4. Ashvin Kerasukan Pembalap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketiga orang itu terpaku, tetapi Alvin dan Ashvin yang paling tidak mengerti. Bukan hanya karena kaki seperti Mamot saja yang cuma terlihat, tetapi ukurannya yang seperti pohon beringin berusia ratusan tahun.

"Itu ... apa, Git?" tanya Ashvin. Alvin di sebelahnya masih melongo dengan mulut terbuka.

Gita menyipitkan mata. Dia lantas membuka kaca jendela, menyembulkan kepala sebentar, lantas kembali saat makhluk itu bergerak lalu menghilang. "Kayaknya, kaki sejenis genderuwo," lapornya datar seolah baru saja melihat burung.

Alvin langsung bergelung sambil melindungi kepala dengan dua tangan. "Kenapa, sih?! Masih jam delapan pagi, juga?!" protesnya.

"Ya, mana kutahu," tanggap Gita tak acuh. "Memang aku yang atur? Lagi pula, yang kayak begitu sudah biasa, Al. Ke depannya kamu bakal lihat yang lebih aneh lagi."

Ashvin menelan ludah. Dia kemudian lanjut mengegas mobil ke jalanan sambil berusaha menyingkirkan pikiran ngeri. Bagaimana kalau makhluk-makhluk besar seperti tadi yang mengincar mereka? Dari keluar garasi saja, dia dan Alvin mungkin sudah mati terinjak duluan sebelum berhasil ruwatan kalau memang demikian.

"Tenang, Vin, Al. Selama ada aku dan kalian berdoa, semua lelembut yang mendekat enggak akan bisa menyentuh kalian," yakin Gita melihat Ashvin yang tegang sampai keningnya mengerut dan Alvin yang bergetar di kursinya.

Ashvin mengangguk sambil terus menginjak pedal gas. Mobil pun berjalan tanpa ada penghalang yang signifikan kali ini.

Alvin, di sisi lain, masih bergelung seperti trenggiling. Dia baru kembali stabil setelah mobil berjalan cukup lama. Kepalanya perlahan terangkat menangkap pemandangan di luar jendela. Namun, tubuhnya kembali menegang tatkala menangkap figur-figur aneh di antara orang-orang di sisi jalan dan kendaraan yang berlalu-lalang.

"Aaaah! Kenapa, sih, urang harus bisa lihat ginian?" teriaknya sambil melihat Ashvin dan Gita bergantian.

"Makanya, urang 'kan udah bilang jangan buka kotaknya. Maneh sih, keras kepala," sahut Ashvin yang masih fokus ke jalanan sambil terus menahan rasa takut. Bulir-bulir keringat dingin menetes perlahan dari keningnya.

Alvin mendengkus. "Lagian buat apa sih, Mamah pasang segel segala?" tanyanya kepada Gita. "Kayak cerita-cerita silat zaman dulu, tahu gak?"

Gita menghela napas panjang. Sepertinya sekarang waktu yang tepat untuk menjelaskan semua ini. "Bukan Mamah yang pasang, Al," mulainya. "Mamah kalian cuma diwarisi saja. Yang pasang segel itu kakek kalian, seperti yang pernah kubilang. Keris itu pusaka keluarga. Mungkin ...,"—Gita menyentuh dagu—"sudah tujuh turunan. Kalian turunan kedelapan."

Dan kalian akan kaya tujuh turunan, batin Alvin, tapi karena kami turunan kedelapan, makanya kami miskin. Kalimat Gita terdengar seperti itu.

"Memangnya ... keris itu gunanya buat apa, Git?" Ashvin akhirnya ikut bersuara. "Sampai disegel segala." Anak itu membanting setir ke kiri melewati gedung-gedung tinggi yang menghalangi langit biru dengan kelebat-kelebat sesuatu yang cepat.

"Aku enggak terlalu yakin, tapi bapakku bilang kalau keris itu bisa membuat penggunanya dapat karisma tinggi atau apalah itu aku enggak mengerti. Katanya bakal lebih maksimal fungsinya kalau dipakai anak kembar. Bapak juga bilang kalau keris itu bisa jadi senjata yang berbahaya kalau sampai jatuh ke tangan yang salah."

"Itu mah semua senjata juga kayak gitu," Alvin menanggapi.

"Iya, makanya harus dijaga. Sampai ada kutukannya biar orang-orang iseng langsung kena getahnya. Untuk menghindarkan hal-hal enggak diinginkan, leluhur kalian menunjuk salah satu murid mereka untuk jadi penjaga, buat back-up, takutnya ada kejadian kayak begini. Dan mereka sudah disumpah supaya enggak berkhianat."

"Dan karena hal itu, maneh jadi punya tanggung jawab yang besar," Ashvin menyimpulkan. Dia menginjak pedal rem bersamaan dengan lampu merah yang menyala. Hening kemudian menyelimuti mereka.

"Urang masih aja enggak ngerti," ucap Alvin sambil melihat ke luar. Tatapannya jatuh pada kucing dalam kandang di jok belakang sebuah motor. Di atasnya duduk sesosok makhluk menyerupai monyet ekor panjang, tetapi dengan wajah manusia. Ngeri, buru-buru Alvin memalingkan wajah. "Kenapa kerisnya disegel lagi kalau pernah dipake?"

"Sebenarnya kerisnya enggak pernah dipakai lagi setelah ... entah aku lupa generasi ke berapa. Segelnya selalu diperkuat tiap generasi. Tapi generasi kedelapan malah merusak segelnya," balas Gita sambil memutar bola matanya. Gadis itu mencengkeram sabuk pengaman ketika mobil melaju kembali.

"Lagian kenapa, sih, Mamah suka banget sama hal-hal ginian," keluh Alvin sambil memeluk diri.

"Enggak juga sih. Tapi, kalau udah tradisi emang susah dihilangin."

"Untung aja Mamah nikah sama Bapak. Jadi hal-hal klenik yang nakutin bisa berkurang sedikit-sedikit." Alvin mengembuskan napas lega.

"Iya," balas Ashvin sedih.

Ada rasa kehilangan dari mata si Kembar yang sayu. Gita tahu, Alvin dan Ashvin sangat merindukan orang tua mereka.

"Seenggaknya, mereka kasih kalian warisan yang enggak terlupakan," hibur Gita.

"Haha, iya," timpal Ashvin. Siapa pula yang akan melupakan pengalaman bisa melihat makhluk-makhluk gaib yang dapat mengusai tubuh?

Anak lelaki berambut koma itu pun terus melajukan mobil sampai memasuki kawasan Gerbang Tol Buah Batu.

Mobil-mobil berbagai ukuran mengantre di depan gerbang tol. Saat giliran mereka tiba, Ashvin mengambil kartu e-toll yang tersemat di tongtol (tongkat tol) di dashboard dan menyentuhkannya pada sensor. Namun, sesosok lelembut berbentuk ular yang melilit di salah satu pilar melihatnya dengan mata merah; membuat Ashvin mematung seketika. Anak itu baru sadar kembali ketika teriakan Alvin dan Gita, serta klakson kendaraan di belakang mereka berbunyi dengan keras.

"Maneh kenapa, Vin?" tanya Alvin. "Saldonya habis? Makanya isi dulu."

"Enggak, cuma liat lelembut doang. Urang belum biasa jadinya kayak begini," jawab Ashvin yang langsung tancap gas, lalu lagi-lagi matanya membulat sempurna.

Gadis di belakang mereka tersenyum penuh arti. "Itu baru awalnya. Kalian bakal liat yang lebih wah lagi setelah ini," sahut Gita.

Ashvin mengerti maksud Gita. Sementara itu, Alvin baru paham ketika dirinya menatap ke depan. Mata cokelat tajamnya melotot dan mulutnya terbuka sempurna ketika mendapati makhluk-makhluk mitologis seperti ular naga atau manusia bersayap terbang di langit biru.

"Ap ... apa ... apa-apaan, wey, ini?! Masa kita harus lihat beginian selama 8 jam? Yang ada urang pingsan duluan!" protes Alvin dengan mata berkedut. Anak itu berjengit, lalu refleks menunduk ketika seekor burung besar menukik ke atas mereka.

Ashvin yang kaget membanting setir ke kanan dan hampir menabrak mobil yang lain. Klakson memperingati mereka. Untungnya, anak berponi koma itu dapat menguasai mobil kembali.

"Kirain urang hampir mati," Alvin bergumam. Dirinya memegang sabuk pengaman dengan erat.

"Hati-hati, Vin," pinta Gita seraya berpegangan pada sandaran kursi. "Ingat, mereka itu makhluk dari alam lain. Enggak bisa menyakiti kalian secara langsung. Anggap saja mereka cuma hologram."

Ashvin menelan ludah. Dia memperkuat genggamannya di setir. Jujur, hal itu akan sangat sulit dilakukan. Dia harus menahan rasa terancam para lelembut yang mendekat sekaligus memastikan para penumpang tetap aman.

"Awas, Vin!" peringat Gita bersamaan dengan seekor monyet yang melompat dari atas plang penunjuk jalan Cirebon, Cileunyi, Tasikmalaya ketika Ashvin mengambil jalur kiri.

Ashvin terkaget sedikit, tetapi Alvin yang berteriak ketika merasakan sesuatu yang menghantam kap mobil padahal tidak ada apa pun.

Ketika masuk jalan utama, Alvin dan Ashvin tambah takjub sekaligus ngeri. Langit biru di atas jalan tol yang ditemani pepohonan hijau, dihiasi dengan siluet makhluk-makhluk besar di kaki cakrawala. Mereka bagaikan wayang kulit yang berlakon di balik layar angkasa. Kaki-kaki mereka yang jenjang berjalan melewati gedung-gedung di kejauhan.

"ITU APAAN, ANJIR!" teriak Alvin tak percaya, sedangkan kembarannya hampir menjatuhkan dagu sembari berusaha menjaga pikirannya tetap waras.

"Aku juga enggak tahu kalau itu." Gita mengangkat bahu enteng.

"Sumpah, ya, seumur-umur urang mudik Bandung-Karanganyar, belum pernah lihat yang kayak ginian."

"Pengalaman baru, 'kan?" tanya Gita retoris. Senyum terukir di wajah putihnya.

"Iya, tapi ini serem, jir!" ucap Alvin ngeri, ditambah dia melihat sesuatu yang melata di atas jalur layang kereta cepat Jakarta-Bandung. "Biasanya juga santai-santai sambil ledekin Ashvin, bukannya ngeri lihat ular gede terbang-terbang kayak begini!"

"Kenapa juga sekarang enggak ledek-ledekan?" goda Ashvin. Matanya mendelik pada Alvin yang sebal.

"Malas, ah!" Alvin membuang muka.

"He? Kenapa? Karena urang pasti menang? Terus maneh enggak ada yang bela kayak dulu lagi?" Ashvin menyeringai sambil menyalip sebuah minibus. Namun, jawaban itu malah memancing emosi lawan bicaranya.

Anak lelaki bermata cokelat tajam itu menyipit. "Enggak, ya! Bapak cuma bela urang kalau maneh udah keterlaluan ngeledeknya!"

"Hah? Mana ada urang keterlaluan! Maneh aja yang lembek. Sedikit-sedikit ngerengek ke Bapak. Mentang-mentang Bapak lebih sayang maneh!" belanya sambil menancap gas lebih dalam.

"Bapak adil, ya! Mana ada buktinya kalau urang lebih disayang? Yang ada maneh yang jadi kesayangan Mamah! Sampai kotak warisan aja maneh yang simpen! Semua juga salah maneh sampai kita harus begini!!!"

"Oh, sekarang maneh salahin urang? Maneh 'kan, yang rusak segelnya sampai kita harus ruwatan!!!" Ashvin membanting setir ke kanan sampai mobil bergetar.

"Kalau kotaknya enggak sempet diambil, urang enggak bakal penasaran sampai buka itu kotak," bela Alvin tak mau kalah.

Ashvin berdecak. "Ngawur! Dari dulu urang enggak pernah suka maneh yang maunya menang sendiri! Semuanya kayak urang yang salah sampai Bapak enggak percaya kalau urang udah jujur!!!"

"Ya, itu 'kan emang maneh yang salah—"

Ashvin mendelik nyalang.

"Al, Vin. Sudah. Enggak baik tengkar terus. Kita lagi di jalan," tegur Gita. "Kepala harus tenang, biar selamat sampai tujuan."

Namun, Ashvin sudah kepalang emosi. Dirinya ingin segera tiba di tujuan agar tidak perlu melihat Alvin lebih lama lagi sampai menancap gas melebihi batas maksimum. Jarum penunjuk di spedometer bahkan sedikit lagi melewati angka 100km/jam. Mobil sampai terasa melayang. Alvin dan Gita sampai harus berpegangan pada kursi sambil memperingati.

Tensi semakin tinggi saat Ashvin menyalip mobil-mobil di depannya dengan zig-zag. Seolah dirasuki lelembut pembalap, anak itu mengebut tanpa mengindahkan teriakan orang di samping dan belakangnya.

"VIN, SADAR, VIN! INI DI JALAN! BAHAYA! VIIIN!" pekik Alvin histeris.

Gita ikut meraung sampai menangis. "VIN, NYEBUT, VIN! AKU BELUM MAU MATI! ASHVIIIN!!"[]


A/N

Akhirnya petualangan si Kembar dan Gita berlanjut! 

Dari tiga tokoh ini, sudahkah kalian menempatkan hati? Siapakah yang jadi favorit kalian?

Komen kalau mau nimpuk Alvin.

Komen kalau mau pukpuk Ashvin.

Komen kalau mau kirim pesan ke Gita.

Komen kalau ada krisar buat author.

Kalau gak ada yang mau komen pun gak apa-apa ._.

Sampai jumpa di bab selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro