• TIGA PULUH EMPAT •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Solar berjalan mondar-mandir didalam ruang kerja Halilintar dengan raut khawatir. Ini sudah mulai malam dan Halilintar masih belum kembali dari pertemuannya dengan Kaisar.

Setelah Kaisar menyuruhnya dan Blaze keluar, Solar dengan cepat mencari Al dan menceritakan apa yang terjadi. Diluar dugaan, Al terlihat tenang seolah sudah menduga apa yang akan terjadi.

'Tidak apa-apa. Arter akan baik-baik saja, Arven.'

"Apa kau yakin?"

'Iya, dia tadi menghubungiku untuk bertanya sesuatu.'

Al sebenarnya merasa heran pada mindlink Halilintar sebelumnya. Mengapa ia berpikir bahwa ia ikut dalam perang besar 8 tahun lalu?

Ada sesuatu yang tak benar soal pertanyaan Halilintar tadi.

"Aduh, bagaimana sekarang?" Blaze yang sedari tadi duduk bertanya dengan khawatir.

"Aku belum pernah melihat Ayah sedingin itu. Melihat Ayah seperti tadi, aku jadi berpikir Arter yang dingin dulu balik lagi," ujar Blaze.

Solar mengangguk membenarkan ucapan Blaze. Tak pernah mereka melihat raut wajah ayahnya sedingin itu.

Al yang melihat keduanya terlihat khawatir hanya bisa terdiam. Tak pernah ia berpikir bahwa pada kehidupan kali ini terdapat perbedaan yang sangat besar daripada sebelumnya. Mungkinkah kali ini dia bisa membuat akhir yang bahagia?

Ia teringat dengan ucapan Dewa Elemen yang sudah memberinya izin untuk datang kesini sebagai bantuan. Sedikit tidak menyangka bahwa ada 'Halilintar' di dimensi lain, Al berpikir apakah ia benar-benar bisa membantu 'Halilintar' itu dengan semua ingatan yang ia punya saat ini.

"Hei Al, apa Ayah memang seperti itu saat berbicara dengan Arter?" tanya Blaze.

'Entahlah, setauku ayah-- maksudku Kaisar selalu bersikap tenang.'

"Tuh kan, pasti ini karena permasalahan mengenai Paman Leiron kan?" ujar Blaze.

"Kau masih mau membela orang itu?" sinis Solar.

"Eh eh! Tidak ya, aku hanya.. masih belum terbiasa saja. Aku juga marah kok sama Paman Leiron!" seru Blaze. Tak terima dengan ucapan Solar.

"Ya siapa tau kau masih membelanya," ucap Solar.

"Tidaklah! Ish kau nihh!!"

'Sudah! Jangan bertengkar lagi!'

Al berbalik dan memukul mereka dengan sayapnya. Manik violet itu menatap tajam kedua Pangeran yang kini saling melempar pandangan tajam.

'Sebaiknya kalian kembali ke kamar kalian, aku akan menunggu Arter disini.'

Keduanya menggeleng, menolak usulan Al.

'Kembali saja. Temui Arter besok.'

"Kami akan menunggu saja. Aku khawatir sekali dengan kak Arter," ucap Solar.

"Betul tuh! Kalau kak Arter dimarahi Ayah bagaimana?" timpal Blaze.

Al menggeleng. 'Tidak mungkin. Gopal, tolong antar mereka kembali.'

Gopal Acrowl yang bersama mereka sedari tadi mengangguk paham. Ia mendekati Blaze dan Solar sembari tersenyum sopan.

"Yang Mulia Pangeran, bagaimana kalau anda berdua kembali dulu? Saya akan melaporkan pada Sir Stanley dan Dame Yvone apabila Yang Mulia Putra Mahkota sudah kembali."

Keduanya saling berpandangan. "Kau akan memberitahu kami sesegera mungkin kan?" tanya Blaze.

"Tentu saja, anda bisa mempercayai saya. Saya akan segera memberitahu anda nanti."

Akhirnya keduanya mengalah dan kembali ke kamar mereka masing-masing. Sebelumnya Solar berbicara pada Al bahwa ia akan kembali lagi besok, dan Al hanya menganggukkan kepalanya.

Ketiganya pun pergi tak lama kemudian. Al yang menyadari bahwa ruangan ini sudah kosong langsung berubah ke wujud manusianya. Manik violet miliknya menatap jendela ruang kerja yang terbuka lebar, menampilkan malam yang terang dengan bulan sabit yang bersinar.

"Apa maksudnya Ayah? Aku pernah ikut dalam perang besar itu? Tapi kapan?"

'Al, temui aku. Sekarang juga.'

Al tersentak ketika nada dingin Halilintar masuk dalam pikirannya.

"Apa? Dimana kau memang?"

'Temui aku di danau belakang istana Ruby Diamond.'

Al dengan cepat berubah kembali menjadi dragbel dan pergi menuju tempat yang dikatakan oleh Halilintar.

Sesampainya disana, ia melihat Halilintar yang terdiam di pinggir danau yang gelap itu. Al mendekat dan menyadari Halilintar memegang tombak Halilintar ditangannya.

Kenapa dia mengeluarkan senjata?

'Kenapa kau--'

Syuttttt srakkk!!

Al dengan cepat terbang menghindari serangan tombak yang datang padanya. Ia langsung berubah kembali menjadi manusia dan memukul Halilintar yang menatapnya dengan pandangan kosong.

Buagh!

Sebuah pukulan mendarat diwajah Halilintar dari Al dengan kuat. Halilintar terhuyung sambil memegangi pipinya yang memerah.

"Ada apa denganmu! Tiba-tiba menyerangku! Kau dipengaruhi Penyihir Gelap itu atau apa!?"

"Kau..."

"Apa?" Al tak dapat mendengar dengan jelas.

"Benarkah kalau kau adalah salah satu Pahlawan Perang juga?"

"Apa yang kau katakan? Tentu saja bukan. Aku bahkan tidak mengerti mengapa kau tiba-tiba mengatakan itu."

"Ayah mengatakan bahwa Halilintar adalah Pahlawan Perang juga!" Halilintar berteriak dan menarik kerah pakaian Al.

"Kau ini kenapa sih?" Al terlihat kebingungan.

"Ayah bilang kalau Halilintar lah yang membunuh Kaisar Wisburn saat itu dan menghentikan perang bersama Grand Duke Glacius!"

"Katakan padaku semuanya sekarang juga! Tidak mungkin kau tidak ingat apapun mengenai kejadian 8 tahun lalu!!"

Halilintar mendorong Al dan menatapnya dengan tatapan marah. Saat ini dikepala Halilintar terlalu banyak ingatan yang saling tumpang tindih. Kepalanya berdenyut dan ia tidak mengerti mengapa terlalu banyak kejadian yang muncul secara tiba-tiba, membuat semua rencana yang sudah ia susun rapi nyaris berantakan.

"Kau ini kenapa sih! Dan sejak kapan juga aku membunuh Kaisar Wisburn? Dia dibunuh oleh Grand Duke Glacius dan Kaisar!" Pada akhirnya Al juga berteriak ke Halilintar karena kesal.

Ia melihat Halilintar yang nampak lelah, wajah yang sebelumnya tersenyum karena Blaze dan Solar sudah menghilang. Sekarang hanya raut sendu, marah dan bingung yang terlihat di wajahnya.

"Halilintar."

Halilintar mengangkat kepalanya, menatap Al yang memandangnya dengan tatapan datar.

"Sebenarnya apa yang terjadi saat kau berbicara dengan Ayah?"

"Al, ceritakan semuanya lagi. Semuanya."

Al menghela napasnya kesal. Ia menatap penuh kekesalan Halilintar.

"Halilintar, bukankah aku sudah bilang ada beberapa hal yang sulit kukatakan?"

"Aku tau! Tapi-- aku.. aku harus mendengarkannya lagi.."

"Ada apa? Apa kau menemukan sesuatu yang aneh dari Pak Tua itu?" kesal Al.

"Heii, dia itu Dewa loh," ucap Halilintar yang terkejut.

"Hah, tak peduli lah aku, tak pernah dengar juga dia apapun yang aku katakan," sinis Al.

"Ah sudahlah, aku memang punya perjanjian dengannya. Dimana mungkin ada beberapa hal yang tak bisa kukatakan dengan mudah, jadi kau yang harus mencari taunya sendiri. Dan mengenai kau yang mengatakan apa aku terlibat atau tidak dalam perang, aku kan sudah bilang bahwa aku tidak tau."

"Tidak tau sama sekali?"

Al mengangguk dengan tegas. "Aku jatuh sakit setelah perang itu usai. Saat sadar, aku diberitahu bahwa perang telah selesai."

Halilintar melihat raut serius diwajah Al itu, tanda bahwa ia juga tidak berbohong. Halilintar menghela napasnya, menjatuhkan diri ke tanah dengan wajah lelah.

"Apa yang harus kita lakukan?"

Al juga terdiam disana, tak bisa mengatakan apapun di situasi ini.

"Aku akan mengatakannya. Aku tidak pernah berhasil menyelamatkan ayah."

Ucapan Al membuat Halilintar tersentak karena kaget.

Tidak pernah? Sekalipun?

"Jangan bercanda, Al," Halilintar memandang Al dengan wajah tak percaya.

"Ayah.. aku tidak tau apa yang dia lakukan. Sesaat sebelum debutante, ayah berniat mengatakan sesuatu, namun aku tidak bisa menemuinya. Seolah ada sesuatu yang menghalangi," jelas Al.

Halilintar langsung tersadar akan sesuatu begitu mendengar penjelasan Al.

Halilintar merogoh kantung celananya, mengeluarkan lembaran kertas yang diberikan sang ayah sebelumnya.

"Apa itu?" tanya Al.

Halilintar mengangkat bahunya tak tau. "Entahlah. Ayah cuma bilang kalau aku harus membacanya saat di istana."

"Kalau begitu cepat baca itu."

Halilintar mengangguk. Ia mendudukkan dirinya dengan nyaman di rerumputan. Al mengikuti disebelahnya, memiringkan kepalanya untuk ikut membaca.

Apa kabar cucuku? Ini Atok, Aba Glacius.

Kalimat pertama dari kertas itu membuat keduanya saling menatap dengan kaget.

"Ini surat dari Tok Aba?" tanya Al.

"Sepertinya begitu?" balas Halilintar.

Keduanya lalu kembali membaca kertas yang ternyata adalah surat itu. Dan kembali terkejut ketika membaca kalimat selanjutnya.

Atok tau kau mungkin saja terkejut ketika membaca surat ini. Cucuku, kuharap kau tidak melakukan pengulangan waktu. Sungguh jika itu terjadi, Atok ini akan sedih kau tau.

Arter, apakah ini kehidupan pertamamu? Atau mungkin kehidupan lain? Atok meminta pada Yang Mulia Kaisar, yaitu ayahmu, untuk menyampaikan surat ini padamu. Jangan khawatir. Hanya kaulah yang bisa membuka surat ini, Arter.

Halilintar dan Al semakin terkejut ketika membaca kalimat dimana Atok mereka menyebutkan kalimat "kehidupan lain".

"Ba-bagaimana bisa Atok tau tentang ini?" Al nampak terkejut.

"Akan aku jelaskan nanti saat diruang kerja," balas Halilintar. "Ayo lanjut baca dulu."

Arter, Atok sangat berterima kasih karena kau sudah menyelamatkan Atok dari serangan Kaisar Borara tuh, tapi Atok tidak menyangka bisa melihatmu mengeluarkan kekuatan penuhmu disaat kau bahkan belum bisa mengendalikannya.

Cucuku Arter, setelah perang berakhir, Atok beberapa kali mendapatkan mimpi melalui Spirit Cahaya milikku. Kau mungkin tidak akan percaya. Namun, Atok bisa katakan bahwa apa yang Atok tulis disini bukanlah sebuah kebohongan.

Saat itu, aku mendapatkan penglihatan dari Spirit milikku. Dalam penglihatan itu, aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya Atokmu lihat. Kamu dan keenam adikmu dalam keadaan yang tak baik. Entah bagaimana itu terjadi padahal Atok tau kalian sangatlah dekat.

Cucuku, aku tak menyangka jika 'dia' masih hidup setelah apa yang telah Yang Mulia Arterion lakukan ratusan tahun dahulu.

"Dia???" Halilintar menatap Al dengan raut bingung.

"Siapa yang Atok maksudkan disini??" Al menggaruk telinganya bingung.

"Iyalah, bahkan Atok juga bawa-bawa nama Kaisar Arterion," ujar Halilintar.

Atok yakin kau merasa terkejut membaca surat ini. Atok hanya akan menyampaikan hal-hal yang Atok lihat saja. Atok harap ini bisa membantumu juga.

Mengenai Leiron, pamanmu, Atok tidak tau apa ini benar terjadi atau tidak. Pada awalnya, Atok pikir ini hanyalah sebuah bunga tidur biasa. Namun, tak disangka sesuatu membuka mata dan pikiranku.

Oleh karena itu, aku bersyukur karena aku sudah memilih seseorang yang tepat sebagai ahli waris Kekaisaran Elemental Glacius ini. Meski begitu, sepertinya Atok sudah melakukan kesalahan yang berujung kau harus terlibat dalam pertikaian ini.

Mereka kembali membaca surat itu dengan tenang. Melanjutkan hingga ke akhir surat. Namun tak lama kemudian mereka menjerit bersama ketika membaca akhir surat itu.

"Gi-gila..! Ap-apa maksudnya semua ini..?"

-------

Di sebuah ruangan di mansion Argan, Leiron Argan berdiri didepan sebuah tabung kaca besar.

Dalam tabung itu terlihat sebuah kristal besar yang hampir berwarna hitam. Warna emas yang nyari tertutupi warna hitam itu bersinar penuh kemilau.

Tak jauh dari tabung itu ada berbagai macam ramuan dalam botol dan juga beberapa batu mana yang tersimpan rapi.

Leiron mengambil sebuah batu mana dan menyalurkan energi baru mana itu ke kristal yang tersimpan dalam tabung itu.

"Bagaimana dengan persiapanmu Leiron?"

Sesosok pria dengan jubah dan tudung hitam masuk. Leiron berbalik, menatap dingin sosok itu.

"Hampir selesai. Aku sudah mengikuti apa yang kau katakan, apa kau yakin kita akan berhasil?" kata Leiron.

"Hahaha, kenapa? Kau ragu?"

Leiron Argan menggeram. "Kau bahkan gagal saat menyerang Arter kemarin, kau beruntung berhasil pergi dari sana," sinisnya.

Sosok itu, Penyihir Gelap, tertawa dengan suara jahatnya. Ia tertawa mendengar nada sinis yang dilontarkan Leiron padanya.

"Astaga, sabarlah Leiron, setidaknya aku berhasil membuat kristal itu jadi lebih cepat berfungsi kan?"

"Memanglah cepat! Tapi.. kenapa kau harus menggunakan Asern dan Arven!? Apa kau gila!?"

"Kenapa kau terkejut? Bukankah kau bilang tidak masalah bagiku untuk melukai keponakanmu?"

"Grrr! Serang saja Arter! Kenapa kau menyerang para Pangeran lain!"

"Hem, menyerangnya ya? Well sudah kulakukan. Aku tak menyangka kekuatannya sudah berkembang menjadi jauh lebih baik."

Penyihir Gelap itu kembali tertawa. Leiron mengepalkan tangannya marah.

"Setelah apa yang kau lakukan, sebagian rencanaku kacau! Apa kau tau hah!? Pembangunan Kuil disetujui semuanya! Karena itu aku bahkan tidak bisa mendapatkan wilayah Balbarou!"

"Kau akan mendapatkannya. Lagipula, bukan debutante para Pangeran semakin dekat?"

"Kau! Sesuai perjanjian kita, jangan sakiti para Pangeran lainnya. Target kita hanyalah Amato dan Arter," ucap Leiron dingin.

"Hemm, kau sangat membenci anak itu rupanya."

"Tentu saja! Dia monster! Sama seperti ayahnya! Berpura-pura peduli dibalik semua sikap palsu mereka."

Leiron Argan menggeram penuh amarah. Ia terlihat marah dan matanya dipenuhi dendam.

"Persiapan untuk kristal ini masih belum selesai sepenuhnya, apa kau yakin ini bisa digunakan saat debutante nanti?" Leiron bertanya sembari menyentuh kaca tabung itu.

"Tidak usah khawatir, karena itu akan segera selesai nanti."

Seringai muncul diwajah Penyihir Gelap yang tertutup tudung. Ia ikut menyalurkan energi mana ke dalam tabung kristal itu.

"Segera, dan kau akan dapatkan apa yang kau inginkan. Begitupun denganku, hahahaha!"

Leiron Argan menatap Penyihir Gelap itu dengan tatapan datar. Manik biru miliknya beralih kearah tabung kristal itu lagi.

"Apa kau yakin ini benar-benar bisa membunuh Azarn?"

"Tentu saja. Kau bisa menyelematkan para keponakanmu dari Kaisar dan Putra Mahkota. Bukankah itu tujuanmu hm?"

"Memang benar, tapi.." Leiron Argan terlihat ragu sesaat.

"Ingatlah Leiron, 19 tahun yang lalu, harusnya kau lah yang menjadi Kaisar, rebutlah milikmu lagi."

Leiron Argan tersentak mendengar itu. Ia mengepalkan tangannya. Aura gelap muncul disekitar Leiron Argan, yang membuat Penyihir Gelap itu tersenyum puas.

"Benar. Kuhancurkan mereka."

-------

Pagi ini suasana ruang kerjaku sedikit memburuk. Tumpukan dokumen yang harus kukerjakan semakin banyak, membuat kepalaku semakin pusing.

"Acrowl, apa ini sudah semua?"

"Belum, Yang Mulia. Kami masih menunggu dokumen dari pihak luar."

Aku menatap muak tumpukan dokumen diatas meja. "Sungguh, kapan ini berakhir?" gumamku.

"Yang Mulia, bagaimana pertemuan anda dengan Yang Mulia Kaisar? Apa semuanya berjalan baik?" tanya Gopal.

Aku menghela napasku. "Lancar, meski aku sedikit tertekan."

"Apa anda bertengkar dengan Yang Mulia Kaisar? Wajah anda.. uhm.. bengkak..?" Ia menunjuk pipiku yang lebam.

Aku hanya menghela napasku kasar. "Al menonjokku semalem."

"Yaa?! Anda berdua bertengkar?"

"Iya, aku menyerangnya duluan."

Gopal nampak bingung, ia ingin bertanya lebih lanjut namun melihat raut kesalku, nampaknya ia mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut.

Gopal mendekat dengan membawa tumpukan dokumen dan meletakkan dokumen itu di mejaku. Aku melotot melihat itu.

"Lantas apa tanggapan dari Yang Mulia Kaisar? Apa beliau akan membantu kita?" tanya Gopal. Ia memberikan salah satu dokumen itu padaku.

"Iya, Ayah bilang akan membantu. Meski begitu, tidak semudah itu untuk kita menghentikan insiden yang akan muncul nanti."

Gopal nampak menghela napasnya berat. Ia terlihat memikirkan sesuatu.

Aku mengambil pulpen bulu dan mulai mengerjakan dokumen yang semakin menggunung layaknya gunung ini.

"Yang Mulia, bagaimana jika kita membakar mansion Argan saja?" cetus Gopal tiba-tiba.

"Apa kau gila?" Aku menatapnya dengan pandangan sinis.

"Eh-eh.. saya hanya mengusulkan saja," ucap Gopal.

Aku menatapnya dengan wajah kesal. "Sudah. Hentikan ide bodoh itu. Dan, dimana Al?"

Mataku menatap sekeliling ruangan, berusaha mencari sosok bersayap itu. 

"Ah, Al bilang dia ingin menemui Pangeran Arven."

"Solar? Berarti dia di kamar Solar sekarang?"

"Saya rasa begitu, Yang Mulia. Haruskah saya memanggilnya?"

Aku menggeleng, melanjutkan kegiatanku kembali.

Semalam, sekembalinya aku dan Al dari danau, kami kembali dengan wajah linglung dan stress. Al berkata bahwa dia akan mencoba mengingat kembali memorinya dengan menemui Dewa Elemen. Awalnya aku ingin ikut dengannya, namun Al menolak dan berkata bahwa aku bisa saja mati jika memaksakan diri. Pada akhirnya aku mengalah dan membiarkannya pergi.

Suasana ruang kerja akhirnya senyap. Gopal berdiri disebelahku, memberitahu informasi apa saja yang harus kulakukan dan membantu beberapa pekerjaan lainnya.

"Yang Mulia, apa.. ingatan anda sudah kembali?"

Oh benar juga, aku kan bilang ke dia kalau aku kehilangan sebagian ingatanku ya.

"Aku tidak yakin, sepertinya belum semuanya. Ada apa?"

"Tidak, saya hanya khawatir. Bagaimana jika para Pangeran tau jika anda kehilangan ingatan anda? Bukankah mereka akan berpikir ini hanyalah seperti tipu muslihat saja?"

Hm, aku setuju dengan perkataannya itu. Pada Pangeran memang tak tau dengan pasti apa yang membuatku berubah, tapi aku yakin salah satu dari mereka pasti menyadari ada yang tidak beres denganku.

"Mereka pasti berpikir otakmu ada yang konslet."

Aku menoleh kearah jendela, dimana Al dengan wujud manusianya muncul disana.

"Al! Saya kan sudah bilang jangan asal berubah!! Bagaimana jika ada yang melihat anda!!!" Gopal mendekati Al dan menarik tubuh itu ke dalam.

Al hanya diam membiarkan Gopal menyeretnya masuk dan mendudukkannya di sofa.

"Santailah Gopal, aku menggunakan sihir juga," balas Al.

Gopal hanya bisa berkacak pinggang sambil menatap tajam Al yang terlihat tak peduli itu.

"Konslet apanya? Dasar," kesalku.

"Lagipula, jikalau mereka tau, aku yakin mereka akan tetap biasa saja kan?" lanjutku.

"Tidak. Mereka tidak percaya."

Jawaban dingin dari Al membuatku menoleh padanya. Nampaknya ia pernah melakukan hal yang sama sepertiku dulu.

"Begitukah?"

Al mengangguk dengan yakin.

"Hei Halilintar. Ada satu hal yang kudapatkan dari Pak Tua itu."

Aku menghentikan kegiatan menulisku dan menatap Al serius.

"Apa yang dikatakan oleh beliau?"

"Dia bilang, alasannya sama seperti yang ditulis di surat milik Atok kemarin."

"Atok?" Gopal terlihat bingung.

"Jadi, alasan Count Argan berkhianat pun bukan karena perang?"

Al menggeleng. "Itu hanya salah satu alasannya. Alasan sebenarnya katanya terjadi sejak lama. Tapi Pak Tua itu tidak mengatakan apapun dan hanya menyuruhku agar mencari taunya sendiri."

"Hei," aku menatap Al kesal, "kenapa beliau menjawab pertanyaanmu dan tapi memutar-mutar pertanyaan dariku?" tanyaku kesal.

Al hanya mengangkat bahunya tak tau.

"Uhm.. Yang Mulia, apa ini berhubungan dengan perkataan anda yang sebelumnya?" tanya Gopal.

"Yang mana?"

"Mengenai anda dan Al yang adalah satu kehidupan itu, apa ini berhubungan dengan itu?"

"Semuanya berhubungan malahan," balasku.

Gopal akhirnya mengangguk paham. "Apa yang bisa saya bantu? Saya akan membantu anda berdua dengan kemampuan saya!"

Gopal terlihat serius. Ia menatapku dengan pandangan percaya diri.

Aku tersenyum tipis melihat itu. "Aku akan memberitahumu nanti."

Tok tok tok

"Yang Mulia Putra Mahkota, Count Argan datang menemui anda. Haruskah saya membiarkannya masuk?"

Suara seorang prajurit dari balik pintu membuat kami terkejut. Al mengubah dirinya menjadi dragbel dan mendekat padaku.

"Apa yang dia lakukan disini?"

Aku dan Al saling berpandangan. Kami tidak tau rencana apa yang sedang dilakukan oleh Leiron Argan, mengingat ia yang akhir-akhir ini sangat tenang sangatlah mencurigakan.

"Ck, bawa dia ke ruang tamu. Aku akan menemuinya," ucapku.

Prajurit itu akhirnya pergi. Aku tidak tau sudah berapa kali aku menghela napas lelah seperti ini. Menatap tumpukan dokumen itu dengan pandangan kesal, aku berdiri dan berjalan dengan wajah kesal yang kentara. Aku yakin sekembalinya aku nanti dokumen itu pasti akan bertambah. Sial.

"Sungguh, aku akan menendangnya jika dia hanya ingin bicara hal-hal bodoh nantinya," geramku.

Al yang berdiri di atas kepalaku mengangguk dengan geraman marah.

"Gopal, ayo kita temui orang itu."

"Baik, Yang Mulia."

-------

Di ruang tamu istana Ruby Diamond...

"Saya menyapa Matahari Muda Kekaisaran. Semoga anda selalu dilapisi kebahagian, Putra Mahkota."

Count Argan memberi salam dengan senyum menyebalkan terpasang diwajahnya.

"Count Argan, kenapa kau datang tanpa pemberitahuan seperti ini?" ucapku dingin.

"Astaga, mohon maafkan saya, saya pikir anda sudah memberi izin. Mengingat hari itu anda bilang ingin minum teh bersama saya, Putra Mahkota," ucap Count Argan.

Ah, saat pesta ulang tahun kemarin ya? Ish menyebalkannya.

"Itu benar. Tapi, bukankah kau harus tetap meminta izin huh? Istana ini bukanlah tempat dimana kau bisa keluar masuk seenaknya."

"Ah, nampaknya saya sudah berbuat salah, saya tidak akan mengulanginya lagi, Putra Mahkota."

Aku menghela napasku kesal. Sungguh, pagi hari yang buruk hari ini.

"Jadi, ada apa kau menemuiku?"

Aku memanggil pelayan dan menyuruh mereka menyiapkan teh dan beberapa kue. Aku awalnya tidak mau, tapi ya, sopan santun dikit bolehlah.

"Apa anda bertengkar dengan para Pangeran, Putra Mahkota?" tanya Count Argan.

"Tentu saja tidak, ini hanya lebam biasa yang muncul karena orang lain," balasku datar.

"Jadi apa tujuanmu kesini?" tanyaku lagi, merasa tak senang dengan kehadirannya.

"Kebetulan saya baru saja menemui Kaisar, saya pikir karena saya masih di istana, mengapa saya tidak berkunjung ke istana anda?"

Aku hanya menatapnya dengan pandangan datar.

"Tenanglah sedikit Arter, saya hanya berkunjung sebagai pamanmu. Dan pembicaraan saya dengan Kaisar hanyalah seputar bisnis di County Argan," ujar Leiron Argan tenang.

"Baiklah."

Pada akhirnya aku membiarkannya.

"Omong-omong bagaimana keadaan anda? Saya sangat terkejut mendengar berita yang terjadi pada anda dan Pangeran lain," Leiron terlihat khawatir.

"Mereka baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir mengenai itu."

"Saya sedikit terkejut ketika anda memberi izin para Pangeran untuk tinggal bersama anda. Saya pikir anda akan marah karena permasalahan itu."

"Untuk apa aku marah? Aku justru merasa senang jika adik-adikku tinggal bersamaku."

Leiron Argan nampak terkejut mendengar jawabanku. Ia memandangku dengan tatapan tak percaya.

"Lantas bagaimana dengan anda, Arter? Saya dengar anda terluka parah," ucapnya lagi sembari melirik lengan kiriku.

"Bukan luka serius. Aku sering mendapat luka seperti ini."

"Hahaha benar juga. Saya nyaris lupa kalau anda sering berperang, Arter."

Leiron Argan tersenyum penuh arti.

"Yang Mulia Arter, apa anda sudah mendapat kabar bahwa pembangunan kuil-kuil baru sudah disetujui?"

Kan, sudah kuduga. Nggak mungkin dia cuma sekedar mampir saja.

"Oh benar. Aku sudah mendapatkan berita itu kemarin."

"Bagaimana pendapat anda, Putra Mahkota? Sayang sekali rapat yang pada awalnya dijadwalkan pada minggu ini harus dibatalkan karena insiden penyerangan kemarin."

Aku meminum tehku dengan tenang lalu menatap Leiron Argan dengan tatapan tajamku.

"Benar sekali, namun itu hal yang bagus bukan? Karena dengan begitu kita bisa semakin dekat dengan Dewa Elemen yang selama ini selalu melindungi kita."

"Sayangnya ada beberapa tempat yang mungkin berbahaya jika pembangunan tetap dilaksanakan, Yang Mulia."

Hadeh, karena rapat dibatalkan, dia langsung menyerang ke aku ya? Sebenarnya apa yang direncanakannya?

Sayang sekali Al tidak bisa ikut masuk karena Gopal tidak mau ada perdebatan mengenai dragbel lagi antara aku dan Leiron Argan. Jadilah dia mengalah dan menunggu bersama Gopal di ruang kerja. Padahal jika Al bersamaku, aku yakin dia bisa ikut mengumpat bareng.

"Benarkah?"

"Misalnya adalah wilayah Balbarou, Yang Mulia."

Hemm. Haruskah ide Gopal yang sebelumnya kujalankan saja? Membom mansion Argan ya? Boleh juga.

"Mengapa kau berpikir seperti itu Count? Bukankah bagus jika wilayah pelabuhan seperti Balbarou memiliki Kuil Dewa Elemen juga huh?"

"Sayangnya, tempat itu terlalu berbahaya, Yang Mulia. Nyaris seperti Serlon, yang menjadi perbedaan adalah wilayah Serlon yang dikelilingi oleh pegunungan sementara Balbarou adalah wilayah lautan."

"Apa kau ingin mengatakan bahwa munculnya kuil mungkin bisa memanggil para Sharker?"

"Ya, anda sangat jenius, Yang Mulia."

Sharker, hiu purba yang hidup di perairan dalam. Sangat sensitif dengan aliran mana dan juga spirit Petir.

Kupikir seharusnya itu tidak ada hubungannya dengan pembangunan kuil. Kuil kan di darat, bukan di laut.

"Aku rasa tidak ada masalah dengan itu, Count. Apa yang membuatmu tak setuju?"

"Yang Mulia, perjalanan menuju kuil mungkin akan berbahaya. Bagaimana jika tiba-tiba sekawanan Sharker muncul dan menyerang?"

Hah?

Tunggu! Jangan bilang...!

"Pembangunan kuil di Balbarou di laut lepas?!"

"Benar sekali!" Leiron Argan bertepuk tangan begitu aku menyadari maksud ucapannya.

Sial, pantas saja dia menolak!! Kuil macam apa yang dibangun di tengah laut sih! Dan di perairan berisi Sharker pula!

Duchess Orvan, sebenarnya apa yang wanita itu pikirkan sehingga meletakkan tempat pembangunan kuil ditengah laut!?

"Aish, apa yang dipikirkan Duchess Orvan sih?" gumamku.

Leiron Argan yang melihatku kesal, menyunggingkan senyuman. Aku yakin itu senyum palsu.

"Sejujurnya saya sangat terkejut ketika Yang Mulia Kaisar mengirimkan surat berisi persetujuan sejumlah kuil baru."

Leiron Argan meminum tehnya dengan tenang. "Namun saya juga tidak punya hak untuk menolak hal tersebut. Karena saya bukanlah orang yang berada."

"Jadi, apa maumu?"

"Tidakkah anda ingin membujuk Yang Mulia Kaisar, Putra Mahkota?"

"Maksud anda?"

Leiron Argan tersenyum penuh makna. "Sebenarnya, saya berencana untuk mengambil alih wilayah Balbarou bersama dengan Pangeran Keempat."

"Kau jelas tau itu berlawanan arah dan termasuk lancang, Count Argan."

Aku menatapnya dingin. Apa maksudnya dia mau mengambil alih wilayah milik Duchess Orvan? Sungguh aku tidak paham.

"Apa yang anda katakan bisa saja memicu perdebatan antara Duchess Orvan dengan Pangeran Asern. Apa kau menyadarinya?"

"Tentu saja saya menyadari hal itu, Yang Mulia."

"Lantas? Kau tau juga wilayah itu bukanlah masuk ke dalam spirit Api. Wilayah Orvan dan Balbarou adalah wilayah spirit Petir dan Air," ujarku dingin.

"Meski begitu, Spirit Petir pun dapat membentuk api."

Aku bangkit dari dudukku, menatap dingin dan tajam Leiron Argan yang tersenyum sinis padaku.

"Kau, apa yang kau inginkan? Apa rencanamu kali ini?"

"Arter, anda tidak boleh menuduh saya begitu."

Aku menatapnya dingin.

"Menuduh kau bilang? Hah! Jangan berpura-pura bodoh Leiron Argan. Aku tau kalau kaulah yang mengirim Penyihir Gelap kemarin."

Suasana seketika terasa mencekam. Baik aku dan Leiron Argan saling melempar energi mana kami.

"Kau pikir aku sebodoh itu untuk tidak tau niatmu itu huh?"

Leiron tersenyum. "Mengapa anda seyakin itu huh?"

"Apa rencanamu?"

"Entahlah. Mengapa anda penasaran?"

"Leiron Argan!"

"Hahaha, anda marah, Arter? Hahaha seharusnya jika anda tetap diam seperti dulu, kita pasti tidak akan sampai seperti ini."

Suara dingin dari Leiron Argan membuatku sedikit emosi. Ia kini menatapku dengan senyuman sinisnya.

"Putra Mahkota, andai kata saat itu kau tidak menganggu, aku pasti sudah menjadi Kaisar saat ini."

Aku tersentak mendengar nada penuh amarah yang diucapkan Leiron Argan.

"Apa maksudmu?!"

"Apa kau berpura-pura tidak ingat hah? Jika bukan karena ayahmu, akulah yang akan menjadi Kaisar!!"

"Omong kosong apa yang kau katakan ini?" Aku menatapnya datar.

Mengepalkan tanganku kuat, aku mencoba meredakan emosiku saat ini.

"Apa yang membuatmu berubah huh?" cemooh Leiron Argan. "Apa kau bertingkah baik agar para Pangeran membelamu?"

Leiron Argan berdiri dan mendekat padaku dengan senyuman culas diwajahnya. Ia menyentuh dadaku dengan telunjuknya dan menatapku dengan senyum jahat.

"Ingatlah. Apapun yang kau lakukan, itu tidak akan merubah apapun."

Mata yang dipenuhi kejahatan itu terlihat serius.

"Kau!!"

Aku mendorongnya dan berencana untuk mengeluarkan pedang milikku jika saja ia tidak menahanku dengan sihir miliknya.

Aku terjatuh secara tiba-tiba ketika sebuah sihir cahaya muncul dibawah kakiku.

"Ka-kau--!"

Ini bukan sihir Cahaya biasa, ini sihir Gelap.

"Kau! Benarlah kau bekerjasama dengan para Iblis!" seruku marah.

"Hoo, kau menyadarinya? Sungguh cerdas Arter."

Leiron Argan tersenyum penuh makna. "Sebaiknya kau tetap diam, Putra Mahkota. Jika tidak, maka aku akan membunuhmu dengan cara terkejam yang tidak akan pernah kau bayangkan."

Dia ingin membunuhku? Hahahaha. Lelucon apa itu.

"Hahahaha..."

"Huh, kau tertawa?" kesal Leiron Argan.

"Pfftt... hahahahahaha! Kau, kau ingin membunuhku? Hahahahahaha!"

Aku menghentakkan kakiku dan seketika lingkaran sihir itupun hancur. Dengan senyuman lebar yang lebih seperti senyuman psikopat itu, aku menatap Leiron Argan yang terkejut melihatku lepas dari sihirnya.

"Kau.. kau ingin membunuhku? Hahahahaha! Aku bahkan tidak tau harus berapa kali lagi aku dibunuh olehmu.."

"Leiron Argan.. kali ini rencanamu itu tidak akan berjalan lancar."

Aliran mana disekitar kami semakin kuat. Leiron Argan mendesis ketika menyadari betapa kuatnya energi mana yang aku keluarkan untuk menekannya.

Manik rubi milikku bersinar penuh amarah.

"Karena aku akan menggagalkan mu dan melindungi keluargaku."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Halo, apa kabar? Semoga kalian sehat selalu. Chapter depan kita masuk ke sesi Arter-Arlen tipis2.

Sedikit lebih panjang karena memang salah satu sesi angst yang penting (menurut Arter).

Dan melihat beberapa komentar di chapter sebelumnya, ada 3 orang yang menjawab dengan benar soal ingatan Al hehehe\(^o^)/

Hehehe semoga kalian tidak bosan ya dengan cerita ini yang mungkin akan panjang•́  ‿ ,•̀

Okey, typo berserakan hehehe🚨

See you again in the next chapter~~~



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro