Bab 60. Shuikan : Langkah Yang Harus Ditempuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I Need You - BTS

Arrange/Mixing/Mastering/Edit. Leeplay

=========================================================

Shui mendapat panggilan yang tidak disangka dari Istana. Dengan perasaan enggan, dia memenuhi panggilan adiknya. Saat menghadap di ruang kerja, Rhei pun tidak berkomentar apa pun mengenai penampilannya yang lusuh—karena Shui tidak mengganti bajunya dengan seragam yang biasa dikenakannya untuk masuk istana.

"Aku mendengar kediaman Ammu diserang," ucap Rhei ringan, tanpa terdengar prihatin sama sekali.

"Benar, Shenka," Shui menjawab setengah hati. Dia tidak memiliki banyak energi untuk marah atau pun kesal atas sikap adiknya yang kelihatannya senang atas musibah yang menimpanya.

"Aku sudah mengirim orang ke sana dan kudengar, kerusakannya cukup parah," Rhei meletakkan pena yang dipegangnya di sisi buku besar yang sedang ia periksa. "Aku akan mengirimkan bantuan supaya Ammu bisa membangun kembali kediaman Ammu yang hancur."

Rhei berbicara seakan-akan Shui mengalami kesulitan uang dan sangat butuh dibantu untuk membangun kediamannya kembali. Memang benar, pembangunan rumah itu akan memakan biaya besar dan sekarang pun Shui sudah mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk tinggal di tempat tinggal sementara, tetapi dia masih cukup mampu menanggung semua biaya itu sendirian. Uang yang dihasilkannya dari jabatan serta peperangan yang pernah diikutinya lebih dari cukup untuk membangun kembali kediamannya maupun menanggung hidup seratus orang selama tiga tahun.

"Terima kasih atas kemurahan hati Shenka," Shui memilih menerima bantuan Rhei tanpa banyak alasan.

"Bagaimana dengan tempat tinggal Ammu sekarang? Kudengar, Ammu terpaksa berdiam di distrik lampu merah," ujar Rhei. "Bukankah itu bukan tempat yang bagus untuk merawat orang sakit?"

Pertanyaannya mengingatkan Shui, bahwa sampai saat ini Sheya masih belum sadar.

"Bagaimana kalau Ammu tinggal di sini? Ada banyak sekali kamar-kamar di istana yang kosong, apalagi Istana keputrian. Dengan begitu, mungkin Kakak ipar bisa dirawat dengan baik di sini," katanya.

Tawarannya benar-benar sangat manis, tapi Shui tidak akan terjebak, karena itu semua hanyalah basa-basi Rhei untuk mengekangnya. Tinggal di Istana sama saja menjerat setiap langkah dan perbuatannya. Rhei pasti akan mengawasinya secara ketat dan tidak akan membiarkannya bernafas dengan lega, apalagi di sini banyak sekali orang-orang Rhei maupun Narashima. Yang ada, justru nyawa istri dan adik iparnya bisa dipertaruhkan, bila ada sedikit saja tindakannya yang dianggap mencurigakan.

"Sekali lagi saya berterima kasih atas kebaikan Shenka," kata Shui. "Namun, tidak pantas rasanya saya tinggal di sini, apalagi setelah saya beristri. Menurut adat dan hukum istana, bagi pangeran maupun putri yang telah menikah, mereka diharuskan meninggalkan istana."

Rhei berdecak pelan. "Hukum bisa diubah, Ammu."

"Lebih baik saya tetap tinggal di luar Istana, supaya saya bisa berkomunikasi dengan anak buah saya lebih cepat," tolak Shui tegas, lelah berbasa-basi terlalu lama di sini.

"Kau bicara seakan-akan Shasenka sedang dalam kondisi genting," kata Rhei tajam.

"Yang Mulia yang lebih tahu kondisi Ibu kota saat ini," balas Shui, berusaha berkelit dari kesalahan bicaranya.

Rhei sejenak sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke meja.

"Baiklah kalau itu yang Ammu mau," Rhei tak lagi memaksanya. "Ammu bisa pergi."

"Terima kasih, Shenka," Shui membungkuk dan baru teringat bahwa Nayunira akan tinggal bersama dengannya selama beberapa hari. "Ah ya..., saya ingin meminta ijin pada Shenka, selama beberapa waktu, sepertinya Nayu akan tinggal bersama saya."

Senyum di wajah Rhei memudar ketika mendengar itu. Air mukanya berubah kaku. "Nayu tidak boleh tinggal di distrik lampu merah!"

"Saya sudah memintanya kembali ke Istana," ujar Shui sambil menaikkan pandangannya sedikit, untuk melihat ekspresi Rhei. "Tapi Nayu tidak mau."

"Aku akan mengirim orang untuk menjemputnya," gumam Rhei gusar. "Ammu boleh pergi."

Sekali lagi Shui membungkuk, kemudian keluar dari ruang kerja Rhei dengan perasaan muram. Sayangnya, nasib baik belum menghampiri Shui. Keluar dari ruang kerja adiknya, dia justru bertemu Narashima di tengah perjalanan pulang. Suasana hati Shui semakin tidak nyaman ketika melihat ketenangan di wajah paman tirinya.

"Kau kelihatan lusuh sekali, Shonja," tegur Narashima, ketika mereka bertemu di lorong Istana Shasuiren yang mengarah ke balairung.

"Terima kasih atas perhatiannya, Shongra," balas Shui dengan ketenangan yang dibuat-buat. Sampai saat ini dia belum tahu siapa dalang dari perusakan serta pembunuhan keluarganya. Kalau pun dia mencurigai Narashima, dia tidak sepenuhnya yakin dengan prasangkanya.

"Aku turut berduka-cita atas kematian ibu mertua serta adik-adik iparmu." Pernyataan Narashima membuat Shui menegang. "Sekalipun pernikahanmu ini merupakan paksaan dari Shenka, kukira, kau tetap menganggap mereka sebagai keluargamu."

Kata-katanya menohok perasaan Shui.

"Kelihatannya hampir semua orang tahu apa yang terjadi pada saya," Shui tidak bisa lagi menyembunyikan kelelahan sekaligus kemarahannya. Dia tersenyum meski sorot matanya menyiratkan ketidaksenangan. "Sekali lagi, terima kasih atas perhatian Shongra. Saya tidak mengira, akan mendengar kata duka cita tersebut dari Shongra, padahal Shenka sama sekali tidak mengingatnya."

"Shenka memiliki banyak urusan," Narashima melirik ke arahnya sejenak, lalu menoleh keluar untuk melihat hujan yang turun. "Ada banyak hal yang harus dipikirkannya, selain mengucapkan duka cita padamu, Shuiren."

"Shongra juga harus memikirkan pekerjaan Shongra sendiri. Karena... dengan turunnya hujan ini, pasti banyak masalah yang akan terjadi," komentar Shui tajam. "Sebaiknya Shongra memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang terjadi di dalam kota."

Seakan memahami maksud Shui, Narashima menyunggingkan senyum sinis. "Apa yang harus dikhawatirkan Shonja? Aku pasti akan melaksanakan tugasku dengan baik," ucapnya. "Lagi pula, tidak ada gunanya mengawasi harimau yang sudah dirantai."

Shui mengepalkan kedua tangannya mendengar ejekan tersebut, tetapi tak berniat meladeninya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Shui berbalik meninggalkan Narashima dan tatapannya yang sinis. Di teras Istana Shasuiren, Kokhan sudah menunggunya dengan tangan memegangi dua tali kekang kuda. Satu milik kuda Shui, sedangkan satunya lagi merupakan kuda miliknya. Kemudian, mereka berdua pun pergi dari lingkungan Istana Shasenka.

Sepanjang perjalanan pulang, perasaan Shui tak menentu. Kemarahan, kecurigaan, maupun penghakiman atas ketidakmampuannya dalam menjaga keluarganya sendiri membuat hatinya dibebani rasa bersalah. Pikirannya yang caru-marut membuat perhatiannya tidak tertuju pada jalan di depan, hingga nyaris menabrak dua pendoa yang hendak menyeberang.

Shui langsung menarik tali kekang kudanya karena terkejut, hingga kuda itu meringkik dan menaikkan kedua kaki depannya secara tiba-tiba. Setelah menenangkan kudanya, lelaki itu pun turun dari atas punggung kuda dan mengampiri dua pendoa yang kini terduduk di jalanan yang basah. Sama sepertinya, keduanya pun terkejut karena hampir tertabrak.

"Apa kalian baik-baik saja?" Shui tak sampai hati memarahi kedua pendoa itu.

Mereka seperti sepasang ayah dan anak, meski wajah mereka tidak mirip. Dengan jubah putih kelabu yang kotor karena terkena hujan dan lumpur, keduanya tidak terlihat seperti pendoa dari Imizdha. Namun sulaman di langan baju dan bagian leher yang membentuk lengkungan bulu sayap burung serta sulur tanaman yang saling merangkai merupakan pola khas yang biasa disematkan pada pakaian orang-orang Imizdha.

"Kami baik-baik saja, Tuan," si pendoa yang lebih kecil, yang usianya sekitar sepuluh tahunan berdiri lebih dulu, lalu membantu si pendoa yang lebih dewasa untuk berdiri.

"Iksook Namiri baik-baik saja?" Si pendoa kecil bertanya pada pria dewasa yang ia bantu berdiri.

"Aku baik-baik saja," Pria bernama Namiri itu mengarahkan wajahnya pada Shui, meski tatapannya tidak tertuju ke mata Shui. "Maafkan kesembronoan kami, Tuan." ucapnya. "Kami tidak tahu kalau Anda akan lewat."

"Tidak," Shui menggeleng pelan, "Aku yang salah, karena tidak memperhatikan jalan dengan benar. Apa kalian benar-benar tidak apa-apa?" Sekali lagi Shui menanyakan keadaan mereka berdua.

"Kami baik-baik saja, Tuan," jawab si pendoa kecil. "Hanya pakaian kami yang kotor karena terkena kubangan air."

Jawaban ketusnya entah kenapa justru membuat Shui sedikit terhibur.

"Hiro...," Namiri menegur muridnya, "Jawablah dengan lebih sopan."

"Tapi aku menjawab dengan benar, Guru," timpal Hiro kesal. Jubah dan celananya memang basah dan kotor karena terkena kubangan air dan lumpur, membuatnya tidak nyaman mengenakannya. Padahal dia sudah sangat berhati-hati untuk tidak mengotori salah satu dari tiga pakaian yang dimilikinya, tapi lihatlah..., pria bangsawan berambut emas di depannya berhasil mengotori pakaiannya dengan baik. Setelah mencucinya, butuh waktu lama untuk mengeringkan pakaian ini dan ini adalah seragam pendoa satu-satunya yang dimilikinya!

Shui tersenyum kecil mendengar keluhan tersebut. "Apa kalian mau mampir ke tempat tinggalku? Jaraknya tidak jauh dari sini. Kalian bisa beristirahat sejenak sambil menunggu pakaian kalian selesai dicuci dan dikeringkan."

Itu tawaran yang bagus. Air muka Hiro berubah semringah, tetapi jawaban Namiri membuat bocah itu kembali menekuk wajah.

"Terima kasih atas kebaikan Tuan, tetapi kami harus menyelesaikan tugas kami," ucap Namiri.

"Tugas?" Salah satu alis Shui terangkat. Apa yang dilakukan pendoa pada hari hujan seperti ini?

"Kalau boleh tahu, tugas apa yang sedang kalian lakukan?" tanyanya.

"Kami sedang berkeliling sembari memberikan berkat dan doa," timpal Hiro. "Imam Agung meminta kami semua menyebar dan melakukan hal tersebut."

Shui tercenung sesaat mendengarnya. Apakah Imam Agung melakukan hal itu atas perintah Rhei? Ataukah Imam Agung melakukan hal tersebut untuk menenangkan hati masyarakat, karena hujan yang di luar kewajaran ini?

"Istirahatlah sebentar di tempatku," Shui sedikit memaksa mereka. "Sembari menunggu hujan agak reda, kalian bisa minum minuman hangat dan menunggu pakaian kering."

Hiro mendengkus pelan, sedangkan senyum di wajah Namiri menipis.

"Hujan ini tidak akan pernah reda, Tuan," kata Namiri.

"Tidak akan pernah, bukan berarti tidak bisa reda, kan?" timpal Shui.

***

Iksook Namiri tidak bisa melihat. Shui sudah merasakan kejanggalan sewaktu pria itu terus menutup mata ketika berbincang dengannya dan kejanggalan tersebut baru dibenarkan ketika Hiro menuntun Namiri ke kuda Kokhan. Shui tidak banyak bertanya dan membawa kedua pendoa itu menuju distrik lampu merah. Yang pertama kali terkejut adalah Hiro. Bocah itu tidak tahu kalau akan dibawa ke area tempat hiburan. Kemudian, bocah itu semakin terkejut saat mengetahui jabatan Shui.

Wajah bocah itu sudah pucat pasi seperti ikan yang dikail dari sungai ketika turun dari atas kuda Shui dan gurunya berulang-kali meminta maaf atas ketidaksopanan muridnya tadi, sampai Shui tersenyum geli dan meminta mereka untuk tinggal di salah satu kamar yang telah disiapkan.

"Shonja...., anda membawa orang baru lagi?" Murshan mengerutkan dahi ketika salah satu pelayan mengantar dua pendoa ke salah satu kamar yang kosong.

"Aku sudah menyewa seluruh penginapanmu," timpal Shui santai sembari menaiki tangga menuju lantai atas.

"Anda seharusnya berhati-hati membawa orang, Shonja," Murshan mengikutinya bersama Kokhan. "Kita masih belum tahu siapa musuh dan siapa teman."

Shui menghentikan langkah kakinya, begitu pula Murshan dan Kokhan, yang membuat kedua pria itu terpaksa berjejalan di anak tangga yang sama.

"Apa maksudmu aku salah menilai orang?" Shui menatap Murshan tajam. Sementara yang ditatap justru membalas dengan pandangan yang tak kalah serius.

"Bahkan Anda tidak bisa menyingkirkan orang yang seharusnya anda singkirkan," komentarnya.

"Apa maksudmu?" Shui mengernyit.

"Nyonya sudah sadar, begitu pula Tuan Hessa," jawaban Murshan membuat Shui terpaku. "Beliau menunggu Anda di dalam dan sekarang... mereka berdua sedang menangis."

***

Begitu mendengar istri dan adik iparnya sudah sadar, Shui bergegas menuju kamarnya. Di sana, Inaike dan Chakiya sudah menunggu, bersama Sheya dan Hessa yang sedang berbincang berdua. Sheya duduk di tempat tidur, sedangkan Hessa duduk di kursi yang biasa ditempati Shui saat menunggui Sheya. Keduanya tampak lemah dan rapuh secara bersamaan. Walau pun mereka langsung terdiam ketika dirinya hadir, Shui sudah bisa menebak apa yang mereka bicarakan tadi.

"Bisakah kalian meninggalkan kami," pinta Shui, tanpa mengalihkan tatapannya dari mata Sheya. Istrinya tampak pucat, tetapi dia kelihatan baik-baik saja, meski matanya sembab dan air mukanya semuram langit yang terus menurunkan hujan.

Inaike dan Chakiya tak berkomentar apa pun dan pergi meninggalkan mereka. Sementara itu Hessa terlihat berat meninggalkan kakak perempuannya. Dia berdiri dari kursinya, lalu beranjak menuju pintu kamar. Ketika sampai di depan Shui, pemuda itu berhenti dan menatap kakak iparnya dengan pandangan marah.

"Saya juga meminta penjelasan Ammu atas apa yang diputuskan untuk hidup saya," ujarnya sambil menunjuk sebagian rambut hitamnya yang telah berubah menjadi keperakan.

"Aku akan menjawabnya nanti," balas Shui, "Tapi..., saat ini aku butuh bicara berdua dengan kakakmu." Tatapannya beralih pada Sheya yang kini membuang pandangannya dari Shui.

Sikap istrinya membuat perasaan Shui berdenyut sakit, tetapi Shui tidak bisa marah atas tindakannya. Setelah Hessa keluar dan menutup pintu, Shui beranjak ke tempat tidur. Ia tidak duduk di kursi yang biasanya ia gunakan untuk menunggui Sheya, malah... dia duduk di tepi tempat tidur, sengaja mendekati istrinya.

"Akhirnya, kau sadar," Shui tidak bisa menyembunyikan kelegaannya ketika meraih tangan istrinya. "Selama berhari-hari, aku terus menunggu, berharap kau segera membuka mata. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu."

Sheya menarik tangannya dari genggaman Shui. Bahunya bergetar dan Shui bisa mendengar isakannya.

"Saya tidak ingin melihat Anda," ucapnya.

Kata-katanya menghujam hati Shui bagai belati yang menusuk jantung. Sheya kecewa padanya. Istrinya kecewa karena dia tidak bisa melindungi keluarganya.

"Maaf," ucap Shui lirih sembari merengkuh Sheya dalam pelukannya. Kali ini, isakan Sheya pecah, berubah menjadi tangisan yang lebih keras.

"Saya tidak bisa memercayai Anda!" Sheya memukul-mukul dada Shui, berusaha berontak dari pelukannya. Namun, apa yang bisa dilakukan oleh seseorang yang baru saja sadar dan kondisi fisiknya masih lemah? Pukulan dan rontaan Sheya tak ubahnya seperti pemberontakan anak kecil yang masih bisa diredam.

"Anda Jenderal kekaisaran ini, tapi apa? Melindungi Ibu dan adik-adik saya pun, Anda tidak bisa! Bagaimana mungkin Anda bisa mengampu keamanan di Negeri seluas ini?" Sheya mengolok ketidakbecusannya dalam menjaga keluarganya. "Seharusnya, Anda bisa menjaga mereka dengan lebih baik lagi....," Sheya terisak-isak, "Tidak. Harusnya Anda memang bisa menjaga mereka!"

Shui memejamkan mata, berusaha bersabar atas cercaan yang disampaikan istrinya.

"Kalau saja... Kalau saja Anda bertindak lebih cepat, mereka pasti masih bisa diselamatkan," ujar Sheya. "Karena Anda tidak menyingkirkan mereka lebih awal, pada akhirnya mereka harus berkorban nyawa."

Shui membuka mata mendengar pernyataan tersebut. Tatapannya menajam, seakan mendapati ada hal penting yang sepertinya dilewatkannya.

"Menyingkirkan siapa?" Shui balik bertanya.

"Efrani," geram Sheya. "Efrani dan dua pendoa yang mengikutinya. Harusnya Anda menyingkirkan mereka berdua lebih awal, walaupun mereka adalah orang-orang yang dikirim Miri Nayunira."

Shui terdiam. Dia tahu Efrani memang mencurigakan, tetapi apakah Efrani yang membunuh ibu dan adik-adik Sheya? Tapi untuk apa?

"Apa Efrani yang membunuh Ibu dan ketiga adikmu?" tanyanya kaku.

"Bahkan dialah yang menyerang saya sampai saya seperti ini." jawaban Sheya membuat Shui menggertakkan gigi-geliginya. Dia tidak tahu ini!

"Anda mempertahankannya dengan alasan agar hubungan saya dan Miri Nayunira tidak memburuk," Sheya meremas kemeja Shui kuat-kuat. "Namun apa yang saya dapat dari ketidaktegasan Anda? Saya kehilangan ibu dan adik-adik saya. Saya kehilangan orang-orang yang saya cintai, bahkan... saya nyaris kehilangan nyawa."

"Sheya—,"

"Pendoa-pendoa itu bukan orang yang bisa dipercaya," kata Sheya. "Bisa jadi..., mereka adalah pembunuh bayaran!"

Shui teringat dengan dua pendoa yang dibawanya ke penginapan ini. Apakah Murshan sudah tahu tentang hal ini, karena itu, tadi dia memperingatkannya seperti itu?

"Tenangkan dirimu dulu," Shui berusaha menenangkan emosi istrinya. "Aku akan menyelidiki keterlibatan Imizdha dalam penyerangan kemarin. Namun, aku benar-benar tidak tahu, bahwa Efrani sampai menyerangmu dan keluargamu sampai seperti ini."

"Jika dia tidak muncul di depan saya sembari menodongkan senjata, mungkin saya juga tidak tahu kalau dia punya keinginan untuk membunuh saya dan keluarga saya!"

Shui bisa melihat kemarahan, kebencian, serta keputusasaan dalam tatapan Sheya. Istrinya benar-benar hancur atas kematian keluarganya dan Shui bisa merasakan itu. Dia pun pernah kehilangan ibu dan ayahnya, dan itu terasa sangat menghancurkan hatinya.

"Sayatidak ingin dan tidak akan diam lagi sekarang," ucapan Sheya membuat Shuitertegun. "Saya akan mencari mereka. Saya akan menangkap mereka dengan keduatangan saya sendiri, demi Ibu dan adik-adik saya!"

(25 Desember 2020)

==========

Note:

Halooo...., selamat natal dan merayakan tahun baru minggu depan! Semoga kita selalu diberkati dengan kesehatan, keselamatan, dan kelapangan di mana pun kita berada.

Setelah berminggu-minggu ngarepin liburan, saya agak kuciwa, karena ini enggak jadi libur panjang seperti yang saya inginkan. Yah, tapi setidaknya weekend jadi lebih panjang dari sebelumnya sudah patut disyukuri.

Hati-hati di mana pun kalian berada, jaga prokes selalu, terutama karena saat ini sudah memasuki musim hujan. Pastikan daya tahan tubuh bisa bertahan.

Jangan lupa komen dan vote cerita ini yaa...

Waktunya chuuss baca komen-komen yang lalu ____*melipir*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro