Bab 28. Pelukan Hangat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jangan naik taksi. Kamu boleh jenguk ke sini, tapi saya kirim Gemuris buat jenguk kamu, ya?"

Klana bertukar pandangan dengan Gemuris yang duduk di tepi ranjang sembari mencuri dengar. Ya, bisa ditebak bahwa semua ini adalah ide Gemuris.

"Ya, udah. Nggak apa-apa, Mas. Aku siap-siap dulu, ya," putus Valeri yang berhasil membuat Gemuris senang karena rencananya berhasil.

"Iya ... nanti hati-hati, ya, Cantik. Kalau Gemuris nyetirnya nggak beres, pukul aja kepalanya nggak apa-apa." Kelana bergurau tipis-tipis yang berhasil membuat Valeri terkekeh pelan.

"Kok saya, Gusti Prabu?" Gemuris protes tanpa mengeluarkan suara dan hanya menggunakan gerakan bibirnya.

"Iya, Mas. Udah, aku siap-siap dulu." Setelah itu panggilan berakhir.

Klana dan Gemuris kembali saling bertukar pandangan. Klana tersenyum tipis. "Gimana, Gusti Prabu? Berhasil, kan?"

Klana memberikan acungan jempol kepada Gemuris sebagai bentuk apresiasi. "Sudah senang belum, Gusti Prabu? Hemm ... kan, saya bilang juga apa. Cara saya pasti berhasil." Klana hanya menggeleng-gelengkan kepala untuk menanggapi ucapan Gemuris.

"Soal berantem, Gusti Prabu boleh lebih jago, tetapi soal perempuan saya masih lebih unggul," lanjut Gemuris yang masih ingin menggoda tuannya itu.

Tentu saja digoda seperti itu, Klana tidak tinggal diam. Dia segera melemparkan tatapan tajam kepada abdinya itu yang membuat Gemuris langsung berhenti cengar-cengir sendiri. "Sudah, sana. Jemput Valeri, jangan ngebut," perintah Klana kemudian.

Tanpa menunggu lagi, Gemuris langsung melaksanakan perintah tersebut. Setelah sampai di depan rumah Nyonya Handoko, Gemuris mengabari Klana supaya Klana bisa menyampaikan hal tersebut kepada Valeri.

"Cantik, jemputannya sudah di depan." Sebuah pesan masuk pada ponsel Valeri tepat saat dia menyelesaikan riasannya.

Valeri bergegas menemui neneknya lengkap dengan kalimat yang sudah dia susun selama hampir dua menit terakhir. Perempuan itu menyempatkan diri untuk menghela napas dalam sebelum mengetuk pintu kamar sang nenek.

Tok, tok, tok. Pintu terbuka, Nyonya Handoko berdiri tepat di hadapan Valeri. Dia menatap sang cucu dari atas sampai bawah yang sudah tampak rapi. "Mau ke mana, Nduk?"

Valeri menghela napas sekali lagi, kali ini lebih pelan dari sebelumnya. Valeri meraih tangan sang nenek untuk digenggam. Nyonya Handoko tentu saja tidak paham dengan apa yang dilakukan Valeri, tetapi dia tetap berusaha untuk bersabar menunggu apa yang akan dilakukan sang cucu.

"Valeri tau, Eyang khawatir sama Valeri. Tapi Eyang percaya kalau Valeri bisa jaga diri, kan?"

"Ha? Maksudmu, Val?"

"Jawab aja dulu ... Eyang percaya sama Valeri, kann?" Nyonya Handoko pun memilih untuk menganggukkan kepala saja.

"Kalau gitu, Valeri minta izin buat pergi jenguk Dokter Klana yang lagi sakit ... Valeri tau kalau Eyang mau protes." Nyonya Handoko kembali mengatupkan bibirnya.

"Sejauh ini Dokter Klana memperlakukan Valeri dengan baik, jadi tolong untuk saat ini Eyang percaya aja dulu sama Valeri, ya? Valeri nggak mau Eyang terlalu buru-buru nuduh orang tanpa bukti. Jadi tolong, ya, Eyang bolehin Valeri untuk pergi?"

Nyonya Handoko sedikit paham memahami karakter cucu perempuannya itu yang tidak jauh berbeda dari Puri saat masih muda. Tipikal orang yang semakin dilarang, justru akan semakin berontak dan nekat. Cara paling aman untuk mengatasinya adalah dengan memberi izin, setidaknya Valeri akan tetap terbuka kepada sang nenek dan tidak nekat.

"Ya, sudah. Hati-hati dan jangan terlalu terlena. Mengerti?"

Valeri menganggukkan kepala sembari tersenyum lebar. "Oke, siap!"

Setelah itu, Valeri pamit untuk segera berangkat karena jemputannya sudah menunggu di luar semenjak tadi.

***

"Mas Klana ada di mana?" tanya Valeri begitu dia dan Gemuris sampai di rumah Klana.

"Oh, Tuan Klana di kamar, Mbak. Langsung masuk aja, tadi terakhir dia lagi tidur. Kamar Tuan Klana pintunya yang paling beda dari pintu-pintu lain di rumah ini," jelas Gemuris sembari berjalan menuju dapur untuk membuatkan Valeri minuman dan mengambilkan camilan.

Benar saja apa yang dikatakan Gemuris, Valeri dapat dengan mudah menemukan kamar Valeri dengan melihat pintunya. Pintu kayu dengan ukiran yang tampak megah, berbeda dengan pintu lainnya yang tanpa ukiran.

Valeri sudah mengangkat kepalan tangannya untuk mengetuk pintu, tetapi mendadak dia teringat ucapan Gemuris bahwa Klana sedang tidur. Valeri mengurungkan niatnya untuk mengetuk karena takut mengganggu tidur Klana.

Kemudian perempuan itu langsung saja membuka pintu kamar Klana, tetapi sepertinya langsung membuka pintu adalah tindakan yang gegabah. "AAAA!" teriak Valeri saat mendapati bahwa Klana sedang mengganti pakaian.

"Valeri?!" Klana juga sama terkejutnya. Sedangkan Gemuris di dapur hanya terdiam sesaat lalu tersenyum.

"Maaf, Mas. Lanjut aja ganti baju dulu," ucap Valeri sembari memejamkan mata dan menutup pintu.

Setelah pintu tertutup, Valeri bisa merasakan bahwa pipinya memanas. Jantungnya berdegup lebih kencang. Kulit sawo matang Klana benar-benar indah, lengkap dengan kotak-kotak di perutnya.

Namun, sesaat kemudian Valeri segera berdehem. "Sadar, Valeri!" Perempuan itu menampar pelan dirinya sendiri.

"Mbak Valeri kenapa berdiri di situ aja? Nggak masuk?" tegur Gemuris yang baru kembali dari dapur.

Valeri pun menolehkan kepala ke belakang sembari tersenyum kikuk. "Eh ... hehehe ini baru mau masuk."

Tepat setelah Valeri selesai menjawab pertanyaan Gemuris, pintu kamar Klana terbuka. Lelaki itu sudah selesai mengganti pakaian dari kaos menjadi sweater. "Val? Ayo, masuk." Sang pemilik kamar pun mempersilakan.

Valeri pun menganggukkan kepala pelan sembari masih merasa tersipu sekaligus salah tingkah. Gemuris membuntuti di belakang Valeri, tetapi Klana segera menghadang ajudannya yang paling setia itu.

"Aku akan membawanya ke dalam," ucap Klana sebagai tanda agar Gemuris menyerahkan baki berisi minum dan Camilan Valeri itu.

"Oh ... baiklah, Gusti Prabu." Gemuris menjawab dengan berbisik dan sedikit mengerlingkan mata. Dia paham maksud tersembunyi tuannya itu.

Klana menutup pintu lalu masuk ke dalam. Dia mendapati Valeri sedang berdiri membelakangi pintu sembari menatap ke arah jendela. Klana yakin bahwa perempuan itu pasti masih merasa kikuk karena kejadian tadi.

"Cah ayu?" Valeri menolehkan kepala dengan spontan sehingga Klana bisa melihat semburat merah muda pada pipi perempuan itu. "Duduk aja dulu di sofa."

Valeri menganggukkan kepala dengan malu-malu kemudian mendudukkan dirinya di sofa yang letaknya membelakangi jendela. Pencahayaan dan ventilasi udara di kamar Klana sangat bagus sehingga mempermudah Valeri untuk merasa lebih rileks setelah duduk di atas sofa.

Klana menyusul duduk di samping Valeri setelah lelaki meletakkan camilan dan minuman ke atas meja. "Kok, Mas Klana malah duduk di sini? Kalau mau istirahat aja di kasur nggak apa-apa, loh."

"Nggak apa-apa, saya pengen di samping kamu. Emangnya kalau saya tiduran di kasur, kamu bakalan mau nemenin saya?" Valeri terdiam mendengar pertanyaan itu, bukan karena tersinggung tetapi tentu saja karena dia tersipu malu.

Valeri buru-buru menggelengkan kepala. Klana kemudian mengelus kepala perempuan itu. "Tentu saja ... saya juga tidak sekurang ajar itu untuk mengajak kamu naik ke atas tempat tidur. Jadi saya ikut duduk di sini aja."

"Ya, udah nggak apa-apa sepanjang Mas Klana nyaman."

"Saya nyaman, kok. Sepanjang saya sama kamu ... oh, iya. Boleh saya pinjem tangan sama pundak kamu? Saya kedinginan tapi suhu tubuh saya lagi tinggi, jadi nggak bisa pakai selimut."

Valeri pun memberikan tangannya untuk digenggam Klana. Setelah menggenggam tangan Klana dan kepala lelaki itu bersandar pada pundak Valeri, perempuan itu dapat merasakan bahwa tubuh Klana sedikit menggigil.

"Mas Klana yakin nggak mau pakai selimut?" Klana menggelengkan kepala. "Kompres?"

"Nggak suka dikompres," jawab Klana tanpa memindahkan kepalanya dari pundak Valeri.

"Kalau gitu udah minum obat?" Klana menganggukkan kepala. Lelaki itu mulai memejamkan mata selagi bersandar pada pundak Valeri. "Badan Mas Klana masih mengigil soalnya. Mas Klana masih kedinginan, kan?"

"Nggak apa-apa, Val. Gini aja."

Valeri kemudian menjauhkan tubuhnya dari Klana yang membuat lelaki itu mau tidak mau mengangkat kepalanya dari pundak Valeri. "Kenapa?"

"Mau aku peluk nggak? Aku nggak tega lihat Mas Klana kedinginan gitu."

Klana tentu saja mau. Lelaki itu tersenyum sembari merentangkan tangannya. Dipeluknya tubuh Valeri yang tidak lebih besar dari tubuh Klana itu.

"Loh, kok, malah Valeri yang dipeluk, Mas?"

"Iya, lebih nyaman kayak gini. Lingkarin aja tangan kamu di perut saya."

Valeri pun melakukan apa yang dikatakan Klana. Kemudian Valeri menyadari bahwa melingkarkan tangan pada perut Klana, bisa membuat Valeri merasakan perut kotak-kotak lelaki itu.

Di dalam pelukan Klana, Valeri benar-benar tidak bisa menahan pipinya agar tidak memerah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro