Bab 59. Muruthai : Cerita Pengantar Tidur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saya sudah menyelesaikannya." Bocah bermata biru-cokelat yang tadinya masih duduk di belakang meja dan menyalin buku mantera yang diberikan Muentra, ternyata sudah menyelesaikan tugasnya dan menyodorkan buku salinannya pada Muentra yang sedang menikmati pemandangan hujan di dekat jendela rumah.

"Letakkan saja di atas meja," ucap Muentra tanpa menoleh ke arahnya.

Bocah itu menuruti perintah Muentra dan meletakkan buku salinannya di atas meja yang tadi ia gunakan untuk menyalin. Karena tak tahu lagi harus melakukan apa, bocah berambut cokelat gelap itu membuka-buka lagi buku mantera yang diberikan Muentra. Ia melihat gambar maupun tulisan di dalamnya dengan saksama, seakan tengah meneliti setiap tulisan dalam buku tersebut.

"Apa kau memahami apa yang kau salin?" Pertanyaan Muentra membuyarkan konsentrasi bocah itu.

Anak itu mengangkat pandangannya dan tak mengira bahwa Muentra sedang menatapnya, sehingga ia buru-buru menundukkan tatapannya. Dengan takut-takut, bocah itu menjawab, "Saya hanya memahami sebatas yang Ramma ajari."

Panggilan itu menyengat hati Muentra. Tatapannya pada anak itu semakin dingin, tetapi Muentra tidak mengoreksi panggilannya. Bocah lelaki itu memang anaknya, anak yang tidak diinginkannya. Di antara semua rencana yang telah ia susun rapi, hanya kelahiran anak ini saja yang melenceng dari perkiraannya.

Muentra beranjak menuju meja yang dipakai bocah itu untuk belajar. Dia lalu membuka halaman depan buku mantera dan menjelaskan bagian yang kurang dipahami si bocah.

Binar mata dalam tatapan bocah itu saat mendengar penjelasannya dengan sungguh-sungguh selalu membuat Muentra berpikir ulang untuk membuangnya. Dia memang tidak menyukai anak ini, tetapi kehadirannya tidak buruk pula. Muentra melihat bakat besar dalam puteranya dan hal itu pula yang mendasari tindakannya untuk menanam bibit energi dalam tubuh anak itu ketika usianya lima tahun, sehingga sepasang matanya yang semula berwarna biru seperti milik sang ibu, berubah salah satunya menjadi cokelat.

Karena penanaman bibit energi itu pula, pertumbuhan bocah itu melambat. Usianya sekarang sepuluh tahun, tetapi perawakannya seperti bocah berusia tujuh atau delapan tahun. Tubuhnya pun terbilang kurus untuk anak seusianya, walau begitu... tatapannya menyiratkan kecerdasan yang lain dari anak-anak seumurannya.

"Apakah saya bisa menjadi seperti Ramma bila saya mempelajari semua ini?" Pertanyaan bocah itu membuat Muentra terpaku dan si bocah mendadak terdiam, seperti tahu bahwa dirinya baru saja melontarkan pertanyaan yang salah. Suaranya bergetar ketika meminta maaf atas pertanyaannya yang lancang, tetapi Muentra mengabaikannya.

"Kau butuh lebih dari pemahaman bila ingin menjadi sepertiku," ujar Muentra sembari menjauh dari bocah itu. "Ilmu memang penting, tetapi pengalaman hidup yang akan memberitahu ke mana kau harus melangkah."

Si bocah menatap Muentra dari belakang. Baginya, hal paling menarik sekaligus menakutkan di dunia ini adalah ayahnya.

"Pe...Pengalaman hidup Ramma pasti sangat banyak," ujar si bocah takut-takut dengan tangan mengepal di atas pangkuan. "A...Apa Ramma berkenan menceritakannya pada saya?"

Salah satu sudut bibir Muentra tertarik ke atas mendengar permintaan bocah itu. Kisah hidupnya tidak akan selesai ditulis dalam satu buah buku. Paling tidak, butuh sampai sepuluh atau bahkan dua puluh jilid buku untuk menjabarkan semua kisahnya, dari yang paling membahagiakan sampai yang paling tragis.

"Aku lahir dan besar sebagai bangsawan," Muentra mengawali ceritanya, sedangkan si bocah menatapnya dengan mulut setengah terbuka. Bocah itu kelihatannya tak mengira bahwa ia akan menuruti permintaannya dengan mudah. "Keluargaku termasuk keluarga cendikiawan, sehingga aku bisa dengan mudah mendapatkan buku atau pun pengajar yang kuinginkan."

Si bocah menyimaknya dengan saksama.

"Aku banyak menghabiskan waktu untuk belajar dan saat seusiamu, aku sudah berhasil menghafalkan kitab Hardherama yang ditulis Imam Agung dari Sondakh."

Bocah itu tampak terpukau mendengar penuturannya. "Saya saja belum berhasil menamatkannya," gumamnya kikuk.

"Kemudian aku berkelana, mencari ilmu dari satu tempat ke tempat lain," Muentra mengenang masa di mana ia harus berpergian dari Shanasenai, Jhinim, bahkan ke Jajinham dan Karkashiam. "Banyak waktu yang kulewati, hingga kemudian aku mulai memahami apa esensi yang menggerakkan dunia ini. Dari situ, aku mulai paham... bahwa manusia bisa mengontrol kehidupan layaknya Dewa."

Si bocah terpaku mendengar penuturan ayahnya. Air muka berubah pucat ketika melihat cahaya kehitaman keluar dari telapak tangan kanan ayahnya. Setiap kali ayahnya mengeluarkan kekuatan tersebut, si bocah tidak bisa tidak menyembunyikan kegelisahannya. Energi tersebut selalu memancarkan rasa yang tidak mengenakkan dan membuat perasaannya tertekan.

"Kau tidak suka ini?" Muentra melihat perubahan sikap bocah itu. "Padahal kristalisasi kekuatan ini kutanam dalam dirimu."

Si bocah menatapnya tak berdaya. "Saya tidak tahu, energi itu ada dalam tubuh saya. Namun setiap melihatnya, saya hanya merasa kurang nyaman, seakan-akan energi itu ingin menyedot diri saya."

Bibit energi yang ia tanam dalam tubuh putranya belum bangkit, tetapi sudah mampu mempengaruhi pertumbuhannya. Harus ada pemicu yang membuat bibit energi itu berkembang, dan walau Muentra tahu caranya, dia tak ingin buru-buru membangkitkan kekuatan tersebut. Kemudian, energi gelap yang muncul di atas tangannya berubah menjadi energi yang lebih terang dan menenangkan. Si bocah sampai mengerjap beberapa kali untuk memastikan apa yang ia lihat tidak salah.

"Bagaimana Ramma melakukannya?" tanyanya takjub. "Tadi energinya tidak terasa seperti itu, sekarang lebih terasa hangat dan menenangkan."

"Semua ini tergantung dari niatanmu," jawab Muentra ringan. "Seperti senjata, energi bisa dibentuk untuk menolong atau pun melukai. Jika kau ingin menolong seseorang, energimu bisa menjadi penyembuh. Jika kau ingin mencelakai seseorang, energimu bisa menjadi pedang yang membunuhnya."

"Ketika kau mengetahui seberapa besar energimu dan mengerti cara mengendalikan serta membentuknya, maka kau bisa melakukan apa yang kau inginkan," lanjut Muentra.

"Kalau pun saya tahu, seperti saya masih belum bisa menandingi Ramma," ucapnya lugu.

Muentra menatapnya tanpa berkedip, membuat bocah laki-laki itu menjadi salah tingkah dan kelihatan malu-malu.

"Ramma bisa memanggil Nakhrak. Ramma juga bisa menyembuhkan orang yang sakit. Ramma pun mengerti tentang ilmu sihir dan memahami kitab-kitab terdahulu. Banyak yang Ramma ketahui, sampai saya tidak tahu, apa yang Ramma tidak ketahui," komentar bocah itu bersemangat.

"Kelahiranmu," timpalan Muentra membuat senyum di wajah anak itu memudar.

"Maksud Ramma?"

"Aku tidak mengetahui rahasia kelahiranmu," ucap Muentra sembari memasukkan kedua tangannya dalam lengan bajunya yang lebar, lalu bersandar pada dinding rumah. "Di antara semua rencanaku, kelahiranmulah yang tidak bisa kuprediksi. Bahkan ibumu berkeras untuk mempertahankanmu, entah dengan alasan apa. Mungkin dia pikir, jika mempertahankanmu, maka dia bisa terus bersamaku karena dia sudah melahirkan anakku. Dia tidak berpikir bahwa dia bisa dibuang kapan saja, meski dia sudah melahirkanmu."

Senyum di wajah bocah itu benar-benar memudar. Ucapan itu bukan pertama kalinya ia dengar. Dia tahu, dirinya tak diharapkan ayahnya. Namun, tiap kali mendengar kata itu, hatinya tetap merasa sakit.

"Bisa jadi... mu...mungkin karena Yu...Yunda me...mencintai Ramma, karena itu... Yunda mempertahankan saya," kata anak itu dengan kepala tertunduk.

Muentra terdiam. Cinta? Kata-kata putranya terdengar menggelikan. Dia tak percaya dengan kata itu. Perasaan itu hanyalah manipulasi dari hati dan pikiran, sehingga menimbulkan kekacauan dalam berpikir. Hanya satu kali Muentra pernah merasakan perasaan itu dan dia bersyukur, sekarang tak lagi merasakan itu. Karena cinta hanyalah pengganggu yang membuatnya terpuruk serta hancur.

"Pergilah tidur. Sudah waktunya kau tidur," ujar Muentra.

"Ramma tidak beristirahat?" Bocah itu balik bertanya.

"Tidak. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan."

"Apakah Ramma butuh minuman panas atau sesuatu?" tanya bocah itu lagi. "Saya bisa membuatkannya sebelum pergi tidur."

"Tidak perlu," Muentra mengibaskan tangannya.

Bocah lelaki itu kemudian berdiri dari kursinya, lalu memberi salam pada Muentra sebelum pergi ke kamarnya sendiri. Setelah dia pergi, serigala berbulu hitam yang sedari tadi diam mendengarkan perbincangan mereka di sudut ruangan yang gelap berkata,

"Anak yang manis," komentar si serigala bermata merah. "Dia tidak tahu, kelembutan hatinya hanya akan mematahkan hatinya sendiri."

Muentra tak membalas.

Si serigala berdiri dari pembaringannya kemudian mendekati Muentra dan duduk di sisinya. Mata merahnya menatap ke arah langit. Di balik bulu hitamnya yang tebal, terpasang sebuah kalung mantera yang mengalung di lehernya dan mantera itu pula yang mengikat kekuatannya, hingga merasa lemah seperti siluman rendahan yang hanya bisa menakuti orang lain melalui bentuk buruk rupa.

"Seharusnya kau bunuh ibu dari anak itu setelah kau menidurinya waktu itu, bukannya membiarkan wanita itu hidup dan membiarkannya pula melahirkan anakmu," ujar si serigala yang memiliki nama Nakhrak. "Atau... kau merasa kasihan pada mereka, sehingga kau membiarkan mereka hidup?"

Belas kasih sudah lama hilang dari benaknya. Muentra membiarkan ibu dan anak itu hidup karena menganggap mereka memiliki kegunaan dalam rencananya suatu saat nanti. Hal yang tidak ia kira adalah ibu putranya meninggal lebih dulu, membuatnya harus repot merawat bayi yang baru berumur beberapa hari.

Walaupun fisik putranya menurun dari sang ibu yaitu rambut kecokelatan, mata berwarna biru, dan kulit yang cenderung putih, tetapi bentuk wajah serta bentuk mata dan bibirnya benar-benar menyerupai dirinya. Saat melihat putranya, Muentra hanya berpikir, apa yang harus dia lakukan pada makhluk kecil ini? Dan dia membiarkan anak itu hidup di sisinya, sampai nanti dia tahu, apa yang harus dilakukannya pada anak itu.

"Dia punya bakat. Kenapa aku harus melenyapkan orang berbakat?"

"Benar-benar orang tua yang penyayang," sindir Nakhrak.

Muentra tak menanggapinya.

"Kau belum juga menyerang Rheiraka," kata Nakhrak. "Bukankah ini saat yang tepat untuk mengganggunya?"

"Belum," Muentra menggeleng pelan. Air mukanya berubah menjadi serius. "Belum saatnya untuk meneluhnya." Kemudian senyumnya terulas, sedangkan tatapannya menyiratkan kekejaman tersembunyi. "Bukankah sang pemimpin harus dibuat tak berdaya di saat-saat genting?"

Nakhrak tertawa pelan. "Aku ingin segera terjun dan mengejutkan Inaike. Pasti akan menyenangkan melihatnya terkejut melihat kehadiranku di sini."

"Shorya pun akan terkejut bila melihatku," komentar Muentra. "Karena bagi mereka..., aku sudah lama mati."

Masa di mana Shanasenai menaklukkan Mirmizdi merupakan masa yang paling menyakitkan untuk diingat. Muentra tak akan melupakan kekalahannya waktu itu. Dia dipaksa bertekuk lutut di hadapan Utharem dan setengah pasukan mayat hidupnya dimusnahkan oleh Imam Agung Farami. Di antara semua keluarga kerajaan Mirmizdi serta pejabat Mirmizdi yang waktu itu dikumpulkan dan dipaksa menyerah, hanya dia yang kekeuh berjuang dan menolak penaklukkan Utharem.

Jika mengingat keluarga kerajaan Mirmizdi—orang-orang lemah yang selalu ada dalam perlindungannya, Muentra tak bisa tidak merutuki kebodohan mereka. Padahal tinggal sedikit lagi, maka mereka bisa memenangkan pertempuran, tetapi raja Mirmizdi waktu itu justru mengantarkan musuh ke tempatnya, yang membuat semua ritualnya kacau berantakan. Andai waktu itu ritualnya berhasil, maka Shenouka tidak akan berdiri dan Utharem tidak akan pernah dianggap sebagai pahlawan di tanah ini.

(Sabtu, 1 Nopember 2020)

================

Note:

Jadi guys.... ternyata anak itu anaknya Muentraaaa.... Demi apaaa, ternyata Muentra juga bisa punya anak. Saya pun terkejoet dengan ini... 😱😱

Wkwkwk... Abaikan keabsurdan di atas.

Harusnya part ini bagiannya Sheya, tapi... tapi Sheya masih belum sadar. Dia masih pingsan di kamar ditungguin sama suaminya, jadi maaaf..., scene bangun tidurnya Sheya belum jadi. Yang baru bisa tampil scene sang antagonis yang bernafsu menghancurkan Shenouka.

Nantikan part selanjutnya ya..., harapannya nggak sampai berbulan-bulan dari yang ini. 🤣🤣

Jangan lupa vote serta komennya. Terima kasih atas dukungan dan kesabaran kalian untuk The Conquered Throne selama ini... 🤗🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro