• EMPAT PULUH •.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Taufan melirik aula dansa yang penuh dengan orang-orang untuk mencari Halilintar. Ia hendak menemui kakaknya itu untuk mengisi ulang tenaga. Pasti menyenangkan jika ia mendapat elusan kepala dari Halilintar.

Namun kemudian manik safirnya terpaku pada Thorn yang mengobrol bersama ksatrianya. Ia mencoba mendekati Thorn ketika Thorn berjalan kearahnya.

"Arlen? Ada apa?"

"Tidak. Bukan apa-apa." Thorn membalas dengan datar.

"Kau yakin? Kenapa wajahmu terlihat tak nyaman gitu?"

"Ck, aku bilang aku baik-baik saja!"

Taufan tersentak ketika Thorn menjawab pertanyaannya dengan nada kesal.

"Aku akan menemui Paman Leiron dulu, Axer."

Thorn melepaskan tangan Taufan dari bahunya dan berjalan ke arah balkon Barat.

"Eh? Oh o-okay," balas Taufan yang sedikit kebingungan.

"Axer? Kenapa dia tidak memanggilku kakak?" bingung Taufan.

Sangat jarang bagi Thorn memanggil Halilintar, Taufan dan Gempa dengan nama saja. Makanya Taufan sedikit bingung sekarang.

"Kaingg!!"

Taufan terperanjat ketika Al tiba-tiba terbang didepannya.

"Al! Kau mengagetkanku!"

"Kaing?"

Al mengarahkan tatapannya pada Thorn yang berjalan menjauhi mereka.

"Arlen ya? Dia bilang mau menemui Paman Leiron."

Mata Al membulat. "Kainggggg!!!"

"Eh eh? Kenapa kau ini?"

Halilintar yang mendengar seruan dari Al itu menoleh dengan cepat.

"Yang Mulia, Pangeran Arlen menuju ke Target A."

Laporan dari Sai Browkel masuk dan Halilintar berdecak kesal.

"Ck, ya ampun."

"Kenapa kak? Al kenapa tiba-tiba seperti itu?" tanya Taufan yang kebingungan.

"Dia baik-baik saja. Axer, bisa tolong panggilkan Arven?"

Taufan mengangguk lalu pergi untuk mencari Solar yang ternyata sudah menghilang entah kemana.

"Sepertinya mau dimulai ya?" kata Kaisar Azarn.

"Ayah. Jika itu dimulai, diam dan ikuti saja Sir Acrowl. Pergilah bersama Ibu juga."

"Bukankah aku bilang aku juga akan membantumu?" kata Kaisar Azarn.

"Saya mengerti, tapi meski begitu ikuti saja rencana saya," kesal Halilintar. Ia menatap dingin Kaisar.

"Baiklah, jangan marah anakku," gemas Kaisar Azarn pada Halilintar.

Halilintar hanya mendengus.

"Kak, kau memanggilku?"

Solar datang bersama Taufan. Wajahnya terlihat bingung.

"Arven, aku sudah bicara pada Ayah. Bagaimana jika kau menunjukkan pedang itu sekarang?"

Kaisar Azarn menatapku kaget.

"Kapan Ayah bilang akan melakukan itu sekarang, nak?" bisik Kaisar Azarn.

"Ayah ikuti saja sih," kesal Halilintar.

Kaisar Azarn yang melihat raut kesal Halilintar hanya bisa menghela napasnya.

"Eh? Sekarang, Yah? Beneran saya tunjukkin benda itu disini?" tanya Solar.

Kaisar Azarn akhirnya mengangguk. "Iya, bisa kau tunjukkan itu, Arven?"

Solar mengangguk dengan penuh keyakinan. "Ya! Saya akan melakukannya!"

"Eh eh, uhm kalau begitu mari kita lakukan 20 menit lagi ya!"

"Ayahhh????"

Halilintar menatap bingung sekaligus kesal sang ayah yang kini cengengesan.

"Hehe, Ayah mau berdansa dulu dengan Ibumu, sampai nanti anak-anak~~"

Setelah mengatakan itu, Kaisar dengan cepat pergi meninggalkan ketiga putranya itu dan berdansa dengan senyuman lebar bersama Ratu Althea.

Halilintar mengepalkan tangannya.

Aura gelap melingkupi dirinya yang kini menatap tajam ayahnya. Kaisar Azarn menyadari bahwa Halilintar menatapnya dengan tatapan penuh emosi, namun ia mencoba mengabaikan tatapan putranya itu.

"Ayah... jika bisa... ingin sekali aku menjitak kepalanya itu💢"

Taufan dan Solar yang mendengar gumaman Halilintar merasa seram dengan tindakan kakaknya yang tidak ada rasa takutnya itu.

"Kak Arter!"

Mereka menoleh, menatap Blaze dan Gempa berjalan kearah mereka.

"Kenapa kalian disini? Kupikir tadi kalian sedang mengobrol dengan Marchioness Muda Browkel dan Count Nevara juga bangsawan lain," kata Taufan.

"Kami bosan," ucap Blaze, menyenderkan kepalanya dibahu Halilintar.

"Bosan?" tanya Halilintar dan Taufan.

"Uhm, mereka terus saja memperkenalkan putri mereka pada kami berdua, ya kan Arzen?" kesal Blaze.

Gempa mengangguk. Ia menatap Halilintar lekat dengan tatapan lesu.

"Ada apa Arzen?" tanya Halilintar.

"Aku.. aku juga lelah."

Halilintar melihat adik-adiknya itu kasihan lalu mengusap kepala keduanya dengan lembut.

"Kalian sudah berusaha keras. Kerja bagus," puji Halilintar dengan senyum tipisnya.

Blaze bersandar sambil memeluk kakaknya itu sementara Gempa tersipu tipis.

"Aku senang deh Kakak Pertama tidak risih lagi dideketin kayak gitu," sahut Taufan.

"Huh?"

"Dulu kan kau selalu mengusirku atau Arlen jika kami mengganggumu hihihi," tawa Taufan.

Ah, Halilintar rasanya ingin mengutuk 'Halilintar' di kehidupan sebelumnya deh.

"Itu.. maafkan aku ya. Aku tidak bermaksud begitu.." Halilintar sedikit merasa bersalah.

"Hehehe, lucu saja rasanya Kak, ini seolah-olah kau baru saja kembali dari kematian dan ingin berbaikan dengan kami."

Ah, Taufan... ucapan polosmu itu... tepat sasaran sekali.

"Mana mungkin Kak Arter mati, kakak kan kuat," balas Blaze serius.

"Aku setuju. Arter memang kuat," timpal Gempa.

Halilintar diam-diam tersenyum, tersenyum gugup.

Pipinya memerah karena rasa malu. Kuat ya? Hahaha. Kuat menahan agar tidak mati maksudnya?

"Jadi, apa yang dimaksud ayah tadi? Kau punya pedang baru, Arven?" tanya Taufan.

Solar melirik Halilintar, Halilintar menganggukkan kepalanya.

"Pedang baru?" bingung Gempa.

"Iya, aku dapat pedang baru."

"Woah, kau punya senjata baru? Keren," puji Blaze.

Solar tersenyum dengan sedikit canggung.

"Aku akan menunjukkannya nanti," kata Solar.

Ketiga Pangeran itu mengangguk lalu kembali berbincang hangat. Tak lama Ice bergabung bersama mereka, ikut berbincang hangat.

Sesekali beberapa nona muda mendekati mereka untuk sekedar mengobrol ataupun mengajak mereka berdansa. Halilintar hanya menanggapi mereka dengan dingin, Al yang ikut bergabung bersama mereka pun tak luput dari pekikan gemas para nona karena pita yang terikat di lehernya.

Itu kerjaan Blaze yang tiba-tiba saja kembali dengan sebuah pita berwarna ungu muda ditangannya. Ia memanggil Al dan memakaikannya pada Al meski dragbel itu sempat memberontak.

Halilintar dan Al beberapa kali mengecek keadaan sambil berinteraksi dengan orang lain.

Lalu Halilintar juga sesekali mengawasi beberapa bangsawan yang ia curigai. Sebelumnya ada laporan bahwa Yaya Douter dan Luke Nevara sudah berhasil mengatasi beberapa bangsawan yang mungkin akan menghambat mereka.

Pasukan Zeus, pasukan Thunderbird serta pasukan milik Luke Nevara dan Yaya Douter juga sudah beberapa kali memberi laporan mengenai item sihir yang mereka temukan.

"Arter!"

Halilintar menoleh, melirik Thorn yang berlari kearahnya. Tatapan mata Thorn sudah mulai berubah meski Thorn berlari kearahnya dengan senyuman manis.

Senyuman yang terasa berbeda itu sedikit menyebalkan dipikiran Halilintar saat ini.

"Ayah memanggil kita, ayo cepat kesana." Thorn berujar.

Halilintar mengangguk lalu mengikuti mereka. Sementara Blaze menarik Ice yang berjalan terlalu lambat, Halilintar mendekati Thorn dan berbisik padanya.

"Thorn, ingat apa yang aku katakan sebelumnya. Kontrol emosi dan juga pikiranmu."

Diam sesaat sebelum akhirnya Thorn mengangguk.

"Aku ingat kok."

Halilintar meliriknya datar.

Aku harap kau tidak melakukan hal yang bodoh.

Halilintar berjalan menuju kedua orang tuanya. Secara diam-diam ia melepaskan spirit miliknya dan meletakkannya di pundak Thorn.

"Arter cepat!!"

"Iya."

--------

Hari itu cuaca sangat cerah, langit yang berwarna biru dan angin sepoi-sepoi berhembus ditaman Istana De Glacius. Disebuah taman luas dengan pepohonan rindang, terdapat 6 Pangeran Kecil yang duduk didekat air mancur. Suara isakan terdengar dari mereka.

"Huwaaaaaa aku sedih!"

"Cup cup jangan nangis, Thorn.. aku juga ingin menangis jadinya huhuhu (ᗒᗩᗕ)"

"Kak Taufan jangan nangis juga huhu! Solar jadi sedih.."

"Ukh.. Ice bingung. Kalian nangis gitu, Ice juga ingin nangis.."

Enam sosok kecil itu duduk melingkar sambil berpegangan satu sama lain. Menangis dengan suara pelan seolah tidak ingin ada yang mendengarkan.

"Ap-apa aku harus ubah warna mataku juga? Maaf karena mataku mirip Ayah.. huweeee!!"

"Kak Gempa tidak salah.. ta-tapi.. Solar juga mau punya mata yang sama kayak Ayah dan Ibu huhuhu(╥﹏╥)"

"Iya! Mata Kak Hali juga cantik seperti Ibu! Mataku juga merah, tapi kenapa merah jingga? Kenapa bukan merah rubi seperti milik Kak Hali? Huwaaaaa!!"

Srakk srakk

"Huh?!"

"Eh? Ada apa dengan kalian?"

Halilintar kecil muncul sembari membawa keranjang kecil berisikan biskuit dan beberapa coklat.

Manik rubi miliknya membulat ketika melihat keadaan adik-adiknya yang terlihat kusam dan penuh air mata.

"Kenapa!? Apa ada yang sakit? Kalian luka?"

"Kak Halilintar! Huwaaaaaa!!"

Keenam Pangeran Kecil itu langsung memeluk Halilintar. Membuat tubuh kecil itu kesulitan memeluk keenam adiknya yang menangis itu. Para pelayan yang datang bersama Halilintar memekik gemas melihat itu.

"Gempa merasa sedih kak.." ujar Gempa sembari menahan isakannya.

"Ada apa? Cerita padaku," balas Halilintar, ia melepaskan pelukan adik-adiknya.

Halilintar mengelus kepala mereka satu-persatu kemudian tersenyum.

"Duduk di pohon ya, lalu cerita padaku," kata Halilintar dengan senyuman lembut. "Aku bawa biskuit untuk kalian loh."

Senyuman lebar khas anak kecil itu membuat Gempa dan yang lainnya mengusap airmata mereka. Halilintar menggelar sebuah karpet dibantu oleh para pelayan yang menyiapkan teh untuk mereka sebelum akhirnya pamit meninggalkan mereka.

Halilintar mengusap wajah Taufan yang penuh air mata.

"Taufan kenapa? Cerita sama aku."

Halilintar menyodorkan sekeping biskuit pada Taufan.

"Kau tau Kak, kami iri padamu.."

Dengan lesu, Taufan menatap Halilintar yang memandangnya dengan tatapan penasaran.

"Iri??" bingung Halilintar.

"Kak Hali dan aku punya mata yang mirip dengan Ibu dan Ayah tapi mereka tidak. Mata mereka warnanya berbeda(╯︵╰,) Kenapa mereka tidak punya mata yang sama seperti kita Kak?"

Halilintar tercengang mendengar perkataan Gempa.

"Benar! Lalu lihat mataku! Aku juga warna merah, tapi kenapa aku merah jingga? Bukan merah rubi seperti kakak?ಥ╭╮ಥ Ini tidak adil..."

"Thorn.. Thorn mau punya warna mata seperti kakak! Huhuhu!"

"Solar juga! Solar ingin mata emas, tapi kenapa mata Solar warnanya putih!? Huhuhu!"

"Ice juga.. Ice juga ingin punya mata seperti Kak Gempa, warna emas sangat cantik.."

"Taufan juga! Kenapa kami berbeda dengan kalian? Apa kami bukan anak mereka? Hiks..."

Halilintar mencoba memahami perkataan adik-adiknya sebelum akhirnya tertawa kecil. Ia mengeluarkan Spirit Petir miliknya dan menunjukkannya pada adik-adiknya itu.

"Kalian lihat Spirit milikku warnanya apa?"

"Lihat, itu merah rubi," jawab mereka bersamaan.

"Lalu coba keluarkan Inti Spirit kalian masing-masing."

Keenam anak kecil itu menuruti perkataan kakaknya. Mereka mengeluarkan Spirit mereka dan kemudian kembali menatap bingung Halilintar.

"Taufan, Spirit Anginmu warna apa?" tanya Halilintar.

"Biru safir, seperti warna mataku."

"Warnanya cantik kan?" tanya Halilintar.

Taufan mengangguk. Halilintar tersenyum lalu beralih ke adik bungsunya.

"Lalu Solar, bagaimana dengan milikmu?"

"Itu warna putih?" bingung Solar.

Halilintar tersenyum lagi.

"Itu warna silver. Matamu juga berwarna cantik seperti Inti Spirit milikmu, kilauan silver yang cantik ketika terkena cahaya."

"Mata Taufan seperti laut dalam yang tenang dan menghanyutkan. Mata Gempa yang cantik seperti batangan emas, lalu mata Blaze yang terlihat gagah berani seperti api. Mata Ice yang cerah seperti langit yang luas dan mata Thorn cantik seperti daun segar yang terkena air."

"Masing-masing dari kalian memiliki mata yang cantik dan berharga seperti Inti Spirit kalian."

Halilintar mencoba menjelaskan dengan pelan supaya adik-adiknya paham.

"Bukan berarti karena warna mata yang berbeda kalian bukan anak Ayahanda dan Ibunda. Itu karena pengaruh dari kekuatan yang kalian punya," jelas Halilintar.

"Thorn bingung..."

Halilintar menyuapkan sepotong coklat pada Thorn kemudian menepuk pipinya lembut.

"Thorn, warna mata keluarga Kekaisaran adalah warna dari 7 Spirit Elemental. Warna asli keluarga Kekaisaran pada jaman dahulu adalah coklat, namun setelah mendapatkan berkah dari Dewa Elemen, Dewa memberikan kita keajaiban berupa warna mata yang menyesuaikan Inti Spirit yang kita miliki. Lalu Ayah punya mata berwarna emas karena Ayah memiliki kekuatan Spirit Tanah dan Sihir Mechanize. Sama seperti Gempa yang punya kekuatan Spirit Tanah. Lalu coba lihat Tok Aba, bukankah Tok Aba juga memiliki manik silver sepertimu, Solar? Itu karena Atok adalah pemilik Inti Spirit Cahaya. Sebagai tambahan, kekuatan Elemental dan Sihir Elemen itu sangat berbeda. Aku yakin kalian sudah tau tentang ini kan? Terutama Ice karena kamu pemilik dua Spirit Elemen."

Halilintar menjelaskan dengan panjang lebar. Ia mencoba menjelaskan dengan suara lembut dan perlahan agar adik-adiknya bisa paham.

"Jadi.. itu bukan karena kami anak haram kan?" tanya Thorn.

Halilintar melotot. Dari mana Thorn bisa mengetahui kalimat yang kasar seperti itu?

"Siapa yang mengatakan itu pada kalian?!"

"Itu... Paman Leiron," jawab Gempa takut.

Halilintar terlihat terkejut namun berusaha tenang.

Tidak mungkin paman mereka mengatakan hal kasar seperti itu. Itu pasti salah paham.

"Paman pasti tidak bermaksud bilang begitu. Aku yakin kalian hanya salah dengar."

Halilintar mencoba berpikir positif. Paman mereka sangat menyayangi mereka, pasti itu adalah sesuatu yang tidak sengaja pamannya katakan.

"Jangan sedih lagi. Tidak perlu iri denganku dan Gempa. Masing-masing dari kita punya warna mata yang unik dan cantik, dan itu berbeda dengan milik orang lain. Tidak ada orang yang memiliki mata bertabur berlian selain keluarga Kekaisaran. Bahkan Paman Leiron juga tidak punya kan? Kalian harus bersyukur dan bangga dengan kecantikan milik kalian."

Halilintar melebarkan tangannya, membiarkan mereka memeluknya erat. Sulit memang memeluk enam orang sekaligus dengan tangan kecil itu, namun Halilintar merasa senang. Ia tertawa dengan raut bahagia.

"Kak Hali! Kami sayanggggg sekali dengan kakak!"

Thorn melepaskan pelukannya dan tersenyum menampilkan gigi ompongnya.

"Blaze juga! Blaze sayangggg sekaliii dengan kaliannn!"

"Iya, aku juga sayang sekali dengan kalian~" Halilintar tersenyum lebar, sangat lebar.

Thorn tersenyum dengan sangat lebar, ia menyenderkan kepalanya pada bahu Halilintar.

"Arlen sayangggg sekaliiii dengan kakakk~! Benar-benar sayang dengan kakak!!"

Halilintar tersenyum sambil mengusap kepala Thorn.

Hari yang menyenangkan itu adalah seminggu setelah ulang tahun ke-7 mereka dan beberapa hari sebelum Halilintar mendapatkan semua Inti Spirit miliknya.

Beberapa hari sebelum akhirnya Kekaisaran Elemental Glacius menjadi heboh dan semua kebahagiaan yang dibayangkan oleh Halilintar kecil mulai menghilang tanpa ia sadari.

------------

"Arter, kau yakin nak?"

Aku tersentak ketika suara Ayah terdengar kuat di telingaku. Ayah menatapku dengan tatapan sedikit ragu dan tak nyaman.

"Percayalah sama saya, Ayah."

Aku berujar dengan tenang. Aku melirik Solar dan para Pangeran lainnya dan melihat warna mata mereka.

Benar itu cantik. Ingatan yang barusan itu adalah ingatan sebelum Halilintar mendapatkan semua Inti Spirit miliknya. Bukankah ia terlihat sangat tampan jika tersenyum lebar begitu? Kehangatan yang terasa ketika mereka saling tertawa membuatku tersenyum tipis.

Mereka dulu pernah sehangat itu dan aku berharap kali ini aku juga bisa membuat 'Halilintar' merasakan kehangatan itu lagi.

Sekarang aku juga paham mengapa Ice adalah pewaris takhta kedua. Karena pada awalnya itu adalah milik Ice dan kemudian itu berpindah ke Halilintar. Apa itu juga salah satu penyebab Ice hanya diam saja dan tidak menolong Halilintar?

Ice memiliki dua Spirit Elemen sejak ia lahir. Hal yang wajar jika semua orang berpikir bahwa Pangeran Kelima yang akan naik takhta. Tapi meski begitu, bukankah setidaknya ia harus memukul atau marah pada Halilintar jika ia merasa bahwa takhta diambil darinya? Kenapa ia hanya diam saja? Aku akan menanyakan ini pada Al nanti.

Aku mendekati Solar dan menepuk bahunya.

"Arven, kau siap?"

"Ya! Aku siap!" jawabnya semangat.

Aku terkekeh pelan lalu mengusap kepalanya gemas.

"Bagus. Ayo."

Kami kembali berkumpul bersama, kali ini aku berdiri disamping Solar yang terlihat percaya diri. Aku tersenyum puas, ini jauh lebih baik daripada melihatnya gugup dan dan ketakutan seperti tadi.

"Dengarkan semuanya! Ada hal penting yang ingin aku, Putra Mahkota dan Pangeran Bungsu katakan pada kalian semua!"

Kaisar berujar keras pada semua orang.

Aku dan Solar maju kedepan, mengeluarkan inti Spirit Cahaya kami.

"Beberapa waktu belakangan ini, terdengar kabar tidak menyenangkan mengenai benda pusaka Elemen Cahaya."

"Apa maksudnya itu, Azarn?"

Aku bisa mendengar Leiron Argan nampak terkejut ketika Ayah tiba-tiba membahas hal itu.

"Seperti yang kalian semua ketahui, Putra Mahkota dan Pangeran Arven memiliki Spirit Cahaya. Dan ada sebuah kejadian tak terduga yang terjadi."

Ayah berujar dengan tegas. Ia terlihat tenang. Manik emas Ayah melirik kearah Leiron Argan yang masih menatapnya dari jauh.

"Berita mengenai menghilangnya benda pusaka Argan dan Elemen Cahaya tentu saja membuat kita semua jadi khawatir. Namun tanpa kita duga, pusaka Elemen Cahaya ternyata telah kembali ke pemiliknya."

"Apa?"

"Apa maksudnya itu?"

"Kembali ke pemiliknya?"

"Itu artinya sudah kembali ke keluarga Argan ya?"

Bisik-bisik kembali terdengar. Mereka lalu menatap Leiron Argan yang terlihat kesal.

"Yang Mulia, apa itu artinya saya bisa mendapatkan kembali pusaka itu?"

Leiron Argan berujar dengan tenang. Wajahnya terlihat senang.

"Hm? Siapa bilang itu kembali padamu, Count?"

"Ya!? Bukankah anda memberikannya pada keluarga saya?"

Ayah dengan wajah santainya berujar. "Aku hanya menitipkannya kok. Sesuai perjanjian kita, aku akan mengambilnya ketika waktunya sudah tiba."

"Yang Mulia Kaisar! Apa maksudnya itu!"

"Leiron Argan, jaga nada bicaramu itu," ucapku dingin.

Beraninya dia menaikkan nada bicaranya pada seorang Kaisar.

"Tenanglah Putra Mahkota."

Ayah mendekatiku dan mengusap pundakku.

"Aku memang memberikan pada kalian mengenai benda pusaka, tapi bukankah aku menekankan kalau benda itu akan diambil jika pemilik sesungguhnya benda pusaka sudah muncul?"

"Bukankah itu artinya anak saya yang akan menjadi pemiliknya?! Dia adalah salah satu Penyihir Cahaya terhebat di Kekaisaran!" seru Leiron Argan.

Wah, benar-benar orang ini. Maksudnya dia berpikir bahwa putranya yang akan menjadi pemilik Pedang Dwarf? Wah, konyol sekali.

"Pffttt-- Paman Leiron, anda tidak berpikir bahwa kami juga tidak memiliki kekuatan Cahaya?"

Solar berujar sambil berusaha menahan tawanya.

"Arven?"

Leiron Argan terlihat terkejut ketika mendengar suara tawa Solar.

"Paman lupa? Aku ini pemilik kekuatan Elemental Cahaya dan Sihir Cahaya, begitu juga kak Arter, ehem, maksudnya Putra Mahkota," jawab Solar dengan nada sedikit sombong.

Aduh, hebatnya adik bungsuku!

"Arven, kau harusnya membela paman! Kenapa kau malah bersikap begitu?"

Aku diem dulu aja deh.

"Hm? Kenapa aku harus?"

"Apa maksudmu, Arven??" Leiron Argan terlihat terkejut.

"Dibandingkan dengan Tuan Muda Argan, aku jauh lebih hebat dan kastaku jauh lebih tinggi darinya. Aku ini Pangeran, meski aku bukan pewaris takhta, kedudukanku jauh lebih tinggi daripada Tuan Muda Argan," lanjut Solar pede.

Ia tak peduli dengan tatapan tajam yang diarahkan padanya.

"Putra Mahkota! Anda pastikan mempengaruhi Pangeran Arven kan!"

"Hm? Astaga kau ini."

Aku menggelengkan kepalaku kesal.

"Sekitar 2 bulan yang lalu, Pangeran Arven menemuiku dengan membawa sebuah benda yang tidak pernah terpikirkan olehku," ucapku.

Manik rubi milikku menatap intens Leiron Argan yang memandangku dengan tatapan tak suka.

"Pangeran Arven mengatakan bahwa ia mulai merasakan perasaan aneh sejak ia kembali dari Serlon dan beberapa saat setelah aku dan para Pangeran mengetahui tentang kehilangan benda pusaka itu, Pangeran Arven menemuiku secara pribadi si Istana Ruby Diamond."

"Apa yang sebenarnya terjadi sih?"

Aku bisa mendengarkan suara Taufan yang berbisik penuh kebingungan pada Gempa.

"Aku tidak tau, mari kita dengarkan dulu, Kak Axer," jawab Gempa.

"Dan saat kami berbincang itulah Pangeran Arven mengatakan bahwa ia mendapatkan Pedang Dwarf."

"Apa!? Apa maksudnya itu Putra Mahkota!?"

"Arven! Kamu yang mencuri benda pusaka itu!?"

Leiron Argan berteriak sembari menunjuk Solar dengan penuh amarah.

"Count Argan, jangan mulutmu," ucapku dingin.

"Pangeran Arven mendapatkan Pedang Dwarf secara tidak sengaja ketika ia sedang berlatih kekuatan Cahaya. Pedang Dwarf merespon kekuatan milik Pangeran Arven dan kemudian bersatu dengan Pangeran Arven," lanjutku.

"Bersatu? Apanya? Pedangnya bersatu dengan Arven? Menjadi satu kekuatan?" tanya Thorn.

Thorn terlihat bingung. Ia menatapku lekat.

"Benar. Dan ternyata pedang itu juga merespon kekuatan Cahaya milikku."

Aku menoleh kearah Solar. "Pangeran, keluarkan pedang itu," ucapku.

"Baik."

Sebuah cahaya yang menyilaukan muncul dan sebuah pedang dengan ukiran angsa emas dan garisan tipis yang membentuk simbol cahaya muncul.

Semua orang sontak terkejut, tak terkecuali para Pangeran yang langsung menatapku dan Solar bergantian dengan pandangan tak percaya.

"Arven! Ba-bagaimana bisa?!"

Gempa dengan raut terkejut bertanya pada Solar.

"Jadi.. maksud pedang baru itu... Pedang Dwarf?" Blaze melotot terkejut.

"Iya. Kak Arter juga terkejut awalnya," bohong Solar.

Tentu saja sebelumnya aku sudah membuat rencana dengan Solar mengenai hal ini. Untungnya dia cukup pintar berakting.

"Aku menemui kakak karena aku pikir jika aku menemui ayah-- ehem Yang Mulia Kaisar atau Count Argan, aku pasti akan langsung dijadikan tersangka. Ya.. meski aku yakin bahwa pelakunya bukan aku," jawab Solar lagi.

"Solar! Apa kamu sedang berbohong sekarang!? Tidak mungkin Pedang Dwarf bisa berpindah tangan!" Count Argan tidak terima dengan penjelasan Solar.

"Kenapa tidak?"

"Apa!?"

"Memang apa yang aneh dari ini? Pangeran Arven adalah pemilik Inti Spirit Cahaya, pemilik Spirit yang diberkahi langsung oleh Dewa Cahaya. Hal yang normal jika ia bisa memiliki Pedang Dwarf. Yang menjadi keanehannya adalah mengapa kau berpikir bahwa David Argan, yang seorang Penyihir Cahaya biasa menjadi pemilik pusaka istimewa milik Spirit Cahaya?"

"Dibandingkan David Argan, aku dan Pangeran Arven adalah kandidat pemilik Pedang Dwarf yang paling tepat. Dan kau, Count Argan, kau sudah diamanahkan untuk menjaga pedang itu hingga pemilik yang sebenarnya muncul, tapi kenapa kau bisa membiarkan benda itu hilang?"

Semua orang nampak terdiam. Aku melirik Kaisar yang hanya tersenyum tipis kearahku. Membiarkanku dan juga Solar untuk mengambil alih situasi saat ini.

Sejujurnya, aku yakin Count Argan juga sudah mendapatkan info kalau beberapa item sihir yang dipasangnya hilang. Itu terlihat dari wajahnya yang terlihat gelisah namun mencoba untuk tenang. Wajahnya kini memerah, menahan gejolak emosi yang dia rasa.

"Itu adalah lelucon paling aneh yang pernah saya dengar! Jika memang benda itu datang karena kekuatan Pangeran Arven, kenapa Arven tidak pernah mendapatkannya sejak dulu!?"

Leiron Argan mendekat kearah kami, namun Al menghalanginya sembari menggeram padanya.

"Grrr!"

"Dasar kau dragbel sialan! Enyah kau!Menyingkir dari jalanku!"

Al tak memperdulikan bentakan dari Leiron Argan. Ia tetap mempertahankan tubuhnya untuk menghalangi Leiron Argan untuk mendekati Solar.

"Kaing?!! Kaingg!!" (Mau apa kau?!! Kau pasti hendak melukai Arven kan!!)

"Kaing kai---!"

Tiba-tiba saja ocehan Al terhenti ketika Thorn tiba-tiba menariknya dan melempar Al hingga nyaris menghantam langit-langit aula jika saja aku tidak cepat menangkapnya.

"Paman, silakan bicara."

Al terkejut dengan ucapan Thorn.

"Kaing!?" (Ada apa denganmu!?)

"Kau pikir apa yang baru saja kau lakukan, Arlen?" Aku menatapnya dingin.

Solar menatap Thorn terkejut kemudian berseru padanya.

"Arlen! Kenapa kau melakukan itu pada Al!?"

"Arven, apa kau yakin bukan kau yang mencuri benda pusaka itu?"

"Apa?! Kau ikut menuduhku!?" Solar terlihat kesal.

"Ini aneh. Kenapa baru sekarang pedang itu muncul? Kenapa tidak dari dulu? Bukankah kau sering mengunjungi Paman?"

"Pangeran Arlen, bukankah kau sudah mendengarnya dengan baik tadi? Apa telingamu itu tidak berfungsi?" sarkasku.

Aku melirik aura tipis yang mengelilingi Thorn dan menyadari bahwa aura itu berasal dari batu mana yang dibawa Thorn.

Sepertinya pikiran anak itu terkena cuci otak Leiron Argan ya? Sial, aku lengah.

Aku tidak berpikir jika batu mana yang disembunyikan Thorn itu akan memakan energinya. Kenapa aku bodoh sekali?

Spirit kecil yang aku letakkan pada Thorn juga sudah hancur karena kalah dari aura yang gelap itu.

"Arlen, apa maksudmu menuduh Arven begitu? Dan kenapa kau melempar Al seperti itu?" Kaisar Azarn bertanya dengan wajah serius.

Ayah nampak terkejut melihat putra manisnya itu melempar Al begitu saja dan bahkan menatap dingin kearahku dan juga Solar.

"Memangnya kenapa, Ayahanda? Bukankah hal aneh jika tiba-tiba pedang Dwarf berpindah tangan?"

"Arlen..! Kau--!"

Aku menghalangi Solar yang mulai emosi.

"Pangeran Arlen, beri aku alasan mengapa kau melakukan itu pada Al? Dan mengapa kau juga menuduh Pangeran Arven?"

"Aku membencimu." Thorn berbisik pelan.

Aku menghela nafasku kesal. Aku tidak tau aku bisa sekesal ini hanya karena mendengar omongan itu.

"Arlen.." geramku.

Ia mendengus tak melihat kearahku. Ia berbalik dan menunjuk kearah Leiron Argan.

"Paman adalah orang yang baik, bukankah kalian semua tau kalau terjadi insiden pencurian di kediaman Argan? Disaat itu, hanya Pangeran Arven yang kembali lebih dulu ke istana dibandingkan yang lain, bukankah itu hal yang aneh jika bukan dia pelakunya?"

"Arlen!" Pada akhirnya Solar berteriak penuh amarah pada Thorn.

"Ada apa Arven? Bukankah itu juga aneh? Beberapa hari yang lalu, kita diserang oleh Penyihir Gelap kan? Kenapa kau tidak mengeluarkan pedang Dwarf untuk melepaskan diri dari sihir gelap?"

"Bukankah jika ada pedang itu mereka bisa lepas dari pengaruh sihir itu?" Lagi, Thorn menatapku dingin sembari berkata dengan sarkas.

"Mungkinkah rumor tentang Putra Mahkota yang mencurinya benar?"

"Astaga, Pangeran Bungsu sampai terlibat begini?"

"Sebenarnya ada apa dengan mereka?"

"Mungkinkah terjadi perselisihan di istana?"

Bisik-bisik terdengar riuh. Para bangsawan saling menatapku dan Solar dengan tatapan sinis dan juga curiga. Aku melirik Kaisar Azarn dan Ratu Althea yang menatap kami khawatir.

Kembali menghela napasku, aku mencoba menenangkan pikiranku.

'Aku akan membunuh Leiron Argan! Beraninya dia melakukan sesuatu pada Thorn.'

Al menggeram penuh amarah.

"Arlen! Apa kau tidak mempercayaiku!? Untuk apa aku mencuri pedang Dwarf!?"

"Lalu mengapa pedang itu ada ditanganmu Arven!?"

"Kak! Sebenarnya ada apa ini?"

Taufan menyentuh pundakku dan bertanya dengan tatapan bingung.

"Kak Arter, sebenarnya mengapa kau melakukan ini?" tanya Ice.

Manik aquamarine yang biasanya terlihat tenang itu kini berubah khawatir.

"Maaf ya, aku akan segera menyelesaikannya," bisikku.

"Arlen, Arven, berhenti bertengkar kalian berdua," ucapku kesal.

Aku menatap Leiron Argan yang tersenyum sinis padaku.

"Astaga, benar-benar deh. Arlen, kau kenapa? Bukankah kau juga menyadari apa yang terjadi secara langsung saat kejadian itu terjadi? Kau bertanya mengapa Arven tidak mengeluarkan pedang itu?"

Aku menggelengkan kepalaku. "Kau ini bodoh atau bagaimana? Pada saat itu saja kalian kesulitan untuk melawan energi yang dikeluarkan oleh Penyihir Gelap itu, lalu bagaimana dengan Arven? Arven pasti hampir melakukannya jika saja saat itu ia tidak sedang bertengkar dengan Asern," kataku.

Thorn terlihat terkejut ketika mendengar penjelasanku. Seolah ia tidak percaya aku bisa menjawab.

"Lalu, pedang Dwarf bukanlah pedang yang mudah untuk digunakan bagi pemula. Bahkan untuk pemilik pedang Dwarf itu sendiri terkenal dengan usahanya untuk menaklukan pedang Dwarf."

"Dan Leiron Argan, aku paham tentunya bahwa kau merasa marah karena kecerobohanmu membuat masalah ini semakin besar. Tapi, aku tidak apa ini, tapi apa kau mengatakan sesuatu yang bodoh sehingga adikku menuduh saudara-saudaranya seperti ini?"

Suasana menjadi lebih mencekam. Kaisar Azarn sendiri tidak ingin ikut campur dan membiarkanku untuk melalukan apapun yang aku mau.

'Seharusnya, saat ini adalah waktunya untuk ledakan itu terjadi. Di kehidupan sebelumnya, ledakan itu terjadi di aula luar istana dan balkon Timur.'

Benar, ledakan pertama yang menjadi pertanda kerusuhan pada debutante hari ini.

"Ayahanda, apa anda mengizinkan saya untuk menggunakan kekuatan saya disini?"

"Lakukanlah apa yang kau butuhkan, Putra Mahkota. Aku penasaran apa yang sedang kau lakukan saat ini," Kaisar Azarn menyeringai padaku.

Merasa tertarik dengan apa yang sedang terjadi saat ini.

Aku mengeluarkan Spirit Petir milikku. Aku memang sengaja mengeluarkan Spirit Petir dan juga Spirit Cahaya secara bersamaan dan kemudian menabrakkan kedua spirit itu.

Sebuah ledakan kecil terjadi dan kedua Spirit itu menyatu membuat semua orang yang ada disana terkejut. Mereka semua memandangku dengan beragam tatapan.

Termasuk Thorn yang membelalakkan matanya kemudian berteriak dengan penuh emosi.

"ARTER!"

.
.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Apa kabar semua? Semoga sehat selalu ya.

Ah, TCPAHB akan update jika saya memiliki waktu yang senggang dan ide. Itu bisa seminggu sekali, dua Minggu sekali atau bahkan sebulan sekali. Menyesuaikan dengan waktu. Namun saya akan tetap usahakan update ketika senggang.

Oh, bagaimana chapter kali ini? Semoga tidak mengecewakan. Lalu, saya memang tidak banyak membuat scene yang bahagia saat debutante. Ini akan berfokus pada permasalahan antara Arter dan Arlen, juga kemungkinan kematian Kaisar. Lalu, mari kita pelan2 masuk ke sesi Azer ya (⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)

Typo bertebaran🚨 Semoga kalian suka, see you again in the next chapter ~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro