Bab 57. Shuikan : Bagaimana Aku Harus Mengatakan Ini Padamu?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lagu di atas merupakan cover lagu 'hati yang kau sakiti - by Rossa' yang di-cover oleh Tiffani dalam bahasa korea. Btw..., saya tahu, kalau liriknya nggak cocok untuk situasi ini, tetapi melodi lagunya cocok banget. Jadi silakan dibaca sambil didengarkan lagu tersebut.

-------------------------

Shui kehilangan banyak hal dalam semalam. Dia kehilangan rumahnya, prajurit-prajuritnya, para pelayan, dan yang paling menohok, dia kehilangan keluarga barunya. Ibu dan ketiga adik Sheya tewas dalam penyerangan tersebut. Hanya Hessa yang selamat, tetapi kondisinya pun kritis, karena kehilangan banyak darah. Keadaan istrinya juga tidak baik. Mereka menemukannya di dalam sebuah kepompong batu di tengah halaman yang sudah hancur. Kondisi Sheya saat itu lemas dan demam tinggi, karena kelelahan sekaligus kekurangan cairan. Jika mereka terlambat menemukannya, mungkin... Sheya sudah menyusul ibu dan ketiga adiknya ke surga.

"Shonja...," Kokhan menyambanginya yang sedang memperhatikan jasad-jasad yang telah dikumpulkan di ruang tamu kediaman utama.

Dari sekian banyak bangunan di kediaman Shui, hanya sebagian kecil yang masih utuh. Ruang tamu dan ruang makan di bagian rumah induk, serta sisi barat bagian rumah induk yang biasa ia gunakan untuk bekerja dan beristirahat masih berdiri dengan baik, walau isinya sedikit berantakan.

Di antara semua jenazah yang dibaringkan di ruang tamu, jasad keluarga Sheya dipisahkan secara sendiri dan ditutupi kain berwarna putih, begitu pula jasad Iksook Inarha dan Ishaara Amaria. Shui menatap nanar wajah dari orang-orang yang menemaninya selama beberapa bulan terakhir ini.

Walau hubungannya dengan keluarga Sheya tidak terlalu akrab, tetapi Shui menyukai keberadaan mereka di rumah. Kehadiran Erau dan Athila membuat suasana rumah menjadi lebih semarak. Keberadaan Ibu Sheya membuatnya merasa seperti memiliki Ibu sendiri. Sekalipun mereka jarang mengobrol, Shui selalu menyempatkan diri untuk berbincang singkat dengan Ibu Sheya ketika mereka sarapan. Iksook Inarha dan Ishaara Amaria juga sudah seperti kakek dan neneknya, yang sering memberinya nasehat-nasehat yang melapangkan hatinya. Sangat menyesakkan, melihat mereka telah pergi selamanya dari dunia ini. Shui mendesah pelan sambil memijat pangkal hidungnya, menghapus genangan air mata yang nyaris menuruni pipinya.

"Shonja," panggilan Kokhan membuyarkan lamunan Shui. Lagi-lagi lelaki itu datang bersama beberapa prajurit yang membawa jenazah-jenazah baru. Kali ini, jenazah Efrani serta kedua pendoa lain, yaitu Irtham dan Yueza yang berhasil diangkat dari luruhan tanah.

Cukup sulit untuk menyelamatkan jasad-jasad yang terjebak dalam luruhan tanah di bagian bangunan yang dihuni keluarga Sheya, apalagi cuaca saat ini sedang buruk. Hujan turun tanpa henti dan tidak terlihat tanda-tanda akan usai. Suasana pun sedingin musim dingin di daerah-daerah utara. Walau mereka sudah berusaha keras membawa jasad-jasad yang terjebak pada luruhan tanah tersebut, tetapi hanya sedikit yang bisa diselamatkan. Sisanya masih ada di sana dengan genangan air yang kian meninggi.

"Saya tidak mengira, mereka akan menyerang kit secara terang-terangan," komentar Kokhan setelah menyuruh prajurit-prajurit di belakangnya untuk meletakkan mayat Efrani serta kedua pendoa itu di sisi ruangan yang masih kosong. Kemudian, jasad ketiga pendoa tersebut ditutup oleh kain berwarna hitam, sama seperti jenazah lainnya.

Air muka Shui menyiratkan kemuraman, karena tahu apa yang sedang dibicarakan Kokhan. Prajurit-prajurit yang lain undur diri untuk melanjutkan pekerjaan mereka, meninggalkan Shui dan Kokhan berdua saja bersama jasad-jasad di ruang tamu.

"Maafkan saya, karena datang terlambat, Shonja," kata Kokhan, sekali lagi mengutarakan penyesalannya karena tidak bisa datang lebih cepat untuk membantu Shui membereskan para penyusup yang memporak-porandakan kediamannya.

Shui mengibaskan tangan, "Tidak perlu mengungkit hal yang sudah lewat."

Tidak ada gunanya terus-terusan menyesal, sedangkan ada masalah di depan sana yang harus diselesaikan. Kutukan telah jatuh ke Shasenka, begitu yang dikatakan Shorya. Setelah Inarha meninggal, kekuatan yang menahan jatuhnya kegelapan di ibu kota ini lenyap. Walau begitu, menurut Shorya, Inarha sempat menyisipkan doa-doa perlindungan singkat yang akan menjaga mereka semua dari terjangan kegelapan yang membabi buta. Kegelapan ini bisa bermakna tersirat maupun tersurat.

Kokhan merasa salah bicara, karena itu dia mengalihkan perbincangan dengan menanyakan, "Apakah hari ini kita langsung memakamkan mereka?" tanyanya sambil memandangi jenazah di ruang tamu.

Shui terdiam sesaat. Tatapannya bergerak dari satu jenazah ke jenazah lainnya secara perlahan, hingga berhenti pada jasad Erau dan Athila yang bersisian. Rasa nyeri kembali menghujam hatinya. Kedua bocah itu ditemukan dalam keadaan saling bergandengan dengan tiga tusukan di bagian perut. Shui tidak sanggup membayangkan betapa kesakitannya mereka ketika menerima tusukan-tusukan tersebut.

"Makamkan sebagian," jawab Shui. Nada suaranya terdengar kosong. "Sementara sebagian yang lain biarkan di sini, khususnya jenazah ibu mertua serta adik-adik iparku."

"Apa Shonja berniat menunjukkan jenazah mereka pada Nyonya?"

Shui tak menjawab, tetapi Kokhan bisa menebak bahwa pertanyaannya tepat.

"Tapi... apa itu keputusan bijaksana?" tanyanya lagi, merasa tak yakin.

Bagaimana pun, istri jenderalnya kehilangan ibu dan ketiga adiknya, serta Iksook Inarha maupun Ishaara Amaria, Kokhan tidak yakin, Sheya sanggup melihat jenazah keluarganya. Apalagi keadaannya sedang lemah, setelah ditemukan dalam kondisi nyaris sekarat.

"Itu bukan urusanmu," balas Shui dingin, yang membuat Kokhan bergidik.

Dia kembali merasakan bahwa Jenderalnya tengah menegur kelancangannya.

"Pastikan semua jenazah bisa diungsikan," Shui memakai tudung jubahnya, lalu beranjak keluar dari ruang tamu kediamannya. Sebelum pergi dia berpesan, "Jika ada yang datang dan menanyakanku, katakan untuk menunggu di sini dan kirim orang padaku."

"Baik, Shonja," Kokhan mengangguk patuh sembari memandangi kepergian Jenderalnya. Lelaki itu menghela napas sembari menatap mayat-mayat di dekatnya. "Andai kemarin malam kita tidak tertahan di luar." Kedua tangannya mengepal saat teringat kesulitannya untuk lepas dari jeratan mantera pengacau yang membuat mereka terlambat datang ke kediaman Shui.

Shunya mewujud di samping Kokhan. Kali ini penampilannya lebih mirip seperti petarung dengan setelan putih gading yang dipakainya dan rambut yang disanggul sederhana dengan hiasan berupa batu giok. Di pinggangnya, tergantung beberapa pisau kecil serta sebilah pedang pendek berukiran ular.

"Seperti kata Shonja, tidak ada gunanya menyesal," komentar wanita itu. "Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah mempersiapkan diri untuk bencana apa pun, sekaligus mencari keberadaan mereka."

Kokhan berdecak. Akan sangat sulit menemukan mereka. Orang-orang yang berhasil tertangkap dalam penyerangan semalam pun memilih bunuh diri, sedangkan yang lain berhasil kabur. Sungguh, mereka berhasil mencoreng citra kemiliteran Shenouka. Berbuat keonaran langsung di kediaman petinggi militer Shenouka, kemudian menghilang dengan leluasa tanpa meninggalkan jejak.

Walau pun Kokhan sudah sering melihat banyak kegilaan, tetapi tindakan orang-orang yang ingin menghancurkan Shenouka ini yang paling gila. Lebih gilanya lagi, mereka bisa berbuat sekehendak hati tanpa perlu mengkhawatirkan keamanan mereka sendiri! Sekelas penguasa Shoryaken saja kesulitan untuk menemukan mereka, apalagi prajurit sepertinya yang hanya manusia biasa.

Jejak yang tertinggal di kediaman Shui tidak memberikan bukti yang cukup, meski pun senjata-senjata maupun beberapa peralatan bertarung mereka mengingatkan pada senjata-senjata milik Jajinham. Entah benar atau tidak, tetapi... Kokhan merasa ini ada kaitannya dengan penjualan senjata yang dilakukan oleh Rhogos dan Admena dari Kirei—kota perbatasan di sisi timur Shenouka. Kokhan tahu, kedua pedagang senjata itu menyalurkan senjata-senjata mereka pada beberapa kelompok dan kelompok paling besar yang mendapat kiriman senjata tersebut punya hubungan yang cukup kuat dengan Perdana Menteri.

Apakah ini berarti Perdana Menteri yang mengirimkan sekelompok pembunuh untuk membunuh Shui? Kokhan tidak yakin.

"Apa kau menemukan sesuatu yang baru?" Kokhan beranjak dari ruang tamu menuju ke bagian belakang kediaman. Dia tak ingin dikatai gila oleh orang-orang yang melihatnya bicara sendiri, karena itu memilih berbincang dengan Shunya lewat benaknya.

"Tidak ada," jawab Shunya. "Tapi entah yang lain, mereka masih berjuang menemukan jejak-jejak magis di sekitar kota ini. Sihir selalu memiliki akar dan akar dari sihir hitam lebih kental dari sihir putih."

"Apa maksudmu sihir hitam jauh lebih kuat dari sihir putih?"

"Tidak. Yang kumaksudkan adalah, jejak. Sihir hitam menggunakan alat atau bahkan ritual yang memiliki kecenderungan energi yang menekan dan menyakitkan, berkebalikan dengan sihir putih yang lebih halus dan terkesan alami karena berasal dari kuasa Tadakhua. Karena itu, seharusnya sihir hitam ini lebih cepat dilacak."

"Sayangnya...," Shunya melanjutkan, "Semakin tinggi ilmu yang dimiliki penyihir hitam tersebut, semakin sulit pula bagi kami untuk melacaknya."

Kokhan tersenyum getir mendengar pengakuan tersebut. Secara tidak langsung Shunya ingin mengatakan bahwa mereka bermusuhan dengan seorang penyihir hitam berilmu tinggi yang punya keinginan untuk membangkitkan Martimuran dan menimpakan kutukan mengerikan di Shenouka.

Sementara itu Shui pergi menuju ke sebuah penginapan yang terletak di distrik lampu merah—tempat yang dipenuhi rumah-rumah berisi wanita penghibur yang biasa memanjakan para pria yang memang membutuhkan kasih sayang semu. Namun, Shui datang ke sana bukan karena mencari kehangatan semua, melainkan untuk melihat keadaan istrinya serta orang-orang di kediamannya yang ia ungsikan ke sana.

Shui tidak bisa membiarkan mereka dirawat di kediamannya—yang sebagian besar hancur. Situasi maupun keadaan rumah sungguh tidak memungkinkan untuk merawat orang yang sakit. Mau membawa mereka ke markas militer di luar Shenouka juga tidak mungkin, sehingga pilihannya hanyalah menyewa sebuah penginapan sebagai tempat tinggal sementara untuk orang-orangnya. Shui tidak memercayai keamanan di penginapan biasa, sehingga dia memilih menyewa satu penginapan utuh milik Murshan yang terletak di distrik lampu merah.

Distrik lampu merah sendiri sebenarnya merupakan area terpisah di dalam ibu kota. Walau terletak di pusat perdagangan Shasenka, tetapi area tersebut tidak bisa dimasuki sembarang orang dan dijaga oleh beberapa prajurit, maupun preman. Hanya lelaki bangsawan, pedagang, atau pun orang-orang yang memiliki uanglah yang bisa masuk ke sana. Selain itu, area distrik lampu merah dengan area yang bukan dipisahkan dengan dinding setinggi tiga meter yang dihiasi dengan bunga-bunga beragam warna.

Begitu melewati gerbang masuk, Shui melihat tatanan taman serta pepohonan yang lebih rapi dibanding area di luar distrik lampu merah. Tempat ini merupakan salah satu sumber pajak terbesar Shasenka, sehingga dibuat lebih menarik dibanding bagian ibu kota lainnya. Jalanannya dibuat lebih lebar dan ditutupi dengan batuan yang telah dihaluskan. Selain itu area ini lebih bersih dibandingkan area lainnya di ibukota.

Taman-tamannya berjajar sepanjang jalan dengan pohon-pohon yang diatur dalam jarak yang seimbang. Semak-semak yang mulai menguning dan bunga-bunga yang layu tumbuh hampir di sepanjang taman tersebut, sesuatu yang harusnya tidak terjadi bila kondisi cuaca normal. Kanal-kanal di sisi jalan terlihat makin meninggi dan membuat sampan-sampan di atasnya bergoyang-goyang tidak stabil.

Shui memacu kudanya melewati jembatan kayu yang menghubungkan sisi kawasan distrik yang dipisahkan kanal, dia bergerak menuju ke area pinggiran yang berdekatan dengan dinding pembatas antara distrik lampur merah dengan pemukiman biasa. Letak penginapan yang ia sewa berada di pinggiran distrik lampu merah, tidak terlalu tersembunyi dari pengawasan orang-orang, tetapi juga tidak terlalu menarik perhatian. Sesampainya di penginapan berlantai dua yang ia tuju, Shui turun dari atas kudanya. Salah satu prajurit yang berjaga di depan pintu masuk bergegas mengambil alih tali kekang kudanya dan membawa kuda tersebut untuk dikandangkan.

Shui memberi anggukan singkat pada prajurit lainnya yang masih berjaga, lalu masuk ke penginapan dengan langkah terburu-buru. Lelaki itu terlihat sangat tidak sabar ketika naik ke lantai dua dan pergi menuju kamar paling besar yang ada di penginapan ini.

"Bagaimana keadaannya?" Shui melepas jubahnya yang basah dan menggantungnya pada gantungan baju yang ada di dekat pintu kamar.

Suani—yang dipasrahi Shui untuk menjaga Sheya selama ia tidak ada—berdiri dari tempat duduknya dan membungkuk ke arahnya sesaat. "Masih sama seperti saat Shonja meninggalkan Nyonya."

"Ibu bisa beristirahat sekarang, aku yang akan menjaganya," ucap Shui.

Suani menatapnya sesaat, terlihat agak khawatir karena Shui setengah basah kuyup akibat menerobos hujan di luar sana. "Apakah Shonja tidak ingin mandi dulu? Atau berganti pakaian? Baju Anda basah."

"Siapkan pakaian ganti saja, lalu Ibu bisa keluar," jawab Shui.

Nada dingin dalam kalimatnya membuat Suani tahu diri. Setelah menyiapkan pakaian ganti untuk majikannya, wanita itu pun keluar dari kamar yang ditempati Shui dan Sheya.

Shui mengganti pakaiannya dan merasa sedikit lebih baik mengenakan pakaian yang kering. Dia lalu melempar pakaiannya yang kotor ke keranjang cucian yang ada di dekat skelsel kayu berlukis burung bangau serta pegunungan yang tinggi. Dengan perasaan berkecamuk, Shui duduk di tepi tempat tidur lalu meraih tangan Sheya yang ada di atas selimut.

Lelaki itu lalu mencium punggung tangannya dan menggenggamnya erat. Tangan istrinya terasa lebih dingin dari tangannya, tetapi dadanya bergerak naik-turun dengan teratur.

"Bagaimana aku harus mengatakan kenyataan ini padamu?" gumam Shui sembari menatap istrinya. Bagi Sheya, keluarganya adalah yang utama. Dia sangat menyayangi keluarganya. Bila nanti Sheya tahu bahwa ibu dan adik-adiknya meninggal, pasti hatinya akan benar-benar hancur.

"Maaf...,"ucap Shui dengan penuh penyesalan. "Maafkan aku."

(6 Juni 2020)

------------------

Note:

Ketika saya menulis bagian ini, yang saya rasakan hanyalah kehampaan. Sejujurnya, saya merasakan apa yang Shui rasakan. Kebingungan, kehampaan, istilahnya, isi dalam kepala itu ruwet, karena ada banyak masalah yang harus dipikirkan sekaligus.

Bukan berarti saya banyak masalah juga sih. Cuma... mood saya beberapa minggu ini memang naik-turun nggak jelas dan itu yang bikin sedih. Lebih sedih lagi, lagi-lagi saya membaca berita mengenai penganiayaan hewan yang terjadi di India, yang berakhir dengan kematian gajah tersebut. :'(

Itu benar-benar bikin saya patah hati sih.

Memang, konflik antara binatang liar dengan manusia nggak bisa terhindarkan. Saya nggak ingin misuh atau pun maki-maki, karena saya sendiri nggak tahu, masalah secara garis besar yang terjadi di India sana. Yang saya tahu hanya sebagian kecil, yaitu mengenai gajah yang diberi makan berupa nanas yang telah diisi petasan dan petasan tersebut meledak di mulut gajah itu. Saya nggak tahu, apakah sebelumnya gajah tersebut masuk ke pemukiman dan memakan hasil kebun di sana, yang kemudian memancing petani di area sana untuk membunuh gajah tersebut.

Ah..., saya jadi sedih lagi kalau inget berita itu :'(

Maaf, saya pamit lebih dulu. Jangan lupa vote dan komen cerita ini ya. Mohon jangan malu-malu buat komentar...

Untuk cerita lainnya, tunggu unggahannya dari saya, ya.

Selamat malam...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro