5. Alvin Keras Kepala

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gita meringkuk dengan tubuh gemetar. Meskipun mobil sudah berhenti di parkiran rest area dan Ashvin dari keluar tol Cisumdawu—dan masuk lagi ke tol Cipali—telah kembali normal dari mode pembalap kesurupan, sensasi ngeri dekat dengan maut itu belum hilang. Matanya yang bulat bergetar membayangkan bagaimana kalau dia tidak selamat dengan si Kembar. Perjalanan menyelamatkan nyawa malah bisa berakhir menjadi pemberian tumbal. Untungnya hal itu tidak berlangsung lama yang bisa saja membuat mereka kena tilang karena melebihi batas kecepatan, tetapi tetap Ashvin memacu mobil dengan tidak waras.

Sementara itu, Alvin di depannya lemas dengan tatapan kosong. Ruh anak lelaki itu seolah ingin keluar dari mulut yang terbuka. Baru kali ini dia merasa takut setengah mati selain karena melihat lelembut. Ashvin sudah sinting, delikan mata Alvin berkata pada kembaran di sebelahnya yang hanya menunduk menghadap setir.

Ashvin selaku pelaku hanya mengembuskan napas. Setelah cukup tenang, anak itu mengangkat kepala. "Kita harus isi bensin," katanya tatkala melihat bar tangki.

Anak berambut pendek di kursi navigator melotot. Wajahnya mengeras. Dia menegakkan punggung lantas mencengkeram kerah jaket saudaranya. "DASAR BEGO! DASAR TOLOL! DASAR GOBLOK! MANEH MAU NGAJAK MATI, HAH?! MIKIR AI MANEH![3]" sembur Alvin penuh emosi, sedangkan orang yang diteriakinya hanya memalingkan wajah sambil menutup mata. "Maneh kalau kangen Mamah jangan ngajak-ngajak urang buat mati!!!" Anak itu mengetatkan pegangannya sampai Ashvin mengerang.

Gita bangkit dan memisahkan mereka berdua. "Al, sudah, Al. Marah enggak akan selesaikan masalah!" lerainya sambil mencengkeram pundak Alvin. "Kasihan Ashvin!"

Alvin berdecak lantas mengempaskan Ashvin sampai membentur sandaran kursi. "Urang mau hirup udara segar dulu!" katanya sambil melepas sabuk pengaman lantas membuka pintu.

"Aku ikut." Gita menyusul, meninggalkan Ashvin sendiri.

Si anak berambut koma mendesah sambil menyandarkan punggung pada sandaran. Alisnya yang terangkat menukik turun. Kedua mata cokelat yang senantiasa terlihat ramah menyipit kesal. Rahangnya mengetat keras. Dia lantas menutup wajah dengan kedua tangan. Frustrasi. Kenapa urang bisa sampai kebawa emosi dan hampir bikin celaka keluarga sendiri?! Ashvin menghela napas berat lagi. Maaf, ya, Git, Al ....

Alvin berjalan sambil sesekali menendang kerikil atau butiran semen yang menghalangi. Kedua tangannya masuk ke saku celana jeans. Kemeja flanel kotak-kotaknya yang tidak dikancing berkibar perlahan ketika angin berembus sepoi-sepoi menenangkan. Namun, hati anak itu kesal bukan kepalang.

"Ashvin bego ...," geram Alvin sambil melewati kumpulan pohon dengan kanopi lebar, lantas duduk di pinggiran pembatas rest area di belakang tanda "Kilometer Satu Enam Enam".

Gita menyusul duduk di sebelah kanannya. "Kalian harus segera berbaikan," katanya setelah hening beberapa saat.

Alvin mendengkus. "Kenapa? Dia yang salah juga—"

"Sekarang bukan waktunya kalian tengkar terus. Please. Kesampingkan dulu masalah kalian. Yang lalu biar berlalu. Energi negatif kalian bisa memperparah kutukan yang ada." Gita menyentuh bahu orang di sampingnya. "Al ...."

Alvin hanya menggembungkan pipi sambil memalingkan wajah. Mukanya menekuk.

Gita mendesah. "Aku tahu kamu masih marah ke Ashvin karena ngebut kayak orang enggak waras. Bukan dia banget. Aku juga begitu tadi, takut kenapa-kenapa. Tapi, itu mungkin karena perkataanmu juga yang bikin kesabarannya habis."

"Jadi, urang yang salah begitu?" tanya Alvin tak terima.

Gadis berambut pendek itu lelah. "Al, baikan sama Ashvin. Kita enggak akan ke mana-mana kalau kalian kayak begini terus."

Alvin menunduk. Matanya berkedut menahan emosi yang meluap. Ashvin yang hampir membuat mereka celaka. Kenapa juga Alvin yang harus minta maaf?

"Urang enggak akan minta maaf karena enggak merasa salah," pungkas Alvin sambil melenggang pergi.

Gita bangkit tak percaya. "Alvin, ih!" teriaknya sebal. "Mau ke mana?!"

"Beli makan!" jawab anak lelaki itu.

Namun, saat melewati parkiran kembali, Alvin dan Gita berhenti. Ashvin di depan mereka berdiri bersandar pada mobil sambil melipat tangan di depan dada. Kepalanya menunduk.

Alvin dengan enggan menegur. "Ngapain maneh? Katanya mau isi bensin."

Ashvin menengadah. Tangannya mengusap belakang leher. "Urang mau minta maaf," mohonnya. "Urang udah hampir bikin kalian celaka."

Si anak berambut spiky menyeringai penuh kemenangan sambil mendelik ke gadis di sampingnya. "Lihat? Urang enggak perlu minta maaf, tapi dia duluan karena memang Ashvin yang salah."

Gita naik darah. Alvin benar-benar keras kepala. Gadis itu menginjak kaki Alvin keras sampai korbannya mengaduh. Ashvin yang melihatnya hanya mengangkat satu alis karena tidak mengerti dengan apa yang terjadi, sebelum Gita menggamit lengannya.

"Aku maafkan! Hayu, Vin, kita cari camilan! Aku mau Ratuperak!" ajak Gita meninggalkan Alvin yang masih mengaduh dengan kaki berdenyut. Gadis itu butuh makanan untuk meredakan rasa kesalnya, tetapi waktu makan siang masih lama sehingga makanan ringan berupa cokelat adalah jawaban terbaik.

Pukul setengah sebelasan, mereka kembali ke mobil. Alvin kini yang menjadi sopir untuk menghindari insiden tidak diinginkan lainnya dan juga membiarkan Ashvin beristirahat setelah berkendara kurang lebih 2 jam.

"Mana kuncinya?" tanya Alvin di dekat pintu sopir. Kembarannya lantas mengeluarkan kunci dari saku jaket dan langsung disambar.

Setelah si Kembar masuk, kedua pintu pun ditutup bersamaan.

"Kalian ini kapan bisa akur, sih?" tanya Gita sambil makan sebatang cokelat di kursi belakang. Di pangkuannya beragam camilan bertengger.

"Enggak tahu," jawab Ashvin seraya memasang sabuk pengaman.

"Maneh enggak jadi isi bensin?" tanya Alvin pada Ashvin saat melihat bar. Namun, pertanyaannya hanya dijawab dengan gelengan. Ashvin mengetatkan jaket lalu memasang tudung. Dia melihat ke luar jendela, menghindari tatapan tajam kembarannya.

Alvin menggerutu sambil menghidupkan mesin. Mobil melaju ke arah SPBU sebelum meninggalkan rest area.

"Kalau kalian enggak akur-akur, kerisnya enggak akan berguna." Gita menghabiskan batang terakhir cokelat.

"Memang maneh tahu cara pakenya yang bener, Git?" tanya Alvin sambil menunggu petugas SPBU mengisi penuh. Masih ada kekesalan dalam nadanya.

"Tahulah!" Gita menepuk dadanya bangga. "Kayak pakai senjata tajam biasa. Sat-set-sat-set!" Tangan gadis itu mencengkeram senjata transparan sambil bergerak ke kiri-kanan-atas-bawah seperti seseorang yang sedang menyayat dan mengoyak. "Tapi, kalau yang kamu maksud bagaimana caranya pakai keris itu biar kekuatan magisnya terpakai, aku enggak tahu," lanjutnya sambil mengangkat bahu. "Lagian, enggak baik juga bergantung pada kekuatan sebuah benda. Lebih baik bergantung hanya kepada Tuhan dan berdoa yang banyak setelah usaha maksimal."

Alvin hanya mengangguk-angguk setuju. Ashvin di sebelahnya juga diam-diam mengamini.

"Lah, terus ngapain kami harus akur dulu biar bisa pake kerisnya?" protes Alvin menyadari kejanggalan dalam pernyataan Gita.

"Haruslah! Keris itu kan, keris kembar. Dipakainya berdua agar efektif. Aku enggak mengerti teknisnya, tapi mungkin kalian bakal mengerti nanti—eh, jangan, deng. Itu artinya kalian bakal dapat masalah.

Alvin hanya mendengkus tidak mengerti dengan yang Gita ucapkan. Dia lantas menancap gas. Mobil pun kembali berjalan.

Musik yang disetel Alvin mengiringi perjalanan mereka. Akan tetapi, meskipun Ashvin tidak suka dengan genre Rock yang dipasang, anak itu tidak protes. Dia masih merasa bersalah karena hampir membuat mereka bisa saja celaka. Jadi, setidaknya dia ingin membiarkan kembarannya itu membawa kendaraan dengan tenang, tanpa interupsi apa-apa sambil melihat pemandangan yang menenangkan.

Hamparan sawah di sisi kiri jalan menyejukkan mata. Pohon-pohon hijau rindang berjejer seperti pagar membuat segar. Ashvin tidak bisa menikmati hamparan alam sebelumnya karena harus fokus mengawal mobil. Kini, dia bisa. Mobil yang bergerak tidak terlalu cepat di jalur lambat menambah kesan. Lelembut-lelembut beragam bentuk yang membuat takjub dan siluet-siluet raksasa di ujung cakrawala yang dibatasi pepohonan pun dapat dia tangkap dengan jelas sekarang.

Ashvin jadi berpikir, apakah dunianya memang dari dulu seperti ini, tumpang tindih dengan dunia lelembut atau hanya karena pengaruh kutukan sehingga dia bisa melihat menembus alam lain?

"Git, maneh tahu enggak kenapa kutukannya berbentuk terbukanya mata ketiga?" tanya Ashvin tanpa memalingkan pandang. "Kenapa enggak kutukan kematian aja sekalian?"

Alvin seketika mendelik pada orang di sampingnya, sedangkan Gita berjengit tak menduga pertanyaan Ashvin.

"Vin, urang enggak tahu kenapa maneh jadi kayak depresi gini. Maneh capek atau apa? Maneh kangen pisan sama Mamah? Maneh udah enggak kuat hidup? Maneh depresi karena urang marahin? Hah?"

"Bukan ... bukan begitu, Al," bela Ashvin. "Urang cuma berpikir kenapa enggak langsung kasih hukuman aja ke orang yang udah curi kotaknya. Kalau begitu 'kan, lebih efektif."

"Kutukan kematian artinya ada perjanjian dengan jin, Vin," balas Gita serius. "Kutukan yang ini cuma memicu terbukanya cakra Ajna—mata ketiga. Akibat yang ini juga sudah cukup fatal. Aku sudah bilang, 'kan? Para lelembut bakal mengincar perusak dan mengincar tubuh mereka yang enggak paham. Lambat laun mereka bakal mati juga karena tubuhnya diambil atau karena enggak tahan."

Hening menyelimuti ketiga orang itu di tengah riuhnya lagu Rock yang masih mengalun. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena mobil tiba-tiba bergetar seperti ada yang menabrak dari samping.

Alvin langsung membanting setir ke kanan sambil mengumpat. Kedua penumpang berpegangan erat pada kursi. Gita yang merasakan hal ganjil lantas membuka sunroof. Ketika gadis itu melongok melewati atap, dia mendapati sosok putih yang menguap lantas menghilang, meninggalkan jejak kabut yang membentuk dua mata dan mulut yang menyeringai.[]

***

Kamus

[3] Mikir ai maneh (Sd.) = Berpikir kamu tuh. ("ai" tidak bisa diartikan kata per kata karena artinya bisa berbeda tergantung konteks kalimat.)

A/N

Kayaknya enggak afdal kalau si Kembar enggak ribut, tapi capek gak sih liat mereka tengkar mulu kayak Gita? ._.

Kita lihat apakah di bab selanjutnya mereka bisa akur atau enggak.

Sampai jumpa lagi!

...

Diterbitkan: 14/7/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro