• TIGA PULUH SEMBILAN •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akhirnya debutante yang ditunggu-tunggu tiba. Suasana istana De Glacius sangat sibuk dan ramai. Para pelayan dan prajurit saling berbagi tugas menyiapkan acara pada hari ini dengan baik.

Begitupun dengan Halilintar yang sedang mempersiapkan dirinya. Acara memang akan dimulai pada sore hari nanti, namun sedari pagi Halilintar sudah sangat sibuk dengan segala persiapan. Saat ini ia bahkan hanya bisa pasrah ketika para pelayan sibuk menata rambutnya dan memilihkan mahkota untuknya.

"Yang Mulia tolong pilih salah satu dari mahkota ini!"

"Ish! Tidak usah pakai saja! Lagipula para Pangeran lain tidak pakai kan!" kesal Halilintar.

"Tidak boleh, Yang Mulia! Anda kan Putra Mahkota!"

Kepala Pelayan Istana, Kumar Acrowl, menggeleng dengan kuat. Ia adalah orang yang membantu Halilintar untuk memberikan hadiah untuk adik-adiknya saat ulang tahun sebelumnya.

Halilintar melotot ketika Kepala Pelayan Acrowl membawa dua kotak berisikan mahkota dengan hiasan berlian berwarna merah. Wajah pria itu terlihat bersemangat.

"Anda harus menunjukkan ketampanan anda dan status anda!" seru Kepala Pelayan Acrowl dengan mata ambisius.

"Tak bisakah kau meriasku biasa saja? Ayolah, aku sudah lelah dan kalian bahkan tidak memberiku waktu untuk bertemu adik-adikku!" Halilintar tetap menolak.

"Biasa!? Tidak boleh! Anda itu Putra Mahkota, bukan hanya bangsawan biasa!"

"Dan lagi anda bisa bertemu para Pangeran saat sore nanti, sekarang mari kita pilih jas yang sesuai untuk anda. Warna apa yang anda mau? Bagaimana dengan putih? Atau anda ingin warna merah? Bagaimana jika emas!? Itu akan sangat cocok untuk anda!"

Kepala Pelayan Acrowl memandang Halilintar dengan mata penuh ambisi, membuat Halilintar semakin kesal.

"Argh! Gopal! Tak bisakah kau menyelamatkanku dari ayahmu ini!?"

Gopal menggeleng dengan wajah menahan tawa. "Yang Mulia, saya tidak bisa membantu anda kali ini."

"Yang Mulia tolong duduk dengan tenang! Kenapa anda bergerak-gerak terus seperti cacing sih!" seru Kepala Pelayan Acrowl.

Kepala Pelayan Acrowl mencoba menahan Halilintar agar duduk dengan tenang.

"Apa?! Cacing?! Hei aku sudah lelah, setidaknya berikan aku makanan!"

Pada akhirnya Kepala Pelayan Acrowl hanya bisa menghela napasnya. Sifat keras kepalanya Halilintar benar-benar tidak ada bedanya dengan dulu. Kepala Pelayan Acrowl akhirnya meminta pelayan lain agar membawa beberapa cemilan dan minuman untuk Halilintar

Setelah beberapa saat Halilintar akhirnya duduk dengan tenang.

"Gopal, bagaimana dengan persiapan?"

"Kami sudah bersiap-siap dan selama pesta berlangsung kami akan bersiaga ditempat yang telah diatur."

"Bagaimana dengan posisi Sir Browkel dan Dame Holfer?"

"Sesuai perintah anda, kami menempatkan keduanya tidak jauh disekitar Pangeran Arzen dan Pangeran Arlen."

"Dan bagaimana keadaan Arzen dan Dame Holfer? Tidak bertengkar kan?" tanya Halilintar.

"Uhm.. itu.. saya rasa mereka hanya butuh sedikit waktu, Yang Mulia." Gopal Acrowl menjawab dengan sedikit ragu.

Ya tidak masalah, asalkan Arzen tidak melakukan hal konyol maka itu akan baik-baik saja, batin Halilintar.

"Kepala Pelayan, jubah untuk Al sudah siap?" tanya Halilintar.

"Kami sudah memakaikannya pada Al sebelumnya, Yang Mulia. Namun sepertinya Al kabur sesaat sebelum kami memilihkan aksesoris lain padanya," jawab Kepala Pelayan Acrowl. Ia terlihat sedikit menyayangkannya.

Wah, dia kabur. Enak sekali.

"Yang Mulia, ini jubah anda. Tolong berdiri agar kami bisa memakaikannya pada anda."

Halilintar dengan tenang (terpaksa) mengikuti kemauan para pelayan itu. Meski ia ingin sekali mengamuk, Halilintar menahan dirinya ketika Kepala Pelayan Acrowl menatapnya tajam seakan mengisyaratkan untuk menurut. Jadilah ia hanya diam ketika para pelayan mulai memasangkan aksesoris di pakaiannya dan kembali merapikan rambutnya.

Halilintar hanya bisa mendengus untuk yang kesekian kalinya.

"Yang Mulia, Yang Mulia Kaisar datang berkunjung."

Semua orang langsung saja memberi hormat begitu Kaisar Azarn masuk dengan pakaian formal berwarna biru navy bercampur sedikit warna putih dan emas, jubah berwarna merah yang menawan dengan mahkota berlapiskan berlian berwarna merah rubi dikepalanya.

"Kami menyapa Sang Matahari Kekaisaran."

"Bisakah semua orang keluar? Ada yang ingin kubicarakan sebentar dengan Putra Mahkota."

"Baik, Yang Mulia."

Setelah semua orang keluar, Kaisar Azarn duduk di sofa dengan Halilintar yang berdiri didepannya.

Kaisar tersenyum tipis pada Halilintar yang berdiri dengan raut serius didepannya.

"Arter, duduklah," kata Kaisar Azarn.

"Tidak perlu, Yang Mulia. Daripada itu, apa yang ingin anda bicarakan?" tanya Halilintar.

"Kau langsung ke inti ya? Baiklah, aku sudah membaca dokumen yang kau kirimkan mengenai serangan yang akan terjadi hari ini."

Halilintar mendadak merasa gugup.

"Aku akan menyiapkan beberapa prajurit untuk bersiaga. Dan beberapa Penyihir dari Menara Sihir juga akan datang. Dan tentu saja jika itu benar-benar terjadi, aku akan ikut maju untuk melawan." Kaisar Azarn berujar tenang.

"Tidak, saya akan melindungi anda Ayah," kata Halilintar serius.

"Baiklah, kau boleh melindungiku, nak. Dan sebaliknya aku juga akan melindungimu dan adik-adikmu."

"Tapi Ayah--"

"Arter, aku tidaklah selemah itu. Jadi jangan terlalu mengkhawatirkan ayahmu ini. Juga, setelah pembicaraan kita diruang baca sebelumnya, Ayah jadi berpikir keras tentang itu. Pengulangan yang dimaksud oleh Grand Duke Glacius, apakah itu adalah pengulangan waktu?"

Halilintar menegang ketika mendengar kata-kata Kaisar Azarn. Kaisar Azarn mengamati perubahan sikap Arter. Ia tersenyum tipis.

Sepertinya apa yang ia perkirakan memang benar.

"Maksud Ayah apa?"

Halilintar berusaha menjaga nada bicaranya agar tidak terlihat kaku.

"Sepertinya benar ya?" Kaisar Azarn tersenyum pada Arter.

"Boleh ayah tau ini kehidupanmu yang keberapa?"

Halilintar menatap wajah Kaisar Azarn yang tetap tersenyum padanya.

"Saya tidak mengerti apa maksud anda."

Halilintar menjawab dengan dingin. Tubuhnya menegang namun ia berusaha tenang.

"Arter, apa kau masih ingin berpura-pura? Melihat bagaimana caramu berubah, lalu hal-hal yang selama ini kau lakukan membuat ayahmu ini semakin yakin ada hal yang tidak beres mengenai dirimu."

"Dan kau bukanlah tipe orang yang mudah tersenyum dan ramah pada orang lain."

"Kau mengubah sikapmu pada adik-adikmu, mengatasi beberapa permasalahan tak terduga dengan Count Argan, bahkan bisa mengetahui rencana bahwa Count Argan akan melakukan pemberontakan pada hari ini. Persiapanmu terlalu lancar hingga terasa mencurigakan. Ditambah kau mengatakan bahwa Spiritmu mirip dengan Spirit Cahaya milik Grand Duke Glacius yang juga bisa melihat masa depan secara sekilas."

"Apakah aku benar?"

Kaisar Azarn berujar serius. Manik emas itu menatap putra sulungnya yang seolah mematung itu. Halilintar mematung, tak bisa menjawab apapun.

"Apakah di kehidupanmu sebelumnya aku mati saat debutante?"

"Apakah Arlen juga melakukan kesalahan?"

"Apakah aku mati karena melindungi kalian?"

"Arter, bisa kau jawab pertanyaan Ayah?"

Pertanyaan beruntun dari Kaisar Azarn semakin membuat Halilintar tegang. Tubuhnya sedikit gemetar namun Halilintar tetap berusaha untuk memasang wajah datar.

"Saya.. saya benar-benar tidak mengerti maksud anda, Yang Mulia."

Kaisar Azarn tersenyum tipis. "Begitukah? Apa artinya aku hanya salah tanggap mengenai ini?"

Halilintar tidak menjawab, ia memalingkan wajahnya enggan menatap wajah ayahnya.

"Kau sudah membaca surat yang kuberikan?"

Halilintar mengangguk, "Saya sudah membacanya."

"Apa isinya? Tidakkah kau ingin memberitahu ayahmu ini? Ayah sudah menahan rasa penasaran ayah selama 8 tahun terakhir."

Halilintar menatap Kaisar Azarn lekat.

"Tidak boleh. Itu rahasia saya dan Grand Duke Glacius."

"Bukannya kau berjanji akan memberitahuku, hm?"

"Maafkan saya, saya tidak bisa memberitahu anda mengenai itu," jawab Halilintar, sedikit merasa bersalah.

Pada akhirnya Kaisar Azarn tertawa. Ia menatap putra sulungnya itu, berdiri dari posisi duduknya dan menepuk pundak putranya.

"Hahahaha. Kau benar-benar mirip dengan Ayah Aba dan juga Althea. Pintar sekali ya mengelak jika sudah ditanya rahasianya," tawa Kaisar Azarn.

Halilintar tidak tertawa. Ia hanya diam dengan wajah datarnya. Kaisar Azarn akhirnya kembali tertawa melihat anaknya yang sangat kaku itu.

"Hahaha, benar-benar mirip sekali dengan Althea. Dia tidak akan memberitahu apapun itu sebelum masalah yang dia hadapi selesai," ungkap Kaisar Azarn.

"Jika anda sudah menyadari itu, bukankah lebih baik anda diam saja?" sinis Halilintar.

Manik Rubi itu menatap dingin ayahnya. Kaisar Azarn yang sudah terbiasa dengan tatapan itu hanya akan tertawa kecil.

"Ei, bagaimana aku diam disaat aku akan mati hari ini?"

"Anda tidak akan mati!"

Halilintar mengepalkan tangannya. Tatapan matanya menajam dan mana miliknya menguar dengan kuat.

"Saya tidak akan membiarkan itu terjadi."

"Arter."

"Kematian adalah sebuah takdir," ujar Kaisar Azarn tenang.

"Saya akan merubah takdir anda."

Kaisar Azarn nampak terkejut ketika melihat manik rubi milik Halilintar yang bersinar, seolah menahan amarahnya. Tatapan matanya terlihat seolah ia sudah melalui sesuatu yang berat.

"Arter," panggil Kaisar Azarn.

"Ayah, anda tidak akan mati, Arlen juga akan baik-baik saja. Saya akan membalas mereka."

Kaisar Azarn mengangguk dengan senyuman tulus masih terpampang diwajahnya.

"Baiklah baiklah, ayah percaya dengan kemampuanmu itu." Kaisar Azarn tertawa kecil.

"Lalu... selamat ulang tahun, Ayahanda. Saya harap anda akan tetap hidup."

Kaisar Azarn sejujurnya merasa terharu karena Halilintar mengucapkan selamat ulang tahun padanya terlebih dahulu. Namun tidak dengan kalimat terakhirnya. Ia sungguh tak bisa apa-apa ketika putra sulungnya itu berbicara dengan wajah serius dan nada datar.

"Arter, itu sungguh ucapan selamat ulang tahun yang unik," kata Kaisar Azarn dengan wajah tercengang.

"Doakan saja ayahmu ini semakin kaya kan bisa," lanjut Kaisar Azarn, terlihat sebal.

"Anda itu Kaisar, tentu saja anda kaya," balas Halilintar sarkas.

Sudahlah, Kaisar Azarn pada akhirnya menyerah dengan Halilintar.

"Hah, terserah kau saja, Arter. Kau sudah siapkan? Mari kita pergi."

"Ya Ayah."

Halilintar mengangguk. Mereka berjalan bersama menuju ruangan dimana Ratu dan para Pangeran sudah menunggu.

Al sudah bersama Solar di dalam sana. Halilintar menatap Al, mengirimkan tanda untuk bersiap.

Akhirnya, keluarga Kekaisaran siap. Debutante sekaligus ulang tahun Kaisar akan segera dimulai.

"Anak-anak, kalian siap kan?"

Ratu Althea dengan gaun biru navy tersenyum sembari menggenggam tangan Kaisar Azarn.

"Ya, Ibu, kami siap~"

Taufan, Blaze dan Thorn menjawab dengan penuh semangat, sementara Halilintar dan Ice hanya mengangguk, Gempa yang tersenyum lebar dan Solar yang hanya diam dengan senyum tipisnya.

Halilintar memberi tanda melalui anting yang juga sudah ia sebar ke pasukannya juga pada Luke Nevara dan Yaya Douter.

Matanya melirik Solar yang terlihat tegang, namun ketika mata mereka bertemu Halilintar tersenyum tipis menyemangati adik bungsunya itu.

Sementara Thorn tersenyum dengan kaku. Ia beberapa kali menyentuh kantung yang ada di jas yang dipakainya.

Halilintar menatap itu dengan datar, dan ketika mata mereka juga saling bertemu, lagi Halilintar hanya tersenyum. Memasang senyum yang membuat Thorn semakin merasa bersalah didalam hatinya.

"Ayo, kita keluar sekarang."

Suara Kaisar menyadarkan mereka semua dan kemudian mereka pergi menuju aula tempat debutante dimulai.

Dewa Elemen, saya memohon dengan segenap jiwa dan pikiran saya. Selamatkan dan jagalah keluarga saya.

Halilintar memejamkan matanya, memohon kepada Sang Dewa.

---------

"MATAHARI KEKASAISARAN DAN BULAN KEKAISARAN MEMASUKI RUANGAN!"

"MATAHARI MUDA KEKAISARAN DAN BINTANG-BINTANG KEKAISARAN MEMASUKI RUANGAN!"

Aku memejamkan mataku, menghalau cahaya yang menyilaukan itu selama beberapa saat.

Akhirnya, bencana pertama yang menghancurkan Halilintar di novel sudah tiba. Peristiwa menyedihkan itu akan terjadi pada hari ini.

Aku memandang Kaisar yang berdiri didepanku bersama Ratu Althea. Sosoknya yang tinggi dan terlihat besar itu sungguh mengagumkan. Meski otaknya mungkin sedikit bermasalah, tapi dia adalah Kaisar yang hebat.

"Selamat datang semuanya. Senang melihat kalian hari ini di pesta ulang tahunku sekaligus debutante untuk ketujuh putraku."

"Seperti yang kalian semua tahu, ini hari yang sangat spesial. Betapa menyenangkannya merayakan hari ulang tahun bersamaan dengan pesta kedewasaan anak-anakku. Melihat mereka yang semakin tumbuh dewasa sungguh membuatku terharu karena mereka tumbuh menjadi anak-anak yang hebat dan tampan."

Ah, aku yakin ayah akan memulai ceramah panjangnya.

"Pssttt.. Kak Hali.."

Aku menoleh, Taufan disebelahku tersenyum lebar.

"Apa kau gugup?"

"Hm?"

"Tanganmu gemetar loh, hihihi," tawa Taufan.

Ah, sepertinya benar. Tanganku sedikit gemetar, sepertinya karena sebelumnya ya?

"Bukankah itu wajar? Aku gugup."

"Jangan gugup dong, ini kan hari yang istimewa. Jadi hal-hal baik akan terjadi hari ini~~"

Tawa dan senyum lebar Taufan sedikit menenangkanku. Sayang sekali, apa yang diharapkan Taufan tidak akan terjadi.

Kaisar terus berbicara panjang, wajahnya terlihat ceria dengan senyum lebar terus terpasang di wajahnya.

'Halilintar, Target A ada didekat Marquis Ferone, arah jam 8 dekat pintu balkon Timur.'

Aku mengikuti arahan dari Al dan melihat Leiron Argan berdiri dengan tongkat sihirnya. Dia bahkan terang-terangan membawa senjata? Sungguh tak terduga.

"Yang Mulia, kami menemukan beberapa item sihir di sekitar Taman Kaca."

Laporan dari salah satu prajuritku mulai terdengar. Aku berbisik pelan mengiyakan kemudian kembali fokus.

Selama beberapa saat, laporan-laporan mengenai item-item yang sudah ditemukan terus terdengar. Aku dan Al melirik ketika Leiron Argan terus menerus tersenyum kearah kami.

'Halilintar, tetap tahan emosimu.'

Al berujar ketika aku terlalu kuat mengepalkan tanganku, seolah menunjukkan emosiku.

Aku mencoba menarik napasku pelan, mencoba menenangkan diri.

"Dan tentu saja selain pesta ulang tahunku, aku juga hendak merayakan debutante ketujuh putraku yang tampan ini."

Suara penuh percaya diri dari Kaisar itu membuatku tersenyum tipis.

"Nah, Pangeran Arlen, bisakah kau menyampaikan beberapa kata, hm?" Kaisar Azarn tersenyum pada Thorn.

Thorn yang terkejut ketika namanya dipanggil tersenyum dengan canggung. Ia mendekati Kaisar Azarn yang menepuk bahunya antusias.

"Sebelumnya, terima kasih untuk Ayahanda yang memberi saya kesempatan pertama bicara hehehe."

Thorn tersenyum manis, membuat para tamu yang hadir memekik gemas.

"Pertama, selamat ulang tahun untuk Ayahanda. Saya harap Ayahanda selalu sehat dan berbahagia," kata Thorn, menatap Kaisar Azarn penuh sayang.

"Saya berharap saya bisa tumbuh dewasa menjadi seseorang yang hebat sepertimu, Ayahanda~!"

"Astaga putraku yang manis🥺🥺"

Kaisar Azarn menatap haru Thorn.

"Ah, dan saya juga merasa senang sekali bisa melakukan debutante dengan kembaran saya(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠) Ulang tahun saya kemarin juga saya mendapatkan hadiah yang luar biasa dan saya bahkan sudah mendapatkan Ksatria baru~ Saya harap malam ini saya bisa bermain dan bersenang-senang bersama saudara-saudara saya tanpa ada masalah~"

"Jadi silahkan nikmati pesta kali ini dengan nyaman semuanya~"

Thorn tersenyum lebar. Manik emerald itu menatap semua orang dengan penuh semangat. Aura kebahagiaan menyebar dari senyuman manisnya, membuat para wanita dan nona bangsawan yang hadir terpukau melihatnya.

"Pangeran Arlen sangat menggemaskan!"

"Pangeran Keenam benar-benar sangat polos dan manis!"

"Kyaaaa Pangeran Arlen manis sekaliii!!"

Aku hanya bisa tersenyum tipis melihat itu.

Wungggggg

Aku tersentak ketika sesuatu terdengar dari arah Thorn.

Suara apa itu?

"Hali, giliranmu," kata Taufan, menyadarkanku.

"Oh? Iya."

Pada akhirnya, aku dan yang lainnya bergantian untuk menyampaikan salam pada para tamu yang datang. Meski hatiku sedari tadi merasa tidak tenang, aku cukup senang melihat para Pangeran tersenyum nyaman.

Oh, mungkin tidak semuanya. Aku bisa merasakan kalau Solar, Blaze dan Thorn sedikit kaku hari ini.

"Arven."

Aku memanggil Solar sedari tadi nampak gugup itu. Ia menoleh padaku dan tersenyum tipis. Ia mendekatkan dirinya padaku dan menyandarkan kepalanya dibahuku.

"Kak.. aku takut sekali.." bisiknya.

Aku mengusap kepalanya pelan. Memahami ketakutan yang dirasakannya itu.

"Maaf ya, aku akan melindungi kalian."

Ia mengangguk. Selama beberapa saat ia terus seperti itu hingga membuat beberapa orang berbisik mengenai kami.

"Hei Arven! Ngapain kau?"

Taufan mendekat sembari menarik Solar dengan wajah kesal. Solar menatap Taufan kesal.

"Ish! Axer!"

"Ngapain kau nyender ke Kakak Pertama? Bikin iri saja!" kesal Taufan.

Apa sih? Dia kesal karena hal sepele?

"Kakak, aku juga lelah loh~"

Taufan ikut menyenderkan kepalanya dibahu kiriku.

"Kau ini kenapa?" kesalku.

"Aku juga lelah, elus kepalaku juga dong🥺"

Aku meliriknya sinis, tapi tetap mengelus kepalanya. Membuatnya tersenyum senang.

Aish, seperti kucing saja.

"Arter..."

Aku menoleh ketika suara Gempa terdengar. Ia menatapku dengan tatapan penuh harap, sementara di sebelahnya Ice memandangku datar dan Blaze serta Thorn sudah mendekat lalu memelukku erat dari kanan dan belakangku.

"Arghhhh! Kalian ini ngapainnnn!!"

"Aku juga mau dielus kakak!"

"Aku juga! Aku juga!"

Gempa menarik tanganku lalu meletakkannya di atas kepalanya. Aku menatapnya kesal kemudian menjitaknya kuat.

"Aduh! Sakit Arter!" kata Gempa, mengelus kepalanya yang dijitak olehku.

"Kalian ini ngapain!? Sana cari pasangan untuk berdansa!"

"Ukh.. masih ada waktu kok sebelum dansa dimulai," sahut Blaze.

"Ish! Cepat lepas!"

"Tidak mauuu~ Jarang sekali kami bisa memeluk Kakak Pertama," timpal Taufan.

Aku seperti gula yang dikerubungi oleh semut. Mereka memeluk erat hingga tubuhku nyaris tertutup mereka. Bahkan Solar juga kembali memelukku erat.

"Azer tolong akuuu!"

"Hei, Arter sesak napas tuh," kata Ice, menarikku agar terlepas dari tarikan para Pangeran.

"Ah, Azer nggak seruuuu!" sahut Blaze kesal.

"Kakak elus kepalaku!" kata Thorn.

Aku hanya mendelik kesal pada mereka.

"Bersikaplah tenang seperti Ice, astaga kalian ini," kataku, sambil mengelus kepala Ice.

Ice hanya diam. Jadi aku semakin gemas hingga mengacak-acak rambutnya, namun ia nampak tak peduli.

Tapi tanpa kusadari, Ice menyeringai pada para Pangeran, membuat mereka kesal.

"Azer!! Kau menyebalkan!"

"Iya! Berhenti tersenyum begitu!"

"Kalian ini kenapa? Azer diem aja loh," kesalku.

"Kakak!! Kau tidak tau jika dia sedang pamer tadi pada kami!" seru Blaze.

"Hah?"

Aku langsung menoleh pada Ice, yang memasang wajah datarnya.

"Aku diam saja," katanya.

Aku menatapnya bingung kemudian beralih pada para Pangeran yang masih mengoceh karena kesal. Mereka ini aneh. Ice diam saja padahal, tapi mereka kesal?

"Kak, kau akan berdansa dengan siapa?" tanya Ice.

"Kalian sendiri sudah punya partner?"

Para Pangeran mengangguk.

"Iya, hanya anda yang belum punya partner. Apa anda berniat berdansa dengan Nona Douter lagi?" tanya Gempa, wajahnya terlihat sedikit sedih.

Tunggu sedih? Kenapa lagi dia?

"Tidak kok."

Raut wajah mereka berenam langsung gembira begitu mendengar jawabanku.

"Aku akan berdansa dengan Ibu saja."

"Hah?"

"Bukannya Ibu berdansa dengan Ayah?" heran Taufan.

"Ya, aku tinggal culik Ibu dari Yang Mulia Kaisar kan?"

"Wah, Arter memang gila."

"Iya, dia masih gila."

"Apa maksud kalian hah😊💢💢"

Aku menjitak kuat Taufan dan Solar.

"Anak-anak, cepat kemari dan mulailah dansa kalian."

Ratu Althea memanggil kami dengan penuh senyum. Aku mendekatinya dan langsung mengulurkan tanganku padanya.

"Yang Mulia Ratu, apa anda ingin berdansa dengan saya?"

Semua orang langsung terkejut begitu aku berlutut sembari mengulurkan tanganku pada Ibu. Bahkan aku bisa melihat Al yang sedang terbang menukik kearahku dengan cepat. Ia menggigiti kepalaku.

"Kaing! Kaing!!!"

'Hei! Kau mencuri start! Aku duluan yang mau berdansa dengan Ibu!'

'Kekeke, kau telat Al, aku duluan~'

'Arghh! Kau menyebalkannn!'

'Kaca untukmu nanti, hahaha!'

"Ya ampun, Putra Mahkota.."

Ratu Althea tersenyum lalu terkekeh kecil melihatku yang seperti sedang berdebat dengan Al itu.

"Tentu saja Putra Mahkota," kata Ratu Althea, menyambut uluran tanganku.

"Ratu~ Bukankah kau akan berdansa denganku?"

Kaisar Azarn mendekat dengan raut sedih, ia menatap Ratu Althea dengan tatapan bak anak kucing yang ingin menangis.

"Astaga, sayang, kau mengalah dulu dengan putramu ini, fufu."

"Arter, kenapa kamu malah berdansa dengan Ratu!?"

Kaisar mendekatiku yang kini bersebelahan dengan Ratu Althea.

"Ya biarin, saya kan mau berdansa dengan Ibu," sahutku.

"Bagaimana denganku? Kau juga akan berdansa dengan ayahmu ini kan?" harap Kaisar Azarn.

Solar mendekatinya kemudian menepuk bahu Kaisar Azarn dengan wajah kasihan.

"Ayah, anda harus sadar, Arter tidak mau berdansa dengan kita karena dia buruk di dansa," kata Solar, bernatapku dengan pandangan kasihan.

"Hei apa maksudnya!? Aku sudah jauh lebih baik kok!"

"Pffttt, benarkah? Kalau gitu aku menantikannya," balas Solar.

"Saya juga menantikannya, Arter, hehehe," timpal Gempa.

"Aku! Aku juga!" Blaze ikut mengangkat tangannya.

"Ya, aku juga cukup penasaran," sahut Ice.

Bahkan kau juga Ice!? Mereka benar-benar menyebalkan!

---------

Setelah musik dimainkan, aku dan Ratu Althea melakukan etiket dansa. Begitupun dengan para Pangeran yang berdansa dengan partner mereka masing-masing. Sedangkan Kaisar Azarn hanya mengamati kami dengan mata berbinar dan bola perekam ditangannya. Selama berdansa, Ratu Althea terlihat senang sekali. Ia tersenyum padaku.

"Arter, bagaimana perasaanmu?"

"Saya merasa gugup, Ibu," jawabku jujur.

Ratu Althea tertawa. Kami memutar tubuh kami masing-masing kemudian kembali menautkan kedua tangan kami. Kami mengobrol membahas hal-hal kecil yang menyenangkan. Meski sesekali juga Ratu Althea terlihat kesal dengan beberapa bangsawan yang mengganggunya.

"Ibu, Ibu masih bermimpi tentang itu?" tanyaku hati-hati.

Wajah Ratu Althea berubah sedikit sendu.

"Ya, bahkan malam tadi Ibu mengalaminya."

Aku terdiam, namun mencoba untuk tersenyum padanya.

"Saya akan menjaga anda semua. Ibu jangan khawatir."

Ratu Althea kembali tersenyum. Ia menghentikan dansanya lalu memelukku erat. Aku sedikit terkejut, namun juga merasa nyaman dengan pelukan ini.

Ini hangat, seperti pelukan ibuku.

"Oh anakku, Ibu merasa lega sekali rasanya."

"Yang Mulia Kaisar sudah memberitahu Ibu tentang apa yang akan terjadi pada hari ini. Ibu merasa takut dan gugup namun juga senang karena bisa melihatmu dan adik-adikmu rukun lagi seperti dulu. Sungguh ini adalah kebahagiaan untuk Ibu."

"Ibu.. maafkan saya.." Aku melepaskan pelukan kami dan memandangnya dengan wajah panik.

"Saya tau Ibu akan marah, tapi sepertinya memang benar bahwa... Arlen juga akan terlibat nanti," ucapku dengan memelankan kalimat diakhir.

"Ibu mengerti. Jadi apa kamu akan menggunakannya?"

Kami kembali berdansa. Ibu menatapku dengan tatapan ramahnya. Manik rubi yang seperti milikku itu menatapku lekat.

"Iya, saya mungkin akan menggunakan 1 atau 2 dari 3 kristal yang anda berikan."

"Anakku, dengar. Jika Ibumu ini bisa memberikan saran, Ibu harap kamu tidak percaya pada siapapun saat ini."

"Ya?"

Manik rubi milik Ratu Althea itu terlihat serius. Namun, ia tetap tersenyum padaku.

"Seperti yang sudah kudengar dari Yang Mulia, aku pikir mempercayai seseorang disaat seperti ini lebih seperti memilih bom. Kita tidak tau, apakah orang yang kita percayai akan berpihak pada siapa di akhir," jelas Ratu Althea.

Aku memutar tubuh Ratu Althea. Kami bergerak melintasi lantai dansa secara bersamaan, bergerak mengikuti irama musik yang pelan.

"Jika itu sesuai dengan apa yang aku mimpikan, maka sudah pasti secara tidak langsung Arlen juga terlibat dalam hal ini."

Meski terlihat tenang, aku tau Ibu menyembunyikan perasaannya.

Ibu mengetahuinya. Aku memang yakin bahwa secara tidak langsung Thorn juga terlibat. Mengingat batu mana yang ia bawa kemarin pun tidak ia ceritakan padaku. Ia hanya menyembunyikannya dan berpikir bahwa aku tidak akan mengetahuinya.

"Ibu, apakah tidak masalah jika salah satu dari kami terluka?"

"Arter, bagi kita yang merupakan keluarga Kekaisaran yang sudah terbiasa dengan perang, luka bukanlah hal yang serius."

Aku mengangguk membenarkan ucapannya.

"Jangan mati. Itu perintah Ibu."

Suara dingin yang sekilas sangat mirip dengan Halilintar menekanku kuat.

Ah, ternyata sikapku (Halilintar) yang dingin itu mirip Ibunya ya🙂

"Tidak akan ada yang mati. Saya akan mengusahakan itu."

"Ibu bisa mengandalkan putra Ibu ini."

--------

Setelah Halilintar dan Ratu Althea selesai berdansa, para Pangeran mendekati mereka. Ikut memeluk sang Ratu yang tertawa melihat tingkah putra-putranya. Kaisar berdiri disebelah Halilintar, menatap Halilintar dengan pandangan yang membuat Halilintar risih.

"Ayah, ada apa? Berhenti menatap saya seperti itu," kesal Halilintar.

Al yang berada di pundak Kaisar pun ikut mengangguk.

"Kau masih tidak mau bercerita pada ayah?" tanya Kaisar Azarn.

"Ayah, tolong tidak sekarang.." desisku kesal.

"Ayah bertanya pada Al, namun dia malah menunduk, tidak mau bicara pada ayah."

Ya dia juga Halilintar soalnya, batin Halilintar sedikit dongkol.

"Oh ya?"

Selagi Halilintar dan Kaisar Azarn mengobrol dan bertatapan tajam, Thorn menoleh kearah mereka dengan pandangan datar.

Manik emerald itu menatap kedua orang yang masih berbicara itu dengan pandangan dingin.

"Aku.. aku merasa aneh.." gumam Thorn.

"Sir Browkel," panggil Thorn.

Sai Browkel mendekat pada Thorn. Raut wajahnya sedikit berubah ketika melihat wajah tuannya yang terlihat dingin.

Apa sudah dimulai? pikir Sai Browkel.

"Anda memanggil saya, Pangeran?"

"Tolong bawakan aku minum, kepalaku terasa pusing," ujar Thorn.

Sai Browkel lalu langsung saja mengambil minuman dan juga beberapa coklat manis untuk Thorn. Ia menyerahkan minuman itu pada Thorn yang langsung meminumnya cepat.

"Pangeran, anda baik-baik saja? Haruskah saya membawa anda ke ruang istirahat?"

Thorn menggeleng. Ia memegangi kepalanya yang pusing.

"Apa kau melihat pamanku?"

"Ya, Pangeran. Tuan Count Argan saat ini bersama dengan Countess Argan, mereka terlihat di balkon Barat beberapa saat yang lalu."

"Begitu ya.."

Kepala Thorn terasa berat. Sedari tadi batu mana yang diberikan pamannya terus menerus menyedot energinya. Ia ingin membuang batu mana itu namun entah kenapa Thorn pikir ia tidak bisa melakukannya.

Dan anehnya lagi, secara tiba-tiba mana miliknya terasa sangat panas. Ia merasa mual dan pusing dalam waktu yang bersamaan.

"Arlen, kau kenapa?"

Gempa datang dengan Hannah Holfer dibelakangnya. Sai Browkel memberi kode yang langsung dipahami oleh Hannah Holfer.

"Aku baik-baik saja kak Arzen. Hanya lelah saja," balas Thorn.

"Apa kau sakit? Padahal ini hari istimewa, apa kau ingin kupanggilkan tabib saja?"

Thorn menggeleng, menolak tawaran dari Gempa. Gempa terlihat sedikit khawatir, namun melihat Thorn yang terus menolak untuk pergi ke ruang istirahat akhirnya ia mengalah.

"Baiklah, katakan saja jika kau sakit ya. Aku akan memberitahu tabib nanti."

Thorn mengangguk sambil tersenyum. Gempa akhirnya meninggalkannya, kembali berbincang dengan bangsawan lain.

Thorn merogoh saku jasnya, mengeluarkan batu mana berwarna abu-abu yang sedari tadi terus mengganggunya. Ia menatap lekat batu mana itu lalu menghembuskan napasnya lelah. Ia memasukkannya kembali dalam saku jasnya.

"Pangeran Arlen, kenapa anda membawa batu mana?"

Thorn menoleh, menatap Sai Browkel yang melihatnya dengan tatapan bertanya.

"Bukan apa-apa. Sir, aku bisa minta tolong?"

Thorn menyuruh Sai Browkel untuk mendekatkan dirinya dan membisikkannya sesuatu. Mata hijau Sai Browkel membelalakkan begitu mendengar apa yang dikatakan oleh Thorn.

"Pangeran..! Anda.."

"Aku minta tolong ya, Sir. Aku yakin Kak Arter pasti sudah tau, hanya saja aku merasa tak yakin."

"Pangeran tapi---!"

"Ini perintah."

Thorn berujar dingin. Manik emerald yang biasanya cerah itu kini terlihat gelap dan dingin. Thorn menatap Sai Browkel dengan tatapan tajam dan menekan ksatria itu dengan mananya.

"Kau bisa kan, Sai Browkel?"

"Sa-saya akan laksanakan perintah anda.."

Thorn terlihat puas, kemudian ia pergi kearah balkon Barat dengan aura gelap yang mulai mengelilinginya.

Sai Browkel yang melihat itu mulai waspada. Ia menyentuh anting komunikasi di telinga kirinya, memberi laporan pada Halilintar.

"Yang Mulia, Pangeran Arlen menuju balkon Barat."

"Bagus. Beritahu yang lain juga."

Mendengar nada dingin Halilintar, Sai Browkel hanya bisa berharap bahwa tuan barunya itu tidak melakukan sesuatu yang mereka takutkan.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Paman.."

"Astaga, akhirnya permata hijau kita datang juga. Kami sudah menunggumu."

Thorn masuk ke dalam balkon Barat, dimana beberapa orang sudah ada disana. Termasuk sepasang mata yang menatapnya dengan tatapan datar.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Thorn menatapnya datar. "Aku ingin bertemu Paman."

Orang itu menatap datar Thorn, namun pikirannya mulai berkecamuk.

Kau terlibat apa kali ini Arlen?

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Halo semua apa kabar? Semoga sehat selalu ya.

Minal aidzin wal faidzin bagi teman-teman semua~❤️ Mohon maaf jika saya ada salah kata selama ini\⁠(⁠^⁠o⁠^⁠)⁠/ Maaf juga sering telat updateಥ⁠‿⁠ಥ

Semoga chapter kali ini memuaskan ya, sedikit spoiler, salah satu Pangeran sudah mendapat sedikit ingatan masa lalu tentang Arter. Silakan tebak sendiri siapa ya(⁠◕⁠ᴗ⁠◕⁠✿⁠)

Selamat membaca~ Typo bertebaran🚨

See you again in the next chapter ~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro