Bab 8. Sheyana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gambar diambil dari : https://vignette2.wikia.nocookie.net/harrypotter/images/f/fe/Patronus_PM_SilverStagPatronus_MomentIllust.jpg/revision/latest/scale-to-width-down/350?cb=20170314002945

Note:

Seperti itulah penampakan Inaike. Hanya saja, bedanya Inaike punya bulu berwarna putih dan tanduk hitam bercabang. Matanya sehijau dedaunan dan kuku-kuku kakinya sewarna tanah.

---------------------------------------

"Apa yang kau lakukan di sini?" desisku, kesal karena dikagetkan dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Aku benci dengan kebiasaannya yang ini, suka membuatku terkejut. "Mengintip orang yang sedang mandi?"

Inaike memutar mata, seolah-olah kemarahanku bukan sesuatu yang penting.

"Seharusnya kau marah pada dia, bukannya padaku." Dia menoleh ke suatu arah dan seketika aku kembali memekik melihat kehadiran Tuan Shui.

Aku menoleh ke sana – ke mari, mencari-cari bajuku untuk menutupi tubuhku yang hanya dibalut selembar kain tipis. Hampir saja aku terpeleset karena terburu-buru ke tepi sungai. Kalau Inaike tidak menahanku dengan kekuatannya, mungkin kepalaku sudah berdarah karena terantuk bebatuan yang ada di pinggir sungai. Setelah menyambar pakaian dan berganti di balik pepohonan, aku kembali menemui Tuan Shui yang kini tengah memandang ke sekeliling selain ke arahku.

"Apa yang sedang Tuan lakukan di sini?" tanyaku, canggung setengah mati karena baru saja dipergoki mandi oleh seorang laki-laki.

Dia yang dari tadi mengintipmu mandi, suara Inaike menggema dalam kepalaku.

Jugook ini pasti bercanda. Apa bagusnya melihatku mandi?

"Kenapa tadi kau berteriak?" Tuan Shui menoleh ke arahku. Tatapannya tajam dan juga waspada. "Apa ada binatang liar? Atau orang yang mengintipmu?"

Lucu! Inaike mendengus tepat di sisiku. Dia yang mengintip, dia juga yang curiga ada yang mengintip. Laki-laki ini punya selera humor yang buruk!

Aku meringis, "Sa...Saya hanya kaget, tadi ada ranting yang hanyut, saya kira ular."

"Oh," kewaspadaan Tuan Shui memudar. Dia menjadi lebih santai. "Aku kira terjadi sesuatu padamu."

"Ngomong-ngomong, kenapa Tuan ada di sini?" aku kembali mengulang pertanyaanku.

Senyum Tuan Shui sedikit kikuk. "Mila bilang, di belakang rumah ada sungai, makanya aku ke sini untuk membasuh wajah."

Bohong! Inaike lagi-lagi bicara. Aku melihatnya mengintipmu sedari tadi. Makhluk itu mengitarinya perlahan seperti pemangsa yang sedang menilai buruannya. Laki-laki ini bersembunyi di balik pepohonan dan memperhatikanmu dengan nafsu rendah. Aku tidak akan lupa bagaimana tatapannya saat memandangmu, seperti laki-laki tak beradab yang ingin memuaskan hasratnya sendiri.

Aku gemetar mendengar kata-katanya. Walau dia selalu mengesalkanku, tetapi Inaike menjagaku-----menjaga kami semua. Dia tidak akan membiarkan kami dilukai.

"Apa kau baik-baik saja, Sheya?" pertanyaan Tuan Shui membuyarkan perhatianku. "Dari tadi kau diam saja, apa ada yang mengganggumu?"

"Ehm..., anu... Luka-luka Tuan bagaimana? Ah, ya..., seharusnya Tuan di kamar kan? Supaya kondisi Tuan lekas pulih," aku mengernyit. Ini bukan pertama kalinya Tuan Shui berjalan ke sana – kemari. Sebagai orang yang terluka, harusnya dia diam dan membiarkan kami merawatnya. Bukannya terus-terusan bergerak ke sana – sini.

Tuan Shui tersenyum geli. "Aku sudah merasa lebih baik dari waktu itu, Sheya. Jangan memperlakukanku seperti orang yang sakit parah. Aku bisa berjalan dan bergerak dengan lebih baik, meski... pakaian ini agak mengganggu."

"Maaf atas pakaiannya," aku kembali meringis. "Tapi Anda memang sakit parah."

"Lukaku sudah lebih baik," Tuan Shui lagi-lagi tersenyum. "Apa kau sudah selesai mencuci dan membersihkan piring?" dia melirik ember berisi pakaian dan peralatan makan kami.

"Itu... belum," aku meringis. "Saya berniat mencucinya nanti." Setelah mandi, imbuhku dalam hati. "Tapi kelihatannya saya akan mencucinya sekarang." Aku menaikkan lengan baju dan mulai membersihkan peralatan makan kami.

"Kau tidak takut sendirian di sini?"

"Tidak. Saya sudah terbiasa, Tuan," Aku menoleh ke arahnya sekilas, lalu kembali membersihkan piring-piring dan mangkuk kotor. Beliau duduk di salah satu batu besar yang ada di dekat kami.

Di sekitar tepian sungai memang terdapat banyak batu, mulai dari yang terkecil sampai yang sebesar sapi. Batu-batu ini merupakan sisa-sisa muntahan dari letusan gunung Erdu puluhan tahun silam.

"Ngomong-ngomong...," aku kembali membuka pembicaraan. "Saya masih penasaran dengan identitas Tuan." Aku menoleh ke arahnya. "Kenapa Tuan bisa terjebak di Inairakhi dan hampir menjadi persembahan para penyihir?"

Seharusnya aku tidak perlu bersikap terlalu ingin tahu seperti ini. Namun, aku benar-benar penasaran dengan latar belakang Tuan Shui. Kemarin beliau jelas-jelas mengalihkan pembicaraan, enggan membahas identitasnya.

Kalau melihat sikap Iksook Inarha dan Tuan Ornuk yang biasa-biasa saja usai menengok keadaan Tuan Shui, sepertinya dia orang baik-baik. Tapi..., aku benar-benar penasaran dengan lelaki ini. Siapa dia? Kenapa dia bisa sampai dikejar para penyihir dan hendak dijadikan tumbal?

Aku menatap Tuan Shui dan baru menyadari bahwa beliau tengah menatapku tanpa berkedip. Pandangannya begitu intens dan tajam, membuatku merasa tidak nyaman sehingga memilih menatap piring-piring yang sedang kucuci. Mengabaikan Inaike yang tengah memelototi kami berdua dari tengah sungai, aku pura-pura tidak menyadari perhatian keduanya.

"Aku berasal dari Shasenka," Tuan Shui membuka suara, menarik perhatianku kembali ke arahnya. Kali ini pandangan Tuan Shui tertuju pada langit yang merekah seperti bara api di tungku perapian. "Aku datang ke perbatasan untuk suatu urusan, tetapi malah dicegat oleh sekelompok orang jahat yang ingin menumbalkanku dalam ritual pengorbanan."

Aku mengernyit sambil memasukkan piring-piring yang sudah bersih ke dalam ember kayu dan beralih mencuci pakaianku yang ada di ember lain. Air sungai Amuryan menyusut jauh semenjak musim kemarau. Biasanya debit air penuh hingga mencapai tepian sungai, tetapi kini aku harus berjongkok hampir ke tengah sungai untuk mencuci atau pun mandi. Air yang mengaliri anak sungai Haryun ini tidak sampai setengahnya, tetapi kami beruntung sungai ini masih dialiri air. Entah apa jadinya kalau Amuryan benar-benar kering.

"Di Dunia ini memang ada orang jahat. Entah itu perampok, pencuri dan lain sebagainya," aku bergumam, menelaah cerita Tuan Shui yang terlalu ringkas dan padat. Sambil melirik ke arahnya, aku kembali melanjutkan, "Namun, yang menjadi pertanyaan saya, untuk apa mereka menyerang Tuan dan hampir menumbalkan Tuan dalam ritual pengorbanan? Saya justru lebih yakin bila Tuan bercerita bahwa mereka adalah perampok yang berusaha merampas harta Tuan."

Alih-alih mengernyit, Tuan Shui justru tersenyum mendengar pernyataanku.

"Apa yang membuatmu tidak percaya?"

Aku diam sejenak, menyusun kalimat yang tepat untuk disampaikan pada beliau. "Orang yang mengenal atau pernah mendengar pamor Inairakhi tidak akan berbuat gegabah dengan membuat keributan di hutan tersebut. Jadi saya simpulkan, mereka adalah orang luar yang tidak pernah mendengar kekejaman Inairakhi."

Kekejaman?! Inaike langsung memprotes. Aku bahkan hampir lupa bahwa Jugook itu masih bersama kami. Dari sudut mata, kulihat dia tampak semakin kesal. Kaki kanannya meghentak-hentak batu di depannya, menimpulkan kecipak ringan yang tidak akan disadari orang lain selain mereka yang bisa melihatnya. Dahinya berkerut makin dalam, tanda bahwa pernyataanku tadi sama sekali tidak membuatnya senang. Aku tidak kejam! Mereka yang mencari masalah untuk diri mereka sendiri!

Ya terserahlah, aku menahan diri untuk tidak memutar mata. Kau hampir selalu membunuh para pembuat onar di Inairakhi.

Itu karena aku tidak suka wilayahku diganggu! Inaike mendengus kesal.

"Setelah itu?" pertanyaan Tuan Shui setengah mengagetkanku.

Aku kembali menoleh ke arah beliau dan mendapatinya tengah mengernyit sama seperti Inaike. "Kemudian, dari diri Tuan sendiri. Anda sudah tentu bukan berasal dari sini. Selain itu, pakaian serta kalung yang Anda kenakan menunjukkan bahwa Anda berasal dari golongan atas."

"Lalu?" salah satu alis Tuan Shui naik.

"Saya menyimpulkan bahwa kemungkinan besar para penyihir tersebut sudah lama mengincar Tuan dan sudah jelas mereka bukan berasal dari Inairakhi maupun sekitarnya. Kalau mereka tahu seperti apa Inairakhi, mereka tidak akan berani memasukinya."

Tuan Shui tertawa ringan. "Kau bicara seolah-olah Inairakhi adalah tempat terlarang dan keramat."

Memang tempat itu terlarang untuk manusia-manusia seperti kalian! Semprot Inaike kesal.

Aku meliriknya malas. Kalau pun dia mau protes dan marah pada Tuan Shui, hal itu tentu tidak akan bisa didengar oleh Tuan Shui. Jugook ini kadang melakukan tindakan yang kurang perlu. Sering kali aku meragukan statusnya sebagai Jungi di wilayah Shamashinai. Dengan kelakuannya yang kadang seperti anak kecil dan emosinya yang meledak-ledak, dia lebih pantas menjadi remaja pembuat onar dari pada pelindung desa. Yah... itu pun kalau dia berwujud manusia.

"Inairakhi memang keramat, Tuan," ujarku pelan. "Dan bukan tanpa alasan kami mengeramatkannya."

Senyum kembali di wajah Tuan Shui.

Aku melanjutkan dugaanku tadi, "Penyihir-penyihir itu telah lama menguntit Tuan dan begitu mengira mereka berada di area yang tepat untuk membunuh Anda, mereka langsung menyerang Anda. Sayangnya, mereka salah perhitungan. Selain itu, rapalan mantera kutukan mereka membuat saya semakin yakin, bahwa alasan mereka menyerang Anda bukan sekedar merampok."

Aku menoleh ke arah beliau dan mendapati beliau tengah memandangku dengan tatapan yang lain dari sebelumnya. Mata beliau sedikit menyipit dan kepalanya miring ke sisi kanan, seolah tengah memperhatikanku baik-baik.

"I-Itu semua cuma dugaan bodoh saya. Maaf kalau saya bersikap sok tahu." aku tersenyum gugup, merasa tak nyaman dengan pandangan beliau. Buru-buru aku kembali memfokuskan diri untuk mencuci baju. "Tapi...," aku tercenung, menyadari kejanggalan yang tidak bisa kupahami sama sekali. "Kalau pun mereka ingin membunuh Tuan, bukankah lebih mudah langsung menyerang Tuan tanpa ritual-ritual aneh?" aku menatap beliau. "Dari pada menjalankan ritual pengorbanan, saya kira, lebih praktis menikam atau menusuk Tuan, itu kalau tujuan mereka benar-benar membunuh Tuan."

Kekehan Tuan Shui membuatku tertunduk, merasa malu karena berbicara seperti orang melantur.

"Dugaanmutidak sepenuhnya benar, tetapi juga tidak salah," jawab beliau. 

( 19 Juni 2017)

-------------------------

Note:

Kadang-kadang, saya merasa kalau waktu itu berjalan begitu cepat. Tahu-tahu udah hari ini, eh... kok udah tanggal segini.

Saya butuh waktu lebih.

Saya ngerasa kekurangan waktu. :))

Beruntunglah kalian-kalian yang masih muda dan bisa berkarya terus =))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro