• TIGA PULUH LIMA •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Baik Halilintar maupun Leiron Argan kini saling berhadapan dengan aura membunuh disekitar mereka.

"Hah! Sombong sekali kau, Arter," sinis Leiron Argan.

Halilintar tertawa lagi mendengar perkataan Leiron Argan. Ia melipat tangannya didada dan menatap Leiron dengan pandangan mencemooh.

Halilintar mendekat pada Leiron Argan dan menepuk bahunya beberapa kali.

"Hei Paman, jangan terlalu percaya diri. Kali ini, aku sudah siap untuk melindungi keluargaku dari kejahatanmu."

Halilintar berujar dingin kemudian pergi meninggalkan Leiron Argan yang terdiam ditempat dengan wajah menahan marah.

Leiron Argan menggeram, ia mengepalkan tangannya kuat dan berbalik menatap Halilintar yang pergi meninggalkannya.

"HALILINTAR ZYN ARTER GLACIUS!"

Teriakan penuh amarah itu menghentikan langkah Halilintar. Ia diam, mencoba mendengarkan hal apa lagi yang hendak Leiron Argan katakan.

"Jangan pikir kau bisa mengalahkanku hanya karena kau seorang pewaris seluruh Elemental! Akulah yang akan menjadi Kaisar selanjutnya! Lihatlah nanti! Kau akan hancur setelah aku menggerakkan pion milikku!"

Pion? batin Halilintar curiga.

"Kau? Menjadi pemilik Kekaisaran ini?"

Nada penuh ejekan itu Halilintar arahkan pada Leiron Argan yang menatapnya dengan marah.

"Itu hanya dimimpimu, Paman," lanjut Halilintar dingin.

"Kau! Dasar bocah sialan! Lihatlah nanti bagaimana aku menghancurkan kesombonganmu itu!" teriak Leiron Argan.

"Hahaha. Kita lihat saja nanti."

Halilintar menoleh sesaat sembari menatap dingin Leiron Argan.

Brakkkk!

Pintu tertutup dengan kasar, meninggalkan Leiron Argan seorang diri di ruangan itu. Pria itu mengepalkan tangannya penuh amarah hingga kuku-kuku miliknya menusuk kulitnya hingga berdarah.

Pria itu berjalan keluar dari ruangan itu dengan amarah yang tertahan.

Ia menggertakan giginya, menahan benci yang teramat besar pada Halilintar yang sudah meremehkannya.

Beraninya anak yang tidak bisa melakukan apa-apa itu meremehkannya dan berkata seolah-olah ia jauh lebih kuat. Leiron tersenyum jahat, ia jauh lebih hebat karena mempunyai pion yang sudah ia letakkan di istana. Hanya tinggal menunggu pion itu digerakkan dan Halilintar juga Amato akan hancur karena perbuatan mereka sendiri.

Meski ia merasa tidak nyaman menjadikan seseorang ini sebagai pionnya, namun ia juga tidak bisa melakukan apapun.

"Lihatlah nanti, Amato, Arter. Aku akan menghancurkan kalian dan mengambil alih semua milik kalian!"

-------

"Kak Arter!"

Halilintar menoleh, mendapati Thorn berlari dengan wajah riang ke arahnya.

"Kakak sedang apa di danau?" tanya Thorn.

Halilintar tersenyum sembari mengelus rambut hitam Thorn.

"Hanya mencari angin. Bagaimana keadaanmu, Arlen?"

"Aku baik-baik saja! Bagaimana dengan kakak?"

Thorn melirik tubuh Halilintar dan kemudian senyumnya luntur begitu melihat lengan kiri kakaknya masih dibalut perban. Ia yakin kalau perut kakaknya juga pasti masih belum sembuh.

"Tenanglah, Thorn. Aku sudah hampir pulih kok," ucap Halilintar, menenangkan Thorn yang khawatir.

"Aku khawatir sekali dengan kakak," ujar Thorn, wajahnya terlihat murung.

Halilintar tersenyum melihat itu dan mengusap kembali rambut Thorn gemas.

"Apa kau nyaman tinggal disini? Kau butuh sesuatu?"

Thorn menggeleng. "Tidakk! Aku sangat nyaman disini! Bolehkah aku tinggal disini saja?"

Sejujurnya Halilintar ingin sekali mengiyakan permintaan Thorn, namun bagaimanapun juga peraturan tetap peraturan. Para Pangeran tidak bisa satu istana dengan Putra Mahkota, terkecuali terjadi sesuatu hal yang mendadak, seperti kejadian beberapa hari yang lalu.

"Aku ingin begitu, tapi sayangnya aku tidak bisa melakukannya."

Melihat Thorn yang terlihat sedih, Halilintar lalu menariknya dan membawanya menaiki perahu yang memang ada di dekat danau.

"Mau naik perahu bareng?" tanya Halilintar.

Thorn langsung tersenyum dan mengangguk penuh semangat.

Mereka akhirnya menaiki perahu dengan damai. Thorn bercerita tentang banyak hal dan Halilintar didepannya mendengarkan sembari mendayung perahu. Sesekali Halilintar tertawa kecil melihat Thorn yang bersemangat hingga ia nyaris jatuh ke danau.

Namun dibalik senyuman Halilintar, ia merasa khawatir. Ia khawatir dengan apa yang akan terjadi disaat debutante nanti.

Surat yang Grand Duke Glacius berikan juga menyebutkan nama adik-adiknya itu. Hal itu membuat Halilintar merasa tak yakin dengan apa yang sebenarnya sedang ia jalani saat ini. Ia tidak tau, apakah ia benar-benar hidup sebagai sosok Halilintar yang mengulang kembali hidupnya atau seseorang yang terlempar ke dunia fantasi dalam sebuah novel.

Al beberapa kali memanggil Dewa Elemen pagi tadi, namun tak ada balasan. Halilintar juga sudah mencobanya, namun para Peri Spirit hanya tersenyum sembari menyuruh Halilintar untuk bersabar.

Sayang sekali, kesabaran Halilintar tidaklah seluas itu sehingga berakhir dengan ia yang ngomel-ngomel kepada para Peri Spirit dan para Peri Spirit itu hanya bisa menertawakan tingkahnya.

Halilintar menatap Thorn yang masih tertawa padahal ia nyaris jatuh untuk yang ke-5 kalinya.

"Kak Arter! Lihat! Aku memancing ikan dengan sulur akar milikku!!"

Thorn dengan bangga memamerkan ikan yang ia tangkap dengan kekuatannya.

"Pintarnya. Kau semakin baik dalam mengontrol kekuatanmu, Thorn."

"Hehehe! Tentu saja, kan Kak Arter yang mengajariku! Aku sangatttttt berterimakasih sekali dengan kakak~~"

Thorn tersenyum lebar dengan penuh gembira. Ia memasukkan ikan yang ditangkapnya ke dalam subruang sihir miliknya. Halilintar memujinya, melihat Thorn menggunakan sihir dengan mudah seperti itu membuatnya bangga.

Halilintar bisa melihatnya dengan baik kalau Thorn sudah semakin pintar mengontrol kekuatannya. Dengan begitu, bukankah saat debutante nanti Thorn tidak akan kehilangan kendali terhadap kekuatannya? Halilintar secara tiba-tiba kembali merasa cemas.

"Arlen," panggil Halilintar.

"Iya kak?"

"Bisakah kau berjanji padaku?"

Thorn terlihat bingung, namun ia kembali tersenyum dan mengangguk.

"Apapun yang terjadi di saat debutante nanti, bisakah kau mengontrol kekuatan juga emosimu?"

Thorn menghentikan kegiatan memancingnya dan menatap Halilintar dengan wajah bingung.

"Maksud Kak Arter apa?"

Thorn menatap Halilintar yang memandangnya dengan tatapan serius. Namun, Thorn bisa melihat dengan jelas, kembaran sulungnya itu terlihat cemas.

"Kakak?"

Halilintar tidak membalasnya. Kembaran sulungnya itu hanya menunduk, mengepalkan tangannya kuat seolah sedang menahan sesuatu.

"Bisakah kau melakukannya Arlen?" Halilintar bertanya tanpa menatap Thorn.

Thorn merasa bingung. Ia tidak mengerti. Apa yang membuat Halilintar secemas itu?

"Arter, apa ada yang kau khawatirkan?"

Thorn sangat jarang memanggil Halilintar tanpa embel-embel "kakak", karena itu jika ia hanya memanggilnya dengan nama saja itu artinya Pangeran yang juga pemilik Spirit Daun ini sedang serius.

"Aku hanya.. merasa gugup..."

"Arter, jangan berbohong. Aku kan kembaranmu juga, kau bisa ceritakan padaku masalahmu itu."

Thorn memandang Halilintar dengan tatapan cemas. Halilintar menghela napasnya.

"Aku tau. Aku hanya.. sedikit stress saja."

"Sangat stress sepertinya," timpal Thorn datar.

Halilintar menatapnya dengan senyuman kecil. "Sungguh, aku baik-baik saja, Arlen. Jadi, bisakah kau mengabulkan permintaanku itu?"

"Tentu saja aku harus mengontrol kekuatanku. Jika bukan karenamu, aku pasti akan tetap menjadi Pangeran bodoh yang tidak bisa mengontrol kekuatannya padahal sudah dewasa."

"Kau tidak bodoh. Kau hanya sedikit polos saja," ujar Halilintar. Thorn hany mendengus mendengar itu.

"Arter, tak bisakah kau bercerita padaku juga?"

Thorn menatap serius Halilintar yang diam.

"Aku tau Asern dan Arven menyembunyikan sesuatu dari kami. Tingkah mereka berdua, terutama Arven akhir-akhir ini sangatlah aneh. Kau lihat kejadian kemarin kan? Mereka mendebatkan sesuatu namun baik Ayahanda maupun Ibunda tidak mengatakan apapun pada kami. Namun aku tau kau juga terlibat dalam perdebatan mereka."

"Aku tidak paham dengan sikapmu ini. Aku senang kau berubah, Arter. Tapi perubahanmu ini membuatku merasa curiga."

Halilintar tersentak ketika Thorn menyentuh pundaknya. Manik emerald milik Thorn menatap tajam rubi Halilintar yang terlihat terkejut itu.

"Lihat, tatapanmu saja berbeda. Kau tidak pernah menatapku seperti ini dulu."

Seolah mulutnya terkunci, Halilintar tak bisa mengatakan apapun. Ia takut menyakiti Thorn. Saat ia menceritakan tentang keresahan yang ia rasa tentang Blaze pada Solar, itu menimbulkan masalah besar.

"Tak bisakah kau cerita juga? Apa aku tidak bisa dipercaya?" ujar Thorn pelan.

"Tidak! Aku percaya padamu, Arlen!" Halilintar berujar cepat.

"Lalu kenapa kau tidak cerita?"

"Maaf Arlen." Bisikkan pelan dari Halilintar membuat Thorn merasa sedih.

"Aku juga kembaranmu, Arter." Wajah Thorn terlihat sendu.

"Apa kau tau betapa sedih dan cemasnya aku ketika kau sakit kemarin? Aku tidak pernah melihatmu menutup matamu selama itu. Kupikir aku kehilangan saudaraku saat itu.."

Thorn menunduk. Halilintar tau itu. Karena hal pertama yang ia lihat saat ia sadar kemarin adalah Thorn yang menangis. Bahkan Thorn tetap disisi Halilintar meski orang-orang sudah pergi. Ia menjaga Halilintar dengan tenang, menemani Halilintar mengobrol dan juga berusaha membuatnya tidak memikirkan hal lain yang membebani pikiran Halilintar.

Meski Thorn terkenal dengan kepolosan dan tingkah lucunya, adakalanya Pangeran Keenam ini serius terhadap sesuatu. Terutama jika itu menyangkut keluarganya.

Thorn melirik permukaan air danau yang nampak bergelombang lalu menatap Halilintar yang matanya kini berkaca-kaca. Thorn sadar, emosi Halilintar saat ini mempengaruhi air di danau.

"Arlen, apa kau akan percaya padaku?"

"Aku akan mendengarnya dulu."

Thorn menatap Halilintar dengan wajah tenang.

"Arlen... aku melihatmu kehilangan kontrol di debutante nanti, maksudku... aku sengaja meminta agar debutante bersamamu karena aku tidak mau apa yang aku mimpikan menjadi kenyataan."

"Maksudnya?"

"Baik aku dan Ibu mendapat mimpi yang sama. Kami memimpikanmu kehilangan kontrol saat debutante yang membahayakan dirimu dan juga yang lain."

"Apa maksudnya itu Arter?" Thorn terlihat terkejut.

"Aku berusaha untuk mengubah itu, karena itu aku ingin bersama denganmu saat debutante nanti. Awalnya aku tidak bisa mengatakannya padamu karena aku khawatir kau akan sedih atau tidak percaya padaku. Meski begitu, aku tetap merasa cemas dan tak yakin dengan kemampuanku. Karena dalam mimpiku itu, kau benar-benar kehilangan kendali dan nyari menghancurkan semuanya. Termasuk membahayakan orang-orang."

Melihat Halilintar yang menjelaskan sambil menahan segala emosi yang ada di dirinya, Thorn hanya bisa terdiam. Ia terkejut dengan apa yang dikatakan Halilintar padanya.

Ia berpikir, mungkinkah Halilintar mulai mengajarinya mengontrol kekuatannya karena ini? Jadi sedari awal Halilintar memang sudah merencanakan ini? Sedari awal, kegiatan yang mereka lakukan bersama ini sudah direncanakan? Jadi, sedari awal apakah ia hanya dimanfaatkan agar tidak berbuat kekacauan?

Thorn tak tau harus berkata apa. Di satu sisi ia merasa senang karena Halilintar akhirnya mau bercerita padanya, tapi di satu sisi lainnya, Thorn merasakan ia sedikit kecewa.

Ia tidak paham mengapa ia kecewa pada Halilintar.

"Siapa saja.. yang tau soal ini?" Thorn bertanya dengan dingin.

Halilintar terlihat kaget mendengar nada dingin Thorn.

"Blaze dan Solar baru mengetahuinya, sisanya beberapa orang ksatria yang kupercaya."

Thorn mengepalkan tangannya kuat.

"Arven tau ini? Asern juga? Ini kan berkaitan denganku, kenapa kau tidak mengatakannya terlebih dahulu padaku Arter?"

Thorn memandang Halilintar dengan pandangan kecewa. Manik emerald yang biasanya selalu berbinar itu terlihat redup sekarang.

"Bolehkah aku merasa kecewa karena ini?"

"Arlen, bukan begitu maksudku. Aku perlu waktu untuk memberitahumu karena kau adalah anak yang lembut," kata Halilintar, merasa bersalah.

"Ayo kembali ke istana." Thorn membalikkan tubuhnya, enggan menatap Halilintar.

"Thorn..."

Thorn tidak menjawab, ia hanya diam enggan menatap Halilintar.

Pada akhirnya, mereka kembali ke istana setelah jalan-jalan kecil mereka dengan suasana suram.

-----

"Arlen! Sebentar!"

"Biarkan aku sendiri! Aku marah padamu!"

Aku berlari mengejar Thorn yang kini berlari dengan cepat menuju istana Ruby Diamond. Thorn marah padaku setelah aku ceritakan bahwa ia akan kehilangan kontrol saat debutante nanti. Aku tidak mengatakan kalau kemungkinan Kaisar Azarn akan mati dalam debutante. Itu karena aku teringat perkataan Ratu Althea yang tidak tega jika Thorn harus tau tentang ini.

"Ayolah! Aku kan sudah jujur!!"

Thorn berhenti berlari dan berbalik menatapku dengan sedih, airmata tertahan di pelupuk matanya.

"Memang jujur, tapi kenapa kau menahannya seorang diri!? Halilintar bodoh!"

"Aku sungguh-sungguh! Aku tau kau tidak akan percaya tapi---"

"AKU PERCAYA! AKU SELALU PERCAYA PADAMU ARTER!" Thorn berteriak dengan penuh emosi. Airmata mengalir membasahi pipinya. "Tak pernah sekalipun aku membencimu atau tak percaya padamu..."

"Aku percaya padamu Halilintar! Hanya saja kenapa kau menahannya sendiri!? Karena kebodohanmu itu kita semua jadi saling bermusuhan! Karena kau melakukan tindakan bodoh itu kau membuat kami semua salah paham denganmu!"

"Aku hanya ingin melindungi kalian!" Aku membalas dengan suara tinggi.

"Dengan menyakiti diri sendiri? Astaga Halilintar! Kau benar-benar kakak paling bodoh!"

"Apa kau bilang!?"

"Halilintar Zyn Arter Glacius adalah kakak bodoh! Kau pikir kami tak bisa melindungi diri kami sendiri?!"

"Aku bukan bermaksud begitu! Bagaimanapun juga aku hanya mau kalian---"

"Benar, kau memang melindungi kami selama ini, tapi tingkahmu itu.. astaga!! Pokoknya aku kesal denganmu Halilintar!!"

Thorn dengan cepat kembali berlari. Aku mengejarnya dengan cepat. Beberapa pelayan dan prajurit yang melihat kami kejar-kejaran seperti ini hanya bisa bingung.

"Thorn! Kesini nggak!?"

"Nggak mau! Kak Arter menyebalkan!!"

Ah, akhirnya dia manggil aku dengan kata "kakak" lagi.

"Ayolah, aku akan belikan kau es krim nanti di Cownel! Jadi cepat berhenti!"

"Benarkah!?"

Tiba-tiba saja Thorn berhenti dan berbalik. Aku yang masih berlari kencang terkejut dengan itu dan berusaha mengerem kakiku. Namun sialnya kakiku malah tersandung hingga aku jatuh dan menimbulkan suara jatuh yang kencang.

"WAHAHAHAHAHA LIAT ITU AZER! KAKAK PERTAMA JATUH! DIA JATUH KARENA BERLARI! HAHAHAHA!"

"Kau ini sedang apa?"

Aku mengangkat kepalaku. Taufan dan Ice berdiri tak jauh dariku, memandangku dengan tatapan yang berbeda-beda.

"Kak Arter!" Thorn menghampiriku dan membantuku berdiri.

Sial, wajahku memerah karena malu.

"Kekekekeke apa yang kau lakukan, Arter? Hahahaha!" Taufan tertawa dengan wajah puas. Ia mendekatiku dan Thorn sambil terus tertawa.

"Kakak okay? Maaf aku bikin kakak jatuh," Thorn berujar dengan sedikit menyesal.

"Kau tau itu dan masih berlari tadi huh?" sinisku, namun anehnya Thorn malah terkekeh.

Ia tertawa kecil melihat wajah kesalku.

"Aku kesal dengan kak Arter."

"Aku tau."

"Jangan lakukan itu lagi," bisik Thorn.

"Aku ingin adik-adikku selalu aman." Senyuman kecil kuberikan pada Thorn yang hanya bisa menghela napasnya pasrah.

"Kalian ngapain lari-lari tadi?" tanya Taufan.

"Aku mengejar Thorn karena suatu hal."

"Apa itu?" Taufan terlihat penasaran.

Aku hanya tersenyum tipis. Enggan menjawab lagi.

"Arter, Arzen meminta kita untuk berkumpul. Kau sibuk?" ujar Ice dengan wajah mengantuknya.

"Sekarang?"

Ice mengangguk. Aku sebenarnya masih memiliki beberapa pertemuan lagi setelah ini, namun jarang sekali mereka mengajakku berkumpul seperti ini.

"Mungkin tidak lama, apa ada sesuatu yang ingin kalian bicarakan?"

Ice mengangguk. "Arzen dan Arlen ingin meminta sesuatu."

Apa mereka butuh sesuatu dariku?

"Baiklah, dimana kita akan bicara?"

"Ayo ke kamarku. Mereka menunggu disana."

Ice berjalan lebih dulu. Aku sedikit tidak menyangka Ice mengizinkan kami semua bermain di kamarnya. Mengingat ia adalah Pangeran yang pendiam dan tenang, jadi aku merasa aneh mendengarnya berbicara seperti itu tadi.

"Kau memberi izin mereka untuk di kamarmu padahal kau tidak disana?"

"Mereka sudah biasa mengacau dikamarku." Ice menjawab dengan wajah kesal.

Aku tertawa kecil melihat itu.

"Arter, kau bertengkar dengan Arlen?" tanya Ice pelan.

Thorn dan Taufan sudah berjalan agak jauh didepan kami. Aku menatap Ice sembari tersenyum, mengiyakan pertanyaannya.

"Kenapa?" tanya Ice lagi.

"Hanya.. salah paham sedikit?"

Ice mendengus. "Aku tak yakin."

"Ahahahaha..."

"Jangan salah paham. Kami sama sekali tidak membencimu."

Ice berujar dengan tenang. Manik aquamarine yang tenang itu seakan menenangkan pikiranku yang sedikit stress karena tadi.

"Benarkah? Aku senang sekali mendengarnya," ucapku.

Ice hanya mengangguk. Dia benar-benar tidak banyak bicara ya. Pantas saja baik Halilintar maupun Ice sangat terkenal dengan kemiripannya, baik dari sisi wajah, sikap maupun kemampuan mereka.

Keduanya terkenal dengan sifat tenang dan pendiam mereka. Meski Halilintar jauh lebih kejam (⁠─⁠.⁠─⁠|⁠|⁠)

Para Pangeran tinggal di lantai 3 dan 4 istana Ruby Diamond. Kami sampai di ruangan tempat Ice sementara tinggal dilantai 4, didalamnya para Pangeran sudah menunggu dengan rusuh. Blaze melompat-lompat diatas tempat tidur Ice sementara Solar berusaha menarik Blaze dengan wajah penuh emosi. Hanya Gempa yang duduk didekat balkon dengan tenang.

"Asern turun dari tempat tidur cepat!!"

Ice langsung masuk dan menarik Blaze yang lompat-lompat diatas tempat tidur Ice.

"Oh! Kalian sudah datang!" Gempa menutup buku yang dibacanya dan mendekat pada kami.

"Arzen! Kenapa tidak menghentikan dua makhluk bodoh ini sih?" kesal Ice.

Baru kali ini aku melihatnya menampilkan banyak ekspresi kesal seperti itu.

"Aku malas, biarkan saja. Toh tidak akan berkelahi seperti saat itu kok." Gempa menjawab dengan tenang.

"Hahaha. Kalian lucu sekali, Ice juga lucu sekali ekspresi kesalmu, kekeke.."

Aku tertawa melihat mereka. Taufan disebelahku mengangguk sambil tertawa juga. Ice menatapku dengan pandangan tajam, aku semakin senang melihat ekspresi kesalnya itu.

"Oh, omong-omong, Ice bilang kalian berdua ingin bicara sesuatu denganku."

Aku duduk di sofa dengan tenang. Thorn dan Gempa saling berpandangan, berusaha mengungkapkan sesuatu yang mereka inginkan.

"Kami mau mencari Ksatria pribadi," ujar Gempa.

Hm? Secepat ini? Bukannya Hannah Holfer menjadi Ksatria Pribadi Gempa saat ia berusia 18 tahun? Harusnya 2 tahun dari sekarang kan? Begitupun dengan Arlen yang mendapatkan Kstaria Pribadi nya setelah Halilintar mati.

"Oh, begitu?"

"Iya, karena itu maukah kakak memilihkan Ksatria untuk kami?" pinta Thorn dengan penuh harap.

Manik emerald itu menatapku dengan pandangan memelas.

"Eh? Tapi bukankah kalian bisa memintanya langsung pada Kaisar dan Ratu?"

Keduanya menggeleng dengan kompak.

"Arter, tolong anda pilihkan untuk kami, " ujar Gempa.

"Ya?? Aku??"

"Bolehlah, kak Arter," pinta Thorn.

"Eh ya boleh saja sih, tapi kenapa kalian minta padaku?" tanyaku dengan heran.

Lagipula untuk Hannah Holfer, dia juga sempat menjadi Ksatria Pribadi untuk Gempa karena perintah Kaisar Azarn. Meski pada akhirnya ia mengundurkan diri, tapi di akhir novel dijelaskan kalau ia menjadi pasangan Gempa. Tapi, melihat sikap keduanya saat di Serlon kemarin, apa benar mereka adalah pasangan di masa depan???

"Karena kakak memberikan Arven ksatria pribadi pilihan kakak!" seru Thorn. Ia menunjuk Solar yang kini sedang memakan biskuit.

"Loh? Kok aku?" heran Solar.

"Mereka merasa iri karena kakak pertama memberimu ksatria pribadi," sahut Taufan.

"Benar, aku juga terkejut saat kak Arter memberi Dame Yvone padamu, Arven," timpal Blaze.

"Woy, aku dipaksa tau!" kesal Solar.

"Halah, dipaksa apanya? Buktinya kau dan Dame Yvone terlihat akrab tuh," ucap Blaze.

"Mananya akrab!? Apa kau tau ingin sekali aku menendang perempuan itu!"

Sementara mereka sibuk berdebat, aku berpikir dengan serius. Jika mereka ingin aku memilihkan Ksatria Pribadi untuk mereka, maka hanya ada 2 orang dibenakku yang cukup kuat untuk kedua Pangeran ini.

Dame Hannah Holfer dan Sir Sai Browkel.

Kedua orang itu berada tepat dibawah Gopal, seorang swordmaster yang cukup terkenal di peperangan.

Haruskah aku menempatkan kedua orang itu untuk Gempa dan Thorn? Tapi, bagaimana dengan pendapat para ksatria itu? Apa mereka akan menerimanya atau menolaknya?

"Humm, aku ada dua orang yang cocok dengan kalian, apa kalian mau?"

"Mau kak!" Thorn menjawab dengan cepat.

"Boleh, silakan anda lakukan itu, Arter," balas Gempa kalem.

"Kalau begitu kalian tidak sibuk kan? Ayo ikut denganku. Aku akan bertanya pada mereka dulu sebelumnya."

Aku berdiri dan mengajak mereka untuk ke ruang kantorku, dimana Dame Holfer, Sir Browkel sudah menunggu.

"Sekarang?" tanya Blaze.

"Iya, kebetulan mereka sedang di ruang kerjaku."

--------

Keenam Pangeran itu mengikuti dengan tenang. Meski masih ada jarak diantaraku dan Gempa juga Ice.

Sesekali Thorn dan Taufan mengajakku berbicara dan sesekali menanggapinya.

Tak lama akhirnya kami sampai di ruang kerjaku, ternyata Al juga sudah didalam. Gopal yang sedang membereskan dokumen menatapku dengan pandangan bingung.

"Salam pada Matahari Muda juga Bintang Muda Kekaisaran."

Gopal Acrowl, Hannah Holfer dan Sai Browkel memberi salam padaku dan para Pangeran.

"Kaing??"

Suara penuh kebingungan Al terdengar begitu kami masuk.

'Kenapa mereka ikut kesini?'

'Thorn dan Gempa ingin Ksatria Pribadi katanya.'

'Hah? Sekarang? Kenapa bisa?'

'Katanya iri karena aku memberikan Solar Ksatria Pribadi,' kataku.

Al terlihat semakin kebingungan.

"Yo Al!" Blaze berseru ketika manik jingganya melihat Al terbang disebelahku.

"Kaing."

Al hanya menjawab dengan nada malas.

"Dame Holfer, Sir Browkel, ada yang ingin kukatakan pada kalian berdua."

Aku duduk di kursi kerjaku dan Gopal mengikuti ku disebelah dengan tumpukan dokumen, lagi.

"Ya, Yang Mulia."

Dame Holfer dan Sir Browkel berdiri dengan tubuh tegap mereka, menatapku dengan pandangan siap menerima perintah.

"Sebelumnya Pangeran Arzen dan Pangeran Arlen meminta tolong padaku untuk memberikan mereka ksatria pribadi. Dan aku berpikir, diantara kedua pasukanku, kalian berada di peringkat teratas setelah Sir Acrowl."

"Karena itu, aku ingin bertanya pada kalian, apa kalian bersedia menjadi Ksatria Pribadi untuk Pangeran Arzen dan Pangeran Arlen?"

Dame Holfer dan Sir Browkel saling berpandangan.

"Apakah itu perintah untuk kami, Yang Mulia?" tanya Sai Browkel.

Aku menggeleng. "Tidak. Itu hak kalian untuk menerimanya atau tidak."

"Bolehkah saya bertanya apa alasannya, Yang Mulia?" tanya Dame Holfer.

"Pertama, karena hanya Pangeran Ketiga dan Pangeran Keenam saja yang belum memiliki ksatria pribadi. Kedua, karena mereka meminta padaku. Dan yang terakhir, aku percaya kalian berdua bisa bekerjasama dengan baik bersama kedua adikku itu."

"Apa alasanku bisa kalian pahami?" lanjutku, menatap dengan senyum kecil pada kedua ksatria itu.

"Saya akan melakukannya, Yang Mulia," ucap Sai Browkel dengan tegas.

"Saya juga akan melakukannya, Yang Mulia. Sebuah kehormatan untuk kami bisa melayani Pangeran Ketiga dan Pangeran Keenam," ujar Hannah Holfer dengan tegas.

Aku merasa tenang. Disebelahku Al nampak bingung.

"Al, apa ada sesuatu yang kau pikirkan?" tanyaku.

Ia mengangguk kemudian mengirim mindlink padaku.

'Apa kau yakin? Apa mungkin kau berniat mengirim Dame Holfer pada Arzen?'

'Entahlah, biarkan aku melihat pendapat mereka dulu'

"Dame Holfer, Sir Browkel, bisakah kalian berdua beritahu kami pendapat kalian mengenai Pangeran Arzen dan Pangeran Arlen?"

Gempa dan Thorn yang namanya disebut langsung saja menatap Hannah Holfer dan Sai Browkel dengan tatapan ingin tau juga. Keduanya mendekat ke sebelahku, sementara Taufan, Blaze, Ice dan Solar duduk di sofa sambil meminum teh.

"Benar kata kak Arter, ah, maksudku Putra Mahkota. Bisakah kalian beritahu kami pendapat kalian??" ujar Thorn dengan ekspresi antusias.

"Bolehkah saya menjawabnya terlebih dahulu?"

Sai Browkel berbicara sembari mengangkat tangannya. Aku mengangguk mempersilahkan dia untuk berbicara.

"Meski pada awalnya saya merasa terkejut, saya merasa sangat terhormat bisa terpilih seperti ini. Menurut saya, Yang Mulia Pangeran Arlen adalah Pangeran yang sangat ceria, meski begitu beliau memiliki kemampuan yang berkembang dengan cepat."

"Dan bagi saya, Pangeran Arzen memiliki ketegasan yang baik dan juga memiliki pengamatan yang baik dalam hal politik dan lainnya. Saya akan merasa nyaman jika saya bisa menjadi Ksatria bagi anda, Yang Mulia Pangeran Arzen, Yang Mulia Pangeran Arlen."

Sai Browkel selesai memberikan pendapatnya.

Aku beralih pada Hannah Holfer yang kini memasang wajah seriusnya.

"Bagi saya, Pangeran Arzen masih harus mengontrol emosi dan juga mempertimbangkan kembali keadaan disekitar anda. Akan sangat berbahaya jika anda melakukan hal yang berbahaya tanpa berpikir matang."

"Hei!" Gempa berseru tak terima begitu Hannah Holfer berbicara.

"Dan bagi saya, Pangeran Arlen harus belajar lebih baik lagi mengenai sikap dan sifat orang lain. Anda tidak bisa hanya menganggap enteng seseorang yang tersenyum ramah pada anda sebagai orang baik. Saya berharap anda menjadi sosok yang hebat di masa depan."

"Hei, kau ini ngajak berkelahi atau bagaimana?" kesal Gempa.

Aku tau mengapa Dame Holfer begitu pada Gempa. Pasti karena perdebatan mereka sebelumnya di Serlon ya? Cukup unik.

"Baiklah, bagaimana menurut kalian, Arzen? Arlen?"

"Bolehkah aku memilih Sir Browkel? Hehehe," ucap Thorn sembari menunjuk Sai Browkel.

"Tu-tunggu! Arlen, bukankah lebih baik kau memilih perempuan ini?" kata Gempa.

"Nama saya Hannah Holfer, Yang Mulia," sahut Hannah Holfer datar.

Gempa hanya memutar matanya malas.

"Hemm, jika aku lihat, bukankah Dame Holfer cocok dengan Arzen yang mudah emosi dan jarang sekali menggunakan otaknya?" timpal Taufan tiba-tiba.

"Hei Axer, kau ingin kutanam di tanah ya??" geram Gempa.

"Eii, aku larilah jika kau melakukan itu, Arzen fufu~"

Aku setuju sebenarnya dengan Taufan. Sikap tenang Hannah Holfer cukup sesuai dengan sikap keras kepala Gempa yang terkadang bisa menjadi menyebalkan.

Dan Sai Browkel akan cocok dengan si Pangeran Polos yang terkadang sulit dikendalikan tingkahnya, persis sama dengan Blaze.

"Benar juga. Saat di Serlon kemarin juga, Sir Browkel selalu mengikuti Arlen karena perintah kak Arter kan?" Blaze menimpali dengan mulut penuh biskuit.

"Menurutku mereka sama-sama ksatria yang hebat. Bukankah mereka berasal dari pasukan khusus Putra Mahkota?" kata Ice.

"Benar, Dame Holfer dari Thunderbird dan Sir Browkel dari pasukan Zeus. Mereka salah satu ksatria hebat yang ada di Kekaisaran," ucap Solar.

Aku mengangguk, setuju dengan semua perkataan yang disampaikan para Pangeran.

"Itu benar. Tapi meski begitu, aku akan menyerahkan pilihan pada Gempa dan Thorn," ucapku dengan tenang.

Aku menangkupkan tanganku di meja dan menatap Gempa dan Thorn dengan wajah serius.

"Bagaimana? Siapa yang ingin kalian pilih? Jika mereka tak sesuai dengan keinginan kalian, aku akan mencarikan yang lain nanti," kataku pada Thorn dan Gempa.

Thorn menggeleng sambil mendekat pada Sai Browkel.

"Kakak! Bolehkah aku mengambil Sir Browkel?" pinta Thorn.

"Arle--"

"Berarti Gempa, kau bersama Dame Holfer. Bagaimana?" potongku sebelum Gempa kembali protes.

"Atau kau ingin yang lain?" kataku lagi.

Gempa terlihat kesal sesaat ketika aku memotong ucapannya. Namun ia pada akhirnya menghela napasnya pasrah.

"Baiklah, saya akan mengambil perem-- Dame Holfer," ujar Gempa, setengah tak rela.

Aku tersenyum. Aku tau dia tak menyukainya, tapi cukup ajaib melihatnya menurut begitu saja. Padahal saat kami ke panti asuhan beberapa bulan lalu, dia sangatlah lugas dan blak-blakan padaku.

'Hei, kau yakin ini akan baik-baik saja?'

Aku menatap Al yang duduk bersama Solar. Ia menatapku dengan pandangan tak yakin.

'Kenapa tidak? Lagipula dengan begini kita bisa lebih mudah melindungi mereka kan?'

'Hahh, aku tak paham mengapa kau bisa dengan mudahnya membujuk mereka seperti ini.'

'Tentu saja, inilah gunanya komunikasi, Halilintar,' kataku dengan wajah penuh senyuman.

Aku bisa melihat Al mendengus ketika aku kembali memanggilnya dengan panggilan "Halilintar".

"Jadi, sudah setuju kan?"

Aku tersenyum dengan wajah puas ketika melihat senyum diwajah Thorn dan raut tak rela di wajah Gempa.

"Dame Holfer, Sir Browkel, karena sekarang kalian sudah menjadi Ksatria Pribadi untuk Pangeran Arzen dan Pangeran Arlen, aku harap kalian bisa menjaga mereka dengan baik."

Aku menatap kedua ksatria itu dengan dingin.

"Jangan biarkan mereka terluka atau dalam bahaya. Jika kalian gagal melindungi mereka, akulah yang akan membunuh kalian saat itu juga."

Mendengar ucapanku, Hannah Holfer dan Sai Browkel mengangguk dengan patuh. Sementara para Pangeran dan Gopal memandangku dengan tatapan horor. Hanya Al yang mengangguk penuh semangat menyetujui ucapanku.

Aman, sejauh ini masih aman. Yang tersisa sekarang, menyelesaikan debutante dengan baik dan menghalangi rencana jahat Leiron Argan. Aku harus berhasil. Ya, harus.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Halo, apa kabar? Semoga kalian selalu sehat. Akhir-akhir ini hujan terus, jadi terasa dingin ya.

Satu hal yang ingin saya beritahu, tidak ada romance antara Arter dan karakter perempuan. Ya ada sedikit tapi itu di masa lalu saja. Untuk masa depan tentu saja fokus pada perkembangan Arter dan Pangeran lain.

Karakter Yaya Einsya Douter, Hannah Holfer, Yvone Zewid dan juga Shielda Browkel adalah sebatas partner para Pangeran. Cerita tentunya lebih fokus ke bromance Arter dan adik-adiknya fufu (⁠˘⁠⌣⁠˘⁠ ⁠)

Itu saja untuk chapter kali ini, semoga tidak mengecewakan ya hehehe.

Okay, see you again in the next chapter ~




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro