Bab 61. Sheyana : Mari Kita Bercerai...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jasmine by Yui Makino

=================================

Mereka sudah meninggal, dibunuh oleh pendoa yang seharusnya mengayomi kehidupan.

Aku sakit hati mendengar cerita Hessa.

Efrani menjebak mereka berlima saat situasi rumah sedang kacau. Efrani, Irtham, dan Yueza membawa mereka menuju gudang peralatan yang tak lagi digunakan di bagian timur rumah. Ibu, Hessa, dan ketiga adikku yang lain berpikir bahwa Efrani akan menyelamatkan mereka dalam penyerangan tersebut, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ketika musuh menyerang, mereka pun ikut dibunuh. Efrani membunuh musuh, maupun membunuh ibu dan adik-adikku. Hessa yang tidak mengira akan diserang, melawan dengan terburu-buru dan panik. Yang membuatnya beruntung adalah, mereka bertiga meninggalkannya yang tengah sekarat, karena mengiranya akan segera mati. Kemudian, sasaran Efrani beralih padaku.

Dari awal Efrani memang tidak menyukaiku, tetapi aku tidak mengira dia akan bertindak sekejam itu pada keluargaku. Apa salahku? Apa salah Ibu dan adik-adikku sampai dia tega membunuh mereka?

Apakah Miri Nayunira yang ada di balik hal ini? Apakah karena putri membenciku, dia ingin melenyapkanku dan keluargaku? Aku tak bisa membendung kecurigaan yang bermunculan dalam pikiran dan benakku. Jika aku dan keluargaku mati, maka dia bebas menjodohkan kakaknya dengan siapa pun, termasuk dengan gadis yang dicintai Shuiren. Bukankah Shuiren sudah memiliki wanita yang dicintainya?

"Yuuni...," panggilan itu membuat perhatianku teralih.

Hessa memasuki kamar. Dia mengenakan jubah panjang berwarna cokelat gelap, serta sepatu bot dari kulit yang tahan air maupun lumpur. Melihatnya sudah siap, aku pun berdiri dari kursi yang kududuki. Sama sepertinya, aku pun mengenakan setelan berupa kemeja panjang dan celana panjang serta sepatu bot. Untuk penangkal hujan, aku memakai jubah panjang berwarna biru gelap. Shuiren yang memberikannya padaku, yang kuterima setengah hati.

"Semua menunggu di bawah," ucapnya.

Aku mengangguk. "Ayo pergi."

Di ruangan bawah, aku melihat Shuiren bersama Miri Nayunira sudah menunggu. Meski perasaanku masih tidak nyaman ketika melihat keduanya, tetapi aku memaksakan diri untuk bersikap sopan dengan sepantasnya. Hessa juga melakukan hal yang sama. Dia berupaya membungkuk ke arah Miri Nayunira dan Shuiren meski ekspresinya sekaku patung batu. Shuiren berupaya tersenyum, meski senyumnya terlihat lemah. Sementara Miri Nayunira lebih terkesan kikuk. Kukira, gadis itu akan bersikap angkuh seperti sebelumnya, mengapa sekarang dia terlihat takut-takut begitu? Apakah Shuiren sudah memberitahunya bahwa pendoa yang dikirimkannya telah membunuh keluargaku?

Shuiren mengulurkan tangan ke arahku yang seharusnya kuterima, tetapi aku sedang enggan bermanis-manis dengannya, karena itu setelah menerima ulurannya sesaat, aku segera melepas genggamannya perlahan. Shuiren menatapku, tetapi aku tak menanggapinya. Aku tahu, tidak adil bila menumpahkan semua yang terjadi pada Shuiren, tapi... semua ini bermuara darinya. Aku butuh sendiri dan dia tidak mau membiarkanku sendiri.

"Naiklah," Shuiren kembali mengulurkan tangan untuk membantuku menaiki kudanya.

Tanpa banyak bicara, aku naik ke atas sana dan Shuiren duduk di belakangku. Rasanya tidak nyaman dengan posisi seperti ini.

"Kenapa tidak meminta untuk disiapkan dua kuda?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. Beliau memacu kuda dan romobongan di belakang pun ikut bergerak.

"Lalu melewatkan kesempatan untuk bicara berdua denganmu?"

Aku tertawa pelan. "Kita bisa bicara di penginapan."

"Lalu kapan kau mau bicara denganku?" balas Shuiren tajam. "Setelah pembicaraan kita siang tadi, kau menolak bertemu denganku, bahkan kau melarangku memasuki kamar. Kau kira aku tidak tahu kemarahanmu?"

"Jika Anda mengerti, seharusnya Anda tidak memaksakan diri," kataku gusar.

"Ini tidak adil," tukas Shuiren. "Kau menimpakan semua kesalahan padaku!"

"Bukankah semua ini memang berawal dari Anda?" Aku mengepalkan tangan. "Seperti yang pernah saya katakan malam itu, ketika dipenjara oleh Shenka, kesialan ini berawal dari Anda!"

Shuiren membisu mendengar kata-kataku. Beliau pasti sakit hati, tetapi aku lebih sakit hati lagi. Entah hukuman atau perlakuan apa yang kudapatkan nanti, yang jelas... aku hanya ingin melampiaskan kemarahanku. Aku benci pada diriku sendiri, karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi keluargaku. Sama seperti malam di mana aku dipaksa menikah dengan Shuiren, aku tak berdaya dan kalah.

Aku tak ingin lagi menanggung perasaan itu. Aku tak ingin lagi dipojokkan seperti binatang buruan yang siap disembelih. Bila musuh-musuh Shuiren menargetkanku untuk mendapatkan Shuiren, maka aku yang akan menarik mereka jatuh ke lubang kematian.

Aku tidak ingin kehilangan apa pun lagi.

***

Sepanjang perjalanan menuju pemakaman, Shuiren tak lagi mengajakku bicara, yang kusyukuri dalam hati. Pikiran dan hatiku dalam kondisi yang tidak ingin diganggu. Kami bergerak menuju pintu gerbang timur ibu kota. Pemakaman ada di luar Shasenka dan butuh waktu sekitar satu jam hingga kami sampai di pemakaman ibu dan adik-adikku.

Area pemakaman ini sedikit masuk ke dalam hutan, dengan jalan yang bisa dilalui satu kereta kuda. Kami musti berjalan sedikit mendaki hingga sampai di bentangan tanah lapang seluas paviliun utama rumah Shuiren yang telah diisi enam nisan batu. Di pinggiran tanah lapang tersebut, ada budak-budak yang sedang membangun pagar. Mungkin saja ini tanah milik Shuiren dan dia tidak menyangka, akan menggunakannya sebagai tempat pemakaman.

Aku turun dari atas punggung kuda dengan terburu-buru. Bersama Hessa, aku berjalan mendekati nisan-nisan tersebut hanya untuk memastikan bahwa kelima nisan itu memang milik ibu, Erau, Athila, Mila, Iksook Inarha, dan Ishaara Amaria. Jari-jariku meraba pahatan di nisan yang terasa kasar dan tidak beraturan. Pengukirnya pasti buru-buru membuat nisan-nisan ini, sehingga tidak memperhalusnya dengan baik.

Hessa sudah terduduk sambil menangis di sisiku, sedangkan aku hanya bisa memandangi nisan ibuku dengan perasaan hampa. Ibuku mungkin bukan ibu yang sempurna. Dia pernah menelantarkanku dan adik-adikku. Dia juga pernah mengabaikan dirinya sendiri semenjak ayah pergi. Namun, dialah yang sudah melahirkanku ke dunia ini. Dia juga yang mengulurkan tangan ketika aku sakit. Ibu juga yang membuatkanku gaun-gaun cantik, jika ayah pulang membawa gulungan kain yang bagus.

Ibuku mungkin bukan ibu yang sempurna, tetapi setidaknya dia selalu berusaha untuk kami. Meski harapannya sempat hilang setelah ayah meninggal. Aku tidak tahan lagi menahan kepedihan hati ini. Air mataku kembali berjatuhan sederas hujan yang mengguyur tubuhku. Rasa sakit ini sungguh menyiksa, bahkan lebih sakit dari saat jariku teriris pisau. Aku terduduk di atas tanah berumput yang basah tercampur lumpur dari tanah pemakaman yang masih baru.

"Maaf," ucapku, tak bisa menahan getaran dalam suaraku sendiri. "Maafkan aku, Yunda."

Guntur menggelegar seakan menyahut ucapanku. Namun, seribu kali pun kuucapkan maaf, mereka tak akan pernah kembali ke sisiku.

"Maaf," Hessa berujar. "Maaf karena membiarkan kalian pergi seperti itu. Maafkan aku yang tidak bisa berbuat apa pun."

Penyesalan tak berkesudahan yang membuat hati semakin sakit dan pedih. Perasaan menyakitkan yang akan terus kami tanggung sampai akhir hayat kami. Aku berharap Tadakhua mengayomi keluargaku dalam istirahat abadi yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan.

"Kami akan hidup dengan baik di sini," kataku sekali lagi, untuk memantapkan diri sekaligus menegaskan sikap. Kami akan membalas apa yang telah terjadi pada kalian semua!

***'

Setelah puas mendoakan mereka, kami kembali ke penginapan. Setelah Shuiren membantuku turun dari atas punggung kuda, aku meminta beliau untuk datang ke kamar, yang beliau sanggupi dengan anggukan pelan. Mungkin Shuiren masih tersinggung dengan kata-kataku tadi, tetapi aku tak peduli. Usai melepaskan jubah basah dan menaruhnya dalam ember kayu, aku duduk di salah satu kursi tamu yang ada di tengah ruangan. Shuiren masuk setelahku dan menutup pintu rapat-rapat. Dia lalu duduk di seberangku.

"Saya minta maaf atas kata-kata kasar saya tadi," ucapku pada Shuiren membuka pembicaraan di antara kami.

Beliau hanya menatapku dan memberi isyarat supaya aku meneruskan ucapanku.

"Tolong, ijinkan saya untuk ikut menangani masalah ini," pintaku.

Dahinya berkerut dalam, "Itu akan membahayakanmu."

Larangan yang sudah bisa kuduga, sehingga aku beranjak untuk mengambil sebuah pot tanaman yang ada di dekat jendela kamar dan meletakkannya tengah meja. Dengan satu sentuhan, pohon bonsai di pot tersebut tumbuh membesar.

"Saya memiliki kekuatan Inaike," ucapku. "Saya bisa melindungi diri saya, bahkan... yang menyebabkan tanah luruh di kediaman Shonja adalah saya. Jadi Shonja tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan saya."

Kali ini, air mukanya berubah tidak suka. Entah dia tidak senang karena aku mengubah panggilanku padanya atau dia tidak senang karena aku menawarkan diri untuk menantang bahaya.

"Aku tahu, kau merasa sangat kehilangan keluargamu. Namun, aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya hanya untuk membalas dendam," tolak Shuiren.

Rupanya beliau tahu niatku, tetapi aku tidak ingin mundur.

"Saya berjanji tidak akan mengundang bahaya, tetapi saya perlu turun tangan untuk mencari tahu apa yang terjadi di Imizdha," kataku. "Bukankah lebih baik saya yang maju dari pada Anda yang maju, Shonja? Mereka akan bersikap waspada, bila Anda atau prajurit Anda yang datang ke sana."

"Aku punya cara lain untuk mengorek informasi di sana." Shuiren tetap menolak keterlibatanku.

"Apakah cara itu lebih cepat ataukah lebih lama dengan cara saya?" tanyaku dingin yang membuat beliau mengerjap. "Kita tidak perlu mengulur waktu lagi. Saya yang akan bergerak ke sana dan Shonja bisa mencari penyebab kutukan ini. Dengan membagi dua kekuatan, maka jalan keluar akan terlihat lebih cepat."

Mata biru beliau menyiratkan ketidaksenangan, tetapi aku tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang kuinginkan.

"Kemudian—," Aku sedikit gamang untuk menyampaikan ini, "Jika semua masalah ini sudah selesai, serta kutukan yang menaungi Shasenka telah terangkat, mari kita bercerai, Shonja."

Beliau terpana mendengar permintaanku.

"Kalau semua masalah ini telah berakhir, mari kita bercerai," Aku mengulanginya lebih mantap. "Dengan begitu, Anda bisa menikahi wanita yang Anda cintai dan saya bisa kembali ke desa saya dengan selamat. Shenka tidak akan mungkin mengabaikan jasa dari orang yang membantunya menyelamatkan kekaisaran, kan?"

(3 Januari 2021)

====================

Note:

Selamat tahun baru 2021!!

Semoga di tahun yang baru ini ada banyak harapan dan kesempatan baru untuk kita semua!

Nah... ini di tahun ini pula, TCT akan genap berumur 4 tahun 😭😭

Ternyata sudah selama itu saya bikin cerita ini dan mengabaikan draft naskah saya yang lain. Btw... Saya berniat mengunggah ulang The Golden Anshok, sekaligus ingin juga mengunggah sekuelnya... ada yang masih ingat dengan Lea, Mirtha, dan Ezbur?

Hmmm... ataukah ada yang tertarik dengan cerita baru? Ada dua naskah yang saya pertimbangkan untuk diterbitin di watty/storial/gwp... 🤭🤭

Jangan lupa vote dan komen cerita ini, yaaa... sampai jumpa di chapter selanjutnya~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro