• TIGA PULUH ENAM •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam mulai menjelang, para Pangeran sudah kembali ke kamar mereka masing-masing, kecuali Thorn yang masih di ruang kerjaku bersama dengan Sai Browkel disisinya.

"Kak, aku akan menunggumu bercerita disini yaa~"

"Aku harus menyelesaikan ini dulu. Bisakah kau tunggu aku sebentar?"

Thorn mengangguk. Ia kembali sibuk dengan toples biskuit ditangannya.

Aku menoleh pada Al yang ikut menatapku. "Al, pergilah temui Arven dan bantu dia. Aku yang akan mengurus Arlen."

'Kau.. benar-benar yakin itu tidak masalah? Maksudku.. aku masih tidak yakin dengan surat dari Tok Aba itu.'

'Tak apa-apa, Al. Setidaknya kita sudah berusaha bukan?'

'Lalu apa kau ingin menjelaskan tentang Leiron Argan juga?'

'Menurutmu bagaimana? Haruskah ku ceritakan?'

Al terlihat berpikir juga. Haruskah kami memberitahu Thorn tentang ini? Bagaimana jika ia tidak percaya?

'Kupikir.. kita harus memberitahu Arlen. Karena bagaimanapun dialah orang yang paling dirugikan saat debutante ini.'

Perkataan Al benar. Aku ingin mengatakannya, tapi seperti yang aku pikirkan sebelumnya, aku takut itu akan membuat masalah.

"Kaingg!!"

Setelah itu, Al terbang keluar dari ruang kerjaku untuk menemui Solar. Hanya tersisa aku yang masih sibuk mengurus dokumen bersama Gopal dan Thorn yang asyik makan dan mengobrol dengan Sai Browkel.

Diam-diam aku melirik Thorn yang masih mengoceh dengan senyuman lebarnya. Disebelahnya Sai Browkel tersenyum sambil sesekali ikut menanggapi ucapan tuan barunya itu. Senang rasanya melihat senyuman di wajah Thorn.

"AKU PERCAYA! AKU SELALU PERCAYA PADAMU ARTER!" Thorn berteriak dengan penuh emosi. Airmata mengalir membasahi pipinya. "Tak pernah sekalipun aku membencimu atau tak percaya padamu..."

Kata-kata Thorn tadi pagi terngiang-ngiang dipikiranku. Benarkah ia tidak membenciku? Tapi, kenapa ia menyakiti Halilintar di novel? Ah, apa karena Halilintar tak sengaja melukainya ketika tuduhan pembunuhan itu terjadi?

Tapi, Ratu Althea tidak berharap Thorn mengetahui ini. Benar kata Ratu Althea, Thorn mungkin akan menangis jika aku mengatakannya. Aku juga teringat pada ucapan Kaisar Azarn yang mengatakan bahwa aku harus menggunakan kristal Gavio disaat yang tepat. Mungkin maksudnya itu disaat ledakan kekuatan itu terjadi?

Dan pion apa yang dimaksud Count Argan? Mungkinkah ada mata-mata di istana ini? Atau mungkin.. pion yang dimaksud Count Argan adalah para Pangeran?

Jika itu benar para Pangeran, siapa yang menjadi pionnya? Ada 3 orang yang berada di benakku saat ini.

Gempa, Blaze, dan juga Ice.

Meski aku tidak terlalu yakin mengenai Blaze, namun kecurigaanku pada Gempa dan Ice juga cukup besar. Jika aku mengingatnya kembali, Gempa adalah salah satu orang yang menjadi Kaisar di novel atau menurut ingatan Al. Dan Ice.. aku tidak tau harus berpikir seperti apa mengenainya. Dia terlalu misterius.

Sial, kepalaku pusing.

"Yang Mulia?"

"Oh.." aku tersentak ketika Gopal menyentuh bahuku.

"Kakak? Kak Arter lapar? Mau makan biskuit denganku?"

Aku tersenyum tipis mendengar suara khawatir Thorn.

"Boleh, kau mau berbagi denganku?"

Thorn dengan cepat berdiri dan menyuapkan sepotong biskuit padaku. Aku menerimanya sembari berterima kasih.

"Enak kan? Aku membuatnya sendiri dengan diajari Arzen kemarin! Ehehe! Sir Browkel bahkan memujiku bahwa biskuit ini enak!"

Sai Browkel menganggukkan kepalanya begitu Thorn memamerkan biskuit miliknya.

"Benar. Ini enak sekali," ujarku.

"Jadi, apa yang kakak kerjakan? Aku lihat itu semakin banyak," ucap Thorn ketika melihatku terus saja bekerja sedari tadi.

Bahkan saat para Pangeran bermain di ruangan inipun aku tetap bekerja dengan Gopal yang mengamati disebelahku.

"Aku harus menyelesaikan ini agar saat debutante aku bisa lebih santai. Mungkin akan lama, apa kau tidak masalah?"

"Bolehkah aku sambil berlatih disini?" pinta Thorn.

Aku mengangguk memberi izin.

"Baiklah. Berlatihlah bersama Sir Browkel, Arlen."

"Yeyy! Sir Browkel, ayo bantu aku berlatih~!"

"Tentu, Pangeran Arlen," jawab Sai Browkel sembari mengikuti tuannya itu berjalan ke arah balkon ruang kerjaku yang penuh dengan tumbuhan dan beberapa pot bunga.

"Yang Mulia, saya merasa cemas pada Pangeran Arlen," ucap Gopal tiba-tiba.

"Kau benar. Aku juga merasakan itu."

"Gopal, bagaimana pergerakan mereka?"

"Ini adalah hasil pengamatan kami beberapa hari terakhir, Putra Mahkota."

Gopal menyerahkan sebuah dokumen dengan sampul hitam.

Aku membukanya dan membacanya dengan cermat. Menurut isi dokumen ini, akhir-akhir ini suasana di Mansion Argan terlalu senyap. Tidak ada aktivitas mencurigakan yang tertangkap. Hanya saja, beberapa kereta kuda dengan dekorasi sederhana sering keluar masuk Mansion Argan dalam beberapa hari terakhir. Tidak terlihat siapa yang ada didalam kereta kuda itu. Namun setiap kereta kuda itu muncul, Count Argan selalu menunggu didepan pintu utama Mansion dengan wajah yang campur aduk.

"Tunggu, siapa yang dia tunggu?"

"Kami masih tidak bisa melacak itu, Putra Mahkota. Pengawasan di mansion itu semakin mengetat, bahkan kami menemukan bahwa ada beberapa monster kecil yang ikut berjaga dengan menyamarkan diri."

Gila. Dia benar-benar gila.

"Bagaimana dengan Ayah? Sudah ada jawaban dari Ayahanda mengenai ini?"

"Kami sudah mengirimkan berkas yang sama pada Yang Mulia Kaisar, Putra Mahkota. Kita hanya bisa menunggu balasan dari Yang Mulia Kaisar saat ini."

Aku menggenggam erat pena bulu yang sedang kupegang. Terlalu kuat hingga akhirnya pena bulu itu patah.

"Tetap awasi mereka. Kita harus bisa mengurangi efek dari serangan yang akan mereka lakukan."

"Baik, Yang Mulia!"

"Arlen, kemarilah," panggilku dengan tegas pada Thorn.

"Ya kak?"

"Ingat yang kukatakan tadi pagi?"

Thorn mengangguk.

"Apa kau percaya jika aku mengatakan bahwa Count Argan berada dibalik semua penyerangan itu?"

"Eh? Paman Leiron?" tanyanya dengan wajah bingung.

Aku mengangguk. "Ya. Bagaimana menurutmu?"

Thorn terlihat berpikir sejenak. "Hm, aku juga merasa curiga dengan paman beberapa hari ini."

Dia curiga dengan Leiron Argan?

"Entah bagaimana, dia tau kalau kau sempat tidak sadarkan diri selama 4 hari kemarin. Padahal itu hal yang disembunyikan, hanya beberapa orang saja yang mengetahui ini. Dan saat aku terluka kemarin, dia datang menjengukku dan berkata bahwa dia berpikir bahwa orang dalam Istana lah yang mengirimkan Penyihir Gelap itu."

Aku mendengar dengan seksama penjelasan dari Thorn.

"Awalnya aku berpikir bahwa aku salah dengar, namun aku mendengarnya dengan pasti, Paman Leiron menyuruhku agar berhati-hati terhadapmu."

Sai Browkel yang berada disebelahnya terlihat terkejut.

"Pangeran Arlen, maksud anda Tuan Count menuduh bahwa Putra Mahkota lah yang mengirimkan Penyihir Gelap itu untuk menyakiti anda?"

Thorn mengangguk menjawab pertanyaan Sai Browkel.

"Iya, meski aku hanya tersenyum sambil berusaha mengelaknya, tapi senyum milik Paman saat itu sangat mencurigakan."

Kutarik ucapanku kalau Thorn polos. Ia pintar, sangat pintar. Ia pandai memahami situasi dan perubahan sikap juga sifat seseorang.

"Lalu, apa kau percaya padaku atau Count Argan?"

"Arter, apa ini benar-benar akan terjadi?"

"Ya, Thorn. Dan sekarang aku sedang berusaha untuk menghentikannya."

"Jadi, maksud perkataanmu yang aku harus mengontrol kekuatanku itu, karena Paman Leiron akan memanfaatkanku sebagai boneka?"

Aku menjawab dengan wajah ragu.

"Aku tidak yakin mengenai kau yang akan boneka itu, namun, Count Argan bertemu denganku hari ini dan dia mengatakan bahwa dia menaruh pion di istana. Dan aku belum tau siapa pion yang ia maksud itu."

"Kalau begitu, haruskah aku menjauhi Paman?"

"Eh?" Kami bertiga memandang kaget Thorn yang bertanya dengan polos.

"Haruskah aku membencinya saja? Kau bilang dalang dari masalahku nanti Paman kan?"

"Ap-apa anda serius Pangeran?" tanya Gopal, masih kaget.

"Uhm tentu. Bagaimanapun Arter adalah kembaranku, dan aku yakin dia hanya mau melindungi kami. Seperti yang selama ini ia lakukan."

Jawaban dengan nada tenang dan terkesan polos itu sedikit mendamaikan pikiranku. Astaga, benar-benar anak ini sangat pintar dibalik wajah polosnya itu.

"Thorn, apa kau yakin? Bukankah kau sangat percaya dengan Leiron Argan?"

"Eh? Tidak juga kok. Aku percaya karena dia pamanku, dan juga jika dia menyakitimu, maka dia juga menyakitiku. Kan aku sudah bilang kak sebelumnya. Aku selalu percaya padamu," kata Thorn yang tersenyum tulus.

"Dan juga, alasanku memilih Sir Browkel karena kau pernah membantu Azer juga Nona Browkel kemarin. Dan aku yakin bahwa Sai Browkel tidak akan menyakitiku meski aku yakin mereka sempat membenciku karena aku sering mengganggumu, Arter hahaha."

Sai Browkel langsung saja berlutut dengan wajah menunduk pada Thorn.

"Tolong maafkan sikap tidak sopan saya, Pangeran Arlen. Saya tidak bermaksud melakukan itu pada anda," ucap Sai Browkel dengan nada bersalahnya.

"Eii, tidak apa-apa. Aku tau karena Sir adalah orang yang setia pada Arter, karena itu aku berharap kau juga bisa setia padaku ya(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)"

"Terima kasih, Arlen," aku tersenyum pada Thorn. "Dan apa dia mengatakan hal lain?" tanyaku.

"Tidak ada sih, oh! Paman juga memberiku batu mana kemarin!"

"Batu mana?"

"Iya! Itu ada dikamarku."

"Bisa tunjukkan padaku, Thorn?" pintaku, berharap ia mau menunjukkannya pada kami.

Thorn mengangguk. "Sebentar, aku ambil di kam--"

"Tidak perlu, ayo sini."

Aku dengan cepat membuka portal ke kamar Thorn.

"Woah! Keren! Ayo masuk!" Thorn menatap portal itu dengan mata berbinar.

Kami memasuki ruangan dimana Thorn tinggal sementara. Aku terkejut begitu ruangan ini penuh dengan tumbuhan dan bunga-bunga yang beberapa merambat di dinding dan bahkan ada sebuah pohon berukuran sedang yang tumbuh dengan subur di balkon.

ini kamar atau hutan bebas?

Aku bisa menebak pasti itu yang dipikirkan Gopal dan Sai Browkel.

"Ah, mana ya?" Thorn mengubek-ubek laci dan lemari untuk mencari benda yang dicarinya.

"Aduh aku taruh dimana ya?"

Aku mendekati Thorn yang masih sibuk mengacak-acak lemarinya.

"Thorn, apa warna batunya?"

"Hitam dengan kilau putih atau silver kak kalau aku tidak salah," jawab Thorn.

Hitam dengan kilau putih atau silver? Mataku mengitari kamar ini dengan cermat.

"Pangeran Arlen! Apakah benda ini yang dimaksud?"

Sai Browkel mengambil sebuah batu yang ada di atas dahan pohon di balkon. Ia mengayunkan batu ditangannya untuk memberitahu kami.

"Oh iya benar! Wah Sir Sai hebat!"

Thorn berlari mendekat Sai Browkel dan mengambil batu mana itu.

Serius deh, bisa-bisanya dia menaruh batu seperti itu di atas dahan pohon?! Anak yang tidak terduga.

"Arlen, lain kali letakkan benda penting ditempat yang aman," kataku dengan dingin.

"Eh eh? Hehehe maaf kak, kupikir ini hanya batu mana biasa," jawab Thorn sambil cengengesan.

Sai Browkel langsung saja memberikan batu mana itu pada Thorn.

"Yang Mulia Putra Mahkota, saya merasakan energi asing dari batu mana ini."

Sai Browkel berujar dengan mata yang terus menatap curiga batu mana ditangan Thorn.

"Thorn, kau merasakan sesuatu?"

Thorn menggeleng. Ia sama sekali tidak merasakannya.

"Coba berikan padaku."

Ketika tangan kami bersentuhan, sebuah cahaya putih muncul dan menarik kami berdua masuk ke dalam cahaya kami.

"PUTRA MAHKOTA!"

"PANGERAN ARLEN!"

Suara Gopal dan Sai yang berteriak dengan wajah panik mulai terlihat samar.

Aku dengan cepat menarik Thorn agar tidak terpisah denganku. Thorn terlihat panik, ia menggenggam erat tanganku dan dalam beberapa saat, kami tersedut sepenuhnya ke dalam batu mana itu.

----------

Wooooshhhhh

"KAK HALILINTAR HUUWAAA!!!!"

BUAGHHH

Halilintar dan Thorn terjatuh dengan dengan kuat ke tanah. Halilintar mengusap lengan dan perutnya yang kembali berdarah.

Benar-benar sial karena lukanya kembali terbuka. Entah sudah yang keberapa kalinya.

"Huweee kakak!! Sakit sekalii(⁠╥⁠﹏⁠╥⁠)"

Halilintar tersentak dan menoleh pada Thorn yang terluka di bagian kakinya.

"Arlen!"

Halilintar mengeluarkan spirit Daun miliknya dan menyembuhkan kaki Thorn yang berdarah dan bengkak. Thorn masih menangis sembari memegangi bahu Halilintar yang sedang menyembuhkannya.

"Masih sakit?"

Thorn menggeleng. Ia berusaha untuk menghentikan tangisannya.

"Dimana kita kak? Hiks.."

"Entahlah, tapi tetap di sampingku, Arlen."

Halilintar membantu Thorn untuk berdiri. Mereka melihat sekeliling mereka yang dipenuhi dengan hutan yang terbakar. Api memenuhi sekitar mereka, tapi anehnya keduanya tidak merasa sesak sama sekali.

Halilintar mencoba mengeluarkan kekuatan teleportasi miliknya, namun anehnya tidak muncul perubahan.

"Sial, aku tidak bisa buka portal teleportasi," decak Halilintar.

"Al! Al!" Halilintar berteriak memanggil Al, berharap dragbel itu bisa mendengarnya.

"Kakak! Lihat itu!"

Aku melihat kearah yang ditunjuk Arlen, dan mendapati sosok pria dengan rambut hitam berjalan kearah kami.

Ada yang aneh dengan rupa pria itu. Rambutnya hitam panjang dengan sebuah tanduk di dahinya. Mata berwarna merah rubi, tangan yang memegang sebuah pedang.

"Tetap dibelakangku, Thorn," ujar Halilintar.

Ia mengeluarkan Pedang Halilintar miliknya dan mengarahkannya kearah pria itu.

"Eh?"

Halilintar terdiam ketika pria itu hanya melewati mereka. Tatapan pria itu terlihat kosong dan entah mengapa, Halilintar merasa familiar dengannya.

"Kak Hali!"

Halilintar tersentak dan berbalik ketika Thorn menatapnya dengan cemas.

"Apa mahluk tadi tidak melihat kita? Dia hanya melewati kita tadi," ucap Thorn, tangannya gemetar.

"Aku tidak tau. Tapi hal yang bagus karena artinya dia tidak berbahaya."

"Kita sebenarnya dimana? Aku takut," ujar Thorn takut, ia mencengkram lengan Halilintar kuat.

"Aku tak tau. Sepertinya batu mana itu yang menyedut kita ke suatu tempat," jawab Halilintar.

"Apa Count Argan mengatakan hal lain ketika memberi batu itu?" tanya Halilintar.

"Paman hanya bilang untuk selalu membawa batu mana ini, namun aku aku terkadang lupa jadi aku menaruhnya ditempatnya yang mudah diingat," jawab Thorn.

Mudah diingat? Kau bahkan kesulitan mencari itu tadi, batin Halilintar.

"Ayo, kita ikuti pria itu," kata Halilintar lalu menggandeng tangan Thorn agar mereka tidak terpisah.

"Bagaimana jika dia menyerang kita?" tanya Thorn cemas.

"Sepertinya dia tidak bisa melihat kita. Tapi untuk berjaga-jaga, tetaplah waspada."

Halilintar dan Thorn berjalan mengikuti pria itu dibelakangnya. Mereka terus berjalan selama beberapa saat hingga akhirnya tiba disebuah tebing yang dibawahnya terdapat laut dengan gelombang besarnya.

Sepertinya pria itu berbicara tentang sesuatu, tapi Halilintar dan Thorn tidak mengerti bahasa apa yang digunakan pria itu.

"Arterion.."

Satu kalimat akhir yang diucapkan pria itu membuat Halilintar tersentak. Bukankah itu nama Kaisar ke-9? Kenapa sosok itu tau tentang itu?

"Kakak, aku tidak paham dia bicara apa," sahut Thorn.

Halilintar menoleh. "Kau tidak mendengarnya? Dia mengatakan nama Kaisar Arterion barusan," kata Halilintar.

Thorn memiringkan kepalanya bingung. "Dia bilang begitu? Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas."

Halilintar hendak mendekat namun tiba-tiba sebuah bola api mengarah ke mereka.

"Thorn kebelakangku! Perisai Halilintar!"

Wooooshhhhh blaaarrrrr!!!

Ledakan kecil terjadi ketika bola api besar itu menghantam perisai yang dibuat Halilintar.

Halilintar dengan susah payah berbalik, melihat sosok pria yang ternyata masih ada dipinggir tebing. Berarti bukan dia yang menyerang mereka berdua.

"Thorn, buat perisai untuk melindungi dirimu okay, aku akan ke atas untuk melihat keadaan."

"Baik!"

Setelah yakin Thorn sudah membuat perisai, Halilintar langsung terbang keatas dan melihat kondisi sekitar.

Beberapa bola api dan bola cahaya muncul dari samping Halilintar dan menyerangnya dengan cepat.

"Ck, benar rupanya ini kerjaan si sialan itu," gumam Halilintar lalu langsung menebas serangan yang datang padanya.

Dibawah sana, Thorn berdiri dengan raut cemas. Ia melirik kesana-kemari berusaha untuk membantu dengan cara apapun.

Ia tidak bisa diam saja dan membiarkan Halilintar melindunginya seorang diri. Ia juga mau melindungi Halilintar.

"Anda yang disana! Tolong kami!!" Thorn berlari mendekati sosok pria asing itu.

Ketika Thorn sudah dibelakangnya, ia hendak menyentuh tubuh pria itu. Namun anehnya tangan Thorn menembus tubuh pria itu.

"EH?? Ha-hantu kah?"

Thorn mundur secara perlahan dengan wajah takut.

Ketika Thorn hendak berlari menjauhi pria asing itu, tiba-tiba saja pria itu berbalik dan menatapnya dengan mata rubinya yang tajam. Thorn tersentak, entah mengapa manik rubi itu terlihat seperti milik Halilintar. Yang membedakan hanyalah manik rubi pria itu lebih gelap daripada milik Halilintar.

"Ga-gawat..." Thorn semakin menjauh begitu pria asing itu tiba-tiba saja mengeluarkan pedang yang terbuat dari kristal.

Itu.. Spirit Tanah?

Pikiran Thorn langsung teringat pada Gempa yang juga memiliki spirit yang sama. Ia melihat keatas dimana Halilintar masih berusaha menghancurkan serangan bola cahaya dan api.

"Jangan mendekat!" teriak Thorn. Ia mengeluarkan belati berduri miliknya dan mengarahkannya ke pria itu.

Pria itu terus menggumamkan sesuatu yang tidak Thorn pahami. Tiba-tiba saja pria itu mengeluarkan asap hitam dari tubuhnya dan mengarahkan asap-asap itu ke Thorn.

"Hah?! Barier Dau-- UKHHH!! APA INI!?"

Belum sempat Thorn mengeluarkan kekuatannya, asap itu sudah memenuhi tubuhnya dan membuat napasnya tercekat.

"To-tolong...! Kak Hali!!"

Thorn bisa melihat sosok didepannya itu berubah menjadi wajah Penyihir Gelap yang menyerang mereka beberapa hari yang lalu. Ketakutan semakin melingkupi tubuhnya yang semakin tertutup asap hitam ini. Perlahan asap hitam ini berubah menjadi pusaran angin yang gelap.

Thorn mencoba untuk melepaskan diri, tapi anehnya ia tidak bisa menggunakan kekuatannya. Ia mencoba menggunakan sihir elemen miliknya namun tak ada yang berhasil. Ia panik, bagaimana jika Halilintar tidak bisa menolongnya?

Airmata turun dari manik emerald itu. Ia ketakutan. Perlahan, kegelapan pun menutupi matanya.

"ARLEN!!"

Thorn merasakan sesuatu menarik tubuhnya dari kegelapan itu. Ia tidak bisa menjawab maupun menggerakkkan tubuhnya. Seolah tubuhnya terikat oleh sesuatu.

"Pangeran Arlen, kembaran pertamamu adalah musuhmu. Kau harus ingat itu."

"Halilintar Zyn Arter Glacius adalah orang yang jahat. Kau harus hancurkan dia."

Sebuah suara muncul dipikiran Thorn, mengulangi kalimat yang sama hingga rasanya kepala Thorn ingin pecah saat itu juga.

"ARLEN! ARLEN BERTAHANLAH!"

Lagi, Thorn merasakan sesuatu yang kuat mencoba menariknya.

"Pangeran Arlen, kembaran pertamamu adalah musuhmu."

Lagi kalimat yang sama kembali muncul. Tanpa sadar, Thorn mulai mengikuti ucapan itu.

"Kembaran pertamaku.. adalah musuhku.."

"ARLEN DENGARKAN SUARAKU!"

"Kembaran pertamaku.. adalah... musuh.."

"Kenapa... Arter harus.. menjadi musuh.. ku..?"

"Aku.. tidak mau.. membencinya.."

"THORN! INI AKU! AKU HALILINTAR! AKU KEMBARANMU! AYO KEMBALI!!"

"Arter... adalah musuh..ku.."

"Tidak.. Arter adalah saudaraku.. bukan.. musuh..."

Thorn tidak mengerti. Tubuhnya saat ini sama sekali tak bisa ia gerakkan.Bahkan mulutnya pun terasa kaku. Ia yakin ia sedang gemetar dan takut, ia mencoba menggerakkan tubuhnya secara paksa.

Sebuah cahaya tiba-tiba muncul dihadapan Thorn. Bagaikan sebuah layar, Thorn menatap cahaya didepannya yang menunjukkan sebuah hutan yang gelap dan terasa menyesakkan, namun kemudian berubah menjadi sebuah aula besar yang pebuh dengan mayat dan darah dimana-mana.

Thorn tersentak, dadanya terasa sesak. Disana ia melihat sosok dengan pakaian kerajaan berwarna hijau memegang akar berduri ditangannya. Ketika sosok itu berbalik, manik emerald Thorn melotot.

"TIDAK! ITU BUKAN AKU!" Ia menjerit ketika sosok dengan pakaian yang penuh darah itu berbalik.

Thorn menggerakkan tubuhnya dengan paksa. Ia menjerit dengan kuat, airmata mengalir deras dari matanya. "Tidak! Hiks hiks! Itu bukan aku! Huwaa!!"

"Bukan! Aku tidak mungkin membunuh mereka! Aku.. aku.. ARGHHHH!!"

---------

Aku baru saja menarik napasku lega ketika berhasil menghancurkan serangan yang sedari tadi mengincarku dan Thorn. Aku menatap kebawah dimana Thorn berada.

Tidak ada. Thorn tidak ada ditempat sebelumnya.

Aku dengan cepat turun ke bawah dan mencari Thorn ditengah-tengah kabut yang tiba-tiba saja muncul. Kenapa tiba-tiba ada kabut setebal ini?

"THORN! DIMANA KAU?!" Aku berteriak memanggil namanya, berharap ia membalas panggilanku.

"THORN!! DIMANA KAU!"

"Kenapa kau disini?"

Aku berbalik dan langsung menatap waspada sosok pria berambut hitam dan mata emas dihadapanku. Ini bukanlah pria yang tadi.

"Siapa kau!?"

"Aku bertanya padamu anak muda, apa yang kau lakukan disini?"

"Kami tiba-tiba saja tertarik ke tempat ini."

"Kami?" Pria dengan mata emas itu memandangku bingung.

"Adikku. Kami terpisah," ucapku dengan waspada. Aku mengeluarkan pedang milikku untuk berjaga-jaga.

Pria bermata emas itu melirik kearah Pedang Halilintar milikku dan kemudian menatapku kembali.

"Apa kalian bertemu dengan pria bermata rubi sebelumnya?"

Aku tersentak dan mengangguk. "Apa anda mengenalinya tuan?"

"Hm, sepertinya adikmu terperangkap karena pria itu."

"Apa!?"

Pria bermata emas itu menunjuk kearah belakangku.

"Itu adikmu kan?" tunjuknya pada sebuah pusaran angin hitam.

Aku tersentak ketika merasakan secara samar energi mana milik Thorn dari sana dan hendak berlari menyelamatkan Thorn, namun pria itu menahan tanganku.

"Apa yang kau lakukan!? Lepas! Aku harus menyelamatkan adikku!"

"Bahaya."

"Aku tidak peduli! Adikku dalam bahaya!"

Pria bermata emas itu menatapku dalam.

"Baiklah, aku akan membantumu."

Pria itu lalu mengeluarkan kekuatannya, sebuah cahaya muncul diujung jari pria itu dan melesat dengan cepat kearah dimana Thorn berada.

"Panggil adikmu. Coba tarik tubuhnya."

Aku mengangguk dan langsung berlari.

"ARLEN!!"

Aku berhasil memegang tangan Thorn dan berusaha mengeluarkannya dari pusaran angin itu.

"ARLEN! ARLEN BERTAHANLAH!"

Namun anehnya ia tidak bisa kutarik sekuat apapun aku menariknya.

"ARLEN! DENGARKAN SUARAKU!"

Aku menariknya dengan sekuat tenaga. Seolah ada yang menarik tubuh Thorn, aku bisa merasakan secara samar energi asing yang mengelilingi Thorn.

"Dia tertahan. Panggil lebih keras lagi," ucap pria bermata emas itu.

"THORN! INI AKU! AKU HALILINTAR! AKU KEMBARANMU! AYO KEMBALI!!"

"Lagi."

"THORN!! AKU DISINI! THORN!"

"Lagi."

"THORN KAU DENGARKAN SUARAKU?! ARLEN!"

"Lagi."

"ISH DIAMLAH KAU!" Aku menoleh dan menatap garang pria bermata emas itu.

Sesaat ia terlihat tersentak kemudian tersenyum tipis.

"Memang ya.. keturunanku ini luar biasa."

Pria itu nampak mengucapkan sesuatu, namun aku tak memperdulikan itu dan kembali berusaha menarik Thorn keluar.

"ARLEN!! AYO KEMBALI KE ISTANA BERSAMAKU!"

Tiba-tiba saja pusaran itu membesar hingga melemparku menjauh dari Thorn. Terlihat Thorn didalam pusaran itu dengan keadaan menangis dan tangannya memegang kepalanya kuat.

"THORN!"

"ARGHH! BUKAN AKU! HIKS! TOLONG!!" Teriakan dengan tangisan itu membuatku tercekat. Thorn menangis lagi.

Energi mana disekitarnya menjadi tidak stabil.

"Thorn! Berhenti! Kau menyakiti dirimu!"

"Huwaaaaa! Kakak! Tolong!"

"Kakak disini! Pegang tangan kakak!" Aku berteriak sembari mencoba mendekati Thorn.

Mata Thorn terbuka, menampilkan manik emerald miliknya yang basah dengan airmata.

"Kakak.. aku.. aku bukan musuh.."

"KAU ADIKKU! ARLEN ADALAH ADIK ARTER!"

Sial, sial, sial!

"Kakak... aku takut..."

Aku berhasil menangkap tangan Thorn lagi.

"Thorn! Kendalikan pikiran dan kekuatanmu! Ingatlah apa yang sudah kau pelajari selama ini!" Aku kembali berteriak.

Tanganku menggenggam erat tangannya, namun tidak mencoba menariknya. Karena semakin kuat aku menarik Thorn, nampaknya sesuatu yang menahan Thorn juga akan lebih kuat menahannya.

"Anak muda, apa kau pemilik Spirit Elemental?"

Aku tak mampu menoleh pada pria itu. Aku hanya mengangguk. Yang kupedulikan saat ini adalah Thorn.

"Thorn, tarik napas okay! Ini aku, Arter! Aku kembaranmu!"

"Mereka.. bilang kau.. jahat.."

"Aku tau! Aku memang jahat! Aku menyakiti hati kalian! Maafkan aku! Kumohon tenangkan dirimu dan kendalikan kekuatan itu!"

Thorn menatapku dengan tatapan sendu.

"Tolong aku.."

"Arlen.. dengarkan aku baik-baik okay," aku berujar dengan lembut.

Aku mengeratkan genggaman tanganku pada Thorn.

"Kau tau, kau lah yang paling ingin kulindungi. Bukan karena kau lemah, tapi karena kau adalah kembaranku, adikku. Aku mengajari dan melatihmu karena aku berharap kau akan menjadi pemilik Spirit yang hebat di masa depan."

"Aku tau sulit bagimu untuk mendengarnya, kau bahkan mungkin tak mempercayainya."

"Adikku yang dulu sangat mirip denganmu. Tawanya, senyumnya, tatapan matanya. Itu mirip sekali denganmu."

"Aku rindu sekali dengan adikku. Karena itu, maukah kau kembali dan mari kita lakukan debutante bersama, hm?"

Pusaran angin itu mulai mereda. Aliran mana yang terasa menyegarkan muncul dan mengalir ditempat ini.

Hutan yang awalnya gelap dan mati, secara ajaib berubah menjadi hijau dan subur. Pohon-pohon yang mati kembali hidup dan bunga-bunga bermekaran dengan indahnya.

Aku bisa merasakannya dengan jelas aliran mana Thorn dimana-mana.

"Kakak..."

Thorn mendekat padaku dan terjatuh dengan tubuh lemasnya.

"Arlen!"

"Hiks.. aku takut! Huweeee! Aku pikir aku.. aku akan mati! Hiks! Huwaaaaaa!!!"

Thorn menangis dibahuku, ia memelukku erat dengan tubuh gemetarnya.

"Tidak apa-apa. Aku akan selalu melindungimu, aku akan melindungi kalian semua."

Secara perlahan, tubuh Thorn mulai tenang, matanya tertutup karena lelah yang teramat. Aku tersenyum tipis sembari mengelus kepalanya.

"Sepertinya dia berhasil."

Ah, aku lupa bahwa masih ada orang lain disini.

"Anda bilang, adik saya mengalami semua ini karena pria bermata rubi itu?" tanyaku dingin.

Tatapan tajam penuh kewaspadaan kuarahkan pada pria bermata emas itu.

Pria bermata emas itu mengangguk. Ia mendekati kami dan menyentuh kepala Thorn lembut.

"Apa yang kau--!"

"Tenanglah. Aku hanya membantunya sedikit."

Cahaya kehijauan muncul dari tangan pria itu dan masuk ke tubuh Thorn. Seolah menjernihkan aliran mana gelap yang masih melingkupi tubuh Thorn.

"Jadi, siapa namamu?"

Aku sedikit ragu menyebutkan namaku. Sepertinya ia menyadari bahwa aku masih waspada padanya.

"Kau memang luar biasa. Baru kali ini aku bertemu keturunanku yang bisa mengulang waktu."

"Ap--"

"Namaku Arterion, siapa namamu?"

Arterion? Bukankah itu nama--

"Kaisar ke-9?"

"Hm? Ya, orang-orang memanggilku begitu."

Gila. Apa ini?

"Jadi, siapa namamu?"

"Saya Arter, dan ini adik saya Arlen."

Aku menjawab dengan ragu. Apa benar dia Kaisar Arterion? Kaisar Arterion yang terkenal itu?

"Sepertinya kalian terjebak disini karena dia ya?"

Aku menatapnya bingung.

"Sepertinya benar. Dan kupikir ada campur tangan lainnya, eh?" Pria bermata emas itu menoleh ke langit.

"Hm, sudah waktunya ya?"

Ia melihat ke langit dimana retakan mulai terjadi. Aku tersentak ketika tubuhku dan Thorn mulai transparan.

"Yang Mulia Arterion!" Aku berteriak sebelum tubuhku menghilang.

"Hm?"

"Apa anda hanya serpihan jiwa saja?"

Pria itu nampak tersentak mendengar pertanyaanku.

"Anak pintar. Bertahanlah, nak. Aku yakin kau bisa mengalahkannya. Sama seperti dulu."

Meski tidak memahami perkataannya, aku mengangguk. Dan kemudian kegelapan kembali melandaku dan Thorn.

----------

"YANG MULIA!"

Aku membuka mataku, dimana posisiku saat ini berada di kamar Thorn.

"Anda baik-baik saja!? Kami kaget sekali saat anda tiba-tiba saja menghilang bersama Pangeran Arlen!"

"Bagaimana dengan Thorn?"

"Oh, Pangeran tertidur disebelah anda, Yang Mulia."

Aku menoleh ke samping begitu Sai Browkel berbicara. Nampak Thorn tertidur pulas dengan wajah damainya. Wajahnya ada sedikit noda kotor.

"Bagaimana kami kembali?"

"Ah, saya tidak tau pastinya bagaimana," kata Gopal.

"Tiba-tiba saja anda berdua menghilang namun selang beberapa menit kami menemukan anda berdua berada ditempat tidur dalam keadaan tak sadar," lanjut Gopal.

Hanya beberapa menit? Tapi rasanya sangat lama di hutan aneh itu.

"Ah benar! Sai Browkel, karena sekarang kau adalah Ksatria Pribadi Thorn."

"Ya, Yang Mulia."

"Selama kau disisinya, kau harus menjaganya dengan baik. Awasi orang-orang yang mencurigakan, terutama Count Argan."

"Baik! Saya akan melaksanakan perintah anda dengan baik, Putra Mahkota!"

Aku lalu beralih pada Gopal. "Dan kau, Sir Acrowl, cari informasi tentang Kaisar Arterion. Semua hal tentu beliau, cari dan berikan padaku sesegera mungkin."

Jika benar sosok yang menolong kami tadi adalah Kaisar Arterion, maka aku harus memastikan itu dan mencari tau apa hubungan mereka dengan Penyihir Gelap itu. Dan juga mencari tau siapa pria bermata rubi itu.

"Baik, Yang Mulia!"

Sepertinya apa yang tertulis di surat milik Tok Aba benar-benar akan terjadi. Aku harus memberitahu Al soal ini nanti.

Aku mengusap kepala Thorn. Ia tersenyum dalam tidurnya begitu tanganku menyentuh rambutnya. Wajahnya terlihat damai, aliran mananya kembali normal, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Dan Thorn, aku benar-benar berharap kau tidak melakukannya nanti."

Aku berbisik kecil, sembari menatap Thorn dengan raut datar.

.
.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Halo apa kabar? Semoga sehat selalu ya. Selamat menjalankan ibadah puasa buat kalian yang menjalankannya~ Bagaimana puasa hari ke-2 nya?

Dan happy birthday untuk Boboiboy🎉❤️ Aduhhh Oboi lagi ultah gaes, kue nya nanti pas berbuka ya🫶 Dulu pertama kali nonton Boboiboy tuh pas tahun 2013 pas saya SD. Dan sampai sekarang masih jadi one of my favorite cartoons yang sering saya tonton🫶

Oh chapter depan kita akan ke PoV Arlen sebentar ya hehehe~

Semoga kalian suka dengan chapter kali ini~

Happy reading and see you again in the next chapter ~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro