1. Tense

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Degup jantung Irene berpacu. Peluh mulai merambah di sekujur tubuhnya. Ia berusaha menambah kecepatan larinya, mengikuti langkah Thian yang berada sedikit di depannya. Pria itu menggenggam tangan Irene sambil terus memacu kecepatan, menyusuri lebatnya hutan.

"TIDAAAK!!! TOOLOOONG, TOLOONG JANGAN MAKAN AKU."

Pekikan yang memilukan kembali terdengar olehnya. Hati bersikeras, untuk berusaha menolong. Namun, apa daya, raga tak menyanggupinya. Irene hanya memejamkan mata, mendengar jeritan dari arah belakangnya.

"THIAN, IRENE, TOLOONG, TOLONG, To ... arghhh ... "

Sel darah merah memancar dengan kuat ke segala arah. Sebagian, memercik pada pakaian Irene dan Thian. Mengiringi tubuh bagian atas yang terpisah dari bagian bawahnya. Serpihan daging yang melekat pada tulang, tersebar ke segala penjuru. Suara pekikan yang memilukan tak lagi terdengar. Digantikan oleh erangan raksasa yang menikmati santapan dari pemilik tubuh malang.

"Dia menyebut nama kita. Apa tak ada lagi yang bisa kulakukan?" Irene tak kuasa menahan pedih. Pendar matanya mengembunkan lara. Pandangannya pecah, kabur, dan mulai mengeluarkan bulir air. Namun, ia tetap sekuat tenaga mempercepat langkahnya.

Lelaki yang merasa bahwa dirinya diajak berbicara oleh Irene, tak merespons. Thian tetap memacu kecepatannya sambil terus memegang pergelangan tangan Irene.

Di belakang mereka, sosok raksasa manusia yang berukuran sekitar sepuluh meter, juga sedang melangkahkan kaki, menyusul mereka. Jarak sang giant dengan mereka semakin pendek. Langkah monster tersebut terlalu cepat, bagi dua remaja yang mulai berada di ujung tanduk batas kemampuan.

"Tetaplah hidup, Irene," ucap Thian lirih. Ia langsung menarik lengan Irene yang sejak tadi digenggamnya. Mendekatkan wajah Irene pada wajahnya. Sesaat, ia memandang mimik Irene dengan dalam.

"Thian?" Irene tak mengerti.

"Bye." Tatapan tajamnya tak lepas memandangi wajah mungil gadis tersebut. Kemudian, ia melepaskan genggamannya. Mendorong Irene agar menjauh dari tempat itu.

"Apa yang kamu lakukan Thian?"

"Cepat lari, bodoh!" tekan Thian. Nada bicaranya menjadi tinggi, wajahnya memancarkan emosi.

Irene memalingkan wajahnya. Menahan pedih yang lagi-lagi harus ia rasakan. Ia mengerti maksud Thian.

Tak ada sesuatu yang bisa didapatkan tanpa pengorbanan. Huh, sungguh egois.

Meskipun hatinya menolak tuk pergi dari sisi pria itu. Namun, keadaan kian mendesaknya. Irene berbalik, membelakangi Thian yang masih memandanginya. Kemudian, ia berlari menjauh, meninggalkan lelaki tersebut.

"Maaf," lirihnya. Irene mengutuk dirinya sendiri. Namun, tetap menambah kecepatan pada setiap langkahnya. Menembus rimba.

"Gadis tolol." Thian mengembangkan senyum masam. Irene sudah lenyap dari pandangannya, masuk lebih jauh ke dalam rimba.

"Tapi aku menyukainya," lanjutnya. Ia kini membalikkan badannya, menghadap raksasa yang telah berada di hadapannya. Tangannya merogoh sebuah benda yang berada di balik mantelnya. Kemudian, menarik sebuah senapan laras pendek dan langsung mengarahkan bidikannya pada sasaran besar, yang pasti kena. Tak diragukan lagi.

Aku percaya, benda ini suatu saat pasti akan berguna. Untung saja, saat mereka membawaku kemari, mereka tak mengeluarkan benda-benda simpananku. Semoga saja, kau bisa mengulur waktu.

Tangan kirinya mengusap benda yang ia curi sebulan yang lalu. Segera, Thian menarik pelatuk senapan tersebut. Menembaknya berkali-kali ke arah kepala raksasa. Merah darah berbau amis membaur bersama tanaman hijau di sekitarnya.

Namun, raksasa itu tak tumbang. Makhluk menjijikkan bertubuh super besar itu tetap melangkah perlahan, mendekati Thian. Thian tak berhenti menarik pelatuk, menghamburkan semua peluru yang ada di dalamnya. Hingga tak tersisa.

"Sial!" Thian mengumpat kasar. Ia membuang senapan yang tak lagi bisa mengeluarkan serangan itu ke tanah. Netranya meruncing getir.

Tangan raksasa tersebut menjulur, berusaha untuk menangkapnya. Namun, ia tak terjebak asa. Ia mengeluarkan pedang yang dipungutnya di sekitar hutan tadi. Ada banyak senjata yang bergeletakan disana. Mungkin, senjata itu milik para petualang yang terjebak di sana sebelumnya.

Thian menebas tangan raksasa yang terjulur ke arahnya. Kulit raksasa yang sama seperti postur manusia, tentu saja terluka akibat tajamnya pedang. Tangan besar itu terlepas dari tempatnya.

Setelah mengetahui, bahwa serangannya mempan terhadap makhluk kotor itu. Thian berlari dan menyerang bagian lain sang giant. Ia menebas kedua kaki monster tersebut, membuatnya kehilangan pijakan dan jatuh ketanah. Thian tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan segera, ia melompat ke tubuh raksasa itu, lalu menebas lehernya.

"Ahh, bodoh."

Pancaran darah melekat di tubuhnya. Ambu amis yang kian melekat pada indra penciumannya. Kini, ia mengembangkan senyum senang. Keberhasilannya membunuh seekor raksasa membuatnya merasa puas.

Namun, kepuasannya tak berlangsung lama. Ia menyadari dengan cepat, sosok raksasa yang tadi memakan temannya, sedang berlari ke arahnya. Monster manusia, yang bukan tipe bergerak lambat seperti yang baru saja ia lawan.

Gemuruh terdengar semakin kuat. Getaran tanah makin terasa nyata. Raksasa itu mendekat ke arahnya yang masih berdiri di punggung giant yang baru saja dibunuhnya. Dengan cepat, monster itu menjulurkan tangan. Hendak menyambar Thian yang berdiri menatap makhluk besar tersebut.

Segera, Thian kembali menggerakan pedangnya. Menebas pergelangan tangan monster itu. Tangan itu kembali terlepas dari pemiliknya. Ia sedikit tersenyum puas. Sekali lagi, serangannya mampu melukai makhluk bodoh tersebut.

Namun, dugaanya salah. Raksasa itu melompat ke atas tubuh monster yang telah terkulai tak bernyawa. Thian yang berada di atasnya, tak sempat untuk menghindari hal tersebut. Kakinya tergencet dengan tubuh besar sang giant, membuatnya tak bisa melarikan diri.

"Anjing!" Lagi-lagi, ia memekikkan umpatan kasar. Namun, kali ini, ia tak mampu melakukan apa-apa.

Tangan lainnya milik raksasa itu menangkap tubuh Thian yang tak berdaya. Gemeretak tulang patah terdengar dari pria yang kini berada dalam genggaman monster tak bernama. Tangan besar, bergerak. Mengarah ke arah rahang yang sama besarnya. Mulut giant itu terbuka lebar, siap menelan mangsa yang didapatkannya.

Jadi, begini, ya, yang dinamakan, kematian.

Ruang gelap tak terbatas menyelimuti semua sudut pandangnya. Rasa sakit. Sangat sakit. Lebih sakit daripada apapun, membekas di seluruh tubuhnya. Perlahan, kesadarannya hilang. Bersamaan dengan tubuhnya, yang tergilas oleh gigi-gigi besar sang raksasa.

Game over, -untukku.

**☆**

Derap langkah cepat terus melaju. Melewati becekan air yang membentuk sebuah genangan kecil. Kaki panjang Irene tak berhenti untuk terus membawa tubuhnya menjauh. Ia tak tahu arah. Ia tak tahu kemana dirinya akan pergi. Satu-satunya hal yang berada dalam pikirannya hanyalah, tak membiarkan giant memakan dirinya.

Kenapa malah jadi seperti ini? Sebenarnya, aku sedang berada dimana?

Irene kembali mengingat kejadian kemarin. Saat ia memohon pada seorang pria, agar diizinkan keluar dari kastil. Ia ingin pulang, ke dalam dekapan penuh senyum hangat saudara-saudarinya di panti asuhan.

Sebenarnya, apa yang terjadi? Mengapa monster raksasa itu mengincar dan memakan manusia? Dan ... apakah Thian baik-baik saja?

Sekilas, bayangan akan sosok pria jangkung. Temannya sejak pertama ia masuk panti asuhan. Seorang yang ia anggap sebagai kakak sendiri, kembali muncul di hadapannya. Senyum syahdu terlukis di wajahnya. Matanya terpejam, seakan enggan tuk menatap Irene.

"Thian ... "

Namun, seketika bayangan itu sirna. Dan Irene kembali melihat lebatnya pepohonan yang hijau. Menghalau cahaya mentari untuk masuk ke dalam naungan hutan.

Tanah kembali bergetar. Suara hentakan langkah yang teredam keras kembali terdengar. Dari jarak yang cukup jauh, mata Irene mampu menangkap, sosok raksasa mulai bangkit dan mengejarnya.

Kini, ia tersadar. Thian tak akan mampu menghadapi raksasa tersebut. Dia hanya berlagak, dan menenangkan. Namun, kenyataannya, ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa.

Bayangan itu nyata. Bagaimana mungkin, aku bisa melihat sesuatu yang orang lain tak bisa melihatnya?

Antara pikiran, dan tubuhnya terus berpacu. Hal aneh yang baru saja dirasakannya. Seakan membuatnya terjebak dalam sebuah lingkaran pertanyaan yang tak mungkin terputus tanpa jawaban.

Tapi, bayangan itu mengatakan, bahwa sebentar lagi, adalah giliran diriku yang akan diterkam oleh raksasa tersebut.

Irene tak mengurangi kecepatannya dalam berlari. Meskipun begitu, kecepatan milik sang giant jauh lebih besar darinya. Dalam sedikit tempo, jarak antara mereka berdua semakin menipis.

Dengan keadaan tersebut, sang giant mengulurkan tangannya. Berusaha meraih tubuh Irene yang berlari semakin menggila. Irene tak berani menoleh ke belakang. Ketakutan merajalela dalam dirinya.

Aku bukan takut pada kematian. Hanya saja, aku belum siap untuk menghadapinya.

Irene dengan gesit menghindari sambaran dari lengan raksasa. Ia berlari zig-zag, berusaha sebisa mungkin untuk membawa dirinya, agar tidak tertangkap oleh monster tersebut. Iris matanya menatap ke atas. Dimana cabang dan tangkai besar mencuat di sana. Bisa digunakan sebagai pijakan oleh mereka yang bisa terbang, ataupun melompat tinggi.

Namun, sayangnya, Irene bukan salah salah satu dari keduanya.

Pendar mata bulatnya terus mengamati keadaan sekitar dengan cermat. Berharap, sebuah peluang terbuka untuknya. Ia benar-benar yakin, bahwa ia tak akan mati sekarang. Pesan yang disampaikan Thian seakan kembali bergema dalam kalbunya.

'Tetaplah hidup. Karena, selama kamu masih hidup, kamu akan terus memiliki pilihan dan alasan kenapa kamu terus bertahan.'

Kalimat yang dikatakan oleh pria tersebut kepada dirinya beberapa minggu yang lalu. Saat ia mulai menyangkut bentrok dengan sekumpulan organisasi kriminal di negaranya. Yang mengancam, akan terus mengincar dan berusaha untuk membunuhnya.

Tanpa sadar, senyum mengembang di wajahnya. Binar kembali terpancar dari pendar mata birunya.

Ah, kenapa aku malah mengingat hal itu sekarang? Namun, tak masalah sih. Kenangan yang indah.

Irene memperlambat lajunya. Ia tersenyum pasrah, mencoba menerima takdir yang akan menimpanya. Tangan besar sang giant kembali terjulur untuk menangkap dirinya. Gadis cantik nan lugu tersebut, memejamkan kedua belah matanya. Dan menarik napas panjang.

"Ah, sudahlah .... "

**☆**

2 Jan 2021

~Daiyasashi~

Hi, bagaimana dengan kelanjutan ceritaku di chapter ini? Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan saran yuk. Tinggalkan jejak kalian sebagai pembaca disini >////<

Ok, See you. (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro