Bab 51. Narashima : Janji Mutlak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 Ost. Scarlet Heart Ryeo

Gesture of ressistance - Various Artis

=========================================

Waktu belum menginjak sore hari, tetapi langit sudah benar-benar gelap. Narashima baru saja sampai di depan gerbang Shasmir Shenoukaishi atau pemakaman keluarga kaisar yang dijaga oleh sekelompok prajurit yang tidak lebih dari lima belas orang. Kepala penjaga makam yang melihat kedatangan Narashima segera menghadap padanya dan memberikan salam hormat semestinya, yang ditanggapi Narashima dengan anggukan dingin.

"Aku ingin berziarah ke makam adikku."

Itu adalah perintah, bukan pertanyaan atau pun pernyataan yang bisa dibantah. Dan ini bukan pertama kalinya Narashima berkunjung ke pemakaman. Seharusnya kepala penjaga tanggap dengan pernyataan Narashima, tetapi pria pria kurus dengan pipi tirus itu menyunggingkan senyum penuh arti yang ditanggapi Narashima dengan decakan kesal.

"Erodo!"

Seolah memahami seruan majikannya, Erodo memberikan sekantung uang perak yang sudah dia siapkan pada kepala penjaga makam.

"Saya akan membukakan pintunya." Mata kepala penjaga makam itu terlihat berbinar setelah menerima uang yang diberikan ajudan Narashima. Baginya yang ditugaskan menjaga tempat sepi dan terpencil seperti ini, apa yang bisa diharapkannya untuk menambah penghasilan? Tidak ada.

Meski aturan tidak memperbolehkan sembarang orang memasuki Shasmir Shneoukaishi, kepala penjaga makam tetap membuka gerbang makam selebar-lebarnya pada Narashima.

"Tunggu aku di sini." Narashima berkata pada Erodo, "Aku tidak akan lama."

Erodo ragu untuk sesaat, tetapi kemudian mengangguk patuh.

Salah satu prajurit memberikan lentera yang sudah dinyalakan pada Narashima. Setelah lelaki itu melenggang masuk, gerbang pun kembali ditutup.

Walaupun sendiri dan cuaca sedang tidak bersahabat saat ini, Narashima tidak terlihat gentar saat menyusuri jalanan berlantai batu yang mengarahkannya pada sebuah halaman berbentuk persegi yang memiliki altar meja batu di tengah-tengahnya. Area itu bernama Shmir Hui atau tempat perpisahan yang menjadi tempat diletakkannya peti mati Kaisar atau Permaisuri untuk terakhir kalinya sebelum dimakamkan.

Sebelum Kaisar atau Permaisuri yang wafat dimakamkan, biasanya Imam Agung akan memimpin upacara doa. Peti mati Kaisar atau Permaisuri akan diletakkan di salah satu altar meja batu, sedangkan meja batu yang lain akan dipenuhi bunga krisan atau lili putih, dan meja yang lainnya akan diisi dengan mangkuk dupa, mangkuk buah, hingga piringan emas berisi makanan dan minuman yang sudah matang. Semua itu merupakan salam penghormatan terakhir dari mereka yang masih hidup pada mereka yang sudah meninggal.

Saat Fenianing meninggal dan dimakamkan di tempat ini, hampir seluruh area pemakaman dihiasi oleh krisan putih dan kain-kain putih tanda duka dibentangkan di setiap jengkal dinding pemakaman yang membatasi area makam dengan area luar. Jika mengingat betapa megahnya upacara kematian adiknya waktu itu, siapa pun pasti akan mengira bila Riyushi sangat mencintai permaisurinya dan bersedih atas kematiannya. Siapa yang mengira kalau Riyushi melakukannya karena rasa bersalah?

Narashima sama sekali tidak terkesan dengan perbuatan Riyushi pada waktu. Baginya, tindakan Riyushi sudah sangat terlambat dan karena itulah, dia pun memutuskan bersikap lebih keras pada Shui serta orang-orang faksi bintang. Nyawa adiknya tidak akan pernah kembali dan mereka harus membayar semua itu dengan seluruh hidup mereka.

Lelaki itu melintasi Shmir Hui, tetapi berhenti sejenak di taman yang diapit dua anak tangga yang mengarah ke lereng bukit. Ada beberapa jenis bunga yang tumbuh di taman itu, tetapi semuanya berwarna putih. Narashima mengulurkan tangan dan memetik setangkai bunga krisan putih yang tumbuh paling dekat dengan pagar tangga. Kemudian, dia kembali melangkahkan kakinya ke lereng bukit.

Shasmir Shenoukaishi memang berada di sebuah bukit, Shasilyre namanya atau bukit yang ditumbuhi bunga-bunga lyre. Bunga-bunga itu mirip seperti bunga kapas, tetapi memiliki kelopak yang bertumpuk-tumpuk seperti mawar. Aromanya manis dan segar, mirip seperti aroma embun di pagi hari. Warnanya juga bermacam-macam, mulai dari jingga, kuning, merah, putih, ungu, dan merah muda. Bunga-bunga itu tumbuh dan berkembang di musim apa saja, tetapi paling banyak di musim kemarau.

Terpilihnya Shasilyre sebagai tempat peristirahatan terakhir keluarga kaisar bukan diputuskan secara asal, melainkan karena hal tersebut merupakan wasiat Utharem. Saat itu Shasenka masih dalam tahap pembangunan, Utharem pergi berburu dan menemukan bukit ini. Banyaknya bunga-bunga lyre yang tumbuh di bukit ini mengingatkannya pada tempat kelahirannya di utara sana dan ketika ia mendaki sampai ke puncak bukit, Utharem bisa melihat deretan perbukitan yang mengarah ke utara serta ibukota yang ada di selatan.

Letaknya yang tidak jauh dari ibu kota—hanya perlu menempuh satu jam perjalanan saja, serta pemandangan indah berupa perbukitan yang mengarah ke utara, membuat Utharem memilih tempat ini sebagai rumah terakhirnya sebelum meninggal. Utharem berkata pada para bawahannya, bahwa dia ingin tempat ini menjadi tempat peristirahatn terakhir bila dia mangkat. Kemudian, jadilah Shasilyre sebagai tempat pemakaman keluarga kekaisaran.

Bukit ini pun akhirnya dibentuk berundak, yang mana masing-masing undakannya terdapat makam Kaisar dan Permaisuri terdahulu. Berbeda dari makam kaisar pertama yang ada di puncak bukit dan dilindungi oleh atap gazebo yang ditopang dengan pilar-pilar bertatahkan Naga dan burung merak, makam-makam kaisar dan permaisuri sesudahnya jauh lebih sederhana. Makam-makam kaisar dan permaisuri selanjutnya hanya berupa papan nisan batu yang berukir Naga untuk sang Kaisar dan burung merak untuk permaisurinya.

Ada lima undakan di bukit tersebut dan setiap undakannya berjarak dua puluh anak tangga. Kaisar-kaisar yang wafat setelah Utharem dimakamkan sesuai urutannya, mulai dari kaisar kedua yang ada di undakan pertama—undakan yang paling dekat dengan puncak bukit, hingga ke undakan terakhir, kemudian berulang lagi dari atas ke bawah.

Sebagai kaisar ke-16 Shenouka, makam Riyushi berada di undakan pertama dan berada di sisi kanan anak tangga. Cukup mengesalkan juga bagi Narashima, karena harus mendaki anak tangga sebanyak itu untuk mengunjungi makam Fenianing. Namun, karena ini sudah menjadi aturan sekaligus tradisi pemakaman keluarga Kaisar, apa yang bisa dia bantah?

Narashima mengatur napasnya saat sampai di undakan pertama. Dia jelas terlihat kelelahan. Usianya sudah kepala lima dan menaiki anak tangga sebanyak ini memang bukan hal mudah baginya. Setelah napasnya lebih teratur, barulah Narashima menyambangi makam adiknya. Ia meletakkan bunga yang dipetiknya pada salah satu dari dua gelas batu di depan nisan yang biasa dipakai untuk meletakkan bunga dan dupa, lalu meletakkan lentera yang dibawanya di dekat nisan.

Pria tua itu diam untuk beberapa saat ketika memandangi nisan adiknya. Tatapannya menunjukkan kesedihan yang tertutupi oleh rasa bersalah dan kemarahan. Ada begitu banyak kata yang ingin diucapkan Narashima, tetapi tiap berhadapan dengan nisan Fenianing, lelaki itu tak mampu mengutarakan seluruh isi hatinya. Ia merasa, itu akan membuat adiknya tidak dapat beristirahat dengan tenang di alam baka.

"Maaf...," kata itu keluar begitu saja dari bibir Narashima. "Maaf karena Ammu tidak bisa melindungimu dengan baik, Aning."

Aning merupakan nama kecil Fenianing. Nama yang selalu disebut dengan penuh rasa sayang oleh orang-orang terdekatnya.

"Kalau saja waktu itu Ammu lebih pandai berkelit dari jebakan ular ini...," Narashima melirik ke arah nisan Riyushi dengan penuh kebencian, "Kau tidak perlu menghabiskan hidupmu dengan sia-sia di sangkar itu. Kau juga tidak perlu menghadapi wanita-wanita gila yang menginginkan kekuasaan."

"Padahal Ramma menyuruhku untuk menjagamu, menjaga kalian semua. Tapi..., aku tidak bisa melindungimu dengan baik." Tangan Narashima terulur untuk menyentuh batu nisan Fenianing. "Aku... merasa gagal sebagai kepala keluarga. Aku tidak yakin bisa mengangkat wajahku di depan Ramma bila kami bertemu kembali."

Sebelum ayah mereka meninggal, satu-satunya pesan yang terus diucapkan sang ayah padanya adalah, 'Jagalah Aning. Jangan biarkan dia terikat dengan manusia-manusia ular yang hanya ingin memanfaatkannya. Nikahkan dia dengan laki-laki baik yang sederhana. Jangan nikahkan dia dengan laki-laki yang buruk sifatnya, meski kekayaannya mencapai bumi dan langit.'.

Namun, Narashima tidak mampu melaksanakan wasiat tersebut. Segera setelah ayahnya meninggal dan dirinya diangkat sebagai kepala keluarga Unjarha, Riyushi mulai mendekatinya dan merayunya untuk memasuki perpolitikan Istana. Sayangnya, wasiat Haren sangat jelas, seluruh keluarga Unjarha hanya boleh berpartisipasi dalam ilmu pengetahuan dan perdagangan, bukan politik praktis di Istana.

Narashima menolak permintaan Riyushi baik-baik. Dia hanya meladeni Riyushi yang waktu itu masih berstatus sebagai Putra Mahkota dengan sekadarnya. Jika Riyushi bertanya, maka dia akan menjawab. Jika Riyushi meminta, dia akan berpikir dua kali untuk memberikannya. Hubungan mereka berdua tak lebih dari sekadar teman mengobrol yang cocok. Kemudian, tibalah saatnya bagi Riyushi untuk menikah.

Sang Putra Mahkota kebingungan dengan daftar nama yang diberikan oleh Ibundanya dan datang padanya untuk meminta pertimbangan. Sayangnya, saat Riyushi datang ke kediamannya, dia sedang pergi ke toko untuk mengurus barang-barangnya. Hanya ada istri dan adik perempuannya di rumah, lebih tidak mengenakkan lagi, istrinya harus banyak beristirahat karena sedang hamil tua. Jadilah Fenianing yang menemui Riyushi.

Padahal Narashima selalu berusaha menyembunyikan adik perempuannya dari pandangan Riyushi. Dia selalu berkelit dengan halus, bila Riyushi menanyakan keberadaan adik perempuannya dan tidak pernah mempertemukan mereka secara langsung, meski Riyushi beberapa kali pernah menyinggung keberadaan Fenianing yang tidak pernah dilihatnya.

Pertemuan Riyushi dan Fenianing adalah takdir yang dia sesali. Banyak sekali pengandaian yang terbentuk dalam pikiran Narashima, jika seandainya Riyushi dan Fenianing tidak bertemu saat itu. Setelah pertemuan mereka yang cukup lama, Riyushi memutuskan membuang daftar nama yang diberikan ibunya dan secara halus mulai mendekati Fenianing.

Narashima menyadari hal itu dan berupaya melindungi adiknya, meski ketenangannya hampir hilang. Orang-orang mengira, mendapat sorotan keluarga Kaisar adalah hal yang membanggakan. Namun baginya, mendapat perhatian keluarga Kaisar adalah malapetaka yang harus dihindari. Karena bagi keluarganya, bila mereka tidak menjadi batu pijakan, maka mereka akan menjadi tumbal bagi ambisi keluarga kekaisaran.

Sikapnya yang menjauhkan Fenianing dari Riyushi tentu disadari Riyushi, sehingga ketika mereka tengah bermain catur bersama, Riyushi sengaja bertanya mengenai keberadaan Fenianing padanya.

"Di mana Aning? Sudah lama aku tidak melihatnya."

Narashima terganggu dengan cara Riyushi memanggil adiknya, seakan-akan mereka berdua sudah sangat akrab. "Aning pergi ke Naratala," jawabnya tanpa beban. "Ada sepupu kami yang akan menikah, sehingga aku mengirimnya ke sana untuk menggantikanku." Tangannya bergerak memindahkan pion catur.

Riyushi tertawa kecil mendengarnya. "Apa itu alasanmu menjauhkannya dariku?"

Pertanyaannya membuat Narashima tertegun. Ketika Narashima menaikkan pandangan ke arah Riyushi, bulu kuduknya meremang mendapati tatapan dingin Putra Mahkota Shenouka itu. Senyum kecil masih terulas di wajahnya, tetapi sorot matanya tidak menunjukkan keramahan.

"Kenapa kau menjauhkanku dari Aning?" Riyushi menggerakkan pionnya yang lain. "Jangan menggunakan wasiat Haren sebagai dalih atas tindakanmu ini."

"Saya tidak pernah melakukannya, Yang Mulia," Narashima mengelak.

"Kau melakukannya dan kau tidak pernah suka melihatku berbincang dengan adik perempuanmu."

"Sungguh, saya tidak pernah melakukannya, Yang Mulia."

"Apa kau takut, bila aku memilih Aning menjadi istriku?" Pertanyaannya membuat Narashima terpaku.

Sekali lagi Riyushi tertawa, menyadari tebakannya benar. "Apa yang kau takutkan, Nara?"

"Aning akan menikah, Yang Mulia," dusta Narashima. Setelah pernyataan ini, dia harus mempersiapkan pernikahan adiknya dan mencarikan calon yang cocok untuknya.

"Pernikahan yang terburu-buru," komentar Riyushi. "Tapi siapa yang akan berani meminangnya, bila aku berada di belakangnya?"

"Ada banyak perempuan yang ingin menjadi istri anda, Yang Mulia," sergah Narashima.

"Tapi aku memilih Aning sebagai calon istri sekaligus calon Putri Mahkota."

Narashima benar-benar memandang Riyushi dengan ketidaksetujuan. "Kenapa adik saya, Yang Mulia?"

"Karena... dia adikmu."

Jawabannya membuat Narashima termangu selama beberapa saat. Jadi..., siapa pun tidak masalah menjadi calon Putri Mahkota, asalkan dia adalah adiknya.

Nasib Fenianing sungguh tragis.

"Maaf, Yang Mulia. Adik saya pun berhak mendapat ketenangan dan kebahagiaan," komentar Narashima. "Dai juga berhak memilih pasangannya sendiri."

"Apa dia tidak akan tenang dengan menjadi istriku?" Riyushi terkekeh. "Kau terlalu berprasangka buruk, Nara. Akan kupastikan, adikmu memilihku dengan sadar."

Perasaan Narashima mulai berkecamuk.

"Kau selalu menolak untuk menjadi pengikutku, Nara. Kau juga selalu menampik uluran tanganku. Dengan apa lagi aku harus menarikmu ke pihakku? Kelihatannya, satu-satunya cara adalah dengan menikahi adikmu." Lirikan sinis Riyushi tertuju ke arahnya.

"Unjarha tidak akan ikut serta dalam politik Istana!" seru Narashima.

Riyushi tertawa kembali. Dia lalu berdiri dari tempatnya duduk dan berkata, "Cobalah mengatakan itu saat adikmu berdiri di altar pernikahan bersamaku. Apakah kau masih bisa memalingkan pandangan dengan banyaknya ular yang menginginkan kekuasaan di sekitarku?"

Narashima mengepalkan kedua tangannya mendengar pernyataan tersebut.

"Kau bilang adikmu sedang dalam perjalanan ke Naratala, kan? Bagaimana kalau aku mengatakan, dia sudah berada di Istanaku malam kemarin?"

"Tidak mungkin!" Narashima berdiri secara tiba-tiba.

"Semua mungkin terjadi, Nara." Senyum Riyushi melembut. "Kuberi kau waktu untuk berpikir, menerimaku atau menampikku. Tentunya kau sudah tahu konsekuensi apa yang akan kau terima bila menampikku."

Setelah berkata seperti itu, Riyushi beranjak meninggalkan ruangan Narashima. Namun, sebelum Riyushi benar-benar pergi, Narashima berkata,

"Dia hanya gadis polos biasa," ucapannya membuat langkah Riyushi terhenti. "Fenianing tidak mengerti apa pun mengenai politik, Yang Mulia. Dia hanya mengerti caranya bersikap baik dan membantu orang lain dengan tulus. Dia bukanlah wanita yang cocok untuk di samping Yang Mulia. Tolong..., saya mohon..., lepaskan dia." Narashima menghinakan dirinya dengan bersujud ke arah Riyushi.

Namun, Riyushi hanya memandangnya sekilas.

"Aku tahu itu," jawabannya terdengar dingin. "Seperti katamu, Aning adalah gadis yang polos dan baik. Tapi yang kuinginkan bukan dia, melainkan dirimu. Kalau kau terus menolakku, tidak ada cara lain yang bisa kulakukan selain menyeret dirinya."

Setelah itu, Riyushi meninggalkan Narashima yang masih terpekur di tempatnya bersujud.

Narashima tidak akan pernah melupakan hari itu, saat di mana dia melihat adiknya memasuki altar pernikahan bersama Riyushi. Kebahagiaan yang terlukis di wajah Fenianing kala itu, meremukkan perasaan Narashima yang lembut. Kemudian, dia pun mulai menyusun strategi untuk mendapatkan monopoli kekuasaan di kalangan para Menteri. Hal itu dilakukannya semata-mata untuk menjaga senyuman di wajah adiknya. Namun, apa yang terjadi setelah pernikahan mereka?

Narashima hanya bisa melihat tangisan adiknya.

"Kenapa kau tidak pernah mengatakan kalau Kaisar tidak pernah menyentuhmu?!" Narashima tidak bisa menahan kemarahannya setelah mendengar cerita kehidupan pribadi Fenianing dan Riyushi dari Imaega—dayang utama Fenianing. Dia segera mengunjungi adiknya dan menanyakan hal itu secara terang-terangan pada adiknya.

"Itu adalah kehidupan pribadiku, Ammu," Fenianing berusaha menenangkan kakaknya. "Lagi pula, Kaisar selalu memperlakukanku dengan baik."

"Perlakuan baik apa?!" Narashima membanting cangkir tehnya, hingga cangkir tersebut pecah. Untunglah para dayang dan pelayan sudah diusir menjauh, sehingga mereka tidak perlu melihat kemarahan Narashima yang membabi buta. "Dia hanya mengurungmu di sangkar emas! Selama kau terkurung dan mendambakan kebebasan, dia bebas pergi dan tidur dengan selir-selirnya!"

Ucapannya pasti menyinggung perasaan Fenianing, karena air muka adiknya berubah muram.

"Ammu...," Fenianing mencoba membujuk kakaknya, tetapi Narashima mengangkat tangannya—memberi isyarat pada adiknya untuk diam.

"Aku memberi kalian restu untuk menikah, bukan untuk melihatmu disia-siakan seperti ini, Aning," kata-katanya penuh dengan kegeraman. "Jika kau sedih, maka Ammu akan merasa lebih sedih lagi. Jika kau sakit, Ammu akan merasakan sakit yang lebih perih. Ramma menyuruhku menjagamu, bukannya melepaskanmu pada ular beracun yang bisa membunuhmu."

"Ammu tahu, kau wanita baik yang ingin hidup damai dan tenang. Namun, ini adalah istana. Kau tidak bisa bersikap baik pada semua orang dan balik meminta mereka bersikap baik padamu. Kalau kau tidak mengangkat senjata dan melindungi dirimu sendiri, maka Ammu yang akan melakukannya."

"Ammu... tidak!" sergah Fenianing. "Ammu tidak perlu melakukan itu! Aku bisa menjaga diriku sendiri!"

"Tidak," Narashima berdecak penuh cemohan. "Kau tidak bisa menjaga dirimu sendiri."

Fenianing tidak akan pernah tega melukai orang lain. Dia hanya tahu cara merawat dan menjaga orang lain. Saat ayah dan ibu mereka sakit, Fenianinglah yang merawat mereka. Bila gadis-gadis seusianya pada waktu itu memilih menjaga jarak dari orangtua mereka yang sakit, Fenianing justru melakukan hal sebaliknya. Perasaannya begitu lembut dan dia selalu telaten dalam menuruti banyak permintaan orang tua mereka. Karena itulah, keluarga mereka sangat menyayangi Fenianing. Karena hal tersebut, Narashima berani bermain kotor untuk menyingkirkan orang-orang yang berniat mencelakai adiknya.

Narashima sama sekali tidak merasa bersalah ketika meracuni Alishea yang memonopoli waktu Riyushi. Dia juga tidak segan menjatuhkan keluarga selir Inanam yang mencoba memanfaatkan belas kasih Fenianing. Keluarga Mirhetta pun tidak luput dari pengawasannya, karena wanita itu selalu mengganggu adiknya hingga membuatnya menangis setiap malam. Banyak sekali yang dilalui Narashima untuk menjaga Fenianing. Bahkan setelah Riyushi memperingatkannya pun, Narashima tetap pada pendiriannya. Dia menjadi pedang dan tameng bagi adiknya.

Narashima sempat berpikir, peran tersebut berakhir setelah adiknya meninggal dunia. Namun, dia tercengang ketika putrinya memutuskan masuk istana dan menjadi tunangan Rhei. Sekali lagi, Narashima dipaksa menjadi pedang dan tameng. Hanya saja, putrinya berbeda dari Fenianing. Dia tahu cara menggunakan senjata yang dimilikinya, sehingga beban Narashima tidak seberat seperti saat menjaga Fenianing. Tapi sebagai seorang ayah, Narashima tetap tidak mampu melepas anak gadisnya begitu saja di tengah medan politik Shasuiren yang tidak tentu, apalagi dengan tempramen Rhei yang berubah-ubah. Untuk saat ini, dia memang masih bisa dikendalikan. Tapi bila suatu saat nanti emosinya meledak, bukan tidak mungkin putrinya akan terluka.

"Aku tahu, dari awal sebenarnya kau ingin mencalonkan Shui sebagai pewarismu." Tatapan Narashima tertuju pada makam Riyushi. "Kau sengaja mengirimnya jauh dari ibu kota dan menempanya dengan keras, lalu kembali menariknya untuk memberinya sebuah pasukan. Betapa liciknya keputusanmu itu, Yang Mulia."

Tidak ada jawaban apa pun dari makam Riyushi selain angin yang berembus dingin di sekitar makam. Suara gemuruh mulai terdengar, tetapi Narashima tidak terlihat ingin meninggalkan pemakaman.

"Kau tidak ingin mengangkat Rhei sebagai pewarismu karena takut, kekuasaanku di kekaisaran ini semakin besar, kan?" Senyum sinis terulas di wajah Narashima. "Satu-satunya cara untuk mengimbangi kekuasaanku adalah dengan memperbesar kekuatan militer. Kau harus memilih anak yang tidak terikat secara langsung dengan politik Istana, tetapi punya kelebihan dan Shui memenuhi persyaratan tersebut."

"Dia anak lelaki pertamamu, dia juga tidak terikat secara politik dengan keluarga bangsawan di Shenouka, dan dia akan semakin terlihat menonjol bila mendapatkan prestasi yang bagus di kemiliteran. Pandangan orang-orang padanya akan lebih tinggi dari pada pandangan mereka pada anak-anakmu yang lain."

"Kau memberinya senjata di tempat yang tidak kugapai. Padahal keluarga kaisar tidak semestinya memimpin sebuah pasukan, tetapi kau sengaja melakukannya, selain untuk memberi Shui kekuatan, juga menjaga dirimu sendiri dari seranganku. Sayangnya, Shui tidak bertindak seperti yang kau harapkan. Karena dibesarkan oleh Aning, anak itu pun punya rasa sayang pada Aning maupun anak-anak Aning. Pada akhirnya, kau tetap terpaksa mengangkat Rhei sebagai Putra Mahkota."

"Bukankah tidak menyenangkan, bila rencanamu tidak berjalan semestinya, Yang Mulia?" Narashima terkekeh pelan. "Kau pasti sibuk menyesali keputusanmu dulu, karena telah menyeret serigala ini ke dalam masalahmu. Sekarang, serigala ini bukan saja menggigit orang-orang yang ingin kau gigit, tetapi juga orang-orang yang dia anggap sebagai pengganggu."

Langit kembali bergemuruh dan beberapa kali kilat terlihat. Yang mengherankan, meski udara semakin dingin dan angin terus-menerus bertiup, tetapi hujan belum juga turun.

"Yang Mulia, kau tidak senang bila Rhei memegang tampuk kekuasaan, kan?" Narashima tersenyum sendu. "Karena itu..., biarkan putriku yang memegang kekuasaan di kekaisaran ini."

(19 Februari 2020)

=================

Note:

Kadang.... saya ngerasa pengen nulis side story antara Riyushi, Narashima, dan Fenianing. Saya juga sering terpikir, gimana sudut pandang Riyushi dalam menghadapi Narashima dan Fenianing ya? Walau dia mementingkan stabilitas kekaisarannya, tapi... dia tetap manusia yang punya hati.

Saya banyak tulis-hapus ketika mengerjakan chapter ini. Ada banyak perasaaan Narashima yang meluap dalam diri saya, seakan-akan dia minta dimengerti atas semua kekejamannya pada tokoh yang lain. Hanya saja, saya masih nggak bisa membenarkan tindakannya tersebut. Lalu saya dipaksa berpikir lagi, bagaimana jika saya yang ada di posisi tersebut? Posisi serba salah yang ambil arah dari mana saja sama sekali tidak memberi keuntungan.

Narashima ini... termasuk karakter yang sulit bagi saya. Banyak keambiguan dalam dirinya yang kalau dirunut menurut alasan tindakannya, maka saya akan membenarkan tindakannya. Padahal secara moral, tindakannya sudah pasti salah. Dan di sisi lain, mau tidak mau pasti kita akan menyalahkan Riyushi atas segala keruwetan yang terjadi sekarang.

Tapi kita sendiri tidak benar-benar tahu apa yang dipikirkan Riyushi bukan?

Jangan lupa, vote, dan komen, ya :D


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro