Bab 56. Sheyana : Harapan serapuh Benang Laba-laba

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lagu di atas judulnya 'Because I Miss You Ost Moonlight Drawn - Beige' 

---------------------------------

Dentuman yang kudengar bersama Shuiren berasal dari paviliun tamu.

Kami bergegas ke sana karena mengkhawatirkan keselamatan Iksook Inarha, ketika dentuman-dentuman berikutanya terdengar. Shuiren berhenti berlari ketika melihat kelebatan bayangan yang melompati pagar kediaman utama. Beliau langsung menarik pedangnya begitu orang-orang itu berlari ke arah kami.

Shuiren menoleh ke arahku, "Jemput Ibu dan adik-adikmu, lalu bersembunyilah di gudang bawah tanah yang ada di ruang kerjaku. Tuas untuk membuka pintu ada di pajangan emas berbentuk Naga yang ada di atas meja kerja. Jika keadaan lebih tenang, aku akan menjemput kalian. Namun, bila keadaan semakin genting, keluarlah lewat pintu rahasia di gudang tersebut. Masuk dan ikuti lorong yang memiliki tatahan Naga di dinding."

Aku termangu sesaat, berusaha memproses perintah beliau dengan sebaik-baiknya. Ruang kerja, gudang bawah tanah, tuas...

"Shuiren!" Aku memekik ketika melihat kilatan senjata tajam mengayun di belakang beliau dan secepat itu pula beliau berbalik untuk menahan ayunan pedang penyusup tersebut.

"Pergi!" seru Shuiren.

Aku menatap beliau dan para pembunuh itu bergantian, kemudian berbalik dan berlari sekencang mungkin menyusuri lorong kediaman utama menuju kamar yang ditempati ibu dan adik-adikku. Di belakang, aku mendengar suara dentingan pedang yang saling berhantaman dan aku tidak berani menoleh untuk melihat berapa banyak pembunuh yang menyerang beliau.

Prajurit-prajurit berdatangan dari arah yang kutuju. Mereka terlihat tegang dan waspada ketika berlari ke tempat Shuiren bertarung.

"Nyonya awas!"

Aku terkesiap ketika seorang prajurit berlari seakan hendak menubrukku, tetapi suara besi yang saling beradu di atas kepalaku membuatku sadar, dia baru saja menyelamatkanku dari salah satu pembunuh.

Prajurit itu segera menarikku ke belakangnya, mendorongku dalam perlindungan lima prajurit yang datang bersamanya. Setelah sedikit tenang, aku baru mengenali bahwa prajurit yang menolongku adalah Tuan Ruruine. Setelah berhasil membunuh tiga penyerang yang mengikutiku, Tuan Ruruine pun menyambangiku.

"Apa Nyonya baik-baik saja?" Dia memperhatikanku dari atas ke bawah, seakan memastikan keadaanku baik-baik saja.

"Kenapa kau di sini?" tanyaku panik. "Harusnya kau bersama Ibu dan adik-adikku!"

Tuan Ruruine dan Tuan Lokha ditugaskan untuk menjaga ibu dan adik-adikku.

"Lokha sudah membawa mereka ke tempat aman, Nyonya." Dia berusaha menenangkanku.

"Di mana mereka sekarang?!"

"Mereka ada di—," Kata-kata Tuan Ruruine terhenti bersamaan dengan sebilah senjata tajam yang menembus perutnya.

Serangan itu terjadi secara tiba-tiba.

Sangat tiba-tiba, bahkan aku sendiri tidak menyadari kedatangannya. Aku terpaku, begitu pula Tuan Ruruine. Di belakangnya, seorang penyerang berperawakan kecil menusukkan pedangnya semakin dalam ke tubuh Tuan Ruruine. Ketika penyerang itu menarik pedangnya, Tuan Ruruine berteriak,

"Bawa Nyonya pergi!" serunya sembari berbalik untuk melancarakan serangan balasan yang mampu ditangkis pembunuh itu dengan mudah.

Salah satu prajurit menyambar lengan kananku, ketika lagi-lagi satu tikaman kembali menembus tubuh Tuan Ruruine. Aku menutup mulut, menahan jeritan yang hendak keluar. Sekali lagi, Tuan Ruruine membentak kami, menyuruh kami segera meninggalkannya.

"Nyonya!" seorang prajurit lain menarik lengan kiriku, setengah menyeretku untuk segera meninggalkan koridor ini.

Kedua kakiku yang semula melangkah terseok-seok—karena terlalu terkejut dengan kejadian barusan, pelan-pelan mulai mendapatkan kekuatannya lagi. Pemandangan tadi membuatku dicekam rasa takut, tetapi... kini yang kupikirkan adalah keluargaku. Ibu dan adik-adikku..., aku takut para penyerang ini berhasil menemukan dan membunuh mereka.

Aku menggeleng kasar. Tidak! Bagaimana bisa aku berpikir buruk di situasi seperti ini? Mereka pasti akan baik-baik saja. Tuan Lokha bersama mereka. Tapi bukankah Tuan Ruruine baru saja tewas? Bisa jadi Tuan Lokha juga mengalami hal yang sama.

Aku menggertakkan gigi-geligi, merasakan kekacauan dalam hati dan pikiranku sendiri. Mereka baik-baik saja. Aku berusaha mengenyahkan prasangka buruk yang membayangiku. Mereka akan selamat dan baik-baik saja. Aku berusaha meyakinkan diri. Namun, secepat itu pula harapanku pupus ketika prajurit yang mengawalku dibunuh dalam sekejap. Yang pertama kali ditusuk adalah prajurit yang berlari di sisi kananku, baru kemudian prajurit di sisi kiriku. Setelah ini, giliranku yang akan dibunuhnya.

Tidak. Aku belum ingin mati!

Aku berbalik ke belakang seraya membayangkan sekaligus memanggil salah satu senjata pemberian Inaike, bersamaan dengan tusukan pedang yang mengarah langsung ke dadaku. Namun, sebelum ujung pedang itu menembus tubuhku, duri-duri tanah yang naik ke permukaan lebih dulu mengoyak tubuhnya.

Napasku tersengal-sengal, bersamaan dengan degup jantung yang berdetak sangat cepat. Tanganku gemetaran menggenggam belati pemberian Inaike yang muncul secara ajaib ketika aku memanggilnya dalam benakku tadi. Mataku disengat rasa panas dan tanpa bisa kutahan, air mataku berjatuhan tanpa henti.

Aku takut.

Aku benar-benar takut.

Tadi, nyaris saja orang itu berhasil membunuhku. Andaikan aku terlambat mengingat apa yang diajarkan Inaike untuk menggunakan kekuatannya, mungkin saat ini aku sudah menjadi mayat. Aku menghapus air mata yang membasahi pipi, tetapi tidak mampu meredakan alirannya. Dengan pandangan sedikit buram karena air mata, kurobek ujung gaunku, agar tidak menghalangi kakiku saat berlari. Berlarian menggunakan gaun memang pilihan buruk, tapi bagaimana aku bisa mengeluh? Penyerangan ini terjadi secara tiba-tiba, tidak mungkin aku meminta mereka mengabari kami saat akan menyerang, sehingga aku bisa mengenakan setelan lelaki seperti yang dipakai Shuiren.

Selesai merobek ujung gaun, aku kembali menghapus air mata maupun mengelap ingus dengan lengan baju. Sekarang, aku perlu mencari tahu di mana keberadaan ibu dan adik-adikku, aku juga membutuhkan busur dan anak panahku. Walau aku tahu cara menggunakan belati, tetapi aku bukan prajurit serta tidak piawai dalam serangan jarak dekat. Di saat seperti ini, aku merasa perlu mempelajari sedikit ilmu pedang dari Tuan Shui, agar tidak kelabakan saat mendapat serangan seperti tadi.

Aku melirik sekitar dengan waspada. Koridor yang kulewati merupakan lorong tertutup yang diapit dua bangunan memanjang. Jika berlari sampai ke ujung bangunan dan berbelok ke kanan, maka aku akan sampai di bagian sayap bangunan keluargaku. Suasana di sini sepi, tapi bukan berarti sunyi. Aku mendengar suara-suara pertarungan di dekat sini dan apabila ada penyusup yang berkeliaran mencari korban untuk dibunuh, kami pasti akan bertemu.

Tabung anak panah dan busur muncul di kedua tanganku, setelah aku membayangkannya dan memanggilnya dalam hati. Aku menyelipkan sabuk tabung anak panah tersebut, sehingga posisinya melintang di tubuhku. Sementara belati yang kupanggil lebih dulu kuselipkan pada sabuk kain yang melilit pinggangku. Kuambil sebuah anak panah dan kupasang pada busur. Setelah itu, aku kembali berlari menuju sayap bangunan yang ditinggali keluargaku.

***

Pemandangan di depan membuat lidahku kelu.

Mayat-mayat prajurit bergelimpangan seperti guguran dahan-dahan pohon yang diterjang pusaran angin. Bau darah tercium kental di udara bercampur dengan aroma asap yang terbakar. Nyala merah terlihat di dalam bangunan, membuatku tergesa mendobrak pintu tanpa memedulikan, apakah di dalam sana ada musuh atau tidak.

Api berkobar, melalap meja dan kursi di ruangan yang kumasuki. Seperti di luar, di sini pun aku menemukan mayat prajurit yang terbunuh. Kamar ini milik ibuku, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan beliau di sini. Dari tirai-tirai yang sobek, serta meja kursi yang bergelimpangan, maupun porselen yang pecah, aku yakin, terjadi perlawanan yang cukup keras di sini. Namun..., bukankah serangan ini baru berlangsung? Aku teringat dengan suara dentuman pertama.

Kenapa situasi di sayap bangunan ini seakan-akan telah diserang sebelumnya? Kalau pun ada penyerangan, bukankah harusnya kami sudah tahu?

"Nyonya?" Sapaan itu langsung membuatku berbalik dan nyaris melepaskan anak panah padanya. Untung saja aku masih bisa menahan diri ketika melihat Efrani berdiri di ambang pintu bangunan.

"Apa yang Nyonya lakukan di sini?" Dia memasuki kamar dan mendekatiku dengan khawatir.

Aku ingat, bagian yang ditempati Efrani terletak di sisi yang berseberangan dengan sayap bangunan yang digunakan keluargaku. Mungkin ini kedengaran konyol, tapi intuisiku memperingatkan sesuatu.

"Apa yang terjadi di sini?" tanyaku.

"Nyonya lihat sendiri, kan, ada penyusup yang datang, kemudian membantai mereka."

Ketenangannya membuatku gelisah, hingga aku menarik anak panah dan mengarahkannya pada Efrani. Dia berhenti sekitar tujuh langkah dariku. Tatapannya menyiratkan keterkejutan.

"Nyonya mencurigai saya?" tanyanya.

"Ada banyak hal yang membuatku curiga padamu," jawabku.

"Apa anda berpikir, saya yang membunuh mereka semua?"

"Ya," Aku menjawabnya dengan tegas. Lirikanku tertuju pada ujung lengannya yang ternoda. "Apa itu noda saus? Ataukah itu noda darah?"

Efrani melihat lengan bajunya, kemudian ketenangannya pun berubah menjadi senyuman tipis. "Saya pikir, anda bodoh, tetapi anda ternyata cermat dan teliti. Tahu begini, saya langsung membunuh anda tadi." Dia menyeringai ke arahku sembari mencabut dua bilah belati yang disembunyikannya di balik sabuk kaki yang tertutup luarannya yang panjang.

"Di mana Ibu dan adik-adikku?!"

"Menurut Anda, di mana mereka sekarang?" Dia tersenyum sinis ke arahku. "Yang pasti, saya sudah mengantarkan mereka ke tempat yang tenang."

Kemarahanku meletup, membuatku melepas satu anak panah yang bisa dihindarinya dengan mudah.

"Kau membunuh mereka?!" hardikku.

"Menurut Nyonya?"

Dia membalas pertanyaanku dengan pertanyaan, membuat kemarahanku semakin naik.

"Jangan bercanda, Efrani!"

"Saya tidak pernah bercanda," wanita berjubah putih itu tertawa pelan. "Justru Andalah yang sering bercanda dengan saya, Nyonya. Atau... lebih nyaman kalau saya panggil Anda dengan nama Anda sendiri—Sheya."

Aku menggertakkan gigi, memikirkan kemungkinan Ibu dan adik-adikku masih selamat dan hidup. Mereka pasti ada di sini kan? Harus. Mereka harus ada di sini!

"Seandainya kau dan keluargamu tidak muncul di sini, pasti rencana kami berjalan lebih mudah," geramnya.

"Maksudmu rencanamu menggoda Shuiren?" tanyaku sinis.

Matanya nyalang mendengar komentarku. "Aku mencintai Shonja! Lancang sekali kau menghinaku dengan tuduhan seperti itu!"

"Mencintai," Aku balas menertawakan pengakuannya yang terdengar menggelikan. "Kau mencintai Shuiren atau terpesona dengan beliau? Kau tidak pernah mencintainya, Efra. Kau hanya terpesona dengan karakter, kedudukan, maupun harta yang beliau miliki. Kalau kau mencintainya, masihkah kau menjadi musuh dalam selimut?"

Pertanyaanku membungkamnya.

"Kau dikirim Putri Nayu untuk melindungi beliau dari serangan sihir hitam, tapi apa yang kau lakukan sekarang? Membunuh keluarga istri beliau?" sindirku. "Tahukah kau, tindakanmu ini bisa menyebabkan keretakan pada hubungan Shuiren dengan adik perempuannya?"

"Beliau tidak akan tahu, bila aku membunuhmu, Sheya," ucapnya. "Jadi, matilah hari ini!"

Akutidak berniat mati dan belum berencana mati dalam waktu dekat, karena itu, akumelawannya.

Pertarungan kami tidak seimbang. Aku tidak mahir bertarung dan dia berpengalaman. Dari kelincahannya dalam menghindari tanah-tanah yang mencuat ke atas, maupun sulur-sulur yang berusaha menjeratnya, dia terbiasa dalam situasi seperti ini. Namun, yang paling kusyukuri adalah dia tidak memiliki kekuatan gaib sepertiku, sehingga posisi kami bisa sedikit berimbang. Aku berupaya menghambatnya dengan dinding-dinding tanah yang naik ke permukaan atau pun sulur tanaman yang berusaha menangkap kedua kakinya. Api di belakangku berkobar semakin besar dan bila tidak segera keluar dari sini, aku bisa saja mati terpanggang. Satu-satunya jalan hanyalah dengan melewati Efrani atau...

Satu ide muncul. Kemudian seperti yang diajarkan Inaike, aku membayangkan tanah mencuat ke atas dan membentuk duri yang menjebol dinding kamar. Dari lubang tersebut, aku melarikan diri dari Efrani. Sialnya, di depan sana, dua pendoa yang biasa bersama Efrani mengadangku.

Keduanya mengunus pedang ke arahku. Saat akan berbalik, di belakang Efrani sudah muncul sambil bersumpah serapah. Aku menggertakkan gigi. Aku tidak ingin membunuh orang, tidak seperti tadi. Tapi... sepertinya aku harus melakukannya untuk menyelamatkan diriku sendiri.

Tahu bahwa aku terdesak, ketiganya mendekatiku dengan langkah seanggun kucing hutan yang mengintai mangsa. Mereka tahu aku terdesak, tetapi mereka akan tetap berhati-hati karena tahu aku bisa menggunakan kekuatan gaib.

"Di mana Ibu dan adik-adikku?" Aku kembali mengulang pertanyaan yang tadi kuajukan pada Efrani.

Efrani mendengkus, "Sudah kukatakan, mereka ada di tempat terbaik yang tak perlu lagi kau khawatirkan."

Aku meraih belati yang terselip di sabuk pinggang dan menggenggamnya erat-erat. Mereka jadi waspada melihatku memegang belati. "Kau benar-benar sudah membunuh mereka?" tanyaku, tak sanggup menahan rasa pedih yang menyayat hatiku. Aku masih belum bisa menerima bila ibu dan adik-adikku tewas terbunuh.

"Tenang saja, aku membunuh mereka dengan cepat, sehingga mereka tidak merasa kesakitan."

"Bohong!" hardikku. "Mereka masih hidup!"

"Terserah mana yang kau percayai!" serunya muak sembari berlari untuk membunuhku.

Aku menangis taktala menancapkan belati pemberian Inaike pada lantai batu dan ajaibnya, lantai itu terasa seperti sayuran lunak karena belati tersebut menancap dengan mudah di sana. Bersamaan dengan itu tanah di sekitar kami bergemuruh, kemudian luruh ke bawah.

Aku membayangkan lubang yang sangat dalam, lubang besar yang membuat mereka tak bisa merangkak naik dan menggapaiku. Bangunan, maupun pagar dan atap ikut ambruk karena tanah yang melunak. Untuk melindungi diri sendiri, aku menciptakan semacam kepompong yang terbuat dari papan-papan tanah yang bisa menahan reruntuhan atap bangunan.

Aku membayangkan tanah itu berpusar ke bawah dan jatuh semakin dalam. Teriakan Efrani dan kedua temannya terdengar, ketiganya berusaha menyelamatkan diri. Di tengah kesedihanku, aku membayangkan sulur-sulur tanaman yang bermunculan dari tanah dan menjerat leher serta tangan dan kaki mereka agar mereka tidak bisa keluar dari isapan luruhan tanah ini. Kemudian, aku membayangkan sulur-sulur tersebut menarik mereka ke tanah.

Teriakan mereka tak lagi terdengar dan aku merasakan energiku seakan-akan disedot keluar secara paksa. Aku lelah, tapi aku harus mencari ibu dan adik-adikku. Namun, aku tidak mampu lagi menggerakkan tangan untuk membuka kepompong batu ini. Dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, aku berupaya membuka salah satu dinding kepompong, tetapi itu hanya cukup membuat sedikit celah untuk keluar-masuk udara.

Sebelum kegelapan menelan kesadaranku, aku mendengar langit bergemuruh sangat kencang diikuti suara petir yang memekakkan telinga. Saat hujan turun, aku berada di ambang batas kesadaranku.

(31 Mei 2020)

---------------------------------

Note:

Nah..., siapa yang mulai menebak, penyusup-penyusup ini kiriman siapa hayoo? Tebak aja, mumpung nebak itu gratis. 🤭🤭

Saya lagi memikirkan, part depan masuk ke sudut pandangnya siapa ya~~ 

Sebenarnya udah ada bayangan mau pakai sudut pandangan siapa sih, cuma... masih dipikirkan baik-baik 🤭

Menurut kalian, siapa yang diincar dalam serangan kali ini?

Oh ya, sekalian saya ingin mengucapkan selamat idul fitri, mohon maaf lahir dan batin. Walau telat seminggu, tetapi masih tetap bulan syawal, kaaan. ahahaha #plaak

Tapi jujur aja sih, idul fitri kemarin nggak berasa kayak idul fitri biasanya. Di tempatku sepiii banget, bahkan cenderung senyap. Dari pagi sampai malem, bener-bener sepi. Nggak ada tetangga yang muter untuk saling silaturahim. Bener-bener #dirumahaja.

Yah..., dan minggu depan mulai masuk ke 'new normal'. Jaga kebersihan di mana pun kalian berada. Pakai masker selalu dan hati-hati saat bersentuhan dengan orang lain. Semoga kita semua selalu diberi kesehatan dan keselamatan di mana pun kita berada. Sehat selalu untuk kalian semua.

Jangan lupa vote dan komentarnya yaaa....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro