih menunjuk Inaike dan Shunya sambil tersenyum lebar.

Demi langit dan bumi, aku tidak bisa menahan keterkejutanku lebih lama lagi. Setelah mengejutkanku bahwa Inaike punya kekasih, ternyata dia juga seorang ayah?! Dia punya dua anak?!

"Apa-apaan ekspresimu itu?!" Inaike terlihat sewot ketika aku menatapnya.

"Kau lelaki yang tidak bertanggung jawab," cetusku.

Kedua mata Inaike membeliak, sedangkan Shunya terlihat senang dan langsung memelukku. "Rupanya ada yang sepemikiran denganku! Terima kasih Tadakhua! Nyonya benar-benar pengertian!"

Aku tidak mengerti, kenapa menuduh Inaike sebagai lelaki tak bertanggung jawab disebut sebagai wanita yang pengertian. Inaike mulai menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Ekspresinya berubah-ubah dari kesal ke jengkel, kemudian mengumpat pelan.

"Kalian ini...," Desahan Shorya mengingatkan kami bahwa dia masih berada di sini.

Suasana yang tadinya terasa agung, kini berubah menjadi sedikit aneh. Bukan dalam pengertian buruk, tetapi lebih cair dan... manusiawi? Bawahan-bawahan Tuan Shui masih diam, tapi kali ini mereka terpana bukan karena keagungan para Jugook, melainkan karena sikap dan tingkah mereka yang konyol.

Dua Jugook yang tersisa, yaitu elang berkalung perak dan macan kumbang berzirah perak mewujud menjadi sepasang lelaki. Si elang berkalung perak memiliki wajah yang mirip dengan elang bersayap perak. Bedanya, rambutnya hitam legam sedangkan sebagian rambut lelaki yang merupakan perwujudan elang bersayap perak berwarna putih. Si macan kumbang mewujud menjadi lelaki berperawakan sedang dengan kulit kecokelatan.

Shunya melepasku, kemudian kembali dalam barisannya. Kali ini dia memilih berdiri di dekat Chakiya. Mereka lalu mengaturkan salam hormat yang terlambat pada Shorya.

"Kami menghadap Yang Mulia," ujar keenamnya secara bersamaan.

Shorya kelihatannya tidak mempermasalahkan penghormatan yang terlambat itu dan bertanya, "Apa kalian tahu, kenapa kalian kupanggil kemari?"

"Kami tidak tahu," Si Wanita rubah putih menjawab mewakili kawan-kawannya. "Namun, jika boleh menebak, apakah ini terkait dengan energi aneh yang sempat kami rasakan beberapa bulan silam?" tanyanya.

Shorya mengangguk. "Ini memang berkaitan dengan itu dan ada hubungannya dengan Martimuran."

Kulihat ekspresi keenam anak buah Shorya menegang. Sepertinya mereka tidak mengira akan mendengar nama itu lagi.

"Apa benar itu berkaitan dengan Martimuran, Tuanku?" si lelaki elang bersayap perak terlihat ragu. "Bukankah segelnya sangat kuat?"

"Segel kuat bukan berarti tidak dapat dipatahkan," ujar Shorya. "Para pendukung Martimuran tentu akan melakukan cara apa pun supaya segel itu bisa dilepas, termasuk bila harus mengorbankan banyak nyawa di kekaisaran ini."

Shorya menambahkan, "Mereka sudah cukup lama bersembunyi dan sekarang mereka menganggap bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk bertindak semakin jauh. Kalau dibiarkan, mereka akan benar-benar membangkitkan Martimuran dan membawa kemusnahan bagi seluruh jiwa."

"Padahal saya kira, saya bisa menghabiskan waktu dengan tenang dan damai," ujar si lelaki macan kumbang. "Saya tidak mengira harus melawan pasukannya lagi. Orang sinting macam apa yang mau membangkitkan Martimuran."

"Orang sinting yang tidak mengerti kalau dia sinting," cetus Chakiya.

Ucapannya membuat kami tersenyum sesaat, sebelum kembali serius.

"Yang Mulia membutuhkan kami untuk mencegah pendukung Martimuran membangkitkan Martimuran kembali?" tanya si wanita rubah putih.

"Ya," Shorya mengangguk. "Dan karena kita berada di wilayah Shasenka, kita tidak bisa bergerak leluasa. Satu-satunya yang bisa membuat kalian bergerak bebas adalah bila kalian berikatan dengan manusia."

"Wah...," Shunya berputar dan memperhatikan manusia-manusia di sekitarnya dengan tertarik. "Jadi kami diizinkan terikat dengan salah satu di antara mereka?"

"Ya, jika mereka pun menghendakinya." Kali ini Tuan Shui berbicara. "Kalian akan berikatan dengan anak buah, tetapi itu pun bila mereka mau. Jika tidak, maka kalian tidak bisa melakukannya."

"Pilihan kami terbatas sekali," Shunya terlihat sedikit kecewa.

Tuan Shui memandangi para bawahannya satu per satu, lalu menyuruh mereka yang mau terikat dengan para Jugook untuk maju ke depan. Agak mengejutkan ketika melihat Tuan Ashen maju bersama Tuan Kokhan. Selain keduanya, ada lagi pemuda berperawakan kecil yang turut maju. Rambut hitamnya yang panjang diikat di belakang tengkuk dan dia mengenakan seragam yang berbeda dari Tuan Kokhan dan Ashen. Seragamnya berwarna hitam legam polos.

"Aku suka dengan energi orang ini," Shunya mengampiri Tuan Kokhan yang tampak terkejut. "Aku mau berikatan dengannya."

"Belum ada perintah memilih, tapi kau sudah memilih duluan?" Inaike berdecak, mencelanya.

"Apa pedulimu, Kekasihku yang tidak bertanggung jawab?" Shunya tersenyum manis ke arah Inaike yang justru membuat Inaike dongkol.

Satu per satu di antara mereka mulai memilih manusianya. Si macan kumbang memilih Tuan Ashen, sedangkan si elang bersayap perak memilih pemuda berseragam hitam polos. Si wanita rubah putih memilih seorang prajurit yang tidak kukenal, sedangkan si elang berkalung perak dan si kelinci bernama Chakiya masih diam sambil mengamati orang-orang di dalam ruangan.

"Apakah boleh memilih manusia selain prajurit-prajurit ini?" tanya si kelinci pada Shorya.

"Jika manusia itu menghendaki, maka diizinkan," jawabnya.

Dan aku tidak mengira, Chakiya memilih Hessa. Dia tampak gelagapan karena Jugook itu memilihnya.

"Aku tidak merasakan kecocokan energi dengan mereka, tetapi aku merasakannya darimu." Makhluk itu tersenyum ke arah adikku. "Apakah kau mau melakukan perjanjian denganku?"

Hessa terlihat gamang. Dia menatapku dan yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk pelan, tetapi Hessa masih terlihat ragu. Adikku tidak lekas mengiakan ajakan Chakiya, pun Jugook itu tampak sabar menunggu jawabannya.

"Kenapa kau memilihku?" Hessa bertanya padanya.

"Karena energi kita berdua cocok," jawabnya singkat.

Hessa tentu tidak puas dengan jawabannya, karena dia berkomentar, "Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu."

Kalau Inaike ada di posisi Chakiya saat ini, aku yakin dia akan menggerutu dan membentak Hessa supaya lekas menerima atau menolaknya. Jugook itu sedikit tidak sabaran, tetapi Chakiya kelihatannya lebih penyabar. Dia menjelaskan alasan, kenapa dia memilih Hessa dengan lebih rinci lagi.

"Setiap makhluk memiliki energi yang beragam dan ketika terjadi sebuah hubungan, energi itu saling mempengaruhi satu sama lain. Kebanyakan manusia tidak bisa melihatnya, tetapi ada kalanya, beberapa dari kaummu dapat melihatnya. Keterhubungan energi-energi tersebut menimbulkan efek yang berbeda-beda. Ada yang saling mematikan, ada yang saling melengkapi, dan juga ada yang bisa mendorong energi lain menjadi lebih kuat."

"Di antara semua orang yang ada di dalam ruangan ini, tidak ada yang cocok dengan energiku. Kalau kau mau tahu, energiku ini sifatnya lebih pada menyembuhkan, tetapi rata-rata mereka yang ada di sini memiliki energi yang sifatnya menyerang. Namun, kau berbeda. Energimu tenang dan kalem, serta kulihat kau pun memiliki bakat untuk menyembuhkan orang lain. Kalau berkenan, maukah menerima perjanjian dariku?"

Hessa termangu mendengar penjelasan Chakiya yang begitu panjang. Kemudian, dia menganggukkan kepalanya takut-takut.

"Akan kuajarkan apa yang kuketahui padamu!" Chakiya terlihat begitu senang ketika menyambut uluran tangan Hessa. "Kau akan memiliki pengetahuanku pula!"

Melihat mereka kemudian melakukan perjanjian, aku pun menoleh ke arah Shorya.

"Kau sudah tahu adikku akan cocok dengan anak buahmu, karena itu kau menyuruhnya datang kemari, bukan?" Pertanyaanku hanya mendapat jawaban berupa senyuman dari Shorya.

Semua sudah diperhitungkan oleh Jugook ini. Dia tahu, mana manusia yang cocok dengan bawahannya, mana yang tidak. Dan elang berkalung perak yang belum terikat dengan siapa-siapa kali ini berubah menjadi seberkas sinar, kemudian pergi entah ke mana, meninggalkan kami dalam keheranan.

"Ke mana dia pergi?" gumamku.

"Tentu saja mencari orang yang cocok dengannya," timpal Shorya.

"Bukankah hanya orang-orang di dalam ruangan ini yang berikatan dengan anak buah Tuan Shui?" tanyaku.

"Tidak, masih kurang satu," sahut Tuan Shui. "Aku mengundang satu orang lagi dan dia mengatakan, dia tidak akan datang."

Aku mengerjap tak percaya, masih ada lagi?

"Siapa?" tanyaku.

"Murshan," jawab beliau. "Orang itu menolak datang."

"Dan justru dia yang akan didatangi," imbuh Shorya.

Namun, hiruk-pikuk di dalam ruang kerja Tuan Shui berubah menjadi keheningan ketika pintu ruang kerja Tuan Shui tiba-tiba terbuka sendiri. Perhatian kami tertuju pada seorang anak lelaki berambut oranye dengan mata ungu yang berdiri di ambang pintu ruang kerja. Dia mengenakan setelah putih – cokelat yang kontras dengan warna matanya. Melihatnya sekilas saja, aku yakin, dia adalah Jugook. Apalagi ada permata merah di dahinya, yang mirip seperti permata di dahi Inaike.

"Kestha," Shorya mengucapkan namanya seakan-akan tengah memanggilnya. "Apakah ada sesuatu yang membuatmu tertarik datang kemari?"

Jugook berwujud anak kecil berusia delapan tahunan itu membungkuk khidmat pada Shorya. Setelah berdiri tegak lagi, pandangan matanya yang tajam tertuju pada pengikut-pengikut Shorya yang balas memandanginya dengan tatapan menilai.

"Tuanku Shorya, bukankah ini wilayah Shasenkai?" tanyanya. "Apa yang dilakukan ajudan-ajudan Anda di sini? Yang Mulia Shasenkai mengatakan, suasana di sini terlalu ramai."

"Katakan pada Shasenkai, tempat ini memang wilayahnya dan selamanya akan jadi wilayahnya, jika dia mau mempertahankannya. Kalau dia sadar ini adalah wilayahnya, maka seharusnya dia tahu, kewajiban apa yang harus dilaksanakannya untuk menjaga tempat ini," jawab Shorya tanpa basa-basi.

"Apakah ini berarti Tuanku Shorya ingin mematik perang dengan Yang Mulia Shasenkai?" Jugook itu memandang lurus-lurus ke arah Shorya.

"Aku tidak punya waktu untuk melakukan perang perebutan wilayah dengan Shasenkai."

Siapa pun bisa mendengar geraman dari bibir Shorya. Ada percikan kemarahan dalam setiap kata-katanya.

"Kalau dia peduli pada tanahnya, pedulikan pula jiwa-jiwa yang tinggal di tempat ini!" geramnya. "Aku tidak berniat berperang dengan Shasenkai. Dan ajudan-ajudanku kemari bukan sebagai komandan perang, melainkan pelindung manusia-manusia ini!"

Tatapan Kestha berpindah pada orang-orang yang dipilih jugook-jugook bawahan Shorya, kemudian berhenti padaku.

"Saya mengerti," ucapnya. "Akan saya sampaikan hal tersebut pada Yang Mulia."

Setelah mengatakan itu, Jugook itu lenyap ditelan angin dan pintu yang terbuka pun kembali tertutup.

Apa...Apa kami baru saja selamat dari tudingan pemberontakan?

(26 Agustus 2019)

--------------------------

Note:

Terima kasih atas kesabaran teman-teman sekalian dalam menunggu kelanjutan cerita ini. Saya minta maaf, karena lama ndak update, dikarenakan kesibukan di kantor yang tidak bisa ditinggalkan. :')

Semoga ini bisa menjadi obat kerinduan teman-teman untuk cerita Sheya dan lanjutannya sedang saya tulis :D

Sampai jumpa di bab selanjutnya :3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro