Bab 50. Narashima : Jangan Lupakan Mimpimu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa kau akan tetap seperti ini?" Narashima menatap putrinya yang sedang menulis.

Gerakan tangan Meiyari terhenti sejenak mendengar pertanyaan tersebut, tapi wanita itu melanjutkan tulisannya. Perhatiannya tetap tertuju pada lembaran kertas di depannya, bukan pada ayahnya yang berdiri di seberang meja kerjanya.

Sebelumnya Narashima sudah memberikan kabar kalau akan mengunjungi putrinya. Namun sambutan yang didapatkannya adalah sambutan dingin seperti ini. Walau Meiyari menerima kedatangannya, tetapi putrinya lebih memilih melanjutkan pekerjaan dari pada mengajaknya mengobrol. Tapi... memang seperti inilah putrinya bila sedang marah padanya.

"Mei..., apa ini setimpal?" Narashima kembali bertanya. Sorot matanya tampak sayu. "Jika kau ingin ilmu, Ramma bisa memberikanmu guru. Jika kau ingin kekuasaan, Ramma bisa membantumu menggenggamnya. Bahkan, jika kau ingin bebas, Ramma bisa mengeluarkanmu dari sini."

Gerakan tangan Meiyari kembali terhenti mendengar ujaran ayahnya.

"Apa kau bahagia berada di sangkar emas ini, Nak?"

Wanita itu meletakkan penanya, lalu mengangkat pandangannya ke arah ayahnya. Walau sudah menginjak kepala lima, ayahnya masih terlihat sehat dan bugar. Namun, Meiyari bisa melihat keletihan dalam tatapannya yang dingin. Sebagian rambutnya yang telah memutih juga mengingatkan Meiyari, bahwa ayahnya tidak lagi muda. Seharusnya, sekarang ini ayahnya beristirahat di rumah sambil menikmati hari dan bermain bersama cucu-cucunya tanpa perlu dibebani masalah kenegaraan. Namun, nyatanya itu mustahil.

"Berada di sini adalah keputusanku, Ramma. Aku tidak menyesalinya dan aku tidak ingin pergi dari sini," jawabnya.

"Sampai kapan kau akan melindunginya?" Ketidaksukaan terdengar dari nada suara Narashima. "Dia bukan lagi anak-anak yang perlu kau topang."

"Jika aku pergi dan meninggalkan Rhei, maka dia akan menjadi bulan-bulanan kemarahan Ramma," Meiyari menyunggingkan senyum manis, yang membuat Narashima gusar. "Bila Ramma belum bisa melenyapkan kemarahan Ramma pada keluarga kekaisaran, maka selamanya aku akan berada di tempat ini."

"Kenapa kau begitu keras kepala?!" Narashima tidak bisa menahan kemarahannya lagi. "Apa yang dilakukan Rhei selama ini padamu? Dia hanya mengurungmu di sini, kan?!"

"Rhei tidak pernah mengurungku, Ramma. Aku memang lebih suka berada di Istana. Justru Rhei yang berusaha mengajakku keluar dan bahkan dia berupaya agar aku tidak merasa bosan di sini." Pandangan Meiyari tertuju ke arah deretan buku-buku berbahasa asing yang tersusun rapi di salah satu rak yang ada di ruang kerjanya.

Dibanding ruang kerja, sebenarnya ruangan ini lebih mirip seperti perpustakaan kecil, karena banyaknya rak-rak buku yang berderet di sepanjang dinding ruangan. Hanya ada beberapa pajangan kecil di salah satu rak, itu pun berada di sudut ruangan sebagai pemanis pemandangan ruang kerja permaisuri yang kaku.

"Rhei selalu membelikanku buku-buku baru yang sulit didapatkan di luar. Dia tidak pernah membebaniku dengan urusan rumah tangga istana, yang justru harus kuminta sendiri, karena itu sudah menjadi tanggung jawabku. Dan lagi, dia juga tidak berminat mengambil selir."

"Belum berminat," Narashima mengoreksinya. "Anak itu hanya belum berminat mencari selir. Bila suatu saat nanti dia bertemu dengan gadis yang menarik hatinya, dia pasti akan menjadikannya selir. Atau ketika ada kerajaan lain yang berniat berhubungan baik dengan kekaisaran ini, mereka tentu akan mengirimkan upeti, baik barang, harta, atau pun wanita. Semua tinggal menunggu waktu, Nak."

Meiyari tidak membantah ucapan ayahnya. Dia hanya menunjukkan senyumnya yang ringan.

"Sekalipun sekarang kau adalah Permaisuri, tetapi kau bukanlah pasangannya, Nak. Setiap Kaisar membutuhkan penerus dan hingga tahun ini, hubungan kalian berdua hanyalah sepupu yang akrab."

Sekali lagi, pernyataan ayahnya benar, sehingga Meiyari tidak membantah. Statusnya dengan Rheiraka memang suami-istri dan disatukan dalam tali pernikahan yang sah, tetapi hubungan mereka hanyalah sepasang saudara sepupu yang akrab. Mereka sering bertukar-cerita, saling berbagi kegundahan, atau kadang-kadang menceritakan ambisi apa yang mereka inginkan, tetapi tidak lebih dari sekadar mengobrol biasa. Rhei tidak pernah memperlakukannya dengan buruk, pun dia juga tidak pernah memperlakukannya dengan sangat intim.

Saat sedang sedih dan emosinya tidak stabil, Rhei memang sering memeluknya, tetapi itu adalah pelukan orang yang putus asa dan kehilangan arah. Tidak pernah ada kata romantis dalam kehidupan pribadi mereka berdua.

"Itu bukanlah hal yang perlu Ramma pikirkan," komentar Meiyari. "Sekarang..., bukankah sudah saatnya Ramma berhenti?"

Narashima termangu mendengar pertanyaan itu. Berhenti? Dia sudah berjalan sejauh ini dari putrinya menyuruhnya berhenti?

"Pertanyaanmu sangat menggelikan," ujar Narashima.

"Kalau begitu, aku juga tidak akan berhenti," timpal Meiyari sambil menundukkan pandangannya, menatap salinan dokumen yang sedang ia kerjakan.

"Mei!"

"Ramma....," Meiyari menyela, "Haruskah Ramma bertindak sampai seperti ini? Jika Yunda masih hidup, tentu beliau tidak akan menyetujui pilihan Ramma ini. Begitupula Bibi. Beliau pasti akan memohon Ramma untuk berhenti."

Narashima mengepalkan tangannya rapat-rapat. Kemarahannya terlihat semakin kentara dengan tatapannya yang membekukan serta raut wajahnya yang menyeramkan.

"Apa yang mereka berikan pada kalian sampai kalian membela mereka mati-matian?" geramnya. "Siapa yang sebenarnya keluarga kalian? Ramma ataukah mereka yang cuma ingin memanfaatkan kalian?"

Meiyari tak menjawab.

"Riyushi memanfaatkan Bibimu habis-habisan, membuat jasmani dan batinnya menderita. Dia memberikan lawan-lawan yang sulit ditangani Bibimu dan pada akhirnya, Bibimu meninggal karena sakit, akibat ulah orang-orang berengsek itu. Dan di masa terakhirnya dirinya hidup, dia pun masih memintaku untuk memaafkan mereka. Kau tahu seberapa sakit perasaan Ramma ketika mendengarnya? Sangat sangat sakit."

"Dan kau sendiri melemparkan dirimu demi melindungi Rhei. Kau datang pada Riyushi diam-diam, memohon agar ditunangkan dengan Rhei tanpa seijin Ramma. Kau pikir Ramma senang ketika Riyushi tiba-tiba mengunjungi Ramma dan menyatakan mengenai pertunangan kalian? Saat itu, Ramma benar-benar merasa dilangkahi," Narashima menatap putrinya tajam.

"Kau sangat cerdas, Mei. Tapi untuk tindakanmu yang satu itu, kau benar-benar bodoh. Hanya demi melindungi sepupumu yang tidak berdaya, kau sampai membuang masa depanmu sendiri."

Meiyari hanya bisa tersenyum kecut mendengar kata-kata ayahnya. "Aku memilih jalan ini, untuk melindungi Ramma."

"Melindungi Ramma?" Narashima mendengkus. "Melindungi dari apa?"

"Menghancurkan diri sendiri," jawab Meiyari kalem.

Narashima terdiam mendengar jawabannya.

"Keluarga Unjarha adalah keluarga yang setia pada keluarga Kaisar. Itulah yang digariskan leluhur kita, Ramma. Aku ingin mengingatkan Ramma, pada sumpah keluarga kita yang akan selalu mendampingi keluarga Utharem. Dan itu adalah kunci yang harus kita pegang."

"Bahkan dengan nyawa kita sendiri? Bahkan dengan mengorbankan nyawa dari orang-orang yang kita sayangi?" tegur Narashima. "Jangan membicarakan mengenai loyalitas pada Ramma, karena itu tidak akan membelokkan niat Ramma."

"Keluarga kita sama tuanya dengan keluarga Kaisar!"

"Justru karena itu, kita tahu sebusuk apa keluarga kekaisaran."

Meiyari kembali mengatupkan bibirnya, tidak membantah pernyataan tegas Narashima.

"Kau tahu kenapa Haren memilih menjaga jarak dari keluarga kaisar dan mendeklarasikan diri sebagai keluarga pelajar dan juga pedagang? Karena dia sudah tahu mengenai ambisi keluarga kekaisaran."

Haren adalah nama kepala keluarga Unjarha ke-6. Beliau merupakan pemimpin keluarga yang pertama kali memberikan perintah pada seluruh keluarga untuk membatasi diri dari politik kekaisaran dan lebih memfokuskan diri pada ilmu pengetahuan serta perdagangan. Sejak itulah keluarga Unjarha tidak terlibat langsung dalam politik praktis kekaisaran, sampai akhirnya Riyushi menyeret Narashima ke dalam pemerintahan.

Dulunya, keluarga Unjarha merupakan keluarga militer dan kepala keluarga pertama merupakan Jenderal kesayangan Utharem. Selama empat generasi hal tersebut bertahan, hingga kemudian perhatian keluarga kaisar teralih pada keluarga pejabat yang lain. Dan ketika Haren diangkat sebagai kepala keluarga Unjarha, dia menyadari permainan adu domba yang sedang dilakukan kaisar pada para keluarga bangsawan saat itu. Untuk menyelamatkan keluarganya, Haren pun melepas jabatan politiknya dan memilih menjadi cendikiawan biasa.

Berkat keputusannya, keluarga Unjarha bisa selamat dari cengkeraman Kaisar dan mereka bisa bertahan sampai sekarang. Semua ini karena Kaisar yang tidak menyukai keluarga-keluarga bangsawan yang terlalu kuat dan hendak mengambil-alih kekuatan serta harta mereka.

"Rhei masih memperlakukanmu dengan baik hingga saat ini. Namun sampai kapan kau akan bergantung pada kebaikannya? Kau hanya menggenggam tali rapuh yang mudah putus, Nak. Jika kau menyayangi dirimu sendiri, akhiri semua ini dan pergilah pada kakak-kakakmu. Mereka menunggumu, Mei."

Kakak-kakaknya berada di luar kekaisaran. Dengan alasan belajar dan berdagang, ayah mereka mengirimkan kakak-kakaknya keluar negeri untuk menyelamatkan mereka, sedangkan ayahnya masih berada di sini demi dirinya.

"Negara ini sekarat," ujar Narashima.

"Bukankah kita harus menyelamatkannya?" protes Meiyari.

"Atau menghancurkannya," balas Narashima.

"Ramma...,"

"Sudah terlalu lama keluarga Shenouka menguasai tanah ini. Mereka pasti sudah jenuh memerintah tempat ini. Perlu pemimpin baru untuk memperbarui keadaan, atau.... Biarkan saja terjadi kerusuhan di tempat ini."

"Apa itu pantas dikatakan oleh Perdana Menteri Kekaisaran?!" seru Meiyari.

"Mei..., Ramma bicara sesuai kenyataan yang Ramma lihat," ujar Narashima. "Pikirkan baik-baik apa yang hendak kau lakukan selanjutnya. Jangan lupakan mimpi-mimpimu sewaktu kecil dulu untuk melihat laut di Karkashiam, festival berburu di Jajinham, bunga-bunga langka di Myrtala, serta tebing-tebing tinggi di Sondakh."

Narashima berbalik, lalu berkata, "Ramma tidak bisa menyelamatkan bibimu, tetapi Ramma masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkanmu."

Kemudian dia meninggalkan ruang kerja putrinya yang ada di bagian utara paviliun Yueyuunsui. Para pengawal dan pelayan yang berdiri di depan pintu ruang kerja putrinya membungkuk saat dirinya lewat. Sekalipun mereka mendengar apa yang ia bicarakan dengan putrinya, tapi Narashima yakin orang-orang ini tidak akan berani membocorkannya pada orang lain, kecuali mereka tidak sayang lagi pada nyawa mereka sendiri.

Lelaki tua berjubah merah hitam itu menyusuri lorong paviliun Yueyuunsui dengan santai. Udara siang ini terasa lebih sejuk dan cuaca langit pun tak secerah biasanya. Awan-awan bergerumbul di atas langit, membentuk bayangan yang jatuh di atas Shasenka. Beberapa dayang atau pun pelayan yang tanpa sengaja berpapasan dengannya segera berhenti beraktivitas dan membungkuk dalam-dalam ke arahnya. Kurang dari satu belokan lagi dan Narashima akan mencapai gerbang yang menjadi pintu masuk area istana keputrian, tetapi dia terpaksa menghentikan langkahnya karena bertemu dengan orang yang tidak ingin ia temui.

Selir Mirhetta yang sedang berjalan-jalan di sekitar Istana Keputrian bersama putrinya, Isetta, memberi salam sepantasnya pada Narashima. Ekspresinya terlihat tawar dengan sudut bibir tertarik lurus dan sorot mata dipenuhi keengganan. Jika bisa berbalik tanpa harus menyapa lelaki tua ini, Mirhetta pasti akan melakukannya. Sayangnya, pandangan mereka terlanjur bersirobok dan wanita itu tidak bisa mengabaikan tata krama dasar terhadap orang yang statusnya lebih tinggi darinya. Jika kesialan harus dihindari, bertemu Narashima juga sesuatu yang patut dihindari.

"Sedang menikmati waktu terakhir di sekitar Istana?" Narashima menyunggingkan senyum penuh arti pada wanita itu.

Seharusnya Mirhetta tidak termakan ejekan Narashima, tetapi wanita itu tetap saja kesal mendengar pertanyaannya yang penuh hinaan. Lelaki tua ini seperti sedang tertawa pada nasibnya sekarang.

"Sepertinya Shongra baru saja menemui Permaisuri," Mirhetta membalas ejekannya dengan menekan sebutan permaisuri. Walau perasaannya jengkel, tetapi wanita itu tetap menunjukkan senyumannya yang ramah.

"Lusa kalian akan meninggalkan Istana, kan?" Narashima mengabaikan balasan Mirhetta. Lirikannya tertuju pada Isetta yang bersembunyi di balik Mirhetta. "Puas-puaskanlah untuk menikmati pemandangan Istana Yuunsui, karena pemandanga di kuil pasti tidak seperti ini."

Mirhetta menggertakkan gigi-geliginya mendengar hal tersebut. "Kelihatannya Shongra sangat senang."

"Tidak ada hal yang lebih menyenangkan dibanding melihat kalian kelabakan karena ambisi kalian terhadang." Narashima tidak lagi menyembunyikan ketidaksenangannya pada Mirhetta. Secara terang-terangan, dia memandang wanita itu dengan tatapan merendahkan. Ekspresinya pun menunjukkan ketidaksukaan yang membuat Mirhetta tak lagi menyembunyikan kebenciannya.

Para dayang dan pelayan yang mengikuti Mirhetta bergidik ngeri merasakan suasana permusuhan di antara kedua orang itu. Isetta pun hanya bisa gemetaran di belakang ibunya sambil menggenggam erat-erat gaun sang ibu.

"Anda pikir, anda sudah menang dengan mendorong Shuiren seperti ini?" tanyanya.

"Setidaknya untuk sementara, orang-orang faksi bintang tidak akan berulah, karena kehilangan pegangan untuk sementara," Narashima mengedik tak acuh. "Atau... kalian masih ingin mengeluarkan kartu lainnya? Bukankah seharusnya kalian memperhatikan dulu kesehatan jiwa dari gadis yang cintanya tak tersampaikan?"

"Hanya karena berhasil menjegal rencana kami, bukan berarti Anda akan berkuasa selamanya, Shongra," komentar Mirhetta.

Narashima tersenyum sinis. "Bagaimana dengan kalian?" tanyanya dengan nada main-main. "Bukankah terlalu bodoh, menjadikan seorang gadis polos yang hanya tahu mengenai cinta untuk menjadi umpan seorang Jenderal yang selalu diliputi kekhawatiran akan dibuang adiknya?"

Mirhetta tak bisa membalas kata-katanya.

"Sadarilah, kekuasaan keluarga kalian tidak akan bertahan lama," ujar Narashima tajam. "Seperti janjiku pada kakek kalian, aku akan menghancurkan keluarga kalian pelan-pelan, karena berani menginginkan sesuatu yang terlarang."

Mirhetta terpaku mendengar kata-katanya.

"Apa aku perlu mengingatkan beberapa catatan tentang dirimu dan Kaisar sebelumnya?" Lelaki tua itu melirik Isetta yang terlihat masih mengintipnya. "Apa Isetta ingin mendengar cerita mengenai ayah dan ibu Isetta?" Narashima sedikit mencondongkan diri ke arah anak itu.

"Jangan bawa-bawa anakku!!" Mirhetta langsung menghalangi pandangan Narashima dari Isetta. Air mukanya menunjukkan kemarahan sekaligus kegugupan.

Narashima tertawa mendengarnya. Senyumnya melebar. "Kenapa?" tanyanya. "Bukankah kau sering menceritakan hal itu pada adikku dan membuatnya menangis setiap malam?" Pertanyaannya membuat Mirhetta menegang. "Jangan kau kira aku tidak tahu apa yang telah kalian lakukan pada adikku semasa dia hidup. Aku tahu persis, apa yang kalian perbuat padanya. Diasingkan ke kuil termasuk hukuman yang ringan untuk orang-orang tamak seperti kalian, seharusnya... kalian mendapat hukuman yang lebih kejam."

"Jika Kaisar sebelumnya tahu, serigala macam apa yang telah dia bawa ke Istana, tentu Kaisar akan berpikir puluhan kali untuk menarikmu menjadi penasehatnya," geram Mirhetta.

"Kaisarlah yang memaksa serigala ini untuk masuk ke Istana dan membereskan orang-orang tamak seperti kalian, jadi... salahkan saja pada mendiang suamimu karena berani menyeretku dan keluargaku dalam masalahnya," kata Narashima.

Lelaki itu lalu berbalik sambil mengentakkan lengan jubahnya dan meninggalkan Mirhetta tanpa menerima salam darinya. Baginya tidak masalah tidak mendapatkan salam dari wanita yang statusnya hanya selir Kaisar. Wanita-wanita di sisi Riyushi sudah banyak membuatnya sakit kepala dan yang paling menjengkelkan adalah melihat mereka saling berebut kasih sayang Riyushi demi segelintir kekuasaan yang tidak ada apa-apanya. Bukan sekali – dua kali, wanita-wanita itu menginjak harga diri adiknya, yang membuatnya harus mendengar berita sedih mengenai perasaan adiknya yang terluka.

Mirhetta adalah wanita yang penuh dengan ambisi. Keluarganya pun demikian. Demi mendapat seteguk kekuasaan dari Riyushi, wanita itu berani memasuki Istana dan berusaha merebut kekuasaan Permaisuri. Dia bahkan berani meracuni adiknya. Sayangnya tidak semudah itu. Riyushi tentu membiarkannya berperan seperti itu, tetapi pada kenyataannya Riyushi tidak pernah menggeser status adiknya, itu karena Riyushi memang tidak pernah berminat mengganti permaisuri, karena hal tersebut adalah perjanjian mereka.

Namun, gara-gara hal tersebut, adiknya terus-menerus mendapat tekanan dari para selir. Lebih parahnya lagi, terkadang adiknya dipaksa melihat kemesraan antara wanita-wanita itu dengan Riyushi, yang membuatnya sangat sakit hati. Fenianing mencintai Riyushi, tetapi tidak sebaliknya. Dan itu sangat mengganggu Narashima. Bahkan ada yang pernah berani memasukkan obat penggugur kandungan ke makanan Fenianing ketika dia mengandung Nayunira, yang membuat Narashima makin murka.

Supaya adiknya mendapat ketenangan, Narashima harus bekerja keras untuk mendapatkan kendali di pemerintahan. Dia bahkan tidak segan menggunakan cara kejam, agar lawan politiknya berpikir dua kali untuk melawannya. Seperti misalnya pelayan-pelayan kiriman musuhnya, yang berusaha meracuni adiknya, dikirim kembali pada keluarga musuhnya dalam kondisi cacat atau mati, sebagai peringatan agar anak-anak perempuan mereka tidak mengganggu Fenianing.

Riyushi jelas tahu hal itu, tetapi mendiamkannya. Dia membiarkan mereka bertarung, sedangkan dia sendiri duduk di singgasana dengan tenang sambil mendengarkan laporan. Lelaki itu tahu caranya menikmati dan memanfaatkan kekuasaannya. Saat musuh-musuh Narashima merengek dan merajuk pada Riyushi mengenai kekejamannya, Riyushi akan menenangkan mereka dan menjanjikan hal yang palsu. Sementara Riyushi sendiri hanya akan lepas tangan pada apa yang diperbuat Narashima dan cuma melihat pertengkaran mereka dari singgasana.

Begitu liciknya lelaki itu, sampai Narashima ingin sekali membawa semua keluarganya keluar dari Shenouka. Namun dia tidak bisa melakukannya, karena adiknya menjadi tawanan. Padahal... Fenianing adalah wanita yang baik. Dia bahkan tidak tega melihat seekor kelinci dijerat. Hatinya terlalu lembut dan sikapnya sangat keibuan. Dia seharusnya berada di kediaman seorang lelaki yang setia, yang mencintainya dengan setulus hati dan membahagiakannya seperti yang dilakukan keluarganya pada adiknya. Nasibnya sangat sial karena harus menikah dengan Riyushi.

Narashima mempercepat langkahnya untuk keluar dari lingkungan Istana Yuunsui dan yang menunggunya di depan gerbang masuk Yuunsui adalah Erodo—salah satu ajudannya yang mengenakan setelan hitam dengan jubah putih di bahunya.

"Shongra...," lelaki berambut hitam itu bergegas mendekati majikannya. Ekor rambutnya yang terkuncir mengayun ke samping karena gerakannya yang tiba-tiba.

"Ada apa?" Narashima mengernyit melihat ajudannya terlihat gelisah.

"Saya mendapat kabar....," lelaki itu memelankan suaranya. "Bahwa Shonja memanggil beberapa ajudannya ke kediaman beliau pagi ini."

Narashima tidak terlihat terkejut atau pun khawatir. "Kenapa dia melakukannya?"

"Sepertinya mereka melakukan pembicaraan serius, Shongra."

"Sepertinya?" Narashima mengangkat salah satu alisnya mendengar jawaban ajudannya yang ragu-ragu.

"Dari yang saya dengar, Shonja mengumpulkan anak buahnya untuk membahas mengenai keamanan ibu kota. Namun, yang mengherankan, beliau juga menyuruh istri, adik ipar beliau, serta seorang Iksook untuk mengikuti pertemuan tersebut."

"Ah... begitu," Narashima seperti memahami sesuatu.

Si ajudan terlihat kebingungan melihat majikannya tampak tenang-tenang saja.

"Panggil Tabib Mu ke rumah. Sepertinya hari ini aku harus memeriksakan kesehatanku," ujar Narashima.

Lelaki itu terdiam sesaat untuk memahami hubungan antara maksud Narashima memanggil tabib Mu denggan berita yang disampaikannya barusan.

"Baik, saya akan mengirim kurir untuk memanggil beliau ke rumah." Lelaki itu menjawab setelah beberapa detik terdiam.

"Sebelum pulang, aku ingin berziarah sebentar ke makam adikku. Sampaikan pada penjaga untuk membuka pintu pemakaman," kata Narashima.

"Baik, Shongra." Lelaki itu undur diri untuk menyampaikan pesan Narashima pada penjaga makam keluarga kaisar.

Narashima mendongak, menatap langit yang tertutup oleh awan-awan tebal. Sepertinya hujan akan turun, tapi... apakah ini benar-benar hujan? Ataukah ini petaka yang akan membuat orang-orang histeris?

(25 Januari 2020)
=======================

Note:

Sebagai pembuka, yuk... dengerin lagu taeyeon dulu. Lagunya enak didengerin dan apakah ada kaitannya sama cerita ini? Uhm.... mungkin itu sedikit gambaran dari orang yang meragukan cintanya sendiri.

Satu per satu, kartunya sudah mulai terbuka. Kita jadi tahu, Narashima ternyata membantu Rhei karena Meiyari. Ini sama saja seperti Narashima yang terpaksa membantu Riyushi.  Tiga pihak mulai menjalankan aksinya masing-masing. Mereka yang cuma diam melihat, mereka yang hendak melindungi, dan mereka yang akan bertindak.

Saya harap kalian menikmati cerita ini dan tidak bosan saya minta maaf, karena updatenya yang lama banget. Saya nggak akan memberikan alasan, karena saya anggap kalian memahami alasan saya yang terpaksa hiatus selama berbulan-bulan.

Jangan lupa vote dan komentar ya....


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro