Bab 7. Shuikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Shui termangu mendengar percakapan ibu dan anak tersebut. Setelah makan malam dan meminum obat yang diracik Iksook Inarha, Shui masuk ke kamar dan merebahkan diri. Harusnya ia tidur, tetapi matanya sama sekali tidak mau terpejam. Akhirnya, yang ia lakukan di atas tempat tidur cuma menatap langit-langit kamar.

Shui memejamkan mata, mengingat kembali percakapan antara Sheya dan ibunya barusan. Ia tak bermaksud menguping, tetapi dinding yang memisahkan kamar mereka terlalu tipis, sehingga Shui bisa mendengar jelas setiap kata yang diucapkan Sheya maupun ibunya.

'Yunda dan Ramma memberikan kami keluarga yang begitu hangat dan perhatian. Kami bahagia memiliki kalian.'

Shui tahu, kalimat Sheya tadi hanyalah hiburan untuk sang ibu. Dengan keadaan keluarga yang seperti ini, Shui yakin, semuanya akan semakin sulit dari tahun ke tahun. Apalagi gadis itu dalam usia menikah dan 1 atau 2 tahun lagi, Mila dan Hessa juga akan mengalami hal yang sama. Dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk melangsungkan pernikahan, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Dan calon suami Sheya pun harus punya kesabaran serta keuletan supaya bisa menaikkan martabat keluarga ini. Apa gadis itu sudah memiliki calon suami yang pantas?

Shui meragukan itu.

Ia teringat percakapannya dengan Iksook Inarha dan kepala desa Shamashinai sore tadi. Setelah mengusir Sheya secara halus, dengan menyuruhnya membuatkan minuman hangat untuk mereka, Iksook Inarha maupun kepala desa mulai menanyakan tentang identitasnya dan alasan kenapa ia hampir terbunuh di Inairakhi.

"Sheya tadi memanggil Anda 'Tuan Shui', apakah itu nama Anda, Tuan?" tanya Inarha setelah memeriksa keadaannya. Dia mengatakan bahwa kondisi badannya sudah lebih baik. Cukup mengejutkan, ia bisa cepat pulih setelah hampir mati karena dikutuk serta kena teluh.

Shui sendiri baru tahu kalau dirinya terkena teluh. Waktu Inarha menceritakan mengenai muntahan cairan hitam dan bangkai kelabang, mau tak mau Shui merasa mual dan ingin memuntahkan makanan yang tadi dimakannya. Kemungkinan besar kesehatannya yang menurun beberapa minggu terakhir, gara-gara teluh itu. Dia sering cepat lelah dan seluruh badannya berat, belum lagi bila malam tiba, tubuhnya terasa panas menyiksa hingga badannya terus-menerus berkeringat.

Kalau dipikir secara rasional, Shui tidak akan mempercayainya. Ia terbiasa berpikir praktis dan sering berhadapan dengan serangan 'nyata' di hadapannya. Baru kali ini ia mendapatkan serangan 'tidak nyata' seserius ini. Padahal di sisinya selalu ada pendoa yang siap merapalkan doa-doa pada Dewa Tua Yang Agung, tetapi... kenapa teluh itu tetap bisa menembus dirinya? Ini membuat Shui bertanya-tanya. Ia memang tidak terlalu mempercayai mengenai kekuatan supranatural, meski lingkungannya sudah menunjukkan banyak bukti mengenai itu. Pendoa yang ada di sisinya pun pilihan dari adik perempuannya. Ia menerima kehadiran wanita itu hanya untuk menentramkan adik perempuannya.

"Itu memang nama saya, Iksook," Shui tersenyum, sengaja menggunakan bahasa sopan pada pria kecil berumur 50-an itu. Ada sesuatu dalam diri Inarha yang membuat Shui merasa segan. Walau pakaiannya terkesan aneh karena warna-warnanya saling bertabrakan serta topi bundarnya begitu mencolok dengan manik-manik berwarna-warni, tetapi ada kebijaksanaan serta kerendah-hatian dalam diri pria itu yang membuat Shui merasa tidak pantas bersikap angkuh maupun pongah.

"Nama lengkap Tuan?" Inarha kembali bertanya.

"Jika saya menyebutkannya, apakah Iksook dan Shamashinaike bisa merahasiakannya? Terutama dari keluarga ini?" Shui menatap keduanya bergantian.

Ada ketegangan yang terlihat dari ekspresi kepala desa Shamashinai. Sorot matanya menyiratkan kecemasan. Berkebalikan dengan kepala desa, Inarha justru terlihat tenang.

"Anda bisa mempercayai kami, Tuan Shui," sahut Inarha.

Shui mengangguk pelan. "Nama saya.... Shuikan Riyushi Shenoukaishi."

Inarha maupun Kepala desa Ornuk tertegun mendengar jawaban Shui. Tidak sembarang orang bisa memiliki nama Ayah Riyushi dan orang biasa tidak mungkin menambahkan 'kaishi' di belakang asal wilayahnya, kecuali bila orang tersebut merupakan keturunan langsung dari Kaisar Shenouka.

"Maaf bila kami meragukan Anda, Tuanku," kepala desa mengernyit. "Tetapi..., bagaimana orang sepenting Anda bisa terjebak di sini?"

Shui tersenyum, memaklumi keraguan si kepala desa. Pertanyaannya memang benar. Bagaimana mungkin dia bisa terjebak di sini? Lelaki itu lalu melepaskan kalung yang tergantung di lehernya dan memberikannya pada kepala desa, supaya dia bisa memeriksanya.

Kalung Shui jelas-jelas terbuat dari emas asli. Tatahan rumit di sekitar kepala harimau, selain untuk memperindah medali juga menunjukkan kasta sosial pemilik kalung ini. Ornuk membalik medali kalung tersebut dan wajahnya memucat ketika mengenali lambang kekaisaran Shenouka. Simbol Naga yang meliuk di antara tatahan rumit lain dan aksara lama yang terukir rapi di bawah simbol tersebut sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan identitas Shui.

"Ma...Maafkan saya." Tangan Ornuk gemetaran ketika mengembalikan kalung tersebut pada Shui. "Ma...Maaf karena kami tidak mengenali Anda, Jenderal Shuikan, Harimau Putih dari Shasenka." Dia lalu berlutut di hadapan Shui dan berusaha memberikan hormat selayaknya pada ningrat di depannya.

"Shamashinaike, anda sudah berjanji untuk merahasiakan identitas saya, kan?" Shui tersenyum padanya. "Tolong, bersikaplah seperti semula dan berpura-puralah bahwa saya bukan seorang bangsawan. Saya tidak ingin membuat keluarga ini ketakutan."

Ornuk buru-buru berdiri dan mengangguk mantap. Dia lalu menoleh ke arah Inarha yang sedari tadi diam saja, bahkan tidak memberikan penghormatan pada Shui. Lelaki itu mengernyit ketakutan, apakah Inarha ingin semua penduduk desa dibantai karena tidak menghormati orang besar di hadapan mereka? Namun, semua kekhawatirannya terhapus saat Inarha membungkuk sewajarnya pada Shui.

"Tadakhua memberi desa kami kemuliaan dengan mengirimkan pahlawan bangsa seperti Anda," ujarnya.

Senyum Shui menipis. "Sayalah yang seharusnya berterima kasih pada Tadakhua Sang Dewa Tua Yang Agung karena telah menyelamatkan saya dari upaya pembunuhan dengan mengirim penolong dari desa kalian. Bila tidak ada Sheya, mungkin saya sudah jadi persembahan hari itu."

"Semua telah digariskan, Tuanku," ucap Inarha. "Mungkin... inilah jawaban Tadakhua atas semua kegelisahan serta keresahan Anda selama ini."

Shui termangu, berusaha mencerna maksud kata-kata Iksook Inarha.

"Kalau boleh kami tahu...," kepala desa menyela, "Bagaimana Tuan bisa terjebak di Inairakhi dan hampir terbunuh di sana?"

"Aku ditugaskan untuk memeriksa kondisi perbatasan timur Shenouka. Ada laporan, bahwa mata-mata dari Jajinham masuk ke wilayah Shenouka. Selama beberapa hari, aku berpatroli di tepi perbatasan. Namun, sehari yang lalu, ketika sampai di area antara Inairakhi dan sabuk dalam perbatasan, sekelompok orang menyerang kami. Mulanya kami bisa menguasai keadaan, tetapi... ketika para penyihir terlibat, semua menjadi kacau. Kelompok kami terpisah. Enam penyihir mengejarku dan anak buahku. Dua di antaranya berhasil kami tumbangkan, tetapi sisanya memojokkanku sampai ke pedalaman Inairakhi. Lalu... yang terjadi, aku hampir saja ditumbalkan dalam ritual pengorbanan dan Sheya menolongku dari penyihir-penyihir terkutuk tersebut."

Inarha maupun Ornuk mengangguk paham.

"Pendoa di sisi Anda tidak berhasil menghalau sihir yang menyerang kalian," Iksook Inarha bergumam, tetapi itu sudah membuat Shui terkejut.

"Ya. Dia tidak berhasil melakukannya," lelaki itu mengangguk, tak merasa menceritakan mengenai Efani.

"Pendoa sering merasa hebat dengan kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya, tetapi mereka tidak menghayati isi dari doa-doa tersebut," Inarha menghela napas sambil menggeleng pelan. "Padahal... yang paling penting dari doa adalah kepercayaan dari hati saat mengucapkannya. Tanpa 'percaya', doa akan menjadi sia-sia dan tak memiliki kekuatan lebih dari sekedar kalimat."

Lagi-lagi Shui dibuat termangu.

"Tuanku, kami akan menjaga rahasia Tuan baik-baik," ujar Inarha. "Tuan jangan mengkhawatirkan hal itu. Namun, kami juga ingin menyarankan sesuatu pada Anda. Mohon jangan salah paham dan marah karena ini."

Shui mengernyit. "Katakan saja, Iksook."

"Kami menganjurkan Tuan untuk tinggal di rumah saya atau Shamashinaike. Bukan maksud kami mengusir Tuan dari rumah keluarga Sheya, tetapi... di sini tidak ada laki-laki dewasa dan ada seorang gadis dalam usia menikah. Kami ingin menjaga Sheya dan keluarganya, supaya tidak timbul fitnah yang akan menyulitkan keluarga ini."

"Maaf kalau kami terkesan lancang karena meminta Anda pindah dari sini, Tuanku," imbuh Inarha.

Shui terdiam sesaat, menimang-nimang permintaan sang Iksook. Apa yang disampaikan Inarha masuk akal. Ia hanyalah lelaki asing di sini. Fakta bahwa Sheya telah menolongnya tidak akan berubah, tapi bagaimana dengan opini orang lain? Dia tahu bagaimana rasanya menjadi sasaran empuk fitnah keji maupun gosip panas yang tidak menyenangkan. Kalau melihat kondisi keluarga ini, Shui tidak tega untuk semakin menyulitkan mereka. Untuk makan saja mereka sudah susah, apalagi keberadaannya tentu menambah 1 mulut lagi yang harus diberi makanan.

"Aku akan mempertimbangkannya," Shui mengangguk kalem. "Kalau aku berniat pindah, aku akan mengabari kalian."

"Terima kasih atas kebijaksanaan Tuan," Inarha tersenyum padanya. "Kebaikan Tuan pasti akan mendapat balasan dari Tadakhua."

Shui membuka mata, kembali menatap langit-langit kamar. Mungkin, dia memang harus keluar secepatnya dari rumah gadis ini. Hari ini bisa berjalan tanpa gangguan dari siapa pun. Namun, siapa yang dapat menduga apa yang akan terjadi esok hari?

Rasa was-was menyusup ke dalam hatinya. Keparat-keparat itu tidak akan melepasnya dengan mudah. Mereka pasti tidak akan percaya bahwa dirinya sudah mati, sebelum melihatnya mayatnya sendiri. Shui yakin, baik pihaknya maupun pihak musuh sedang mencari-cari tubuhnya saat ini dan cepat atau lambat, musuh akan tahu bahwa dirinya selamat.

Kalau sampai ketahuan dia diselamatkan salah satu penduduk desa ini dan tinggal di sini, akibatnya bisa fatal. Shui memejamkan mata sekali lagi. Bukan keinginannya untuk membahayakan nyawa orang-orang yang memiliki sangkut paut dengannya. Orang-orang itu memang sengaja menekannya supaya tak memiliki pengikut atau pun pendukung. Mereka ingin dirinya melemah dan jadi tak berdaya, sehingga bisa disingkirkan dengan mudah. Namun, ia tak akan mewujudkan impian mereka.

Ia akan terus berusaha untuk adiknya.

"Kau bukan siapa-siapa, Shui," laki-laki itu bergumam pelan, mengingat nasehat mendiang gurunya yang tewas bertahun-tahun lalu. "Kau bukan siapa-siapa. Kau bukan apa-apa." matanya terbuka, kembali menatap langit-langit kamar yang gelap. "Kalau kau ingin menjadi sesuatu, maka kau harus meraihnya dengan tanganmu sendiri."

***

Suara berisik dari arah dapur membuatnya terbangun. Entah kapan ia terlelap, tahu-tahu hari sudah berganti. Shui mengerjap-ngerjap sesaat, membiasakan matanya dengan minimnya cahaya yang ada di dalam kamarnya. Sayup-sayup terdengar kokok ayam jantan dari kejauhan. Kalau melihat keadaan di luar yang masih gelap, ia yakin kalau saat ini waktu menginjak fajar. Hawa dingin yang menggigit menyusup melalui celah-celah dinding kamar. Shui tidak terlihat terganggu ketika menyibakkan selimutnya. Udara dingin di kamar ini masih lebih baik dari mandi air dingin saat tengah malam di puncak gunung sewaktu pelatihannya dulu.

Lelaki itu duduk di atas dipannya, lalu memakai sepatunya yang ternyata kemarin dicucikan adik Sheya. Untunglah sepatu itu cepat kering, sehingga ia bisa segera memakainya lagi. Shui beranjak keluar kamar dan terpaku ketika melihat Hessa serta Erau tertidur pulas di ruang tengah. Keduanya tampak tak terganggu dengan suara berisik dari arah dapur. Tidur mereka begitu lelap. Hessa bahkan tidak merasakan kalau kaki adiknya sudah mendarat di wajahnya. Lagi-lagi Shui merasa iri melihat keakraban kakak-beradik itu.

Pria itu lalu menuju dapur yang sudah terang karena api dari tungku. Di sana, ia menemukan Mila sedang memasak air. Gadis berusia 15 tahun itu tersenyum canggung ke arahnya.

"Tuan sudah bangun?" tanyanya basa-basi.

"Kau hanya sendiri?" Shui balas bertanya.

"Tidak. Tadi Yuuni ada di sini. Sekarang dia sedang ke sungai untuk mencuci peralatan makan," gadis berkepang satu itu melirik pintu dapur yang terbuka.

"Apa tidak apa-apa membiarkan Kakakmu pergi ke sungai pagi buta begini?" Shui mengernyit melihat ketenangan Mila. "Hari masih gelap."

"Yuuni sudah terbiasa, Tuan," Mila tersenyum.

Sekalipun terbiasa, apa pun tetap bisa terjadi padanya, kan?

"Aku akan menyusulnya. Apa sungai itu jauh?" tanya Shui.

"Tidak. Sungai itu hanya berjarak 150 kaki di belakang rumah," Mila terlihat bingung. "Tuan masih sakit, kan? Sebaiknya Tuan beristirahat kembali. Tidak akan ada yang terjadi pada Yuuni."

Shui mengibaskan tangan, lalu memilih mencari Sheya.

"Tuan...," Mila hendak melarang tapi isakan Athila dari arah kamar terdengar. Antara bingung hendak menyusul Shui atau menenangkan adiknya di kamar, Mila pada akhirnya memilih ke kamar karena tangisan Athila makin kencang.

Sementara itu Shui berjalan cepat melewati pohon-pohon yang sebagian besar telah meranggas. Kabut tipis yang melingkupi area ini sama sekali tidak mengganggu pandangannya. Suara tenang aliran air terdengar tak jauh di depannya, membuatnya bergegas ke sana. Keadaan di sekitar tempat ini sangat sepi. Apanya yang tidak akan terjadi apa-apa? Meski Sheya sudah terbiasa, tetap saja berbahaya keluar pagi buta seperti ini.

Kakinya menjejak tanah-tanah keras yang merekah. Racikan obat yang diberikan Inarha sungguh manjur. Bahu dan pahanya sudah tidak terasa sesakit kemarin. Selain itu, lukanya pun menutup dengan baik.

Tak berapa lama, Shui bisa melihat tepian sungai yang melandai. Lelaki itu mendekat ke sungai hanya untuk tertegun melihat pemandangan di depannya. Sheya memang ada di sungai, sedang duduk di antara bebatuan di tepi sungai sambil menggosok kakinya dengan sesuatu. Ada lentera yang diletakkan tak jauh dari tempatnya duduk, begitu pun ember berisi peralatan makan.

Shui menahan napas melihat gadis itu dalam balutan kain tipis yang menutupi dada hingga lutut. Rambut gelap gadis itu kini tergerai dan basah. Lelaki itu langsung mengambil langkah mundur dan bersembunyi di balik pepohonan sambil merutuki dirinya sendiri karena mengintip gadis yang sedang mandi. Pantas saja tadi Mila panik ketika ia mau menyusul Sheya. Rupanya gadis itu tidak hanya mencuci peralatan makan, tetapi juga mandi.

Shui mengusap wajah, sekali lagi menyalahkan kebodohannya. Betapa tidak pekanya ia!

Saat hendak kembali ke rumah, batinnya berbisik untuk tinggal sejenak di sini. Bukankah Sheya belum menyadari kehadirannya? Apa salahnya melihat gadis itu sekali lagi? Bujukan itu membuat langkahnya bimbang. Harga dirinya melarangnya untuk melakukan itu, tetapi rasa penasarannyalah yang menang.

Shui memilih menuruti bisikan hatinya. Ia kembali berbalik hanya untuk melihat bagaimana gadis itu membasuh tubuhnya. Seolah sepihak dengan percikan gairah yang muncul dalam dirinya, tubuhnya mulai menghangat, tak lagi merasakan dinginnya udara pagi hari. Shui memperhatikan dengan baik bagaimana gadis itu menyikat rambut, menggosok bagian-bagian tubuhnya, maupun membilas tubuhnya yang kurus.

Jika dipikir-pikir, apa yang ia lakukan ini sungguh menggelikan. Sebagai Jenderal sekaligus keluarga kerajaan, bukan hal sulit baginya untuk mendapatkan seorang gadis. Meski sampai sekarang belum berkeluarga, ia sering bersenang-senang dengan wanita penghibur atau pun bermain-main dengan wanita-wanita yang merupakan mata-mata pihak musuh. Sudah sering Shui mencecap maupun merasakan keindahan tubuh lawan jenisnya. Gadis-gadis maupun wanita-wanita yang dikirimkan padanya selalu cantik dan memiliki lekukan tubuh yang menawan.

Sheya bukan apa-apa bila dibandingkan wanita-wanita itu, bahkan tidak bernilai apa-apa bila disandingkan dengan putri-putri para bangsawan yang akan dijodohkan dengannya. Kulit gadis itu kasar. Wajahnya pun selalu kotor terkena debu dan jelaga. Pakaiannya pun lusuh. Tidak ada kecantikan memikat dari gadis itu. Namun..., memang bukan itu kekuatan Sheya.

Sheya adalah pejuang.

Gadis itu tidak seperti prajurit wanita yang dikenalnya, tetapi semangatnya, tindak-tanduknya mencerminkan sosok pejuang yang terhormat. Kefeminiman dalam sikapnya melembutkan aura kerasnya untuk bertahan hidup, mengesankan dirinya sebagai wanita tangguh. Dia bukan seseorang yang bisa diinjak lalu dibuang setelah tidak diperlukan.

Ada sesuatu yang menyurut dalam diri Shui, sehingga akal sehatnya kembali dan nafsunya mulai terkungkung. Hasratnya yang semula berkobar dan menginginkan gadis itu mendadak padam saat nuraninya menegur akal maupun nafsunya yang bergejolak.

Ia bisa saja memaksa Sheya.

Ia bisa saja memiliki gadis itu untuk waktu singkat.

Tapi, setelah itu apa?

Apakah ia akan menghancurkan masa depan penolongnya dengan merenggut kesucian gadis itu?

Shui memejamkan mata, memaksa dirinya sendiri untuk berhenti menatap pemandangan tabu di depannya. Ia lalu berbalik, bersandar pada pohon dan memikirkan kembali niat jeleknya barusan.

Kesucian gadis itu adalah kehormatan yang harus dijunjung tinggi. Sebagai penguasa, Shui bisa saja memaksa Sheya. Egonya pasti akan menang di depan rakyat jelata yang tidak memiliki kuasa apa-apa. Lalu, setelah itu apa? Membiarkan gadis itu menangisi kehormatannya yang sudah hilang? Membuat gadis itu mengutuk dunia karena menginjak martabat keluarganya ke lubang kotoran? Atau memaksa gadis itu mengandung benihnya dan menjadikannya sebagai gundik yang hanya didatangi bila ia memerlukannya?

Shui menyadari, Sheya tidak pantas diperlakukan seperti itu.

Gadis itu berasal dari keluarga baik-baik, meski mereka miskin. Tidak pantas rasanya bila ia merusak kehormatan itu. Sheya dan keluarganya pantas untuk diperlakukan lebih baik. Sheya seharusnya memiliki suami dalam ikatan resmi yang sah, bukannya menjadi simpanannya.

Betapa kotor dirinya karena hendak membalas kebaikan penolongnya dengan air tuba. Di mana harga diri dan kehormatannya sebagai kesatria? Bukankah pelatihannya selama ini mengajarkannya untuk selalu menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur?

Shui mendesah pelan, lalu memaksa dirinya sekali lagi untuk kembali ke rumah. Baru 3 langkah ia beranjak, pekikan kecil dari arah sungai membuatnya terkejut dan bergegas berbalik, lalu turun ke sungai.

( 7 Juni 2017 )

----------------

Note:

Begitulah pemikiran seorang Shui. 

Herankah kalian terhadap sikapnya? Atau malah protes karena Shui berhasil menahan diri? 

:D:D:D

Maaf, ya..., karena nggak ada adegan yang iya-iya. Kalau adegan cem itu mah... disimpen untuk hari yang benar-benar penting. Saya nggak mau umbar sembarangan bagian yang ena-ena =))

Semoga part ini bisa menjadi obat kerinduan kalian pada The Conquered Throne :D

Jangan lupa vote dan komen ya....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro